Dalam kesenian Wayang, ada berbagai properti yang digunakan untuk mendukung berjalannya sebuah pertunjukan wayang. Properti atau simbol materiil berwujud benda-benda yang digunakan dalam pakeliran wayang ini merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat terpisahkan. Benda-benda tersebut misalnya kelir (kain putih tempat dalang memainkan wayang), Debog, blencong, kothak, keprak dan lain-lain. Di antara sekian benda-benda tersebut yang menarik perhatian adalah gedebog (pisang), debog atau debogan.
Penggunaan gedebog pisang dalam pertunjukan wayang merupakan tradisi turun-temurun sejak dari masa lalu. Konon pertunjukan wayang sendiri merupakan media yang seringkali dipakai oleh para Wali dan Ulama pada masa lalu dalam perjuangannya menyebarkan islam. Oleh karenanya, meski zaman telah modern, penggunaan debog pisang dalam wayang tetap dipertahankan sebagai warisan turun temurun yang tidak tergantikan oleh benda-benda yang lain. Dan tentunya selain dari pada itu, ada makna yang terkandung dari pemakaian debog pisang ini.
Dalam pertunjukan wayang, debog pisang berfungsi sebagai tempat untuk menancapkan wayang. Debog ini terdapat dua bagian yaitu debog atas dan debog bawah. Debog dibentangkan di bawah kelir, serta memanjang ke kiri dan ke kanan sebelah menyebelah. Debog pisang merupakan tempat untuk menancapkan wayang, baik yang dimainkan maupun yang dipamerkan. Sudah barang tentu untuk menancapkan wayang yang ditampilkan atau pun dipamerkan juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan dalang, dan mana pula yang harus berada disebelah kirinya.
Dalam tata panggung wayang, peran gedebog dibagi menjadi enam bagian sesuai dengan fungsinya. Berikut pembagiannya:
1. Siti inggil tengen, yaitu gedebog bagian atas di sisi kanan. Tokoh wayang yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil tengen ini adalah raja.
2. Siti inggil kiwa, yaitu gedebog bagian atas di sisi kiri. Tokoh wayang yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil kiri adalah tamu.
3. Siti inggil tengah, yaitu gedebog bagian atas di tengah atau tepat di depan dalang. Tokoh wayang yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati siti inggil tengah adalah wayang yang keluar sendiri.
4. Paseban tengen, yaitu gedebog bagian bawah di sisi kanan. Tokoh wayang yang layak dan pantas serta berhak untuk menempati paseban tengen adalah emban.
5. Paseban kiwa, yaitu gedebog bagian bawah di sisi kiri. Tokoh wayang yang berada di sisi ini adalah untuk prajurit.
6. Paseban tengah adalah gedebog bagian bawah di tengah atau tepat di depan dalang. Sisi ini untuk wayang dalam keadaan sedih yang menancapnya hanya sebentar.
Filosofi Gedebog Pisang dalam Pertunjukan Wayang
Meski terlihat remeh, dalam pertunjukan kesenian wayang, debogan mempunyai peranan yang sangat penting. Jika tanpa ada debogan, pertunjukan wayang tidak akan bisa dilaksanakan, karena wayang tidak akan bisa ditancapkan dan dimainkan. Dalam wayang, gedebog tidak hanya mempunyai nilai praktis sebagai alat untuk menancapkan wayang, akan tetapi ia juga mempunyai nilai-nilai simbolik.
Gedebog mengandung falsafah sebagai dasar atau bumi dimana segala makhluk hidup dan segala peristiwa berkembang atau gumelaring dumadi. Dalam lakon Murwakala, gedebog itu mempunyai nilai sama dengan Hyang Nagaraja, raja ular, atau Ananta Boga yang berada di bumi Sappitu (lapis tujuh). Kelir dan gedebog melambangkan sekalian alam semesta, yaitu kelir sebagai sorga, juga tubuh manusia atau mikrokosmos, dan gedebog nilainya sama dengan bumi atau alam fana. Fungsi gedebog dalam pergelaran wayang kulit ini tertulis yaitu dalam Serat Centhini.
Sementara dalam pagelaran wayang cepak (mirip wayang golek/ berkembang di wilayah Cirebon) hampir sama sebetulnya sebagaimana dalam wayang kulit, gedebog pisang melambangkan 'jagat', atau bumi tempat berpijak manusia. Biasanya, dalam pertunjukan, gedebog yang dipakai untuk menancapkan wayang berjumlah dua buah. Dua gedebog tersebut diletakkan secara horizontal, yang satu pangkalnya dijulurkan ke sebelah kiri dan yang satu lagi sebaliknya. Gedebog ini kemudian ditancapkan pada dua buah penyangga. Pangkal gebog yang menjulur ke sebelah kiri biasanya diletakkan paling depan, dan yang satunya lagi di belakang. Jika kedua batang gebog itu sudah disangga dan berada di hadapan dalang, maka ia berubah nama menjadi Jagat.
Dalam tradisi Wayang Cepak, gedebog yang paling depan (di hadapan dalang) disebut dengan Jagat Kabir, dan yang di belakangnya disebut Jagat Sagir, atau Jagat Ageung dan Jagat Alit. Secara simbolik, dua jagat tersebut mengingatkan kita akan dua hal yang bertentangan. Menurut faham primordial, dua hal yang bertentangan itu suatu saat harus dipertemukan agar terjadi persesuaian atau keselarasan (harmoni).
Gedebog mengandung falsafah sebagai dasar atau bumi dimana segala makhluk hidup dan segala peristiwa berkembang atau gumelaring dumadi. Dalam lakon Murwakala, gedebog itu mempunyai nilai sama dengan Hyang Nagaraja, raja ular, atau Ananta Boga yang berada di bumi Sappitu (lapis tujuh). Kelir dan gedebog melambangkan sekalian alam semesta, yaitu kelir sebagai sorga, juga tubuh manusia atau mikrokosmos, dan gedebog nilainya sama dengan bumi atau alam fana. Fungsi gedebog dalam pergelaran wayang kulit ini tertulis yaitu dalam Serat Centhini.
Sementara dalam pagelaran wayang cepak (mirip wayang golek/ berkembang di wilayah Cirebon) hampir sama sebetulnya sebagaimana dalam wayang kulit, gedebog pisang melambangkan 'jagat', atau bumi tempat berpijak manusia. Biasanya, dalam pertunjukan, gedebog yang dipakai untuk menancapkan wayang berjumlah dua buah. Dua gedebog tersebut diletakkan secara horizontal, yang satu pangkalnya dijulurkan ke sebelah kiri dan yang satu lagi sebaliknya. Gedebog ini kemudian ditancapkan pada dua buah penyangga. Pangkal gebog yang menjulur ke sebelah kiri biasanya diletakkan paling depan, dan yang satunya lagi di belakang. Jika kedua batang gebog itu sudah disangga dan berada di hadapan dalang, maka ia berubah nama menjadi Jagat.
Dalam tradisi Wayang Cepak, gedebog yang paling depan (di hadapan dalang) disebut dengan Jagat Kabir, dan yang di belakangnya disebut Jagat Sagir, atau Jagat Ageung dan Jagat Alit. Secara simbolik, dua jagat tersebut mengingatkan kita akan dua hal yang bertentangan. Menurut faham primordial, dua hal yang bertentangan itu suatu saat harus dipertemukan agar terjadi persesuaian atau keselarasan (harmoni).
Jika diperhatikan dari cara penyatuan kedua gedebog sebagai 'jagat' tersebut, maka kita akan melihat suatu hal yang paradoks. Pangkal gedebog yang satu bersanding dengan ujung gedebog yang satunya lagi. Ketika pangkal dan ujung disandingkan maka lebar masing-masing ujung 'jagat' itu akan sebanding. Itulah harmoni dari apa yang disebut posisi binner, yakni penyatuan dua unsur yang bertentangan, pangkal dan ujung (pucuk).
Alegori dalam pertunjukan wayang yang dilambangkan dengan dua buah gedebog tadi, adalah bumi, sebagai panggungnya kehidupan. 'Jagat' adalah gambaran kehidupan makrokosmos, yakni tempat manusia menginjakkan kaki, menundukkan dan menengadahkan kepalanya. Penggambaran itu adalah realitas kehidupan. Bumi dengan segala isinya adalah panggung sekaligus lakon kehidupan, dan langit dengan segala bintangnya adalah payung dan cahaya yang menerangi. Kita hidup karena ada yang menghidupkan. Dalam kehidupan, siang dan malam pun berganti tanpa terasa. Dalam wayang, satu jam sama dengan satu menit, sehari sama dengan satu jam, seminggu sama dengan sehari, dan sebulan sama dengan seminggu. Demikian alegori yang sering diucapkan dalang dari jagat gedebog pisang.
Paribasa Jawa Gedebog Pisang
Dikatakan bahwa hampir semua bagian dari pohon pisang itu bermanfaat. Begitu pula dengan gedebognya. Selain menjadi properti dalam pertunjukan wayang, dengan sentuhan seni dan kreatifitas, gedebog pisang juga bisa dijadikan aneka-rupa kerajinan. Kalau pun tidak, gedebog pisang bisa diolah untuk campuran sebagai pakan ternak, bahkan konon pada jaman penjajahan Jepang, rakyat kita banyak yang mengolah bagian paling dalam dari batang pisang ini untuk dimakan. Demikianlah di antara manfaat dari gedebog (batang) pisang.
Jika dalam pertunjukan wayang debog mendapat posisi terhormat sebagai tempat menancapkan wayang, dalam paribasan jawa, 'gedebog' seringkali digambarkan mewakili sifat manusia yang kurang baik. Mungkin penggambaran ini ditinjau dari sifat fisik 'gedebog' yang licin dan mudah busuk itu. Di antara paribasan jawa yang berkaitan dengan gedebog adalah seperti berikut ini:
1. Nguwod Gedebog
Dalam bahasa jawa, nguwod berarti meniti, jadi arti dari nguwod gedebog adalah menggunakan gedebog sebagai titian. Ada beberapa makna yang bisa diambil dari paribasan ini, di antaranya:
a. Nguwod gedebog bisa diartikan seperti memberi kepercayaan kepada orang yang tidak punya kompetensi.
b. Nguwod gedebog juga diartikan sebagai orang yang celaka karena meniti/ mengikuti) orang (gedebog) yang licin hatinya.
c. Nguwod gedebog diartikan orang yang tidak bisa dipercaya seperti halnya sifat gedebog yang licin.
Sifat licin gedebog ini memang berbahaya bagi kebanyakan orang. Orang yang mencoba meniti di atas gedebog ini kebanyakan pasti akan tergelincir karena licinnya, kecuali mungkin bagi orang yang punya keahlian main akrobat. Oleh karenanya kita mesti waspada pada orang yang licin hatinya, agar kita tidak tergelincir celaka nantinya.
2. Ngandel Tali Gedebog
Biasanya, gedebog pisang bisa juga dijadikan tali. Gedebog pisang dikeringkan terlebih dahulu dan kemudian dijalin, maka jadilah tali untuk mengikat sesuatu. Namun perlu diketahui bahwa tali dari gedebog pisang ini biasanya mudah putus, alias tidak kuat seperti halnya tali ijuk. Arti dari paribasan ngandel tali gedebog ini adalah seperti halnya percaya (ngandel) kepada orang yang tidak meyakinkan.
3. Gedebog Bosok
Gedebog pisang merupakan batang semu, sehingga cepat membusuk. Gedebog yang busuk, selain tidak indah dipandang mata, juga berlendir dan baunya tidak sedap. Oleh karenanya gambaran dari paribasan ini seperti halnya seseorang yang wajah atau kelakuannya bosok (tidak baik), ibaratnya seperti gedebog yang bosok.
sumber:
wayangku.id
www.disparbud.jabarprov.go.id
iwanmuljono.blogspot.com
wayangku.id
www.disparbud.jabarprov.go.id
iwanmuljono.blogspot.com
Labels:
Seni Budaya
Thanks for reading Gedebog (debogan) Dalam Wayang dan Filosofinya. Please share...!
0 Komentar untuk "Gedebog (debogan) Dalam Wayang dan Filosofinya"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.