Perkembangan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Jawa


Memang ada beberapa pendapat atau teori mengenai kapan masuknya Islam ke tanah Nusantara. Bahkan ada yang mengatakan Islam telah ada di bumi Nusantara ini sejak abad ke 7. Namun di tanah jawa, perkembangan Islam mulai bisa dikatakan signifikan dan meluas pada sekitar akhir abad ke 13, atau era-era berakhirnya kekuasaan Majapahit. Berbeda dengan di luar jawa, di mana Islam langsung mendapat dukungan dari penguasa setempat (Samudra Pasai/ abad ke XIII), masuknya agama Islam ke tanah Jawa justru banyak mengalami hambatan. Islam masuk ke Jawa harus menghadapi masyarakat jawa yang penuh dengan budaya mistis dan bangunan kepercayaan Animisme-Dinamisme yang sudah sedemikian mengakar kuat. Oleh karenanya, dakwah Islam untuk beberapa abad tidak mampu menembus dinding istana yang masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Budha Kejawen.

Orang jawa shalat
ilustrasi

Masuknya agama Islam ke tanah jawa, yang dibawa oleh kaum pedagang muslim dan Ulama Sufi, pada awalnya memang tidak mampu menembus lingkungan kerajaan atau keraton, sehingga dakwah Islam saat itu pun dilakukan oleh para Ulama mulai dari daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh dari lingkungan kerajaan. Masyarakat pesisir yang cenderung memiliki watak egaliter, tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung lebih mudah untuk menerima ajaran Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia. Berawal dari sinilah, keberhasilan dakwah Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia disambut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan dianggap sebagai penerang dari kegelapan. 

Dalam perkembangannya, Islam akhirnya merasuk menjadi bagian hidup masyarakat pesisir, yang kemudian melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren di sepanjang pesisir pantai. Di daerah-daerah pesisir ini Islam tumbuh subur dan menjadi kekuatan besar (komunitas-komunitas pesantren) yang akhirnya mampu menandingi wibawa kerajaan. Setelah mengalami proses yang cukup panjang dan penuh dengan lika-liku, akhirnya dakwah Islam ini pun benar-benar berhasil meraih kesuksesan. Puncak keberhasilan dakwah Islam tersebut ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak dengan Raja Pertama Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar (1475-1518).

Berkembangnya Islam dan berdirinya kerajaan Demak sebagai pewaris kerajaan Majapahit (peralihan dari kerajaan Hindu ke kerajaan jawa Islam) tidak terlepas dari perjuangan para Ulama Sufi yang bergelar Wali tanah jawa (Walisongo). Meski merupakan kerajaan Islam, kerajaan Demak pun mewarisi tradisi kejawen pada umumnya. Meskipun syariat Islam diterapkan dan Al Qur'an sebagai sumber hukumnya, namun bukan berarti tradisi dan peradaban jawa musnah. Pengaruh ajaran Islam sejak abad ke 16 menjadi warna baru dalam sistem kerajaan di Jawa, seperti misalnya mengganti sebutan raja dengan Sultan. Unsur agama dan pejabat keagamaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kelengkapan kerajaan seperti kerajaan-kerajaan jawa pada masa-masa sebelumnya. 

Pada masa kerajaan Demak ini, dakwah tetap dilakukan secara aktif oleh Walisongo. Dalam menghadapi masyarakat yang kompleks para Wali mengambil kebijakan-kebijakan khusus. Islamisasi juga dimulai dari kalangan istana dan tradisinya, sampai pada seni, budaya dan sastra. Masa-masa inilah awal pertemuan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya jawa. Kesuksesan ini merupakan upaya atau perjuangan yang dilakukan oleh Walisongo dengan sistem dakwah multikulturalnya, melalui jalur perdagangan dan menggunakan pendekatan kekeluargaan. Pendekatan kekeluargaan dan budaya yang cenderung adaptif yang dilakukan oleh para Wali tersebut menjadi berkenan dan akhirnya diikuti oleh masyarakat jawa.

Runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan jawa Islam Demak menjadikan agama Islam subur di kalangan istana, menjadi bagian hidup para priyayi dan cendekiawan jawa. Hubungan antara para cendekiawan jawa dengan Ulama juga terjalin dengan baik, hingga akhirnya memunculkan terjadinya interaksi antara Islam dengan sastra dan budaya jawa. Para pujangga bertindak aktif, mengolah antara unsur-unsur kejawen dengan ajaran Islam. Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman Kabudhan (tradisi Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam). 

Masa kerajaan Demak yang kemudian diteruskan oleh kerajaan-kerajaan jawa Islam berikutnya yaitu Pajang, Mataram, Surakarta dan Kartasura masih mempertahankan tatanan tradisi kejawen yang sudah disesuaikan dengan Islam. Kehadiran agama Islam membangkitkan semangat hidup kerohanian dan sastra jawa, hingga lahirlah karya sastra baru yang merupakan perpaduan jawa dan Islam dalam bentuk Serat, Suluk, Primbon dan Wirid. Kitab-kitab kejawen tersebut mengajarkan tentang mistik, etika, dan hikayat yang merupakan pengolahan jawa atas Islam. 

Kecenderungan karya sastra para pujangga jawa menonjolkan aspek mistik, karena sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka untuk memberi dukungan dan membuat keramat sebuah institusi kerajaan. Tidak heran jika pada masa kini pun kekeramatan istana kerajaan jawa seperti halnya di Yogyakarta atau pun Surakarta masih dapat dirasakan keberadaannya. Namun perlu diketahui bahwa hal ini dimaksudkan agar kerajaan memiliki wibawa dan otoritas yang ditaati oleh rakyatnya, sehingga rakyat dapat hidup aman dan makmur di dalam pemerintahannya.

Dalam sejarah, Mataram sebagai kerajaan Islam pewaris Demak memiliki andil besar dalam menyuburkan khazanah Islam Jawa. Raja Mataram Islam yang terkenal dan mengukir sejarah paling monumental adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panata Agama Khalifatullah. Banyak peristiwa monumental yang diukir dan menjadi kebanggaan masa-masa sesudahnya, dan yang memberikan dampak paling besar adalah jasanya melakukan akulturasi budaya Islam di tanah jawa. 

Sebetulnya jika dicermati, kehadiran Islam di tanah Jawa juga membuahkan dua kelompok atas dasar keagamaannya, meskipun secara nominal keduanya termasuk agama Islam. Kelompok atau golongan pertama adalah mereka yang lebih dikenal dengan sebutan kaum santri. Mereka adalah kelompok yang kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi jawa pra Islam (Islam murni) dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Sedangkan kelompok kedua adalah golongan yang disebut kaum abangan. Mereka adalah kaum priyayi tradisional yang memadukan unsur dan tradisi jawa ke dalam Islam. Kelompok ini juga secara resmi mengakui Islam sebagai agamanya. 

Kaum priyayi yang mencerminkan sebagai golongan abangan atau jawa Kejawen banyak yang berasal dari pengikut-pengikut paguyuban, yaitu kelompok yang mengusahakan kesempurnaan hidup manusia melalui praktek-praktek asketis, meditasi dan mistik. Meskipun pada awalnya pola keberagamaan asketik (paguyuban-paguyuban Kejawen) itu dibangun oleh kaum priyayi, namun dalam perkembangannya banyak juga wong cilik (rakyat biasa) yang mengikuti paguyuban tersebut. 

Untuk membedakan kedua kelompok tersebut (abangan dan santri), dapat dilihat dari pengamalan kepercayaan atau praktek keagamaan antara dua kelompok tersebut. Hal ini terkait dengan cara-cara mereka melakukan ibadah serta kepatuhannya terhadap syariat Islam. Kaum abangan pada umumnya lebih cenderung mengatur hidupnya berdasarkan tradisi-tradisi kerajaan yang notabenenya merupakan warisan pra Islam yang sudah berbaur dengan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan kaum Santri berbeda dari kaum priyayi atau abangan dalam mengamalkan ajaran agamanya. Mereka berusaha untuk mengatur hidup mereka menurut aturan-aturan agama Islam. 

Disadur dari Islam dan Spiritualitas Jawa, Samidi Halim. 
Labels: Sejarah

Thanks for reading Perkembangan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Jawa. Please share...!

0 Komentar untuk "Perkembangan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Jawa"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.