Rasionalitas dalam Ajaran Islam

Rasionalitas dalam Ajaran Islam

Dewasa ini banyak saudara kita yang mencoba untuk selalu mencari tahu rasionalitas dari setiap ajaran-ajaran yang diperintahkan dalam Islam. Sebagai Umat Muslim kita harus yakin bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang pasti membawa kebaikan bagi kita. Setiap perintah dalam Islam selalu terkandung maksud dan tujuan untuk kemaslahatan Umat manusia dalam mengarungi hidup di dunia. 

Kita tentu pernah mendengar bahwa pelarangan makan daging babi dalam Islam terkandung maksud bahwa berdasarkan penelitian ternyata dalam daging babi terdapat bibit-bibit penyakit yang berbahaya jika masuk kedalam tubuh, atau kita juga pernah mendengar bahwa zina dilarang dalam Islam karena selain bisa merusak hubungan rumah tangga bagi yang sudah menikah, ternyata berzina juga bisa menjadi sebab tertularnya berbagai penyakit berbahaya. Rahasia-rahasia atau maksud seperti inilah yang yang bisa kita jumpai dari setiap aturan yang diperintahkan oleh syariat Islam.

Meskipun begitu, di dalam ajaran tentang apapun dalam Islam tentu terdapat hal-hal yang tidak mudah atau tidak segera dapat dipahami oleh kita mengenai alasan dan maksudnya secara rasional. Memang, lambat laun, dengan meningkatnya kemajuan daya pikir manusia, sebagian rahasia, alasan dan maksud-maksud itu dapat dipahami. Hanya saja tidak semua bisa kita pahami sepenuhnya, karena seberapa banyak yang telah diketahui dan dipahami maksudnya oleh manusia, masih jauh lebih banyak lagi rahasia dan maksud-maksud yang belum diketahui.

Di dalam Islam, hal-hal yang tidak perlu dan tidak harus dirasionalkan itu disebut ta'abbudi. Seperti misalnya mengapa shalat maghrib tiga rakaat, sementara shalat shubuh dua rakaat? Atau mengapa seluruh badan perempuan kecuali muka dan telapak tangan termasuk aurat dalam shalat?. Contoh lain adalah mengapa barang najis kalau dimasukan ke ember yang berisi air, maka air itu menjadi najis, sementara kalau najis itu ditaruh di dalam ember kosong kemudian diisi air bersih sampai melimpah, maka airnya menjadi suci? Itulah diantara syariat yang tidak perlu dirasionalkan atau disebut ta'abbudi. Intinya adalah kita menjalankan segala perintah agama itu karena murni semata untuk menghambakan diri kepada Allah, bukan karena faktor, alasan atau syarat tertentu.

Sebenarnya bukan saja dalam ajaran agama kita temui hal-hal yang tidak dapat dirasionalkan, di dalam kehidupan sehari-haripun banyak hal yang juga tidak dapat dirasionalkan atau bagi sebagian orang dianggap tidak rasional. Sebagai contoh, mengapa kita yang tinggal di Indonesia dalam berkendara di jalan raya diharuskan memakai jalur sebelah kiri, padahal di negara lain ada juga yang aturannya memakai jalur sebelah kanan. Atau contoh lain mengapa aturan lampu rambu lalu lintas jika merah harus berhenti, sementara kuning berhati-hati dan hijau berarti jalan. 

Dari contoh di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, jika manusia saja berwenang membuat aturan terhadap sesama manusia, meskipun kadang belum tentu rasional, dan kita patuh terhadap aturan tersebut, mengapa ada yang bersikap mau taat kepada Allah dengan syarat syariatNya harus rasional? Padahal semestinya aturan yang berasal dari Allah, meskipun irrasional, haruslah lebih kita yakini dan kita patuhi. Kita harus percaya bahwa Allah lebih mengetahui tentang rasionya syariat.

Taqwa adalah hasrat, semangat dan aktivitas untuk menyesuaikan diri dengan ajaran Allah, tanpa harus prasyarat apapun. Zina dilarang, tidak peduli apakah menyebabkan ketularan penyakit atau tidak, istri keberatan atau tidak. Atau makan babi akan tetap menjadi haram, meskipun mungkin dengan berbagai cara dagingnya telah dibersihkan dari bibit penyakit. Itulah ta'abbudi, jiwa yang mengakui akan kebenaran Islam harusnya selalu merealisasikan taqwa tanpa harus memandang rasionya suatu aturan yang telah diatur oleh syariat. 

Islam tidaklah membekukan akan peran akal dalam memahami segala sesuatu, bahkan sebenarnya Islam justru menempatkan akal pada kedudukan yang cukup tinggi. Namun setinggi-tingginya kedudukan dan kemampuan akal, Islam menempatkan bahwa akal itu harus tunduk kepada wahyu, di bawah ajaran agama, di bawah syariat Allah. Akal tidak akan bisa mengingkari bahwa Allah tidaklah mensyariatkan hukum-hukumnya kepada umatNya melainkan didasarkan atas adanya manfaat atau bahaya di dalamnya. Akal itu adalah alat untuk mencari kebenaran dan wahyu itu adalah hakikat kebenaran.



Baca juga : Peranan Akal dalam Hukum Islam
Labels: Kajian Islam

Thanks for reading Rasionalitas dalam Ajaran Islam. Please share...!

0 Komentar untuk "Rasionalitas dalam Ajaran Islam"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.