Tembang Ura-Ura Orang Jawa

Orang jawa

Dulu, Orang-orang jawa di desa memiliki kebiasaan menghibur diri dengan tembang yang berlirik ringan namun sarat makna. Kebiasaan itu disebut ura-ura. Biasanya, orang menembang (bernyanyi) dengan bersuara agak keras sembari melakukan rutinitas aktivitas sehari-hari. Orang yang nembang ura-ura berbeda dengan berpentas di panggung seperti halnya tembang macapat pada suasana 'resmi'.

Pilihan orang untuk ber ura-ura menuruti perasaan, cuaca, waktu, tempat dan suasana. Maka tidak kaget jika pagi atau malam ada orang yang ber ura-ura. Di telinga keluarga atau tetangga, ura-ura itu sejenis penghiburan dan kemauan mengerti hidup melalui lirik pengajaran berbahasa jawa. Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939) mengartikan oera-oera adalah tetembangan seroe atau tetembangane moeng apalan bae.

Poerwadarminta juga mengartikan oeran-oeran adalah tembang kang dianggo oera-oera. Dari sini kita mengerti bahwa ura-ura itu peristiwa dan uran-uran itu tembang dalam ura-ura. Dulu, ura-ura biasa digunakan untuk meredakan tangis bocah. Orang tua momong anaknya sambil ber ura-ura. Di desa, manfaat ura-ura juga mengarah ke pengajaran nilai-nilai hidup, dari urusan keluarga sampai berbangsa bernegara.

Memang keberadaan seni ura-ura ini kurang begitu di'akui' atau kalah pamor sebagai bentuk seni jawa. Orang jawa cenderung lebih mudah mengingat dan mengakui macapat sebagai ungkapan seni jawa. Ura-ura teranggap sepele atau berada dalam 'pembingkaian' dan 'pembakuan' macapat. Uran-uran itu memang sederhana dan mudah dilantunkan orang di desa saat waktu senggang. Isi uran-uran juga tentu berbeda rasa dan bahasa dari propaganda pemerintah melalui selebaran resmi atau pidato. Meskipun begitu, isi ura-ura juga sarat akan makna. Selain berisi penghiburan, kebiasaan orang jawa ber ura-ura juga sarat akan pengajaran. Dengan rengeng-rengeng tembang ura-ura, sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi orang-orang tua jawa pada masa lalu. Ura-ura bisa untuk mengekspresikan kegembiraan, menghadapi duka lara dan sebagainya.

Sebagai contoh, dalam tembang ura-ura yang berjudul "Ngudi Kawruh", Siswowidjojo mengingatkan lewat petikan syairnya:

"Kang pinutjung tijang gesang wadjibipun/ngudi sandang teda/dadi sranane ngaurip/lantarane duwe kawruh warna-warna/Kawruh iku nadjan rekasa diluru/adja pada wegah/saregep sahari-hari/nora kena grabajak-grabajak nuli bubar..."

Isi dalam tembang ura-ura di atas menerangkan tentang kewajiban mencari ilmu, karena pentingnya memiliki ilmu sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Meskipun begitu, lirik syair tembang di atas bisa saja ditembangkan sambil memasak di pawon, mencuci di sumur, atau momong bocah di halaman.

Ura-ura bukan peristiwa agung dan resmi dalam pementasan di gedung kesenian atau keraton. Orang desa berhak ber ura-ura sambil menjalankan aktivitas sehari-hari. Ura-ura bermanfaat bagi diri dan sesama yang turut mendengarnya. Konon, orang yang senang ura-ura tidak bakal cepat lelah dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Terlebih, ura-ura dapat dijadikan sebagai perantara penghiburan dan pengajaran hidup.




Dikutip dari tulisan Bandung Mawardi, Suara Merdeka, 3 Desember 2017.
Labels: Seni Budaya

Thanks for reading Tembang Ura-Ura Orang Jawa. Please share...!

0 Komentar untuk "Tembang Ura-Ura Orang Jawa"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.