Gunungan atau kayon dalam pertunjukan wayang kulit tidak hanya digunakan dalang sebagai sarana untuk melengkapi cerita agar dapat berjalan dengan semestinya. Namun lebih dari itu, adanya gunungan mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Tanpa adanya gunungan, wayang kulit tidak bisa diperagakan, tidak bakal ada kehidupan dan tidak bakal ada cerita wayang.
Bagaimana bisa? Kita umumnya mengetahui, ketika dalang belum naik ke panggung pentas, ketika para penabuh sudah mulai mengawali gendhing-gendhing untuk pementasan wayang, gunungan sudah ditancapkan di tengah kelir. Pada waktu itu, dunia (dalam wayang) belum ada cerita.
Dunia seisinya ketika belum ada manusia tentu masih berwujud alam liar. Tidak berbeda seperti halnya yang digambarkan dalam gunungan, yang mana di sana terdapat pohon besar, hewan berwujud ular, macan, banteng, burung atau kera. Selain itu juga terdapat buta (raksasa) yang berjumlah dua sedang menjaga gapura.
Setelah gendhing-gendhing pembuka selesai dan dalang sudah berada pada tempatnya di atas pentas, gunungan atau kayon kemudian dicabut dari gedebog. Barulah setelah itu, kehidupan dan cerita dimulai oleh Sang dalang yang tidak lain diibaratkan selaku ''Titah Tuhan''. Setelah dicabut, gunungan kemudian ditancapkan di kiri dan kanan dalang. Ketika itu, kehidupan muncul dan cerita pun dimulai.
Tidak hanya untuk dipajang, gunungan atau kayon juga bakal digunakan kembali untuk memisahkan pathet dalam cerita wayang: ada pathet nem, sanga dan manyura. Selain itu, gunungan juga digunakan untuk kebutuhan adegan-adegan khusus seperti untuk menggambarkan laut, hutan, atau untuk membedakan adegan satu dengan adegan lainnya.
Jika dilihat dari wujudnya, gunungan atau kayon tidak lain meniru wujud atau bentuk dari gunung. Secara filosofis, pucuk atau puncak gunung yang tinggi dan lancip menggambarkan bahwa siapa saja yang mau berupaya untuk menggapainya, maka ia akan memperoleh kesejahteraan walaupun memang sulit untuk bisa sampai ke puncaknya.
Melihat ke puncak gunung, akan membuat kita selalu ingat kepada tujuan yang hendak dicapai. Memang tidak mudah untuk bisa sampai ke sana karena banyaknya godaan dan rintangan. Namun ketika kita telah berhasil mencapai puncak, kita akan bisa melihat apa yang ada di bawahnya dengan rasa puas karena telah berhasil melewati banyaknya rintangan yang menghadang. Kita pun akan takjub akan kebesaran Sang Pencipta.
Di dalam gunungan wayang, biasanya kita akan melihat adanya gambar pohon, burung dan ular. Hal ini menunjukan bahwa gunung dan seisinya selalu ingin dijaga kelestariannya. Gunung merupakan anugrah dari Tuhan yang tiada terkira. Tidak bisa dibayangkan bagaimana hidup manusia tanpa adanya gunung dan seisinya.
Prof. Stephen Oppenheimer, peneliti dari Universitas Oxford Inggris menyatakan bahwa pohon, burung dan ular merupakan sumber dari kehidupan. Dalam buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (1998), Dia menulis bahwa ketika bumi masih berada di zaman es, pepohonan menjadi pusat sentral kehidupan.
Tumbuhnya pohon menandakan bahwa tanah subur. Dari pohon, manusia kemudian bisa memakan buahnya. Adanya gambar burung dan ular yang biasa ditemukan dalam gunungan, menurut pengamatan Prof Stephen, merupakan simbol akan adanya Sang Pencipta Kehidupan. Burung merupakan simbol yang menggambarkan langit dan sifat laki-laki. Sebaliknya, ular merupakan simbol yang menggambarkan wujud bumi dan memiliki sifat wanita. Jika pepohonan, burung dan ular bisa berkumpul, bumi akan subur.
Selain itu, dalam gunungan juga terdapat gambar dua buta (raksasa) yang sedang memegang gada. Siapa yang hendak naik ke atas puncak gunung, maka ia harus menghadapi dua buta yang bengis itu. Filosofinya adalah tidak dapat dipungkiri bahwa memang butuh perjuangan yang tidak mudah untuk bisa meraih dan menggapai suatu kemuliaan. Selain itu, dalam gunungan juga ada gambar berbagai macam hewan seperti macan, banteng dan kera. Kesemuanya bisa hidup berdampingan di gunung.
Sekarang gunung telah dipadati oleh aktivitas manusia. Gunung menjadi tumbal manusia dalam memenuhi segala keinginannya. Pohon dan hewan menjadi korban keserakahan manusia. Tidak terhitung lagi dan entah sampai kapan semuanya menjadi korban tindakan rakus manusia. Jika sudah demikian, kita hanya bisa melihat tanpa bisa sampai ke puncak gunung.
Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari artikel berbahasa Jawa yang ditulis oleh Dhino Zustiyantoro (SUARA MERDEKA 1 Juni 2014).
Labels:
Mozaik,
Seni Budaya
Thanks for reading Gunungan dalam Wayang dan Filosofinya. Please share...!
0 Komentar untuk "Gunungan dalam Wayang dan Filosofinya"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.