Hukum Berkirim Pahala Untuk Mayit, Apakah Sampai?


Setiap tindakan ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim akan mendapat hadiah (ganjaran) pahala dari Allah SWT. Seseorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dapat memperoleh pahala amalnya itu, orang yang bershadaqah kepada fakir miskin dapat memperoleh pahalanya, orang yang memberi pertolongan kepada orang lain juga dapat memperoleh pahala amal pertolongannya itu, demikian seterusnya. Sekecil apapun amal kebajikan yang kita lakukan, akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Dalam firmanNya disebutkan:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗ  

"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah, 7)

Dalam ayat di atas dinyatakan dengan tegas bahwa seseorang yang mengerjakan suatu kebaikan sedikit saja, meskipun beratnya sekecil debu, maka baginya memperoleh pahala dari Allah SWT. Tidak hanya itu saja, akan tetapi seseorang juga dapat memperoleh pahala amal yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya pahala amal yang dikirimkan kepada kedua orang tuanya, sanak saudaranya dan lain-lain. 

Apakah seseorang dapat memperoleh pahala amal orang lain? 


Baca Al Qur'an hadiah untuk mayit

Di kalangan Nahdiyyin, sudah menjadi tradisi untuk mengirimkan pahala kepada orang yang telah meninggal melalui bacaan-bacaan ayat suci Al Qur'an, tahlil, doa-doa dan amalan ibadah lainnya. Menurut ajaran Islam, amalan seperti ini adalah diizinkan, karena dengan bacaan-bacaan tersebut, si mayit (orang yang telah meninggal) akan memperoleh pahalanya. Artinya, si mayit itu akan memperoleh faedah dan manfaat serta akan diangkat derajatnya di akhirat kelak. 

Hal ini tidak berarti bahwa manusia ketika hidup harus selalu menunggu-nunggu atau mengharapkan saja akan datangnya pemberian pahala dari orang lain, akan tetapi ia masih berada di dalam lingkaran beban dan tanggung jawab melaksanakan segala perintah Allah dan Rasulnya. Jika tanggungan (taklif) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka ia akan memperoleh pahala amalnya itu. 

Mengenai persoalan pemberian hadiah pahala ini hendaknya kita renungkan firman Allah berikut ini:

وَالَّذِيْنَ  اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَـقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَاۤ  اَلَـتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ ۗ 

"Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami (Allah) menghubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada akan mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka". (QS. At Thur, 21)

Menurut pengertian makna ayat ini, anak cucu (yang beriman) akan ditinggikan derajatnya oleh Allah lantaran derajat yang dimiliki orang tua mereka yakni orang tua yang beriman. Dan Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama menjadi satu berada di dalam surga. Hal ini disebabkan karena akibat pahala amal-amal kebaikan yang diperoleh orang tua-orang tua mereka dan bermanfaat pula bagi cucu-cucu mereka itu. 

Kalangan Mufassirin (ahli tafsir) pada umumnya sepakat bahwa amal seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Pendapat ini dicetuskan dengan suatu ikatan apabila keduanya sama-sama mukmin, maksudnya orang yang menghadiahkan pahala mukmin dan yang dihadiahi juga mukmin, orang tua-orang tua dan anak cucu keduanya juga sama-sama mukmin. Sedang jika salah satu di antara keduanya ada yang kafir, maka tidak dapat bermanfaat pahala tersebut. 

Dalam tafsir At Thabari juz 27 hlm 13 - 15, Imam At Tabari menjelaskan secara panjang mengenai masalah ini dengan menyampaikan dasar-dasar hadits Nabi, beliau berpendapat bahwa seorang anak dapat memperoleh syafaat pahala amal orang tuanya, meskipun amal yang dimiliki oleh anak tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki orang tuanya, karena itu si anak ini berakibat menjadi terangkat derajatnya sesuai dengan derajat orang tuanya. Imam As Shawi dalam kitab tafsirnya juga berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya dapat memperoleh manfaat doa orang lain, dan ia dapat mengambil manfaat doa yang dari orang lain tersebut. 

Jika diteliti dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya banyak dijumpai hadits yang menerangkan secara jelas bahwa pahala amal baik seseorang yang masih hidup dapat sampai kepada yang sudah mati. Di antaranya adalah hadits berikut ini:

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من مات وعليه صوم صام عنه وليه

"Dari Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia sedang ia berhutang puasa, maka walinya boleh menggantikan puasanya itu". (HR. Muslim)

Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang ia mempunyai tanggungan (hutang) puasa, maka puasanya boleh digantikan (dikerjakan) oleh walinya (ahli warisnya). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, hal ini sunnah hukumnya bagi wali untuk membayar hutang puasa si mayit. Jadi kalau demikian amal puasa wali (ahli waris) itu dapat dikirimkan pahalanya kepada mayit dan bermanfaat baginya.

Imam Tirmidzi dalam kitabnya "Shahih Tirmidzi" juga menyebutkan sebuah hadits:

عن ابن عباس أن رجلا قال يا رسول الله إن أمي قد توفيت أينفعها شيء إن تصدقت به عنها قال نعم، قال فإن لي مخرافا فأشهدك أني قد تصدقت عنها

"Dari Ibnu Abbas ia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Ibuku telah meninggal dunia, adakah manfaatnya kalau aku bershadaqah untuk ibuku? Rasulullah menjawab:" Ya" (dapat bermanfaat). Kemudian orang tersebut berkata: aku mempunyai sebuah kebun dan aku meminta kesaksianmu bahwa kebun tersebut telah aku sedekahkan (waqafkan) untuk ibuku". (HR. Tirmidzi)

Pokok isi dari hadits di atas ini menunjukan bahwasanya Rasulullah membenarkan dengan perkataan "ya" terhadap pertanyaan seorang laki-laki yang ibunya telah meninggal dunia, dan ia berhajat mendermakan kebun yang pahalanya dihadiahkan kepada ibunya orang tersebut. Artinya, bahwa si ibu yang sudah meninggal dunia itu dapat memperoleh manfaat dan mengambilnya dari pahala amal sedekahnya (waqaf) kebun yang diusahakan anaknya itu.

Adapun mengenai berkirim doa, dalam sebuah hadits disebutkan:

عن معقال ابن يسار قال النبي صلى الله عليه وسلم إقرءوا يس على موتاكم
  
"Dari Mi'qal bin Yasar, Nabi SAW bersabda: "Bacakanlah Surat Yasin atas orang-orangmu yang sudah meninggal dunia (mati)". (HR. Abu Daud)

Berdasarkan hadits tersebut, maka dapat dipahami bahwa Nabi memerintahkan agar orang-orang yang sudah mati supaya dibacakan Surat Yaasin. Hal ini berarti bahwa menurut Nabi, amal bacaan Surat Yaasin dapat dihadiahkan pahalanya kepada yang sudah mati dan bermanfaat baginya. Di dalam hadits tersebut secara tegas juga dinyatakan dengan kalimat "mautaakum" artinya orang-orang yang telah mati, bukan terbatas kepada orang yang akan mati saja.

Dalam kitab Al Mizanul Kubra disebutkan bahwa pada dasarnya para imam madzhab bersepakat pendapat bahwa pahala amal bacaan itu dapat sampai kepada si mayit dan bermanfaat baginya. Hanya saja menurut Imam Abu Hanifah, beliau menghukumi makruh dalam arti bahwa amalan tersebut makruh dikerjakan. Dalam Al Mizanul Kubra disebutkan:

وأجمعوا على أن الإستغفار والدعاء والصدقة والحج والعتق تنفع الميت ويصل إليه ثوابه وقرأة القرأن مستحبة وكرهها أبو حنيفة

"Dan sepakat para imam madzhab bahwa istighfar, doa, shadaqah, haji, dan memerdekakan budak itu dapat bermanfaat kepada mayit dan dapat sampai pahala amal itu kepadanya, dan demikian juga halnya amalan membaca Al Qur'an di kuburan adalah sunnah hukumnya, akan tetapi Abu Hanifah menghukumi makruh". (Al Mizanul Kubra I/90).

Imam Ahmad bin Hambal bahkan tampak lebih menegaskan pendapatnya tentang persoalan hadiah pahala Al Qur'an yang dikirimkan kepada mayit, sebagaimana kata beliau:

إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والإخلاص والمعوذتين واجعلوا ثواب ذالك لأهل المقابر فإنه يصل إليهم

"Apabila kamu sekalian telah memasuki kuburan-kuburan, maka bacalah Fatihahnya Kitab (surat Al Fatihah), surat Al Ikhlas, surat Al Mu'awwidzatain (Al Falaq dan An Nas) dan kirimkanlah pahala bacaan tersebut kepada para ahli kubur, sesungguhnya pahala itu tadi akan sampai kepada mereka". (Hasyiyah I'anatut Thalibin I/1341)

Keterangan ini memberikan penjelasan bahwa pahala bacaan Al Qur'an orang yang masih hidup pada hakikatnya dapat sampai kepada ahli kubur (mayit). Oleh sebab itu, Imam Ahmad juga pernah berkata:

ثواب القرأة يصل إلى الميت ويحصل نفعه 

"Pahala bacaan Al Qur'an itu dapat sampai kepada mayit dan dapat pula memberikan manfaat baginya". (Al Mizanul Kubra I/91)

Sementara menurut Imam Syafi'i, ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan pahala tersebut tidak dapat sampai kepada mayit, sedangkan pendapat yang kedua pahala dapat sampai kepada mayit. Namun menurut qaul yang kuat, sebagaimana yang masyhur dikalangan para ashab (pengikut Imam Syafi'i), pendapat kedualah yang diterima, artinya pahala amal dapat sampai kepada mayit. Mengenai hal ini, dalam kitab I'anatut Thalibin disebutkan:

قوله "لأ يصل ثوابها" ضعيف وقوله "وقال بعض أصحابنا يصل" معتمد

"Pendapat yang mengatakan bahwa tidak dapat sampai pahala bacaan kepada mayit adalah dhoif, dan fatwa sebagian besar dari kalangan shahabat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sampai pahala tersebut kepada mayit adalah yang kuat". (I'anatut Thalibin III/221)

Dalam kitab Al Adzkar juga disebutkan:

قال الشافعي والأصحاب يستحب أن يقرأ شيئا من القرأن قالوا فإن ختم القرأن كله كان حسنا

"Berkata Imam Syafi'i dan para sahabatnya: "Disunnahkan hukumnya membaca sedikit saja dari Al Qur'an di hadapan mayit. Dan berkata mereka sahabat Imam Syafi'i: Jika telah dapat khatam semuanya itu adalah baik sekali". (Al Adzkar 147)

Jadi kongkritnya, menurut pendapat Imam Syafi'i dan sebagian besar para sahabatnya, mengirimkan pahala bacaan Al Qur'an dan bacaan-bacaan yang lain adalah dapat sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya, beliau juga menegaskan bahwa amalan semacam itu hukumnya sunnah. Oleh karenanya, di kalangan para Ulama masyhur pendapat bahwa sebaiknya sesudah bacaan doa itu selesai maka hendaknya ditambah perkataan di dalam doa sebagaimana berikut:

.... اللهم أوصل ثواب ما قرأناه إلى فلان

(Allahumma aushil tsawaaba ma qara'naahu ila....) 
"Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan (Al Qur'an) yang kami baca ini kepada si mayit fulan......"

Demikianlah, bahwa pada hakikatnya Allah dan Rasulnya beserta sebagian besar para jumhur Ulama telah membenarkan praktek menghadiahkan pahala suatu amal kebaikan kepada mayit, seperti pahala amal puasa, shadaqah, bacaan Al Qur'an dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, selayaknya apabila amalan semacam ini senantiasa berjalan dan berkembang terus di kalangan umat Islam di bawah bimbingan para Alim Ulama. Memang ada sebagian dari saudara kita yang tidak sefaham dengan penuturan di atas. Namun mesti berbeda pendapat, hendaknya tetap saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Janganlah sampai terjadi saling olok-mengolok apalagi sampai berani mengkafirkan sesama saudaranya yang Muslim. Wallahu A'lam.

Labels: Kajian Islam

Thanks for reading Hukum Berkirim Pahala Untuk Mayit, Apakah Sampai?. Please share...!

0 Komentar untuk "Hukum Berkirim Pahala Untuk Mayit, Apakah Sampai?"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.