Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah, bahwa di utara jawa ada jalan Daendels, jalan yang menghubungkan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 kilometer. Jalan ini digagas oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Hindia Belanda pada tahun 1808 hingga 1811. Jalan ini dibangun Daendels pada awal masa kepemimpinannya di Hindia Belanda. Bagi pemerhati sejarah, hampir semua mengetahui akan hal ini. Namun tahukah anda bahwa di pesisir selatan jawa juga ada nama jalan Daendels yang lain. Hanya saja jalan Daendels yang ini panjangnya hanya 130 kilometer. Jalan ini menghubungkan kota Bantul dengan Purworejo, Kebumen, hingga Cilacap.
Jika dilihat dari namanya, apakah penggagas dari kedua jalan ini adalah orang sama? dan bagaimana sejarah dari jalan Daendels di selatan jawa ini?
Jika kita meneliti sejarah dari jalan Daendels yang berada di selatan jawa ini, maka akan terkuak sebuah fakta sejarah tentang jejak dari Pangeran Diponegoro, Mengapa demikian? Apa hubungannya Pangeran Diponegoro dengan jalan Daendels?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut akan kami uraikan mengenai sejarah dari keberadaan Jalan Daendels di selatan jawa ini.
Jalan Daendels Pada Masa Kerajaan
Jika dirunut lebih jauh lagi, keberadaan jalan yang kini disebut jalan Daendels ini sebenarnya merupakan jalur kuno yang telah ada sejak abad ke-14. Artinya, jalur eksotis di pantai Selatan ini ternyata jauh lebih tua dibandingkan jalur yang berada di utara jawa. Pada masa kerajaan Jawa abad ke-14, banyak kerajaan memanfaatkan jalan pesisir Pantai Selatan Jawa ini sebagai jalur penghubung. Salah satunya Kerajaan Mataram Islam pada era Sultan Agung (1613-1645). Keberadaan jalur ini juga merupakan jalur upeti kerajaan di Jawa, yang menghubungkan antara kerajaan Kediri, Majapahit, Pajang, Mataram, Cirebon, hingga ke Demak di Utara.
Pada masa lalu, wilayah dari Bagelen ke arah barat hingga sampai Cilacap, tepatnya antara Sungai Bogowonto dan Sungai Donan, pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam pada era Sultan Agung (1613-1645). Area ini disebut dengan nama Sewu, satu dari delapan bagian wilayah "Negaraagung" milik Mataram Islam. "Negaragung" adalah daerah-daerah di luar pusat pemerintahan yang harus membayar pajak kepada keraton.
Asal Nama Jalan Daendels
gambar via kompas.com |
Banyak orang mengira bahwa jalan Daendels di selatan jawa ini juga dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Hal ini merujuk pada nama yang dipakai untuk jalan ini. Namun faktanya, meski bernama jalan Daendels, asal nama jalan ini merujuk pada sosok Augustus Dirk Daendels, seorang asisten residen di wilayah Ambal (kini nama kecamatan di Kabupaten Kebumen).
Dilansir dari genealogieonline.nl, A.D. Daendels adalah keturunan dari Herman Willem Daendels. A.D. Daendels lahir dari pernikahan H.W. Daendels dengan Alida Elisabeth Reiniera van Vlierden. Di kalangan pejabat Hindia Belanda, A.D. Daendels dikenal ambisius dan radikal, watak yang juga kental pada figur ayahnya sewaktu memimpin Hindia Belanda beberapa dekade sebelumnya. Semasa ia menjabat pada 1838, Ambal masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Bagelen yang membawahi sejumlah wilayah lain, yakni Kebumen, Ledok, dan Kutoarjo. A.D. Daendels inilah orang yang menjadi cikal bakal nama jalan Daendels di pesisir Pantai Selatan Jawa.
Jejak Sejarah Perjuangan Diponegoro yang Terlupakan
Jauh sebelum bernama jalan Daendels, Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memberikan nama untuk masing-masing jalur pesisir yang mengapit Jawa (utara/ selatan) tersebut. Jika jalan Daendels di utara jawa dahulunya disebut Postwegen atau Jalan Raya Pos, sedangkan jalan yang berada Pantai Selatan ini dinamakan Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama. Sementara penamaan Daendels pada jalan di selatan jawa ini merupakan usaha yang sengaja dilakukan pihak kolonial untuk meredupkan pamor Diponegoro dan memori tentangnya saat melakukan perlawanan pada 1825-1830.
Dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro (Saleh As'ad Djamhari, 2004:173) dikatakan bahwa sebelum menggunakan nama Daendels, jalan di pesisir selatan ini dikenal dengan sebutan Jalan Diponegoro. Sebutan ini tidak terlepas dari peristiwa Perang Jawa ketika Pangeran Diponegoro berperang melawan Belanda. Ketika Perang Jawa meletus pada 1825 hingga 1830, Dalam gerilyanya, Pangeran Diponegoro kerap melewati ruas jalan ini yang dahulu termasuk wilayah Bagelen Selatan.
Menurut sejarah, jalur ini dahulu juga pernah digunakan oleh leluhurnya ketika berperang. Amangkurat I pernah menggunakan jalur ini untuk lari dari kejaran Pasukan Raden Trunojoyo yang memberontak Kesultanan Mataram. Oleh karenanya tidak heran jika Pangeran Diponegoro juga memilih jalur ini sebagai rute gerilyanya.
Perlu diketahui bahwa wilayah Bagelen (kini wilayah Purworejo) termasuk wilayah yang menjadi areal penting dalam perang Diponegoro. Wilayah ini dinilai sangat strategis sebagai jalur perdagangan serta arus lalu lintas. Terlebih lagi, Bagelen dialiri empat sungai besar, yakni Sungai Bedono, Sungai Jali, Sungai Lebang, dan Sungai Bogowonto. Jadi peran Bagelen pada masa lalu ibarat pintu gerbang barat sebelum memasuki wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Dengan menggunakan jalur selatan dalam gerilyanya, setidaknya Pangeran Diponegoro memahami medan jalur yang pernah dirintis oleh leluhurnya ini. Jalur ini juga memiliki nilai strategis untuk merekrut personil pasukan yang anti kolonial sekaligus untuk mengatur strategi dan menghimpun kekuatan.
Namun sayangnya, sejarah mencatat bahwa perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan kolonial Belanda harus berakhir setelah pada 1827 pasukan Belanda berhasil mengepung pasukan Diponegoro. Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1930. Pengeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado dan wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1955.
Sebagai bagian strategi pihak kolonial untuk menghilangan pamor dan memori masyarakat yang telah melekat dengan sejarah tapak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro di jalur selatan ini, maka jalan yang sempat dikenal oleh masyarakat sebagai jalan Diponegoro itu pun diberi nama baru oleh pihak Belanda. Dan kebetulan karena saat itu jalur ini melintasi daerah di wilayah Ambal, maka dipakailah nama dari penguasa Asisten Residen Ambal saat itu, A.D. Daendels. Dan akhirnya jalan ini pun dikenal dengan jalan Daendels.
Perubahan Nama Daendels
Pasca berakhirnya perang Diponegoro, pemerintah kolonial menjalankan politik untuk menghapus pengaruh dan citra Diponegoro di kalangan pribumi. Tujuan politik ini untuk melemahkan semangat pengikut Diponegoro yang masih bergerilya dan kedudukannya terpecah.
Pada 1838, Asisten Residen Ambal, A.D. Daendels menggunakan kesempatan ini untuk mengganti nama Jalan Diponegoro. Ia mengubah nama jalan yang melekat dengan tapak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro ini dengan menggunakan namanya, maka jadilah nama Jalan Daendels di selatan Jawa ini. Di masa ia menjabat, ia juga pernah membangun kembali jalan tersebut mulai dari Brosot (kulon Progo) hingga Karang Bolong (Cilacap).
Kini, terlepas dari sejarah yang ada, jalan Daendels di selatan jawa ini kini merupakan jalur alternatif penting bagi pejalan raya ketika menuju Yogyakarta dan sebaliknya. Terlebih setelah jalanannya diaspal mulus, pemanfaatan Jalan Daendels sebagai jalur alternatif lintas selatan Jawa ini dapat menjadi seimbang dengan Jalan Raya Pos di Pantai Utara Jawa yang kini juga berfungsi sebagai jalan Trans Jawa. Oleh karenanya, jalan Daendels ini dapat menjadi jalur alternatif menuju Jakarta atau sebaliknya, dari barat ke Yogyakarta, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Jawa Tengah atau timur melalui jalur tengah.
Labels:
Sejarah
Thanks for reading Sejarah Jalan Daendels di Selatan Jawa, Jejak Perjuangan Diponegoro yang Terlupakan. Please share...!
Hindia Belanda belum ada pada tahun 1808. Saat itu Daendles adalah Gubernur Jenderal untuk Pulau Jawa dari Republik Belanda buatan Napoleon Bonaparte Perancis ...
BalasHapusTerima kasih koreksinya. Masa itu Belanda memang sedang dikuasai oleh Perancis. Daendels diserahi tugas oleh Napoleon Bonaparte untuk mempertahankan pulau Jawa dari datangnya tentara Inggris. Jadi masa kepemimpinan Daendels di Jawa disebut sebagai masa pendudukan Belanda sebenarnya benar tetapi kurang tepat, mengingat Daendels sendiri sebenarnya orang Belanda yang mengabdi pada Napoleon Bonaparte dan Perancis. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo, barulah Belanda mendapatkan kembali kekuasaannya pada tahun 1815. Terima kasih kunjungannya.
Hapus