Peringatan 17 Agustus merupakan momen yang selalu istimewa bagi warga di negeri Indonesia ini. Upacara dan berbagai perayaan diselenggarakan untuk memperingati proklamasi kemerdekaan negeri ini. Tetapi tahukah anda bahwa judul naskah Proklamasi pada awalnya adalah menggunakan kata "Maklumat". Namun melalui usul seorang tokoh yang bernama Iwa Kusumasumantri, kata "Maklumat" kemudian diganti menjadi "Proklamasi", sebagai judul naskah pernyataan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Nama Iwa Kusumasumantri memang tidak banyak disinggung dalam buku-buku sejarah semasa Orde Baru, sehingga tidak banyak yang mengetahui perannya. Namun begitu, ia adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang memiliki banyak peran terhadap perjalanan bangsa ini. Dalam buku "Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa" yang diterbitkan Kompas (2009), Asvi Warman menulis, Iwa adalah tokoh yang memegang prinsip "non-kooperasi terhadap penjajah". Pada 6 November 2002, Iwa Kusumasumantri dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Iwa Kusumasumantri lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada tanggal 30 Mei 1899. Ia adalah putra sulung keluarga Raden Wiramantri, Kepala Sekolah Rendah di Ciamis, Jawa Barat. Setelah lulus dari Hollandsch Inlandsche School (HIS), ia masuk Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), sekolah calon amtenar di Bandung. Karena merasa tidak cocok, setahun kemudian ia keluar dan pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk masuk di Sekolah Menengah Hukum (Recht School). Di sana ia aktif dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo, yang kelak menjadi Jong Java.
Iwa lulus pada tahun 1921 dan melanjutkan studinya di Universitas Leiden di Belanda. Di negara itu ia bergabung dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis para intelektual Indonesia. Bahkan pada 1923-1924 dia menjadi ketua organisasi tersebut. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi nasionalis Asia yang paling awal menuntut kemerdekaan yang segera dan tidak bersyarat.
Dia menekankan bahwa Indonesia harus bekerja sama, terlepas dari ras, keyakinan, atau kelas sosial, untuk memastikan kemerdekaan dari Belanda. Ia menyerukan tentang non-kerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial. Indische Vereeniging kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia, yang melandaskan perjuangan pada prinsip kesatuan nasional, solidaritas, noonkoperasi, dan swadaya. Pada 1925, perhimpunan ini mengeluarkan Manifesto Politik, yang dinilai oleh Profesor Sartono Kartodirdjo lebih fundamental ketimbang Sumpah Pemuda 1928.
Pada tahun 1925 ia berangkat ke Uni Soviet (Rusia) untuk belajar di Universitas Komunis kaum tertindas dari Timur di Moskow. Di Rusia ia sempat menikah dengan seorang wanita Ukraina bernama Anna Ivanova, keduanya memiliki seorang putri, bernama Sumira Dingli. Selama di Rusia, Iwa juga menulis buku tentang petani di Indonesia berjudul The Peasant Movement in Indonesia.
Pada tahun 1927 Iwa kembali ke Indonesia. Kebijakan pemerintah setempat yang melarang warganya ke luar negeri tanpa alasan kuat membuat Iwa terpaksa meninggalkan anak dan istrinya. Bertahun-tahun kemudian Iwa menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang menetap di rumah pamannya, Dr Abdul Manap. Pernikahan ini yang berlangsung sampai akhir hayatnya dan membuahkan 6 orang anak, terdiri dari 5 orang putri dan seorang putra.
Sekembalinya dari Rusia ini, ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian dia membuka kantor pengacara di Medan. Di sana, ia terkenal sebagai pengacara kaum buruh. Ia juga menjadi penasehat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia), ketua Pekerja Opium Regie Bond luar Jawa dan Madura (ORBLOM), dan penasehat Indesisch National Padvinders Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan.
Di sana, ia juga mendirikan surat kabar Matahari Terbit, koran yang mengaspirasi hak-hak pekerja dan mengkritik perkebunan milik Belanda yang besar di daerah itu. Selain itu ia juga memimpin surat kabar Mata Hari Indonesia. Karena tulisannya banyak mengecam kebijakan pemerintah kolonial, pada 1929 ia ditangkap dan dipenjara selama satu tahun di Medan, kemudian dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Jakarta. Kemudian selama lebih dari 10 tahun ia dibuang dan diasingkan ke Banda Neira, Maluku, bersama keluarganya.
Iwa lulus pada tahun 1921 dan melanjutkan studinya di Universitas Leiden di Belanda. Di negara itu ia bergabung dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis para intelektual Indonesia. Bahkan pada 1923-1924 dia menjadi ketua organisasi tersebut. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi nasionalis Asia yang paling awal menuntut kemerdekaan yang segera dan tidak bersyarat.
Dia menekankan bahwa Indonesia harus bekerja sama, terlepas dari ras, keyakinan, atau kelas sosial, untuk memastikan kemerdekaan dari Belanda. Ia menyerukan tentang non-kerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial. Indische Vereeniging kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia, yang melandaskan perjuangan pada prinsip kesatuan nasional, solidaritas, noonkoperasi, dan swadaya. Pada 1925, perhimpunan ini mengeluarkan Manifesto Politik, yang dinilai oleh Profesor Sartono Kartodirdjo lebih fundamental ketimbang Sumpah Pemuda 1928.
Pada tahun 1925 ia berangkat ke Uni Soviet (Rusia) untuk belajar di Universitas Komunis kaum tertindas dari Timur di Moskow. Di Rusia ia sempat menikah dengan seorang wanita Ukraina bernama Anna Ivanova, keduanya memiliki seorang putri, bernama Sumira Dingli. Selama di Rusia, Iwa juga menulis buku tentang petani di Indonesia berjudul The Peasant Movement in Indonesia.
Pada tahun 1927 Iwa kembali ke Indonesia. Kebijakan pemerintah setempat yang melarang warganya ke luar negeri tanpa alasan kuat membuat Iwa terpaksa meninggalkan anak dan istrinya. Bertahun-tahun kemudian Iwa menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang menetap di rumah pamannya, Dr Abdul Manap. Pernikahan ini yang berlangsung sampai akhir hayatnya dan membuahkan 6 orang anak, terdiri dari 5 orang putri dan seorang putra.
Sekembalinya dari Rusia ini, ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian dia membuka kantor pengacara di Medan. Di sana, ia terkenal sebagai pengacara kaum buruh. Ia juga menjadi penasehat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia), ketua Pekerja Opium Regie Bond luar Jawa dan Madura (ORBLOM), dan penasehat Indesisch National Padvinders Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan.
Di sana, ia juga mendirikan surat kabar Matahari Terbit, koran yang mengaspirasi hak-hak pekerja dan mengkritik perkebunan milik Belanda yang besar di daerah itu. Selain itu ia juga memimpin surat kabar Mata Hari Indonesia. Karena tulisannya banyak mengecam kebijakan pemerintah kolonial, pada 1929 ia ditangkap dan dipenjara selama satu tahun di Medan, kemudian dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Jakarta. Kemudian selama lebih dari 10 tahun ia dibuang dan diasingkan ke Banda Neira, Maluku, bersama keluarganya.
Di Banda Neira, Iwa bertemu beberapa tokoh nasionalis terkemuka seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tjipto Mangunkusumo yang juga sedang dalam pengasingan. Di sana dia juga mempelajari bahasa Arab dan memperdalam Islam dari Syaikh Abdullah bin Abdurrahman. Dia bahkan menulis buku "Nabi Muhammad dan Empat Khalifah", sebelum dipindahkan ke pengasingan di Makassar pada 1941. Di Makassar, Iwa diizinkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengajar di sekolah Taman Siswa.
Pada 8 februari 1943 Jepang menduduki kota Makassar. Oleh Jepang Iwa diminta membantu Nazamuddin Daeng Malea Walikota Makassar. Iwa kemudian diangkat menjadi Kepala Pengadilan Makassar. Ketika Jepang melakulan operasi pembersihan intelektual Indonesia di luar Jawa, dengan perahu bugis Iwa berlayar menuju Surabaya bersama istri yang sedang hamil tua dan 4 anaknya.
Dari Surabaya perjalanan dilanjutkan menuju ke kampung halamannya yaitu Ciamis. Dia tidak lama tinggal di Ciamis karena harus menghidupi keluarganya. Dia kemudian pergi ke Bandung, tetapi karena tidak beroleh pekerjaan, dia kemudian beralih ke Jakarta. Di sini, Iwa bekerja sebagai advokat bersama pemimpin Pergerakan Nasional Mr. A.A. Maramis. Dia juga membantu Kantor Riset Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Cabang Jakarta yang dipimpin Ahmad Subarjo. Iwa juga mengajar Hukum Internasional kepada para pemuda di Asrama Indonesia Merdeka.
Saat Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948 dan menduduki Kota Yogyakarta, Iwa juga termasuk tokoh yang ikut ditangkap bersama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka baru dilepaskan setelah perjanjian Roem-Royen.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Iwa terkena stigma komunis. Tudingan ini sebenarnya sudah datang sejak Iwa masih muda. Keluarganya bahkan sempat khawatir Iwa akan terpengaruh paham komunisme ketika ia diutus oleh organisasinya, Perhimpunan Indonesia, untuk mempelajari program Front Persatuan (Eenheidsfront) di Rusia selama 1,5 tahun bersama Semaun. Meski mulanya tertarik pada sosialisme, Iwa mengaku tidak pernah tertarik menjadi komunis. Di Rusia, ia justru melihat perbedaan antara praktek dan teori ajaran itu.
Pada 8 februari 1943 Jepang menduduki kota Makassar. Oleh Jepang Iwa diminta membantu Nazamuddin Daeng Malea Walikota Makassar. Iwa kemudian diangkat menjadi Kepala Pengadilan Makassar. Ketika Jepang melakulan operasi pembersihan intelektual Indonesia di luar Jawa, dengan perahu bugis Iwa berlayar menuju Surabaya bersama istri yang sedang hamil tua dan 4 anaknya.
Dari Surabaya perjalanan dilanjutkan menuju ke kampung halamannya yaitu Ciamis. Dia tidak lama tinggal di Ciamis karena harus menghidupi keluarganya. Dia kemudian pergi ke Bandung, tetapi karena tidak beroleh pekerjaan, dia kemudian beralih ke Jakarta. Di sini, Iwa bekerja sebagai advokat bersama pemimpin Pergerakan Nasional Mr. A.A. Maramis. Dia juga membantu Kantor Riset Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Cabang Jakarta yang dipimpin Ahmad Subarjo. Iwa juga mengajar Hukum Internasional kepada para pemuda di Asrama Indonesia Merdeka.
Saat Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948 dan menduduki Kota Yogyakarta, Iwa juga termasuk tokoh yang ikut ditangkap bersama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka baru dilepaskan setelah perjanjian Roem-Royen.
Tudingan Komunis
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Iwa terkena stigma komunis. Tudingan ini sebenarnya sudah datang sejak Iwa masih muda. Keluarganya bahkan sempat khawatir Iwa akan terpengaruh paham komunisme ketika ia diutus oleh organisasinya, Perhimpunan Indonesia, untuk mempelajari program Front Persatuan (Eenheidsfront) di Rusia selama 1,5 tahun bersama Semaun. Meski mulanya tertarik pada sosialisme, Iwa mengaku tidak pernah tertarik menjadi komunis. Di Rusia, ia justru melihat perbedaan antara praktek dan teori ajaran itu.
Kemudian pada masa kabinet Sjahrir, Iwa terlibat dalam peristiwa 3 juli 1946 pimpinan Tan Malaka, yang disebut-sebut sebagai pemberontakan pertama dalam sejarah. Peristiwa itu merupakan bentuk ketidaksetujuan Iwa atas kebijakan Sjahrir yang melakukan diplomasi (kompromi) dengan pemerintah Belanda. Sikap sebagai oposisi pemerintah tersebut membuat ia dipenjara selama 1,5 tahun bersama sejumlah politisi lainnya seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin maupun Sukarni. Namun akhirnya mereka diberi grasi oleh Presiden. Namanya direhabilitasi karena tidak terbukti bersalah.
Tetapi setelah pecah peristiwa 17 oktober 1952, yakni demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran parlemen yang dimotori oleh militer, lagi-lagi Iwa mendapat tudingan komunis. Kali ini ia dituduh oleh partai yang menentang kebijakannya sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Ali Sastroamidjoyo. Pada saat itu, Iwa mengganti sejumlah posisi penting militer dengan para perwira yang dianggap anti gerakan tersebut. Untuk menjernihkan posisi Iwa, Presiden Soekarno sampai perlu menggelar rapat di Istana dengan mengundang sejumlah petinggi militer. "Iwa seorang nasionalis-revolusioner!" tegas Soekarno, sebagaimana dikutip dalam situs Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (MESIASS).
Jauh setelah ia meninggalkan jabatannya, Iwa menjawab tudingan komunis dalam buku otobiografi yang ia tulis pada 1971. Dalam buku itu, secara tegas ia menyatakan bukan komunis. Bahkan ia pernah mengecam komunis sebagai refleksi dari rivalitas antara PKI dan Partai Murba.
Pengusul Judul Naskah Proklamasi
Menjelang proklamasi kemerdekaan, Iwa terpilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Iwa aktif memberikan kontribusi dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang kelak disahkan sebagai UUD 1945. Peran Iwa tersebut tergambar jelas dalam buku "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995).
Di luar perancangan undang-undang dasar tadi, Iwa juga berperan dalam penyusunan teks Proklamasi. Dia adalah orang yang mengusulkan mengubah kata "maklumat" menjadi "proklamasi". Iwa termasuk golongan tua yang namanya disebut-sebut dalam peristiwa penculikan Rengas Dengklok menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Wajar saja bila kemudian namanya disebut sebagai salah seorang tokoh yang dipercaya meneruskan kepemimpinan nasional dalam testamen politik yang dibuat Soekarno-Hatta pada 1 Oktober 1945.
Pada 1945, Iwa diangkat menjadi Menteri Sosial pada Kabinet Presidensial. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953). Empat tahun kemudian ia menjadi Rektor pertama Universitas Padjajaran Bandung. Kemudian pada 1961, ia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Iwa mengakhiri karirnya di pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri Negara pada Kabinet Kerja IV (1963-1964). Setelah pensiun, ia menjadi Ketua Badan Penelitian Sejarah Indonesia. Ia juga aktif menerbitkan sejumlah buku.
Pada 1971 Iwa Kusumasumantri dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena menderita penyakit jantung. Setelah beberapa waktu dirawat, pada 27 September 1971, pukul 21.07, tokoh yang juga punya nama samaran S. Dingley ini meninggal dunia. Sesuai pesannya sebelum meninggal dan permintaan keluarga, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet, Jakarta.
Sumber: Wikipedia, cisral.unpad.ac.id, Majalah Konstitusi no. 53 edisi Juni 2011
Labels:
Profil Tokoh
Thanks for reading Iwa Kusumasumantri, Sang Pengusul Judul Proklamasi. Please share...!
Bangga menjadi warga ciamis.... 😇
BalasHapus