Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Gambar bedug

Secara umum bedug termasuk alat musik tabuh seperti halnya gendang. Namun selain sebagai instrumen musikal, bedug juga biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau sembahyang. Sehingga bagi masyarakat Indonesia, bedug juga senantiasa dikaitkan dengan media panggilan peribadatan. Biasanya sebelum adzan berkumandang, seruan ketika waktu sholat tiba selalu dibuka dengan suara bedug. 

Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. 

Kulit hewan yang biasa dibuat sebagai bahan baku bedug biasanya adalah kulit kambing, sapi, kerbau, atau banteng. Kulit tersebut kemudian dipasangkan pada bonggol kayu dan selanjutnya disatukan dengan batang kayu menggunakan paku dan beberapa tali-temali. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.

Menurut sejarah, penggunaan bedug telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bedug memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Menurut sebuah studi, penggunaan bedug juga terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam ritual minta hujan. 

Literatur lain seperti dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi menyebutkan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar dengan bedug ukuran biasa. Disebutkan juga bahwa pada masa kerajaan Majapahit, bedug biasa digunakan sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal-hal bersifat mendesak lainnya.

Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Tampak arca-arca bergambar prajurit berwajah Mongoloid yang sedang menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya dari timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit pada saat itu. 

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit yang beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.

Beberapa literatur lain yang terkenal juga meyakini bahwa bedug masuk ke tanah Nusantara melalui China. Hal ini seiring dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho Pada abad ke 15. Pada saat Laksamana Cheng Ho dan pengikutnya datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. 

Ketika Cheng Ho hendak pergi dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti halnya negara Cina, Korea dan Jepang yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. 
Dari beberapa penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa bedug merupakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon) di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah. 

Pada Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin, pernah dikukuhkan penggunaan bedug dan kentongan, di mana pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Namun pada masa orde baru, ketika kelompok Islam modernis mulai mendapat tempat di hati pemerintah, pernah "debedukisasi" dilakukan, sehingga akibatnya banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. 

Mereka beralasan bahwa penggunaan bedug dianggap mengandung unsur-unsur bukan Islam sehingga harus dihilangkan. Sebagai gantinya kemudian dikembangkan program speakerisasi, yakni penggunaan bedug diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubah masjid. 

Menanggapi keadaan seperti itu, kalangan warga NU melakukan perlawanan, sehingga serangan Islam modernis akhirnya bisa dieliminir dan tradisi pemakaian bedug dapat terus dipertahankan. Bahkan masjid-masjid dari kelompok Islam lain seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil alih oleh kelompok Islam modernis akhirnya tetap memakai bedug. 

Pada kenyataannya, sampai sekarang kita juga dapat saksikan masih banyak masjid yang mempertahankan pemakaian bedug sebagai sarana syiar Islam di seantero bumi Nusantara ini. Diolah dari berbagai sumber.



Labels: Mozaik, Seni Budaya

Thanks for reading Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia. Please share...!

1 comments on Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.