Tradisi Nyadran, Kumpul Keluarga dan Acara Makan Bersama

Tradisi Nyadran, Kumpul Keluarga dan Acara Makan Bersama

Sebelum datangnya bulan suci Ramadhan, ada sebuah tradisi bagi masyarakat Jawa yang disebut Nyadran. Di beberapa daerah, tradisi nyadran ini masih tetap dilestarikan terutama oleh sebagian masyarakat Jawa yang tinggal di wilayah-wilayah pedesaan. Secara bahasa, kata nyadran berasal dari bahasa Sanskerta "sraddha" yang artinya keyakinan. Sedangkan pengertian menurut istilah, nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

ziarah nyadran
via penarakyat.news.id

Tradisi yang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam ini biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya'ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Rangkaian acara nyadran sendiri merupakan upacara penghormatan kepada arwah para leluhur sekaligus pemanjatan doa untuk memintakan ampun atas segala dosa dan kesalahan mereka, termasuk juga anggota keluarga yang sudah berpulang. 

Rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan saat acara Nyadran adalah sebagai berikut:
  • Melakukan besik makam, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
  • Menyelenggarakan upacara ziarah kubur dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa bersama. 
  • Acara ditutup dengan makan bersama bagi warga yang ikut hadir saat acara Nyadran. 

Kumpul Keluarga dan Ajang Silaturahim


Di beberapa daerah, nyadran juga menjadi tradisi untuk pulang kampung bagi warga yang merantau ke luar daerah. Tradisi ini seperti mengikat batin mereka untuk kembali ke asal dan berkumpul bersama sanak saudara. Biasanya, rencana acara nyadran akan diinformasikan jauh-jauh hari lewat pesan singkat agar mereka yang sedang pergi merantau di luar kota bisa merencanakan perjalanan mudik mereka untuk bisa mengikuti acara nyadran. 

Pagi saat acara hendak dimulai, biasanya banyak mobil pribadi pelat luar kota yang parkir di depan pintu masuk Tempat Pemakaman Umum untuk mengikuti acara nyadran. Kebanyakan dari mereka datang dengan mengenakan baju muslim, sedangkan kaum pria memakai baju koko, pecis, serta sarung atau celana panjang. Mereka datang mengesampingkan kepentingan rutin, yakni untuk bisa silaturahim dengan sanak saudara serta ziarah makam bersama untuk memanjatkan doa atau tahlil bagi arwah para leluhur mereka. 

Dengan dipimpin oleh seorang Kyai, tahlil dilaksanakan di tengah makam sekaligus untuk mengingatkan seluruh yang hadir bahwa semua makhluk hidup kelak akan mati. Sebab, sebagian manusia ada yang berani hidup tapi takut mati sehingga hidupnya hanya diisi untuk mengejar materi. Ada pula yang takut hidup dan takut mati, sehingga hidupnya malah tidak pernah berbuat apa-apa. Yang memahami dan mengamalkan ilmu agama adalah yang berani hidup dan berani mati, yakni hidupnya untuk beramal mempersiapkan kehidupan di akhirat yang kekal. 

Acara Makan Bersama


makan bersama
via kompas.com

Saat acara Nyadran hendak berlangsung, biasanya setiap keluarga datang membawa buah tangan berupa makanan dengan menu spesifik nyadran seperti nasi, opor ayam atau enthok, sambal goreng kentang, sambal goreng tahu, tumis buncis, kerupuk, peyek kacang, dan mie atau bihun goreng. Sedangkan jamuan makan dan minuman bagi tamu jauh sudah disediakan oleh panitia nyadran. 

Usai doa tahlil untuk memohonkan ampun atas dosa-dosa leluhur yang dimakamkan di pemakaman tersebut selesai dilaksanakan, acara pun ditutup dengan acara makan bersama. Semua makanan dan minuman yang dibawa tadi disantap bersama oleh semua yang hadir di tempat yang telah disediakan. Semuanya membaur menikmati makanan yang dihidangkan menggunakan wadah daun pisang. Rasa kekeluargaan dan kerukunan dalam masyarakat pun tampak sangat erat dalam tradisi Nyadran. 

Selengkapnya
Tari Kipas Pakarena, Tarian Tradisional Asal Gowa

Tari Kipas Pakarena, Tarian Tradisional Asal Gowa

Seperti terlihat dari namanya, tari kipas pakarena adalah tarian tradisional asal Gowa, Sulawesi Selatan yang menggunakan properti kipas dalam penyajiannya. Sedangkan "pakarena" berasal dari kata "karena" yang dalam bahasa Gowa memiliki arti bermain dan "pa" yang berarti pelakunya. Tarian ini merupakan salah satu warisan peninggalan Kerajaan Gowa yang dilestarikan secara turun temurun. Dalam perkembangannya, tarian ini juga kerap ditampilkan dalam berbagai acara adat serta ajang promosi pariwisata dan kebudayaan.

tari kipas pakarena

Sejarah Tari Kipas Pakarena


Tidak ada catatan pasti mengenai sejarah penciptaan tarian ini. Namun yang jelas, tarian peninggalan kerajaan Gowa ini tercipta berdasarkan mitos masyarakat Gowa tentang kisah perpisahan antara penghuni boting langi (khayangan) dan penghuni lino (bumi). Sebelum berpisah, penghuni boting langi mengajarkan kepada penghuni lino tentang bagaimana cara bercocok tanam, beternak, dan berburu. Dari situ, maka terciptalah tari kipas pakarena yang merupakan gambaran dari ungkapan rasa syukur penghuni lino kepada penghuni boting langi.

Tarian ini menjadi kekuatan tradisi budaya dari Kerajaan Gowa dan masyarakatnya yang sudah berabad abad lamanya dilestarikan. Pada zaman kejayaan kerajaan Gowa, tari kipas pakarena menjadi salah satu tarian wajib yang disuguhkan setiap ada upacara-upacara adat di lingkungan kerajaan. Tarian ini juga kaya akan falsafah. Setiap gerakan dalam tari kipas pakarena mengekspresikan tentang kelembutan, kesantunan, kesetiaan, kepatuhan dan hormat masyarakat perempuan Gowa kepada laki-laki. 

Gerakan dan Maknanya


Tarian ini biasanya dibawakan oleh 5 sampai 7 orang penari perempuan dengan mengenakan pakaian adat. Ada sekitar 12 gerakan dalam tarian ini yang masing-masing memiliki makna berbeda-beda. Gerakan dalam tarian ini biasanya didominasi oleh gerakan tangan memainkan kipas lipat dan tangan satunya bergerak dengan lemah lembut. Selain itu, ada juga gerakan badan yang mengikuti gerakan tangan dan gerakan kaki yang melangkah.

Pola gerakan dimulai dengan posisi duduk dan mulai memutar searah jarum jam. Gerakan ini memiliki makna adanya siklus kehidupan manusia yang selalu berputar. Selain gerakan berputar, ada juga gerakan naik turun yang melambangkan bahwa kehidupan manusia kadang berada di atas namun kadang juga berada di bawah. Makna dari gerakan ini mengisyaratkan akan perlunya kesabaran dalam menjalani alur roda kehidupan.

Dalam pementasannya, tarian ini juga memiliki aturan yang unik bagi para penarinya. Salah satunya yaitu penari tidak diperbolehkan untuk membuka mata terlalu lebar, termasuk gerakan kaki tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Oleh karena itu, setiap penari mesti mempersiapkan fisik mereka sebelum memasuki arena pentas. Artinya, fisik para penari harus prima karena mereka harus selalu menunjukkan kelembutan dan kesantunan dalam setiap gerakan tari.

Kostum dan Musik Pengiring


Kostum para penari kipas pakarena biasanya mengenakan busana adat Sulawesi yang sering disebut li'pa sa'be (kain sutera khas Sulawesi). Selain itu, para penari juga mengenakan kain selampang dan kain sarung khas Sulawesi Selatan. Pada bagian kepala, rambut penari biasanya dikonde dan dihiasi dengan tusuk berwarna emas serta aneka bunga-bunga. Para penari juga dilengkapi dengan berbagai macam aksesoris seperti gelang, kalung dan anting. Tidak lupa, para penari juga pastinya membawa kipas yang digunakan untuk menari.

Sedangkan musik pengiring tarian ini biasanya dibawakan oleh tujuh orang laki-laki yang memainkan alat musik tradisional terdiri dari gendrang dan seruling yang dikenal dengan Gondrong Rinci. Salah seorang pengiring memainkan suling sedang lainnya memukul gendrang menggunakan tangan atau bambawa (alat pukul dari tanduk kerbau). Uniknya, para pengiring tidak hanya memukul alat musik saja. Mereka juga ikut menari mengikuti penari meski hanya lewat gerakan kepala untuk menyelaraskan irama. Gerakan cepat para pemusik ini juga menggambarkan sifat laki-laki Gowa yang dikenal tangguh dan tangkas. 

Demikianlah sekitas tentang tari kipas pakarena asal Gowa, Sulawesi Selatan. Selain melestarikan warisan leluhur, tari kipas pakarena kini juga sering ditampilkan sebagai pertunjukan hiburan sekaligus sebagai salah satu daya tarik bagi para wisatawan untuk datang ke wilayah Gowa. (diolah dari berbagai sumber) . 

Selengkapnya
7 Kearifan Lokal Bidang Pertanian di Indonesia

7 Kearifan Lokal Bidang Pertanian di Indonesia

Indonesia memang kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Beberapa bentuk kearifan lokal juga ikut berperan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Salah satunya yaitu kearifan lokal dalam bidang pertanian.
 
lahan pertanian
via istockphoto

Ada banyak bentuk kearifan lokal dalam bidang pertanian yang bisa ditemui pada sejumlah wilayah di seluruh penjuru Nusantara. Sebagai tambahan wawasan kita, berikut ini beberapa contoh kearifan lokal dalam bidang pertanian yang ada di Indonesia. 

1. Subak di Bali


Subak adalah suatu organisasi masyarakat adat yang mengelola irigasi untuk sistem pengairan. Subak memiliki karakteristik sosio-agraris-religius yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan ajaran Hindu Bali yang menekankan pada keseimbangan dan keharmonisan antar manusia, alam, dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sistem pengairan ramah lingkungan seperti ini juga terdapat di daerah lain seperti Dharma Tirta di Jawa Tengah, Mitracai di Jawa Barat, dan Tolai di Sulawesi Tengah. 

2. Nyabuk Gunung


Nyabuk gunung dapat dikatakan memberi sabuk pada gunung. Pengertian nyabuk gunung pada dasarnya adalah sistem pertanian dengan membuat teras sawah mengikuti kontur gunung (contour planting). Sistem pertanian ini dilakukan di lahan pertanian atau perkebunan di lereng-lereng perkebunan. Wilayah yang menggunakan sistem nyabuk gunung contohnya adalah petani di lereng gunung Sindoro dan Sumbing. Di Jawa Barat juga terdapat sistem pertanian serupa yang disebut ngais gunung, sedangkan di Bali disebut sengkedan. 

3. Pranoto Mongso


Pranoto mongso (penentuan musim) merupakan waktu musim yang digunakan oleh para petani sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Pranoto mongso mengikuti tanda-tanda alam berdasarkan mongso (musim) dalam bercocok tanam. Petani akan memulai pertanian dengan menggunakan hitungan kalender Jawa dan melihat tanda-tanda alam. Oleh karena itu, tanah tidak jenuh dan memberi waktu kepada tanah untuk mengumpulkan unsur hara. Melalui perhitungan pranoto mongso, alam dapat menjaga keseimbangannya. 

4. Tradisi Bondang di Asahan


Dalam bahasa Melayu, Bondang dapat berarti lahan. Bondang adalah kegiatan pertanian masyarakat desa Silo Lama di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Tradisi Bondang adalah suatu konsep pertanian yang bersandar pada kearifan lokal dimana petani diajarkan cara bertani tanpa menggunakan bahan-bahan kimia untuk pupuk maupun pestisida yang dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan kerusakan lingkungan. Selain itu, para petani juga tidak tergoda untuk menggunakan kemajuan teknologi pertanian sehingga keseimbangan alam dan lingkungan betul-betul terjaga.

5. Tradisi Masyarakat Undau Mau di Kalimantan Barat


Kearifan lokal pada masyarakat Undau Mau tercermin dalam penataan ruang pemukiman, klasifikasi hutan, dan pemanfaatannya. Aturan adat pada masyarakat Undau Mau mengharuskan kegiatan membuka hutan (rimbo) harus seizin dari ketua adat. Keberadaan hutan bagi mereka adalah penopang kehidupan. Dalam mengolah lahan pertanian, masyarakat di sana mengenal sistem bera. Sistem ini ramah lingkungan karena lahan pertanian yang telah terpakai dibiarkan hingga mencapai kurang lebih 7-10 tahun. Hal ini bertujuan agar tanah menjadi subur kembali. 

6. Mattudang-Tudangeng di Soppeng


Mattudang-Tudangeng adalah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Soppeng Sulawesi Selatan dalam sektor pertanian. Sebelum masuk musim tanam, masyarakat Soppeng akan menggelar acara Mattudang-Tudangeng (Musyawarah) untuk mempersiapkan segala sesuatu terkait budidaya yang akan dilakukan. Biasanya acara tersebut juga dirangkaikan dengan acara syukuran/hajatan lewat pembacaan kitab Barzanji atas hasil yang dicapai musim tanam sebelumnya. Bentuk dan model musyawarah, hajatan/syukuran di tiap daerah di Soppeng biasanya dibingkai sesuai budaya dan adat setempat.

7. Kebekolo di Ende, NTT


Lahan pertanian di NTT umumnya berada di wilayah bergunung dengan lereng >30% sehingga berisiko terhadap erosi dan longsor. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, masyarakat Ende memiliki kearifan lokal untuk menahan longsor yang disebut Kebekolo. Masyarakat Ende menyusun barisan kayu atau ranting yang disusun atau ditumpuk memotong lereng gunung. Tumpukan kayu/ranting ini berfungsi untuk menahan tanah yang tergerus aliran permukaan (erosi). Model konservasi ini juga dapat ditemukan di beberapa daerah lainnya di NTT seperti Blepeng di Sikka dan Brepe di Flores Timur.

Selengkapnya
Jenis-Jenis Budaya Tradisional di Indonesia

Jenis-Jenis Budaya Tradisional di Indonesia

Budaya adalah daya dari budi berupa cipta, rasa, dan karsa yang terbentuk dari berbagai unsur-unsur yang saling terkait seperti bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Adapun Budaya tradisional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keanekaragaman suku di Indonesia yang dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, dan adat pada masa lalu. 

budaya tradisional
ilustrasi via suarakutim.com

Budaya tradisional di Indonesia sangatlah beragam. Keragaman ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku-suku yang mendiami beberapa wilayah di Indonesia. Keberadaan suku-suku tersebut yang jumlahnya mencapai kurang lebih 1.200 suku tentu menunjukkan potensi kekayaan budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Secara umum, kekayaan budaya tradisional di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

Bahasa Tradisional


Bahasa tradisional atau dikenal juga dengan sebutan bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan di suatu daerah dan menjadi ciri khas masyarakat di daerah tersebut. Contohnya bahasa Jawa yang digunakan oleh suku Jawa, bahasa Sunda oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat, bahasa Melayu oleh sebagian masyarakat sekitar Riau dan sebagainya.

Kesenian Tradisional


Kesenian tradisional adalah kesenian yang berasal dari suatu daerah dan dilestarikan secara turun temurun sebagai bagian dari tradisi masyarakat yang memiliki nilai filosofi tinggi. Contohnya seperti kesenian Reog dari Ponorogo Jawa Timur, Ondel-ondel dari DKI Jakarta, kesenian Bambu gila dari Maluku, kesenian Wayang kulit dari Jawa dan lain sebagainya.

Lagu Tradisional


Lagu tradisional atau dikenal juga dengan sebutan lagu daerah merupakan nyanyian atau lagu yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Contohnya seperti lagu Apuse dari Papua, lagu Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan Selatan, lagu Rasa Sayange dari Maluku dan sebagainya. 

Tarian Tradisional


Tarian tradisional merupakan tarian khas dari daerah tertentu yang memiliki arti penting karena fungsinya sebagai sebuah penghormatan dan memiliki nilai tersendiri. Contohnya seperti tari Kecak dari Bali, tari Saman dari Aceh, tari Serimpi dari Yogyakarta, tari Pakarena dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.

Alat Musik Tradisional


Alat musik tradisional merupakan alat musik dari suatu daerah yang digunakan untuk membawakan lagu daerah atau mengiringi kesenian daerah. Contohnya seperti alat musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur, Tifa dari Maluku juga Papua, Angklung dari Sunda (Jawa Barat), Saluang dari Minangkabau (Sumatera Barat) dan sebagainya. 

Pakaian Tradisional


Pakaian tradisional merupakan pakaian atau busana khas dari suatu daerah yang berbeda dengan daerah lainnya. Contohnya seperti Baju Kurung dari Melayu (Sumatera), Ulos dari Sumatera Utara, Beskap dari Jawa, Pesa'an dari Madura, Baju Cele dari Ambon, Maluku dan sebagainya. 

Senjata Tradisional


Senjata Tradisional merupakan senjata khas dari daerah tertentu yang umumnya berasal dari tradisi para leluhur yang dahulu menggunakannya. Contohnya seperti Rencong dari Aceh, Parang Sawalaku dari Maluku, Mandau dari Kalimantan, Pedang Bara sangihe dari Sulawesi Utara dan sebagainya. 

Rumah Tradisional


Rumah Tradisional atau sering juga disebut rumah adat adalah bangunan rumah dengan ciri khas tertentu yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Contohnya seperti rumah adat Joglo dari Jawa, rumah Adat Bolon dari Batak Sumatera Utara, rumah adat Tongkonan dari Sulawesi dan sebagainya. 

Permainan dan Olahraga Tradisional


Permainan atau Olahraga Tradisional merupakan permainan atau olahraga khas yang berkembang dari daerah tertentu. Contohnya seperti Sepak Takraw dari Sulawesi, Karapan Sapi dari Madura, Gobak Sodor dari Jawa Tengah, Bola Keranjang (tipak rege) dari Aceh dan sebagainya.

Makanan Tradisional


Makanan Tradisional merupakan makanan atau kuliner khas dari suatu daerah tertentu yang berkembang dan dilestarikan sebagai kekayaan daerah tersebut. Contohnya seperti Ayam Betutu dari Bali, Ayam Taliwang dari Lombok, Ilabulo dari Gorontalo, Papeda dari Papua, dan lain sebagainya.

Selengkapnya
9 Daerah Wisata Budaya Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia

9 Daerah Wisata Budaya Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia

Selain keindahan alamnya, Indonesia juga kaya akan budaya lokal yang memiliki potensi dalam meningkatkan bidang pariwisata, salah satunya yaitu lewat pengembangan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif sebagai potensi wisata budaya tradisional bersumber dari seni budaya dan tradisi serta kearifan lokal masyarakat adat setempat. Oleh karenanya, ekonomi kreatif ini cukup berperan dalam mempromosikan sekaligus melestarikan budaya-budaya tradisional yang ada di Indonesia.

Wisata ekonomi kreatif dengan menampilkan budaya tradisional juga dapat menambah perekonomian masyarakat di samping menjaga kelestariannya. Dicuplik dari tulisan K. Wardiyatmoko, berikut ini beberapa daerah wisata budaya dalam pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. 

1. Kampung Laweyan di Solo, Jawa Tengah


batik Laweyan
via 1001indonesia.net

Sejak abad ke 14, daerah Laweyan di Solo sudah dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan pakaian. Industri batik di Laweyan konon mulai berkembang pada masa kerajaan Islam Pajang (1568-1586). Hingga saat ini, Laweyan juga masih terkenal sebagai kampung batik. Terdapat banyak pengrajin batik berskala kecil sampai menengah yang memproduksi beraneka macam kerajinan batik seperti kemeja, selendang, dan sarung.

2. Kebudayaan Batak di Tapanuli


budaya Tapanuli
via ANTARA FOTO/Nugroho Gumay

Masyarakat etnis Batak di Tapanuli, Sumatera Utara telah berhasil mengembangkan potensi budaya tradisional mereka menjadi ekonomi kreatif lewat kesenian tari tor-tor, rumah adat bolon, dan kerajinan kain ulos. Usaha kerajinan kain tenun ulos terbukti dapat meningkatkan pendapatan warga serta memperbaiki tingkat ekonomi penduduk khususnya masyarakat Tapanuli.

3. Kerajinan Suku Dayak di Kalimantan


kerajinan Dayak
via bobo.grid.id

Suku Dayak di Kalimantan memiliki hasil kerajinan tangan unik serta corak yang khas. Kerajinan tangan suku Dayak antara lain berupa tas dari anyaman rotan, kain tenun dari serat daun doyo, serta kerajinan manik-manik. Aneka kerajinan dari hasil budaya tradisional ini dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi kreatif sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat suku Dayak.

4. Tradisi Suku Toraja di Sulawesi Selatan


Rambu Solo Toraja
via sulselsatu.com

Suku Toraja telah dikenal luas akan keunikan budaya dan tradisinya seperti ritual pemakaman, rumah adat tongkonan, dan ukiran kayunya. Hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi kreatif sekaligus untuk meningkatkan potensi perekonomian penduduknya. Upacara pemakaman adat (Rambu Solo') yang berlangsung selama berhari-hari juga selalu mampu menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang berkunjung.

5. Desa Ubud di Bali


kerajinan Ubud
via balikami.com

Ubud adalah desa adat sekaligus destinasi wisata di kabupaten Gianyar, Bali yang dikenal sebagai pusat tarian dan kerajinan tradisional. Pertunjukan seni sendratari kecak dan pameran lukisan serta pameran ukiran merupakan pertunjukan yang selalu digelar setiap harinya di museum dan galeri di desa Ubud. Selain itu, kuliner khas Ubud seperti bebek bengil juga merupakan kekayaan tradisional yang dapat menjadi potensi pengembangan ekonomi kreatif bagi masyarakatnya.

6. Kampung Sade di Nusa Tenggara Barat


kain kampung sade
via kate.id

Kampung adat Sade di Lombok, NTB merupakan perkampungan suku Sasak dengan jumlah penduduk sekitar 700 jiwa. Kampung ini memiliki kebudayaan tradisional yang masih sangat dijaga kelestariannya. Di antara hasil kebudayaan tersebut misalnya yaitu kerajinan tenun ikat dan tenun songket khas suku Sasak. Hasil-hasil kerajinan tersebut juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi kreatif sekaligus untuk meningkatkan perekonomian penduduknya.

7. Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur


kampung Bena
via nttonlinenow.com

Kampung Bena adalah salah satu perkampungan megalitikum yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini memiliki kekhasan tersendiri yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Kampung adat Bena didesain berbentuk perahu dan juga dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan. Selain keunikan tersebut, kampung ini juga memiliki kerajinan tenun ikat yang dapat menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi kreatif di daerah tersebut. 

8. Pulau Morotai di Maluku Utara


pulau Morotai
via indonesia-heritage.net

Pulau Morotai di Maluku Utara memang terkenal dengan budaya tradisionalnya berupa tradisi adat (Hao Gumi) dan tarian tradisional seperti tarian cakalele, tide-tide, dan salumbe. Kekayaan tersebut merupakan budaya tradisional yang melengkapi keindahan bahari dari pulau Morotai. Selain itu, terdapat pula peninggalan sejarah Perang Dunia II seperti benteng, mobil tanker, dan museum bawah laut yang dapat menjadi nilai potensi wisata untuk pengembangan ekonomi kreatif di Pulau Morotai. 

9. Raja Ampat di Papua


festival Raja Ampat
via kompas.com

Selain terkenal akan potensi wisata alamnya, Raja Ampat juga kaya akan wisata budaya tradisional yang berpotensi untuk pengembangan ekonomi kreatif. Hal itu bisa dilihat mulai dari usaha kreatif rumahan seperti aneka barang kerajinan dan ukiran hingga penyelenggaraan festival Raja Ampat yang diadakan setiap tahunnya. Selain itu, pengembangan desa wisata juga terus dilakukan seperti di desa Yenwaupnor, Arborek, Yenbuba, Sawinggrai, dan Sawandarek di Distrik Meos Mansar Kabupaten Raja Ampat.

Selengkapnya
Tari Lilin, Kesenian Asal Sumatera Barat Yang Anggun

Tari Lilin, Kesenian Asal Sumatera Barat Yang Anggun

Selain tari piring, masih banyak kesenian unik Sumatera barat lainnya, salah satunya yaitu tari lilin. Tari lilin adalah seni tari tradisional asal Minangkabau yang biasa dimainkan saat malam hari dengan membawa lilin sebagai properti utamanya. Dahulu, tarian ini biasa ditampilkan di lingkungan istana atau pada saat acara-acara adat. Namun kini, tarian ini juga sering muncul dalam pertunjukan kesenian dan panggung-panggung hiburan. Seiring kepopulerannya, tarian ini juga telah menjadi salah satu ikon dari Sumatera Barat, khususnya masyarakat Minang. 

tari lilin

Asal Usul Sejarah Tari Lilin


Menurut asal usulnya, tari lilin muncul berdasarkan cerita rakyat masyarakat Sumatera Barat. Konon pada zaman dahulu, tersebutlah seorang gadis yang ditinggalkan oleh tunangannya untuk pergi berniaga. Pada suatu ketika, sang gadis dibuat kebingungan ketika cincin pertunangannya dengan sang kekasih hilang tiada diketahui dimana keberadaanya. Sang gadis pun berusaha mencari cincin tersebut hingga sampai larut malam. Karena gelap, ia pun menggunakan nyala api lilin yang ditaruh di atas piring kecil untuk menerangi pencarian cincin hilang tersebut. 

Sang gadis berusaha keras untuk dapat menemukan cincin berharga tersebut. Namun sayangnya, cincin yang dicari itu tiada juga ketemu. Ia pun kemudian berkeliling mengitari pekarangan rumahnya berharap apa yang dicarinya itu lekas ditemukan. Saat pencarian itu, kadang ia harus membungkuk untuk menerangi tanah. Kadang juga ia terlihat seperti sedang menengadah berdoa, atau bergerak meliuk-liuk dengan lilin tetap berada di tangannya. Gerakan-gerakan indah dari sang gadis saat mencari cincinnya inilah yang kemudian mengilhami terciptanya tari lilin. 

Tarian ini kemudian mulai dikembangkan dan dipelajari oleh gadis-gadis desa kala itu. Seiring waktu, tarian ini semakin populer dan biasa ditampilkan pada saat acara-acara adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan karunia yang didapat. Karena keanggunannya, tari lilin juga kemudian ditampilkan di lingkungan istana. Dalam perkembangannya, tarian ini juga menjadi bagian dari pertunjukan kesenian dan juga hiburan. Tari lilin seringkali diselipkan sebagai penampilan selingan pada saat prosesi acara penyambutan tamu setelah penampilan tari pasambahan.

Gerakan, Kostum, dan Musik Pengiring


Tari lilin biasanya ditampilkan oleh sejumlah penari wanita atau berpasangan (pria dan wanita). Para penari akan menari sambil membawa lilin menyala pada piring kecil yang dipegang pada kedua telapak tangan mereka. Dalam pertunjukannya, para penari tersebut akan melakukan gerakan memutar piring berisi lilin namun piring tetap berada diatas telapak tangan dan lilin tetap menyala. Gerakan ini cukup sulit karena mereka harus hati-hati agar piring tidak jatuh dan lilin tidak padam. Tarian ini juga biasanya diiringi dengan musik khas Melayu Sumatera. 

tari lilin 2
via encyclopedia.jakarta-tourism.go.id

Gerakan-gerakan dalam tari lilin cenderung lemah lembut namun juga atraktif. Dengan kelihaiannya, para penari akan memainkan lilinnya dengan cara memutar atau membolak-balik piring diikuti gerakan meliuk-liuk dari sang penari. Gerakan lemah lembut untuk menjaga agar lilin tidak padam, sementara gerakan membolak-balik piring dan meliuk-liuk menunjukkan skill atraktif dari masing-masing penarinya. Tentunya butuh kerja keras dan latihan khusus untuk dapat membawakan tarian anggun ini. 
Gerakan dalam tari piring biasanya didominasi oleh gerakan seperti mengayunkan tangan, gerakan seperti berdoa, gerakan meliuk, dan gerakan memutar badan. Selain itu, ada juga beberapa gerakan tangan yang dilakukan dalam posisi duduk. Gerakan-gerakan ini memerlukan konsentrasi penuh agar tarian ini dapat berjalan lancar. Kesemuanya ini menciptakan harmoni gerakan yang indah berpadu dengan keanggunan para penari yang meliuk-liuk dalam kilauan cahaya nyala lilin.

Sedangkan untuk busana dalam tari lilin, biasanya setiap penari mengenakan pakaian khas asal Minangkabau yakni baju yang disebut baju batabue, hiasan kepala yang disebut tangkuluak, bawahan yang disebut dengan lambak, salempang dan perhiasan berupa dukuah atau kalung, galang atau gelang dan cincin. Sementara untuk musik pengiringnya yaitu menggunakan alunan musik khas Melayu Sumatra dengan beberapa tambahan alat musik seperti accordeon, biola, gong, gitar, kenong, gendang, bonang, saxophone, dan tok-tok.

Selengkapnya
Kompaknya Tari Saman Asal Gayo, Aceh

Kompaknya Tari Saman Asal Gayo, Aceh

Dengan segala keistimewaannya, wilayah Aceh memiliki beragam kekayaan budaya yang menjadi ciri khasnya. Salah satunya yaitu kesenian tari Saman asal suku Gayo yang mendiami dataran tinggi Gayo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 24 November 2011, Tari yang populer dengan nama tarian seribu tangan (a thousand hand dance) ini juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representasi Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intagible Elements of World Curtular Heritage).

tari saman
Tari Saman via goodnewsfromindonesia.id

Asal Usul Sejarah Tari Saman


Tari Saman adalah kesenian tari asal suku Gayo yang dibawakan oleh sejumlah penari laki-laki. Dahulu, tarian ini diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman pada abad ke 14 M. Syekh Saman menggunakan tari Saman sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Gayo. Konon nama tarian ini juga diambil dari nama Sang Syekh Saman sebagai tokoh penciptanya. 

Sebelum tercipta tari Saman, masyarakat Gayo telah mengenal Pok-ane, yakni sebuah kesenian yang mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan tangan ke paha sambil bernyanyi riang. Syekh Saman kemudian memasukkan unsur-unsur Islam di dalam kesenian tersebut hingga terciptalah tari Saman. Sebagai media dakwah, tari saman mulanya hanya dipertontonkan saat peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Namun seiring waktu, tari saman juga biasa ditampilkan saat acara-acara adat atau peristiwa penting. 

Gerakan Tari Saman


Tari Saman dibawakan oleh sejumlah penari pria berpakaian khas suku Gayo dengan bilangan ganjil minimal tujuh orang. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin atau kerap disebut syekh yang akan mengarahkan gerakan-gerakan tari. Pemimpin atau syekh ini berperan penting dalam menjaga harmonisasi gerakan diantara para penarinya. Selain menjadi koreografer, syeikh ini juga bertugas menyanyikan syair lagu Saman yang biasanya dilantunkan menggunakan bahasa Gayo. 

Tari Saman memiliki dua unsur utama dalam gerakannya yaitu tepuk dada dan tepuk tangan. Dalam bahasa Gayo, gerakan-gerakan ini disebut dengan nama gerak guncang, kirep, lingang dan surang-saring. Konsentrasi dan kekompakan menjadi kunci utama dalam tarian ini. Keseragaman formasi dan ketepatan waktu merupakan suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, sehingga para penari harus memiliki konsentrasi yang tinggi. Tidak heran para penari harus sering-sering berlatih agar bisa menampilkan tarian ini dengan baik. 

Berbeda dengan kesenian tari lainnya, tari saman biasanya tidak memerlukan iringan berupa alat musik. Tarian ini hanya menyajikan keindahan gerakan tangan serta meriahnya tepuk tangan para penari sembari memukul dada dan pangkal paha dengan gerakan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tari saman menggunakan pola lantai vertikal, horizontal, diagonal dan garis melengkung. Jika dicermati, gerakan dalam tari saman mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan.

Antara Tari Saman dan Tari Ratoh Jaroe


Sering kali banyak orang salah kaprah tentang tari saman dengan tari asal Aceh lainnya yaitu Ratoh Jaroe. Meski sepintas hampir sama, antara tari saman dan tari ratoh jaroe adalah dua tarian berbeda. Dan meski sama-sama dibawakan dalam posisi duduk, ada perbedaan mendasar dari kedua tarian ini. Salah satunya yaitu bisa dilihat dari penarinya. Tari saman dibawakan oleh pria dengan jumlah ganjil minimal tujuh orang, sedangkan tari ratoh Jaroe dibawakan oleh penari wanita dengan jumlah genap. Jadi, tarian yang selama ini biasa disebut sebagai tari saman namun dibawakan oleh para penari wanita, besar kemungkinan adalah tari Ratoh Jaroe, bukan tari saman. 

tari ratoh jaroe
Tari Ratoh Jaroe via kumparan.com

Selain itu, perbedaan lainnya di antara kedua tarian ini yaitu tari saman dipandu oleh seorang penangkat yang duduk paling tengah di dalam formasi penari. Sedangkan Tari Ratoh Jaroe dikendalikan oleh seorang pelantun syair yang duduk di luar formasi penari. Ratoh Jaroe juga diiringi dengan gendang rapai, sementara tarian saman hanya diiringi dengan nyanyian yang berasal dari mulut penari alias tidak diiringi dengan musik apapun. Dan meski sama-sama berasal dari provinsi Aceh, tari Saman menggunakan syair dalam bahasa Gayo, sedangkan tari Ratoh Jaroe menggunakan syair dalam bahasa Aceh. (Diolah dari berbagai sumber)

Selengkapnya
Karya-Karya Sastra Pada Masa Mataram Islam

Karya-Karya Sastra Pada Masa Mataram Islam

Selain usaha untuk memperjuangkan kejayaan kerajaan, raja-raja Mataram Islam juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa ini, berkembang kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam. Salah satu yang cukup populer bahkan masih dilestarikan hingga saat ini yaitu upacara Grebeg. Selain itu, bidang lain termasuk seni dan kesusastraan juga turut dikembangkan pada masa kejayaan Mataram Islam ini. 

buku sastra lama
ilustrasi

Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Selanjutnya, raja kedua Mas Jolang yang bergelar Panembahan Seda ing Krapyak juga berjasa dengan usahanya menyusun sejarah negeri Demak. Pada masa pemerintahan Mas Jolang juga ditulis beberapa kitab suluk seperti Suluk Wujil (1607) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada abdi raja Majapahit bernama Wujil dan Serat Nitisruti (1612) yang digubah oleh Pangeran Karanggayam.

Pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Agung, bidang kebudayaan juga meraih kejayaannya. Ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri ikut andil dengan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab Filsafat kehidupan dan kenegaraan. Ia juga menulis kitab Surya Alam berisi undang-undang pada masa Kerajaan Mataram yang merupakan hasil dari perpaduan budaya Islam dengan adat Jawa. 

Sedangkan kitab serat Nitipraja yang digubah Sultan Agung pada tahun 1641 berisi tentang ajaran moral agar tatanan masyarakat dan negara dapat berjalan harmonis. Kitab-kitab lain yang ditulis pada masa ini yaitu serat Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata. Kitab-kitab tersebut berisi tentang cara membangun negara yang baik, ajaran tentang kepemimpinan, dan ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang baik.

Dalam bidang tulisan, Sultan Agung tetap mempertahankan tulisan jawa dan tidak digantikan dengan tulisan Arab, sehingga dalam penulisan babad misalnya dilakukan dengan tulisan jawa. Meski begitu, sering juga ditemukan istilah-istilah Islam dengan gaya Jawa seperti kata sarak (syara'), syarengat (syariah), pekih (fiqih), kadis (hadits), Ngusman (Utsman), Kasan (Hasan), Kusen (Husein), dan lain sebagainya. Selain itu, Sultan Agung juga menaruh minat terhadap pengembangan bahasa Jawa di antaranya yaitu memerintahkan untuk menyusun tataran (unggah-ungguhing) bahasa ngoko-krama. Unggah-ungguhing basa ini dikembangkan oleh pujangga keraton. 

Pada masa Paku Buwono II, terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan besar Jawa pada saat itu. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. Selain itu, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu seperti Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan kitab Dewa Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia juga menerjemahkan Taj as-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajussalatin dan Anbiya. Yasadipura I juga menulis kitab sejarah seperti Serat Cebolek dan Babad Giyanti. 

Setelah Yasadipura I wafat, putranya yaitu Yasadipura II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pujangga utama Kasunanan Surakarta. Yasadipura II juga sangat berjasa dalam kepustakaan Jawa. Beberapa Karya gubahan Yasadipura II di antaranya yaitu Serat Wicara Keras, Kitab Darmasonya Sekar Macapat dan Jarwa, kitab Arjunasastra, Panitisastra, Serat Wicara Keras, Serat Centini, Serat Dewaruci Jarwa dan Sekar Macapat, Serat Sasana Sunu, dan lain-lain.

Setelah kerajaan Mataram pecah (baca: Sejarah Pecahnya Kerajaan Mataram Islam), Paku Buwono III yang menjadi Raja di Kasunanan Surakarta juga sangat aktif mengembangkan sastra dan budaya. Suasana pemerintahan yang kembali kondusif akibat terjadinya proses Palihan Negari (pembagian negara) membuat laju perkembangan sastra Jawa juga semakin pesat. Selain mengatur negara, Paku Buwono III juga dikenal produktif dalam menulis. Di antara karya-karyanya yaitu Serat Wiwaha Jarwa, Suluk Bayan Maot, Suluk Sasmitaning Cipta, dan Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat.

Selanjutnya, Pakubuwono IV yang berkuasa pada tahun 1788 - 1820 pun demikian adanya. Mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan dari sang ayah, ia juga sangat produktif dan kreatif dalam dunia pena. Di antara karya-karya sastranya yaitu Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sarana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni.

Pujangga besar lainnya datang dari Kadipaten Mangkunegaran yaitu Adipati Mangkunegara IV yang hidup pada tahun 1811 - 1881 M. Tokoh ini juga memiliki banyak karya dalam bidang sastra di antaranya seperti Serat Wedhatama, Serat Warayagnya, Serat Wirawiyata, Serat Sriyatna, Serat Nayakawara, Serat Paliatma, Serat Paliwara, Serat Palimarma, Serat Salokatama, Serat Darmalaksita, Serat Tripama, dan Serat Yogatama.

Pujangga terakhir yaitu Ronggowarsito, sastrawan istana Surakarta yang sangat masyhur, bahkan mendapat gelar kehormatan sebagai pujangga penutup. Cucu dari Yasadipura II ini juga memiliki darah kapujanggan tulen yang sangat mahir dalam dunia sastra. Ada sekitar 50 lebih judul karyanya, di antaranya yaitu Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Supanalaya, Serat Pamoring Kawula Gusti, Wheda Raga, Wheda Jatmoko, Serat Jaka Lodhang, Suluk Suksma Lelana, dan lain-lain. (Baca: Biografi Ronggowarsito, Pujangga Besar Tanah Jawa).
 
Selengkapnya