Santos Blog

Santos Blog
Kisah Sahabat Ukasyah RA 'Menagih Hutang' Kepada Nabi SAW

Kisah Sahabat Ukasyah RA 'Menagih Hutang' Kepada Nabi SAW

Rasulullah SAW adalah sosok panutan yang begitu dicintai oleh para sahabatnya sehingga betapa sedihnya mereka ketika mengetahui bahwa ajal beliau sudah kian dekat. Sebelum wafat, Rasulullah SAW memang telah jatuh sakit agak lama sehingga keadaan beliau menjadi sangat lemah. Hingga pada suatu ketika, Rasulullah SAW meminta tolong kepada Bilal untuk memanggil semua Sahabat agar datang berkumpul di Masjid.

Kisah Sahabat Ukasyah RA 'Menagih Hutang' Kepada Nabi SAW
via pixabay


Tidak lama kemudian, masjid pun telah dipenuhi oleh para Sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama mereka tidak mendapatkan tausiyah dari beliau. Rasulullah SAW kemudian duduk di atas mimbar. Dengan tubuh lemah dan wajah terlihat pucat, tampak beliau menahan sakit yang tengah dideritanya. Beliau kemudian bertanya kepada para sahabatnya: 

"Wahai sahabat-sahabatku semua.. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan kepada kalian semua bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah?"

Para Sahabat pun menjawab: "Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami semua bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang layak untuk disembah."

Rasulullah SAW kemudian melanjutkan: "Persaksikanlah ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka."

Rasulullah SAW pun bersabda lagi dan setiap apa yang Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat. Hingga akhirnya sampailah pada satu pertanyaan yang menjadikan para Sahabat sedih dan terharu. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah SWT, dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian?. Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut karena aku tidak mau bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan berhutang dengan manusia."

Ketika itu semua Sahabat terdiam. Dalam hati mereka masing-masing berkata, "Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang kepada Rasulullah".

Rasulullah SAW kemudian mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali.

Tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki yang bernama Ukasyah. Ia adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai mantan preman sebelum masuk Islam. Ukasyah berkata:

"Ya Rasulullah... Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa".

Rasulullah SAW lalu berkata: "Sampaikanlah wahai Ukasyah".

Maka Ukasyah pun mulai bercerita: "Aku masih ingat ketika perang Uhud dahulu, suatu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda. Namun cemeti tersebut tidak kena pada belakang kuda melainkan justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah".

Mendengar itu, Rasulullah SAW kemudian berkata: "Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."

Dengan suara yang agak tinggi, Ukasyah berkata: "Kalau begitu, aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah".

Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian. Sementara ketika itu sebagian sahabat berteriak marah kepada Ukasyah, "Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah. Bukankah Baginda sedang sakit?" 

Ukasyah pun tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW kemudian meminta tolong Bilal untuk mengambil cambuk di rumah Fathimah, putrinya. 

Saat Bilal meminta cambuk itu dari Fathimah, Fathimah bertanya: "Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?"

Bilal pun menjawab dengan nada sedih: "Cambuk ini akan digunakan Ukasyah untuk memukul Rasulullah."

Terperanjat dan menangislah Fathimah, seraya berkata: "Kenapa Ukasyah hendak memukul Ayahku Rasulullah?. Ayahku sedang sakit, kalau ia mau memukul, pukullah saja aku anaknya".

Bilal menjawab: "Sesungguhnya ini adalah urusan di antara mereka berdua".

Bilal kemudian membawa cambuk tersebut ke Masjid dan lantas diberikannya kepada Ukasyah.

Setelah mengambil cambuk itu, Ukasyah berjalan menuju ke hadapan Rasulullah. Tiba-tiba Abu Bakar RA berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah... kalau kamu hendak memukul, pukul saja aku. Aku adalah orang yang pertama beriman dengan apa yang Rasulullah SAW sampaikan. Akulah sahabatnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku".

Rasulullah SAW bersabda: "Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah melanjutkan langkahnya menuju ke hadapan Rasulullah SAW. Tiba-tiba Umar bin Khattab RA berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah.. kalau engkau hendak memukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya. Namun itu dulu. Sekarang, tidak boleh ada seorang pun yang boleh menyakiti Rasulullah Muhammad SAW. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku.."

Kemudian dijawab oleh Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Umar. Ini adalah urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah lanjut berjalan menuju ke hadapan Rasulullah, dan tiba-tiba berdirilah Ali bin Abi Thalib RA, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW. Ali menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah, pukullah aku saja. Darah yang sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah".

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah semakin dekat dengan Rasulullah SAW. Tiba-tiba tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW yaitu Hasan dan Husein. Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon:

"Wahai Paman, pukullah kami Paman, Kakek kami sedang sakit, Pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah SAW. Dengan memukul kami, sesungguhnya itu sama dengan memukul kakek kami wahai Paman."

Lalu Rasulullah SAW berkata: "Wahai cucu-cucu kesayanganku, duduklah kalian. Ini adalah urusan kakek dengan paman Ukasyah".

Maka sampailah Ukasyah di hadapan Rasulullah SAW. Begitu sampai di tangga mimbar, dengan lantang Ukasyah berkata:

"Bagaimana aku hendak memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini". 

Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat untuk memapahnya ke bawah. Rasulullah SAW kemudian didudukkan pada sebuah kursi.

Dengan suara tegas, Ukasyah pun berkata lagi: "Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju Ya Rasulullah."

Mendengar perkataan Ukasyah, Para sahabat pun menjadi sangat geram. Namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah SAW pun membuka bajunya. Terlihatlah tubuh Rasulullah yang sangat indah, dengan beberapa batu terikat di perut Rasulullah, pertanda Rasulullah sedang menahan lapar. Rasulullah SAW lalu berkata:

"Wahai Ukasyah, Segeralah dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Nanti Allah SWT akan murka kepadamu."

Tiba-tiba Ukasyah langsung menghambur menuju Rasulullah SAW. Cambuk di tangannya ia buang jauh-jauh. Kemudian ia peluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya sambil menangis sejadi-jadinya. 

Ukasyah kemudian berkata: 

"Ya Rasulullah, Ampuni aku, Maafkan aku. Mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu, karena Engkau pernah mengatakan bahwa "Barang siapa yang kulitnya pernah bersentuhan denganku, maka diharamkan api neraka atasnya."

"Seumur hidupku aku bercita-cita agar dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah..."

Rasulullah SAW pun tersenyum dan berkata:

"Wahai sahabat-sahabatku semua, kalau kalian ingin melihat Ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah!" 

Melihat hal itu, para sahabat pun menitikkan air mata. Kemudian para sahabat bergantian memeluk Rasulullah SAW. Itulah bukti kecintaan para sahabat kepada Kekasih Allah SWT. Allaahumma Shalli 'Alaa Sayyidinaa Muhammad.

Selengkapnya
Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan

Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan

Allah memang Maha Adil, namun apakah Allah selalu berlaku adil kepada hamba-hambaNya?. Ketahuilah bahwa Allah tidak mengatur hamba-hambaNya hanya dengan keadilan saja, namun Ia juga melimpahkan rahmat dan kemurahanNya kepada hamba-hambaNya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah SWT pernah berdialog dengan Nabi Musa: "Allah berfirman: "Siksaku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmatKu meliputi segala sesuatu" (QS. Al A'raf, 156).

memandang alam
via pixabay

Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, demikian pula rahmatNya juga meliputi segala sesuatu. Hukuman yang Allah berikan kepada hambaNya dikaitkan dengan kehendakNya, sedangkan rahmatNya bersifat umum dan dijadikannya meliputi segala sesuatu. Apa buktinya?. 

Seandainya Allah mengatur kita di dunia ini hanya dengan keadilanNya saja, maka pastilah semua yang ada di muka bumi ini akan hancur. Sebagaimana firmanNya:

"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun" (QS. Fathir, 45).

Kita melihat bencana dan musibah terjadi di mana-mana. Banjir dan tanah longsor setiap tahun sering terjadi. Tsunami dan gunung meletus siap mengancam kapan saja. Bahkan belum lama ini virus Corona datang dan mewabah hingga merambah ke seluruh penjuru dunia dengan jumlah korban tiada terkira. Semua ini terjadi tidak lepas dari apa yang sudah manusia lakukan di atas bumi ini. Dan semua bencana atau musibah ini juga memang kuasa Allah untuk menimpakannya kepada umat manusia tanpa terkecuali. 

Namun jika kita renungi kembali, bencana atau musibah yang telah Allah timpakan ini, semua ini belumlah sebanding jika Allah ingin mengadili manusia atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia ini. Allah memberi hukuman kepada manusia atas apa yang telah mereka perbuat, namun tidak semuanya. Dan Allah melakukan hal itu pun bukan sebagai balas dendam, melainkan agar mereka sadar dan lekas kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman:

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS. Asy-Syura, 30).

FirmanNya yang lain juga menyebutkan:

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum, 41).

Dari sini dapat dipahami bahwa jika tidak karena pengampunanNya terhadap sebagian besar kezaliman kita kepada diri kita, maka pastilah kita sudah hancur sebab keadilanNya. Namun nyatanya Ia lebih mengedepankan rahmat dan kemurahanNya ketimbang memberlakukan keadilanNya atas kita semua. Begitu pula yang terjadi terkait balasan amal yang akan kita terima kelak saat berada di alam akhirat. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)". (QS. Al-An'am, 160).

Dari ayat di atas, kita mengerti bahwa Dia menanggapi kejahatan dengan keadilan dan kebaikan dengan kemurahanNya. Bahkan kita mendapatkan bahwa sebagian kebaikan dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, seperti menafkahkan harta di jalan Allah. Firman Allah: 

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah, 261).

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa Allah berfirman: "Kebaikan di sisiKu seharga sepuluh kali kelipatannya sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, sedangkan kejahatan di sisiKu seharga satu saja atau Aku akan mengampuni"

Itulah kenapa Allah juga mengajak kepada hambaNya agar kita tidak mencukupkan hanya dengan hukum keadilan saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Walaupun kita punya hak untuk mendapatkan itu (hukum keadilan), namun pada kondisi-kondisi tertentu kita juga dianjurkan untuk mengambil jalan melalui hukum kerahmatan agar kita dapat naik ke derajat keutamaan, sebagaimana firmanNya: 

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". (QS. Asy-Syura, 40). 

Atau firmanNya yang lain:

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar". (QS. An-Nahl, 126).

Menghukum suatu kejahatan dengan semisal itu memang sesuai dengan hukum keadilan. Namun jika kita bisa memaafkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, terlebih orang tersebut juga telah meminta maaf dengan setulusnya kepada kita, maka hal itu selaras dengan hukum keutamaan sebagaimana dianjurkan bagi orang-orang beriman untuk melakukannya. 

"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia". (QS. Fussilat, 34). 

Selengkapnya
Kisah Ummu Haram dan Kebenaran Mimpi Rasulullah SAW

Kisah Ummu Haram dan Kebenaran Mimpi Rasulullah SAW

Selain figur panutan bagi umatnya, Rasulullah SAW juga dikenal sebagai sosok yang perhatian dengan para sahabatnya. Hal itu pula yang membuat beliau dekat dengan siapa saja, termasuk beberapa sahabat dari kalangan wanita. Pada waktu senggangnya, Rasulullah sering mengunjungi rumah mereka untuk sekedar menanyakan kabar atau keperluan lainnya. Salah satu di antaranya yaitu Ummu Haram. 

Kisah Ummu Haram dan Mimpi Rasulullah SAW
ilustrasi via islampos.com

Ummu Haram binti Milhan adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan wanita Anshar. Suaminya adalah Ubadah bin Shamit RA, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka dari kalangan Bani Khazraj. Ummu Haram juga merupakan saudara kandung Ummu Sulaim dan rumah mereka sering dikunjungi oleh Nabi. Karena kedekatannya dengan Nabi, Ummu Haram pun dikenal juga sebagai perawi hadits. Ia sering meriwayatkan hadits dari keponakannya, yakni Anas bin Malik.
Pada suatu hari, Rasulullah SAW pergi mengunjungi rumah keluarga Ummu Haram Binti Milhan. Demi menyambut Rasul, Ummu Haram pun menyiapkan suguhan makanan untuk beliau. Tidak lama kemudian, ia mulai mencari kutu (metani) di rambut beliau. Lalu Rasulullah SAW tertidur sebentar, dan setelah terjaga beliau pun tersenyum. Ummu Haram bertanya, "Ya Rasulullah!, Apa yang membuat Anda tersenyum?". 

Rasulullah SAW menjawab, "Sebagian dari pengikutku diperlihatkan kepadaku di dalam mimpiku sebagai pejuang di jalan Allah (fi sabilillah), berlayar menyeberangi lautan seperti para raja di atas singgasananya atau para raja duduk di atas singgasananya (periwayat lupa mana yang lebih tepat)".

"Ummu Haram berkata, “Ya Rasulullah!, Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk salah seorang dari mereka". 

Rasulullah SAW lalu berdoa kepada Allah untuknya dan kemudian beliau tertidur lagi. Setelah terbangun Rasulullah tersenyum lagi. Ummu Haram kembali bertanya, "Ya Rasulullah!, Apa yang membuat Anda tersenyum?". 

Beliau menjawab, "Sebagian dari umatku diperlihatkan kepadaku sebagai para pejuang di jalan Allah". 

Ummu Haram kembali memohon kepada Rasul, "Ya Rasulullah!, Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk salah seorang di antara mereka". 

Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Engkau termasuk di antara kelompok pertama." 

Benar saja, sabda Rasul terkait Ummu Haram ini pun menjadi kenyataan ketika kekhalifahan Islam hendak memperluas pengaruhnya ke wilayah Siprus. Saat itu, Ummu Haram dan suaminya ikut berlayar melintasi lautan bersama pasukan kaum Muslimin. Namun malang, Ummu Haram terjatuh dari kudanya begitu ia tiba di pulau itu dan meninggal dunia. Ia pun kemudian dimakamkan di tempat ia jatuh dan meninggal. Makamnya kini berada di Larnaca, Siprus. 

Untuk menghormati makam Ummu Haram, kekhalifahan Turki Utsmani kemudian membangun sebuah masjid di sebelahnya. Kompleks bangunan ini dikenal dengan nama Hala Sultan Tekke, merupakan tempat ibadah paling populer bagi umat Muslim di Siprus setelah Makkah, Madinah di Saudi Arabia dan Al Aqsa di Yerusalem. (Kisah di atas terdapat dalam Shahih Bukhari riwayat dari Anas bin Malik). 

Hala Sultan Tekke
Hala Sultan Tekke via wikimedia.org


Selengkapnya
Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Terkait Pergaulan Dalam Menjalani Hidup

Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Sebagai individu, setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda antara satu dengan lainnya, mulai dari penampilan fisik, kemampuan, kebutuhan, sikap dan perasaan. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya. Bahkan sejak lahir, seseorang sudah membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

pergaulan muslim
ilustrasi via al-ibar.net

Sebagai Muslim, kita juga memahami bahwa manusia pada kodratnya adalah makhluk sosial. Seseorang tidak akan memperoleh keutamaan dan menjadi baik dalam hidupnya jika dia tidak mempunyai teman dan terasing dari masyarakatnya. Artinya, ia harus bisa bergaul dan menunjukkan sikap sosial yang positif di dalam hidup bermasyarakat. Bentuk sikap sosial yang positif antara lain yaitu tenggang rasa, solidaritas, dan bekerja bersama dengan damai dalam masyarakat.  

Salah satu perilaku positif yang dapat kita biasakan adalah dengan selalu berbaik sangka (husnuddzan) dalam bergaul. Selain berprasangka baik kepada Allah, kita juga hendaknya selalu berpikir positif kepada sesama. Dengan sikap dan cara pandang seperti ini, maka seseorang dapat melihat sesuatu secara positif sehingga hati dan pikirannya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenarannya. Terkait hal ini, Sulthanul Auliya' Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan:

"Apabila engkau menjumpai seseorang yang kaulihat lebih utama atasmu, maka ucapkanlah: Bisa jadi dia menurut Allah lebih bagus daripada aku dan juga lebih tinggi derajatnya"

"Jika orang itu lebih kecil, maka ucapkanlah: Anak ini belum durhaka kepada Allah tetapi aku sudah, maka tidak ragu lagi ia lebih bagus daripada aku".

"Jika orang itu lebih tua, maka katakanlah: Orang ini telah mengabdi kepada Allah sejak sebelum aku".

"Jika orang itu alim maka ucapkanlah: Orang ini dianugerahi ilmu yang belum kuketahui dan mencapai sesuatu yang belum kucapai juga mengetahui sesuatu yang belum kuketahui, dan ia pun berbuat atas dasar ilmunya itu".

"Jika orang itu bodoh maka ucapkanlah: Orang ini durhaka kepada Allah karena ia belum tahu, tetapi aku durhaka kepadaNya justru karena sudah tahu, dan aku pun tidak tahu bagaimana nanti akhir hayatku dan akhir hayatnya"

"Jika orang itu kafir, maka katakanlah: Aku tidak tahu pasti, bisa jadi ia masuk Islam dan mati khusnul khatimah, bisa jadi pula aku kafir dan mati su-ul khatimah"

Selalu berprasangka baik memang banyak mengandung hikmah dan manfaat. Meskipun begitu, kita juga harus pandai dalam memilih pergaulan yang baik dan sesuai dengan ajaran kebenaran dalam Islam. Jangan sampai kita terbawa arus pergaulan buruk yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan. Dalam kesempatan lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah mengatakan bahwa manusia itu ada 4 macam, yaitu: 

1. Orang yang tidak mempunyai lidah dan juga hati nurani. Dia adalah orang yang liar dan senantiasa berbuat durhaka kepada Tuhannya. Terhadap orang seperti itu, hendaknya kita waspada dan jangan bergaul dengannya. Sebab, ia terancam dengan siksa. 

2. Orang yang mempunyai lidah tetapi tidak punya nurani. Ia berbicara penuh hikmah tapi tidak melaksanakannya. Ia juga menyeru umat manusia ke jalan Allah, tetapi ia sendiri malah lari menjauh darinya. Orang ini hendaknya juga dijauhi, agar kita tidak terlahap oleh bicaranya yang manis, tidak terbakar oleh api maksiatnya, dan agar tidak terkena racun hatinya yang busuk. 

3. Orang yang mempunyai nurani tetapi tidak punya lidah. Dialah orang mukmin yang disembunyikan oleh Allah dari para hamba. Ia dikaruniai bisa melihat aib-aib dirinya sendiri, hatinya disinari nur Ilahi dan dapat mengetahui efek negatif dari pergaulan dengan umat manusia dari lontaran kata-kata. Dialah wali Allah yang senantiasa terlindungi dalam Tabir Allah Ta'ala. Padanyalah terdapat segala kebaikan. Dekatilah ia, bergaullah dengannya dan mengabdilah bersamanya, agar engkau dikasihi oleh Allah Ta'ala.

4. Orang yang senantiasa belajar, mengajar, dan mengamalkan ilmunya. Dialah ulama yang ahli tentang Allah dan ayat-ayat Allah. Dadanya dilapangkan dan di sini Allah menebarkan ilmu-ilmu-Nya yang tinggi. Hendaklah kita waspada, jangan sampai berselisih pendapat dengannya, jangan pula menjauh darinya, dan jangan lepas berpegangan dengan nasihatnya.

Sumber rujukan: Nashaih al 'Ibaad karya Syaikh Nawawi Al Bantani

Selengkapnya
7 Jenis Jamur Lezat dan Bergizi Untuk Dikonsumsi

7 Jenis Jamur Lezat dan Bergizi Untuk Dikonsumsi

Meskipun kadang dikonotasikan negatif sebagai organisme bersifat parasit dan berbahaya jika dikonsumsi, sebagian jamur ternyata memiliki potensi sebagai sumber makanan yang lezat dan bergizi. Di dunia yang luas ini, ada beragam jenis jamur yang bisa diolah menjadi bermacam-macam menu makanan lezat. Selain lezat, jamur-jamur tersebut juga diketahui memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga kaya akan manfaat kesehatan. Tidak hanya itu saja, jamur juga cocok untuk dikonsumsi oleh para vegetarian sebagai lauk pengganti daging. 

Nah, jenis-jenis jamur apa sajakah yang lezat dan aman dikonsumsi tersebut?. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut 7 di antaranya.


1. Jamur Tiram


jamur tiram
via shutterstock

Seperti terlihat dari namanya, jamur ini memiliki bentuk menyerupai kerang laut (tiram) sehingga dinamakan jamur tiram. Jamur ini cocok diolah menjadi beragam lauk makanan dan camilan seperti jamur goreng crispy. Jamur yang biasanya berwarna putih hingga krem ini dapat ditemukan di daerah hutan dan wilayah pegunungan berhawa sejuk. Jamur ini diketahui memiliki kandungan protein tinggi, fosfor, zat besi, kalsium, karbohidrat, kaya vitamin dan mineral, serta rendah kalori. Jamur ini sangat baik untuk pencernaan dan cocok bagi anda yang sedang melaksanakan diet.

2. Jamur Merang


jamur merang
via pexels

Jamur merang cukup mudah ditemukan di pasaran karena banyak dibudidayakan di daerah beriklim tropis. Pada makanan, jamur bertekstur lembut ini biasa ditemui sebagai bahan tambahan dalam pembuatan cream soup. Selain itu, jamur ini juga sering digunakan dalam pembuatan capcai, tumis jamur, sup, dan pepes jamur. Jamur merang memiliki kandungan protein tinggi, zat besi, tembaga, folat, fosfor, vitamin B5, protein, dan serat. Manfaat jamur merang bagi kesehatan yaitu dapat mencegah kanker, menguatkan sistem imun, dan cocok untuk para pelaku diet.

3. Jamur Shiitake


shiitake
via wikipedia.org

Jamur ini berasal dari Jepang dan masyarakat di sana biasa mengolahnya sebagai tambahan pada sup miso, digoreng sebagai tempura atau keripik, serta dicampurkan ke chawanmushi dan udon. Bentuk jamur ini memiliki bentuk kepala menyerupai jengkol sehingga kadang disebut juga dengan jamur jengkol. Jamur shiitake mengandung asam amino, karbohidrat, vitamin B, serat, zat besi, hingga selenium. Adapun manfaatnya bagi kesehatan yaitu dapat melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kekuatan tubuh, memelihara kesehatan jantung hingga mengontrol kolesterol.

4. Jamur Kancing


jamur kancing
via istockphoto

Dinamakan jamur kancing karena jamur ini bentuknya menyerupai kancing pada pakaian. Jenis jamur ini cukup mudah ditemukan di pasaran karena biasa dijual dalam bentuk segar atau kalengan. Jamur ini sering diolah menjadi capcay atau tumisan seperti halnya pada Chinese food. Sedangkan pada masakan Barat, jamur kancing biasa digunakan pada menu omelet, pizza, kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing diketahui mengandung asam folat tinggi sehingga dipercaya dapat menurunkan kolesterol, menambah jumlah sel darah, serta menangkal radikal bebas. 

5. Jamur Kuping


jamur kuping
via kompas.com

Jamur ini memiliki cita rasa lembut sehingga cocok disajikan pada olahan sayur sop dengan kuah penuh rempah. Jamur yang sepintas mirip bentuk kuping (telinga) ini memiliki tiga varian yaitu jamur kuping putih, jamur kuping hitam, dan jamur kuping merah. Jamur kuping memiliki kandungan nutrisi seperti protein, lemak, karbohidrat, serat, vitamin, fosfor, magnesium, zat besi, mineral, dan energi sebesar 351 kal. Di antara manfaat mengkonsumsi jamur kuping yaitu untuk mengatasi sakit panas dalam, menurunkan tekanan darah tinggi, dan mengurangi rasa sakit pada kulit akibat luka bakar.

6. Jamur Enoki


enoki
via istockphoto

Berbeda dengan sebelumnya, jamur enoki memiliki bentuk sangat berbeda sehingga sangat mudah dibedakan dengan jamur jenis lainnya. Jamur yang hanya dapat tumbuh di tempat beriklim dingin ini sering digunakan dalam berbagai sup pada masakan Jepang, Korea, Cina, dan Vietnam. Jamur premium ini juga biasa dikonsumsi dengan panasnya kuah gurih dengan taburan bawang putih. Kandungan jamur ini antara lain serat, protein, vitamin B, kalori, dan mineral. Khasiat jamur ini antara lain yaitu dapat melancarkan buang air besar dan membersihkan pencernaan. 

7. Jamur Portobello


portobello
via food.detik.com

Jamur portobello memiliki bentuk menyerupai payung dengan tekstur padat dan berair. Ciri lainnya yaitu memiliki ukuran cukup besar dengan warna kecoklatan. Teksturnya yang padat dan berair membuat jamur ini kerap dikonsumsi saat pesta barbeque atau dijadikan sebagai salah satu topping dalam pizza. Jamur ini juga cocok dipanggang, ditumis atau dicincang menjadi campuran hamburger. Jamur ini diketahui kaya akan vitamin B dan berkhasiat untuk membantu menurunkan berat badan, menurunkan risiko kanker, dan meregenerasi sel-sel rusak dalam tubuh.

Itulah tadi ulasan singkat mengenai beberapa jenis jamur yang aman dikonsumsi dan dapat diolah menjadi beragam hidangan lezat dan nikmat. Semoga bermanfaat. 

Selengkapnya
24 Agustus, Peringatan Hari Televisi Nasional dalam Sejarah

24 Agustus, Peringatan Hari Televisi Nasional dalam Sejarah

Apakah anda tahu tanggal 24 Agustus itu hari apa?. Ya, tepat sepekan setelah perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Indonesia, terutama insan pertelevisian biasa memperingati tanggal 24 Agustus sebagai Hari Televisi Nasional. Hal ini sebenarnya mengacu pada peristiwa 24 Agustus 1962, dimana untuk pertama kalinya TVRI sebagai stasiun televisi pertama di Indonesia mengudara saat menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games IV di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta.

hari televisi nasional
ilustrasi

Yang menarik bukan hanya itu saja, dua stasiun televisi swasta di Indonesia yakni RCTI (Rajawali Citra Televisi) dan SCTV (Surya Citra Televisi) juga memperingati tanggal 24 Agustus sebagai hari ulang tahunnya. RCTI diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1989 sedangkan SCTV lahir pada 24 Agustus 1990. Keberadaan dua stasiun televisi swasta ini juga menandai awal mula keragaman pertelevisian di Indonesia pada saat itu. 

Lahirnya TVRI


TVRI

Sebagaimana dikutip dari wikipedia, Televisi Republik Indonesia (disingkat TVRI) adalah jaringan televisi publik berskala nasional di Indonesia. Menurut catatan sejarah, ide dan gagasan lahirnya TVRI bermula pada tahun 1961, saat Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV. 

Pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Selanjutnya, pada 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang saat itu sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menteri Penerangan, Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi dengan jadwal sebagai berikut:
  1. Membangun studio di eks AKPEN di Senayan (lokasi TVRI sekarang).
  2. Membangun dua pemancar: 100 W dan 10 kW dengan tower setinggi 80 m.
  3. Mempersiapkan perangkat lunak (program dan tenaga).
Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT RI ke-17 dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan format hitam-putih dan didukung pemancar cadangan berkekuatan 100 W. Tepat pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI akhirnya mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Dengan hadirnya TVRI, saat itu Indonesia menjadi salah satu dari empat negara di Asia yang memiliki stasiun televisi setelah Jepang, Filipina, dan Thailand.

Pada tahun 1964, TVRI mulai merintis pembangunan Stasiun Penyiaran Daerah dimulai dengan TVRI Stasiun Yogyakarta yang secara berturut-turut diikuti dengan Stasiun Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Denpasar, dan Samarinda. TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia hingga tahun 1989. Setelahnya, kemudian berdirilah stasiun televisi swasta pertama Indonesia yaitu RCTI (tahun 1989) di Jakarta dan diikuti SCTV pada tahun 1990 di Surabaya.

Hingga saat ini, TVRI bersama Radio Republik Indonesia (RRI) statusnya adalah Lembaga Penyiaran Publik sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Lahirnya RCTI


RCTI

Rajawali Citra Televisi (disingkat RCTI) adalah stasiun televisi swasta pertama di Indonesia yang mengudara pada 13 November 1988. RCTI memulai siarannya secara komersial sekaligus diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 24 Agustus 1989 di Studio RCTI Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pada mulanya, RCTI didirikan sebagai perusahaan patungan dengan kepemilikan saat itu adalah Bimantara Citra (69,82%) dan Rajawali Wirabhakti Utama (30,18%). 

Pada saat itu, siaran RCTI hanya dapat ditangkap oleh pelanggan yang memiliki dekoder dan membayar iuran setiap bulannya. Pada akhir 1989, RCTI melepas dekodernya, dan kemudian Pemerintah mengizinkan RCTI melakukan siaran bebas secara nasional sejak tahun 1990, meski baru terwujud pada akhir 1991 setelah berdirinya RCTI Bandung pada 1 Mei 1991. Kini sejak Oktober 2003, RCTI dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan media yang juga memiliki GTV dan MNCTV.

Lahirnya SCTV


SCTV

Setelah hadirnya RCTI, dunia pertelevisian Indonesia masih berlanjut dengan lahirnya SCTV (Surya Citra Televisi) sebagai televisi swasta kedua di Indonesia yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1990 di Surabaya, Jawa Timur. Pada mulanya, SCTV lahir sebagai stasiun televisi lokal di Surabaya yang berpusat di Jl. Darmo Permai, Surabaya, Jawa Timur. Meski 24 Agustus ditetapkan sebagai tanggal kelahirannya, SCTV baru mendapatkan izin sebagai stasiun televisi nasional di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1993. 

Secara bertahap, kantor operasional SCTV pun kemudian dipindahkan dari Surabaya ke Jakarta. Meski berkali-kali berpindah kantor, pada tahun 2001, SCTV kemudian memusatkan kegiatan operasionalnya di Gedung Graha SCTV (sekarang Gedung Graha Mitra milik Indika Group), di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Selanjutnya pada tahun 2007, kegiatan operasional SCTV berpusat di Senayan City, dengan stasiun pemancar dan studio Penta tetap dipusatkan di Kebon Jeruk.

Pada mulanya, mayoritas saham SCTV dimiliki oleh Bimantara Citra melalui anak usahanya, Sindo Citra Media (kini menjadi Surya Citra Media, dengan melakukan merger bersama PT Cipta Aneka Selaras). Namun sejak tahun 1999, mayoritas saham SCTV kemudian diakuisisi oleh Surya Citra Media. Dan selanjutnya pada awal Mei 2013, SCTV dan Indosiar kemudian resmi bergabung di bawah naungan Surya Citra Media. 

Nah, Sudah tahu kan sekarang tanggal 24 Agustus itu hari apa. Semoga informasi di atas dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah pertelevisian di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Selengkapnya
Memahami Esensi Idul Adha dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail

Memahami Esensi Idul Adha dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail

Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin. 

Kurban sapi
ilustrasi via pixabay

Dalam surah Ash Shaffat ayat 100-111, Allah SWT menggambarkan kejujuran Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal: 

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya. 

Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemu putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman: 

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" 

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab: 

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." 

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah. 

Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” 

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak melainkan kedua belah pihak baik dari Nabi Ibrahim maupun Ismail. 

Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 setelah itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman." 

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul Istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. 

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari. 

Yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaaffah?. Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam?.

Oleh karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, maka yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.

Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian. Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya mereka berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallaahu A'lam bishshawaab.


Selengkapnya
Kisah Nabi Ibrahim dan Asal Usul Hari Raya Kurban

Kisah Nabi Ibrahim dan Asal Usul Hari Raya Kurban

Wedus atau kambing kibas
ilustrasi

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim As menyembelih kurban fi sabilillah sebanyak 1000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan unta sejumlah 100 ekor. Banyak orang yang kagum padanya, bahkan Malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya itu. 

"Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku mempunyai anak lelaki, pasti akan kusembelih karena Allah dan kukurbankan kepadaNya, seloroh Nabi Ibrahim As.

Sekian lama setelah kejadian itu, beliau lupa dengan pernyataannya itu. Ketika berada di Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak, dan Allah mengabulkan permohonannya. Beliau pun dikaruniai anak laki-laki yang kemudian diberi nama Ismail. 

Kala usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada yang berpendapat 13 tahun), pada malam hari ke-8 bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim As bermimpi ada seruan, "Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu tempo dulu!"

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan mimpinya semalam, apakah mimpi itu dari Allah ataukah dari syetan? Dari sinilah kemudian hari ke-8 Dzulhijjah disebut sebagai hari tarwiyah yang artinya berpikir atau merenung. 

Pada malam ke-9 bulan Dzulhijjah besoknya, beliau kembali bermimpi persis dengan mimpi sebelumnya. Keesokan harinya, beliau tahu bahwa mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah kemudian hari ke-9 Dzulhijjah disebut sebagai hari 'Arafah yang artinya mengetahui, dan ketepatan pula waktu itu beliau sedang berada di Padang Arafah. 

Malam berikutnya, beliau bermimpi kembali dengan mimpi yang serupa. Maka keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya itu. Karena itu pulalah hari itu kemudian disebut dengan hari menyembelih kurban (yaumun nahar). 

Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim As bermimpi untuk pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Hal itu dilakukan karena beliau mengira perintah dalam mimpi bisa terpenuhi. Tetapi tiba-tiba api datang dan menyantapnya.

Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sebanyak 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Inipun juga dilakukan beliau dengan alasan sama dengan yang pertama. Mendadak api datang lagi dan menyantapnya. 

Untuk mimpi yang ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru padanya, "Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk menyembelih putramu, Ismail." Beliau terbangun dan langsung memeluk Ismail seketika, menangis hingga waktu Subuh tiba. 

Untuk melaksanakan perintah Allah tersebut, terlebih dahulu beliau menemui istrinya, Hajar. Beliau berkata, "Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah SWT."

Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian yang paling bagus, meminyaki dan menyisir rambutnya. Kemudian Ibrahim As dan putranya itu berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah golok.

Pada saat itu, iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu, mondar mandir kesana kemari. Ismail yang melihatnya segera mendekat ayahnya.

Iblis pun berseru, "Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?"

"Ya, namun aku diperintahkan untuk menyembelihnya," jawab Ibrahim.

Setelah gagal membujuk ayahnya, iblis datang menemui ibunya, Hajar. "Mengapa kau hanya duduk tenang-tenang saja, padahal suamimu telah membawa anakmu untuk disembelih?, goda iblis.

"Kau jangan berdusta kepadaku, mana mungkin seorang ayah menyembelih putranya?," jawab Hajar.

"Untuk apa suamimu membawa tali dan sebilah golok kalau bukan untuk menyembelih putranya?," kilah iblis.

"Untuk apa seorang ayah membunuh putranya?," tanya Hajar.

"Suamimu menyangka itu adalah perintah Allah SWT," bujuk iblis.

Hajar pun menjawab dengan mantap, "Seorang Nabi tidak akan ditugasi berbuat kebathilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikurbankan demi tugas mulia yang diemban beliau, apalagi hanya mengurbankan nyawa anakku. Ini belum apa-apa."

iblis menemui kegagalan lagi untuk kedua kalinya, namun ia tetap berdaya upaya untuk menggagalkan rencana Ibrahim As itu. Maka ia pun mendekati Ismail dan merayunya, "Hai Ismail! Mengapa kau hanya bermain dan bersenang-senang saja? Ingat! Ayahmu mengajakmu kemari hanya untuk menyembelihmu, buktinya ia membawa tali dan sebilah golok."

"Kau dusta, untuk apa ayah menyembelihku?," tanya Ismail.

"Ayahmu mengira itu adalah perintah Allah," jawab iblis.

"Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku," jawab Ismail dengan mantap.

Tatkala iblis hendak merayu dan membujuknya lagi, mendadak Ismail memungut sejumlah batu kerikil dan langsung melemparkannya ke arah iblis dan mengenai mata sebelah kiri hingga buta. Dari sinilah kemudian dikenal istilah melempar jumrah dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim As berterus terang kepada putranya, Ismail, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?.." (QS. Ash-Shaaffaat:102).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Nabi Ibrahim hendak berangkat untuk melaksanakan nadzar menyembelih Ismail, beliau berkata kepada putranya, Ismail, " Wahai anakku, ambillah tali dan golok, marilah pergi bersamaku ke lereng gunung untuk mencari kayu bakar." Ketika keduanya telah sampai di lembah, barulah kemudian Ibrahim memberi tahu yang sebenarnya kepada Ismail akan perintah untuk menyembelihnya.

Ismail kemudian menjawab, "Wahai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash-Shaaffaat:102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim As dan langsung mengucapkan tahmid (membaca Alhamdulillaah) sebanyak-banyaknya.

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu, Ismail berpesan kepada ayahnya, "Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak yang bisa merepotkan ayah. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat supaya tidak timbul rasa iba pada diri ayah. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun, sebab bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya akan turut berduka."

"Tajamkanlah golok dan goreskanlah segera ke leherku ini agar lebih cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada ibu agar menjadi kenangan baginya. Dan sampaikan salamku kepada ibu dan katakan, 'Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah SWT'. Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga semakin menambah belasungkawa bagiku, dan tatkala ayah melihat anak lain yang sebayaku, janganlah dipandang seksama sehingga timbul rasa sedih di hati ayah, " sambung Ismail.

Setelah mendengar jawaban dan pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim As menjawab, "Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!."

Kemudian Nabi Ibrahim menggoreskan goloknya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah terikat kaki dan tangannya, namun beliau tidak mampu menggoreskannya.

Ismail berkata, "Wahai ayahanda! Lepaskanlah tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintahNya. Goreskan lagi ke leherku agar para Malaikat mengetahui bahwasanya diriku taat kepada Allah dalam menjalani perintah semata-mata karena Allah SWT."

Nabi Ibrahim pun melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya itu. Lalu beliau menghadapkan wajahnya ke tanah dan langsung menggoreskan goloknya ke leher putranya dengan sekuat tenaga, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya dan terpental. Tak puas dengan kemampuannya, beliau menghujamkan goloknya itu ke arah sebuah batu, dan batu itu pun hancur terbelah jadi dua bagian. "Hai golok! Kau dapat membelah batu, tetapi mengapa tak mampu menggores leher putraku?," kata beliau penuh keheranan.

Atas izin Allah SWT, golok itu menjawab, "Wahai Ibrahim! Kau menghendaki menyembelihnya, namun Allah SWT telah berfirman, "Jangan sembelih!". Nabi Ibrahim pun bingung dan berkata, "jika begini, mengapa aku harus menentang perintahNya?".

Pada saat itu kemudian terdengar panggilan, "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.. " (QS. Ash-Shaaffaat: 104-105).

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu)". (QS. Ash-Shaaffaat: 106). "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS. Ash-Shaaffaat: 107).

Demikianlah akhirnya Ismail dipindah dan diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan diterima darinya, dan domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawanya dan sempat melihat Nabi Ibrahim yang menggoreskan golok ke leher Ismail. Malaikat Jibril terkagum sembari mengucapkan, "Allaahu Akbar!". Nabi Ibrahim kemudian menyahut dengan mengucapkan, "Laa Ilaaha Illallaah Allaahu Akbar!", Ismail mengikutinya dengan mengucapkan, "Allaahu Akbar wa Lillaahil hamd".

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Ibrahim sedang berusaha untuk menyembelih putranya, ada seruan yang memanggilnya. Kemudian Ibrahim pun menoleh, seketika itu beliau menjumpai seekor domba kibas yang bercabang tanduknya (ada pula yang mengartikan tubuhnya berwarna hitam putih) turun dari gunung dan berdiri di dekat Ibrahim. Nabi Ibrahim pun menangkapnya dan kemudian menyembelihnya. Setelahnya Nabi Ibrahim kemudian merangkul putranya dan berkata, "Wahai anakku! Pada hari inilah, engkau (sepenuhnya) telah diberikan kepadaku". Dengan demikian, terpenuhilah nazar Nabi Ibrahim dan perintah dari Allah SWT.

Disebutkan pula bahwa ketika Nabi Ibrahim menyembelih domba kibas tersebut, Malaikat Jibril As mengucapkan, "Allaahu Akbar Allaahu Akbar", atas izin Allah domba kibas yang disembelih itu kemudian menyahut "Laa Ilaaha Illallaah Wallaahu Akbar", dan Nabi Ibrahim kemudian mengucapkan "Allaahu Akbar wa Lillaahil hamd". Dari sinilah kemudian kalimat-kalimat ini selalu dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).

Demikianlah, semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah di atas. Kisah ini saya nukil dari buku The Dream Sketsa Mimpi dalam Tinjauan Islam, Kedokteran dan Psikologi karya Miftahul Asror dan kitab Marah Labiid Tafsir an-Nawawi (Tafsir Munir) karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi.

Selengkapnya