Ilustrasi panen padi. |
Hamparan sawah yang sebelumnya hijau kini telah berubah menguning. Ya, beberapa hari ini di desaku Candiwulan sedang memasuki musim panen. Berhektar-hektar padi milik para petani telah siap untuk dipanen. Ketika musim panen tiba, sawah akan berubah menjadi ramai tidak seperti hari-hari biasanya. Orang-orang datang berduyun-duyun menuju sawah untuk memanen hasil sawahnya.
Meskipun panen tidak selalu mendapat hasil melimpah, karena adakalanya tanaman padi diserang hama seperti tikus, wereng ataupun hama lainnya, panen bagi petani tetap menjadi berkah dan rezeki yang harus selalu disyukuri. Begitu pula pada masa panen kali ini. Banyak tanaman padi yang diserang hama wereng, sehingga para petani harus cepat-cepat memanen hasil padinya. Beruntung meskipun ada sebagian padi yang terserang, masih banyak yang bisa terselamatkan.
Panen tidak hanya menjadi rezeki bagi orang yang punya sawah, tetapi panen juga memberikan rezeki bagi orang lain. Sudah menjadi tradisi di daerah saya tinggal, bahwa setiap musim panen tiba, maka akan ada banyak orang yang menawarkan jasanya untuk membantu memanen padi. Mereka biasanya datang bukan hanya dari warga desa sendiri, tetapi juga banyak yang dari desa tetangga. Bahkan dulu banyak juga orang-orang dari wilayah pegunungan seperti daerah Pandansari yang datang bersepeda untuk ikut membantu panen padi di desaku ini. Sampai-sampai banyak warga di desaku yang setiap musim panen berlangganan menggunakan jasa mereka. Tetapi sekarang hal ini sudah jarang terlihat.
Kegiatan ikut membantu panen ini di daerah saya biasa disebut dengan istilah derep. Derep biasanya dilakukan berkelompok, meskipun kadang ada pula yang memanen padi hanya berdua atau bahkan sendiri. Derep pada masa kini juga lebih banyak didominasi kaum laki-laki, meskipun kadang juga ada kaum wanita yang ikut. Biasanya selagi para tukang derep atau orang-orang yang ikut membantu panen ini bekerja, pemilik padi akan datang ke sawah membawa kiriman makan untuk mereka. Pada masa lalu para tukang derep ini menggunakan sepeda onthel untuk membawa padi hasil panen dari sawah menuju desa atau ke rumah pemilik sawah. Tetapi sekarang sebagian besar dari mereka telah membawa sepeda motor, sehingga pekerjaan membawa hasil panen ini menjadi lebih mudah, ringan, dan cepat.
Memang panen padi pada masa kini berbeda dengan panen pada masa dulu. Perkembangan alat dan teknologi pertanian membuat cara panen kini lebih cepat dan praktis. Pada masa lalu, panen padi dilakukan secara tradisional menggunakan alat yang disebut ani-ani. Meskipun masih ada, namun alat ini sekarang sangat jarang dijumpai.
Ani-ani adalah alat dari sekeping kayu dan bambu kecil dengan sebilah logam tajam di pinggir kayu yang berfungsi sebagai pisau. Dengan ani-ani, tangkai bulir padi dipotong satu-persatu. Kegiatan yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita atau ibu-ibu ini memang memakan banyak waktu, namun keuntungannya bulir padi yang belum masak tidak ikut terpotong. Setelah tangkai padi dipetik dan dikumpulkan, bulir padi kemudian dipisahkan dari batangnya menggunakan alu atau alat pemukul kayu. Kemudian agar buliran padi tidak ada yang tersisa di tangkainya maka proses selanjutnya digilas dengan kaki.
Dalam perkembangannya, cara memanen menggunakan ani-ani ini kemudian berganti menggunakan sabit atau arit. Dengan sabit, semua batang padi dibabat dengan menggunakan sabit. Setelah batang padi dibabat, bulir padi kemudian dipisahkan dari tangkainya dengan cara dipukul-pukulkan pada alat dari papan kayu sampai semua bulir padi rontok. Proses ini di desa saya disebut dengan istilah gepyok. Biasanya untuk menghemat waktu, para tukang derep yang berkelompok berbagi tugas, ada yang bertugas memotong padi, mengumpulkan, menggepyok, memasukan padi ke dalam karung, hingga yang memanggulnya untuk diangkut dengan sepeda menuju desa.
Seiring berganti zaman, cara merontokan padi dengan gepyok pun kemudian berganti menjadi cara yang lebih praktis, yakni menggunakan alat yang disebut mesin rontok. Sistem kerja mesin rontok memanfaatkan putaran poros roda seperti halnya pada sepeda onthel. Poros roda yang dipasangi kayu berbentuk silinder ini diberi ratusan ujung paku yang lancip. Ujung-ujung paku yang berputar inilah yang berfungsi merontokan padi ketika didekatkan, sehingga bulir-bulir padi terpisah dari tangkainya.
Pada awalnya mesin rontok ini digerakkan dengan mengayuh pedal yang terhubung dengan rantai seperti halnya pada sepeda onthel. Namun karena untuk membuat poros silinder terus berputar pedal harus terus dikayuh, akhirnya pada masa kini kayuhan pedal kemudian diganti dengan mesin berbahan bakar bensin, sehingga lebih otomatis dalam menggerakan poros silinder. Cara ini tentunya lebih cepat dan lebih menghemat tenaga dibanding cara manual yakni dengan mengayuhnya. Model mesin rontok seperti inilah yang kini banyak dipakai oleh para tukang derep di desaku.
Sebetulnya masih ada alat lain untuk panen yang musim lalu pernah dicoba dipakai di desaku, yaitu menggunakan mesin seperti mesin traktor yang bisa dikendarai. Prinsip kerja mesin canggih ini juga terlihat lebih efisien, rapi dan cepat, karena dari proses pemotongan sampai perontokan padi dilakukan oleh mesin. Tetapi penggunaan mesin ini menghilangkan tradisi yang ada, yaitu tradisi gotong royong seperti yang dilakukan oleh para tukang derep.
Biasanya ketika sedang musim panen, kadang ada beberapa penjual es dawet yang berjualan di sawah. Mereka berjalan menyusuri galengan (jalanan setapak di sawah) dengan memikul es dawet dagangannya. Mereka biasanya berjalan mendekati setiap rombongan tukang derep yang sedang memanen padi untuk menawarkan dagangannya. Dan yang unik adalah untuk membelinya tidak menggunakan uang, melainkan menggunakan gabah atau padi sesuai takaran tertentu. Selain penjual es dawet, kadang juga ada penjual rokok, gorengan atau makanan-makanan kecil lainnya. Pemandangan seperti ini masih bisa dijumpai hingga saat ini.
Biasanya ketika sedang musim panen, kadang ada beberapa penjual es dawet yang berjualan di sawah. Mereka berjalan menyusuri galengan (jalanan setapak di sawah) dengan memikul es dawet dagangannya. Mereka biasanya berjalan mendekati setiap rombongan tukang derep yang sedang memanen padi untuk menawarkan dagangannya. Dan yang unik adalah untuk membelinya tidak menggunakan uang, melainkan menggunakan gabah atau padi sesuai takaran tertentu. Selain penjual es dawet, kadang juga ada penjual rokok, gorengan atau makanan-makanan kecil lainnya. Pemandangan seperti ini masih bisa dijumpai hingga saat ini.
Setelah padi atau gabah hasil panen dimasukan ke dalam karung, padi dibawa dari sawah menuju desa menggunakan sepeda motor. Selanjutnya di depan pemilik sawah padi ditimbang dan kemudian ditentukan upah bagi masing-masing tukang derep. Upah ini berupa padi dari hasil panen yang disebut dengan istilah bawon. Pemberian bawon ini ditentukan berdasarkan ukuran atau takaran yang berlaku dari banyak sedikitnya padi yang dihasilkan.
Tahap terakhir sebelum padi dijual atau disimpan di lumbung adalah proses penjemuran. Penjemuran biasanya dilakukan di tanggul (jalanan lebar di sawah), lapangan, halaman depan rumah, atau tempat mana saja yang banyak terkena panas matahari. Lama penjemuran biasanya tergantung cuaca. Jika seharian panas mungkin dua hari cukup. Tetapi jika cuaca berubah-ubah, atau bahkan turun hujan, penjemuran bisa memakan waktu tiga sampai empat hari.
Proses penjemuran ini dilakukan dengan meratakan padi pada gelaran atau alas tempat khusus untuk menjemur padi. Pada saat penjemuran ini padi harus sering diorak-arik dengan semacam alat dari kayu agar padi cepat kering. Selain itu padi juga dibersihkan dari sisa-sisa jerami yang terbawa dengan menggunakan sapu lidi. Proses terakhir setelah padi kering adalah padi disilir untuk kembali membersihkan padi dan memisahkan padi yang berisi dengan padi yang gabug atau tidak berisi. Proses penyiliran ini bisa dilakukan dengan cara alami maupun menggunakan mesin kipas angin. Biasanya untuk proses alami dilakukan di keteb (pinggiran desa dekat sawah) atau di lapangan dengan memanfaatkan hembusan angin yang ada, sedangkan proses dengan kipas angin bisa dilakukan di rumah sendiri. Setelah bersih, padi siap untuk dijual atau siap masuk ke dalam lumbung.
Panen pada musim kali ini sebetulnya terjadi pada musim sadhon atau memasuki musim kemarau, tetapi entah mengapa kemarau kali ini sepertinya agak mundur karena masih kadang terjadi turun hujan. Panas juga tidak merata karena langit kadang tertutup awan. Beruntung hujan biasanya terjadi pada sore atau malam hari, sehingga tidak banyak mempengaruhi proses penjemuran.
Tetapi bisa lain ceritanya jika panen terjadi pada saat musim rendheng atau musim hujan. Sering kejadian saat tengah hari ketika sedang menjemur padi tiba-tiba hujan turun. Orang-orang dibuat kalang kabut menyelamatkan padi jemuran mereka. Tetapi pada saat terjadi hal seperti ini, biasanya tetangga-tetangga yang belum punya jemuran padi dan tidak sedang sibuk turut membantu menyelamatkan padi dari kebasahan. Inilah bentuk sosialitas dan gotong royong saling tolong menolong yang masih terjalin erat diantara warga desa.
Demikianlah tradisi panen yang ada di desaku. Tentunya tradisi ini juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di desa-desa lainnya. Tradisi panen dari proses pemotongan padi di sawah sampai masuk lumbung banyak menyimpan kearifan lokal yang nilai-nilainya patut diteladani. Tradisi gotong royong dan saling tolong menolong telah mendarah daging dan menjadi keseharian bagi masyarakat jawa. Semoga tradisi seperti ini tetap terjaga.
Labels:
Horizon,
Kebumen,
Seni Budaya
Thanks for reading Tradisi Panen Padi di Desaku. Please share...!
0 Komentar untuk "Tradisi Panen Padi di Desaku"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.