Sabar dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu sabar dalam melaksanakan perintah dan perbuatan taat (ibadah), sabar dalam menjauhi larangan dan perbuatan penyelewengan lainnya, dan sabar dalam menerima kepastian (qadha) Allah, supaya orang tidak mengeluh terhadapnya. Dalam hal ini ada satu ungkapan, "Sudah menjadi keharusan bagi hamba Allah, adanya perintah untuk dikerjakan, larangan untuk ditinggalkan dan takdir (qadar) agar ia bersabar atasnya".
Selain itu, sabar dipilah lagi menjadi dua bagian, yaitu Ikhtiari yakni sabar terhadap suatu perkara atas dasar kerelaan hati nurani (tanpa paksaan), dan Idhthirari yakni sabar terhadap perkara yang mustahil dapat dihindari (dilawan). Sabar ikhtiari itu lebih mulia daripada sabar idhthirari, sebab sabar idhthirari ini sudah lazim menimpa umat manusia pada umumnya dan biasanya mampu teratasi, dimana di dalam sabar ikhtiari hal ini sulit tercapai. Karenanya, kesabaran Nabi Yusuf AS untuk menjauhi bujuk rayu istri raja Mesir adalah lebih agung nilainya daripada kesabarannya atas apa yang dilakukan saudara-saudaranya ketika mereka memasukannya ke dasar sumur.
Jadi, manusia tidak boleh terlepas dari sifat sabar dalam segala aspek dan kondisi yang melingkupinya dalam kehidupan ini. Di samping itu, manusia pun tidak mungkin terlepas dari suatu perintah yang menuntut perealisasiannya, larangan yang harus dijauhi dan ditinggalkan dan takdir Allah yang pasti berlaku atasnya serta suatu nikmat yang harus dia syukuri kepada yang memberinya, Allah SWT. Selama kondisi-kondisi ini mengelilingi kehidupannya, maka sifat sabar merupakan resep handal yang harus diteguknya sampai nanti menjelang sakaratul maut. Kondisi yang menimpa seseorang tidak pernah terlepas dari dua hal. Pertama, sesuatu yang sesuai dengan kemauan dan harapannya. Kedua, kondisi yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsunya. Untuk menghadapi keduanya, diperlukan unsur kesabaran.
Adapun perkara yang searah tujuan dengan harapan dan kemauannya, seperti tubuh yang sehat, mendapat kedudukan atau kekayaan materi, maka hal itu pun menuntut adanya kesabaran dengan:
Pertama, tidak menjadikannya sebagai sandaran dan berpalingnya hati, tidak terperdaya olehnya, dan tidak menyeretnya pada kecongkakan diri dan kegembiraan yang meluap-luap yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Kedua, tidak lupa daratan dalam meraihnya. Karena semua kekayaan, kesuksesan semua berasal dari Allah, sehingga semua itu harus dikembalikan kepada Sang Pemberi yaitu Allah SWT. Usaha atau ikhtiar memang keharusan manusia dalam berusaha menggapai impian atau kesuksesan dalam hidup, namun yang menentukan hasil dari itu adalah kehendak Allah SWT.
Ketiga, hendaknya bersabar dalam menunaikan hak Allah yang ada dalam miliknya itu.
Keempat, bersabar untuk memalingkan miliknya dari perkara haram.
Sebagian kaum Salaf berkata, "Baik orang mukmin maupun kafir, mereka mampu bersabar atas musibah, tapi mereka tidak akan bersabar atas karunia afiat, kecuali orang-orang yang benar dan lurus". Abdurrahman bin Auf berkata, "Kami diuji dengan kesulitan dan kesempitan, maka kami bersabar, dan kami diuji dengan kelapangan dan kemudahan, maka kami tidak mampu bersabar!".
Karena itulah Allah memberi peringatan kepada para hambaNya terhadap fitnah atas harta, istri dan anak, firmannya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu, dan anak-anakmu menjadikanmu lalai dari mengingat Allah" (QS. Al Munafiqun, 9).
Adapun kondisi hidup yang tidak selaras dengan harapan manusia, maka hal ini dibedakan menjadi beberapa bagian.
Pertama, segala sesuatu yang berkaitan dengan ikhtiar manusia, yaitu semua perbuatan yang bersifat taat atau maksiat.
Dalam masalah ketaatan, seseorang memerlukan kesabaran untuk melaksanakannya. Sebab nafsu manusia, sebagaimana tabiatnya, selalu ingin lari dari pengabdian kepada Allah SWT. Untuk menjalankan shalat misalnya, hawa nafsunya ingin bermalas-malasan dan keengganan, apalagi bila hal itu dilandasi oleh kekerasan hati, noda-noda dosa, suka menuruti syahwat dan bergaul dengan orang-orang yang jauh dan lalai dari Allah. Begitu juga dalam hal melaksanakan zakat, nafsu telah diwarnai oleh kekikiran dan begitulah seterusnya dalam hal ibadah-ibadah yang lain.
Untuk menjalankan ketaatan, syarat-syarat kesabaran yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh seorang hamba yaitu:
pertama, sebelum melakukan amal, hendaknya menata niat dan ikhlas melakukannya.
Kedua, ketika melakukan amal, dengan bersabar terhadap faktor yang akan mengurangi nilai amalan, mempertahankan niat yang telah dimulai sejak pertama kali mengerjakan amal dan jangan sampai anggota sudah siap (berdiri tegak) beribadah, tetapi hati tidak hadir atau berkonsentrasi di hadapan Allah SWT.
Ketiga, setelah melaksanakan amalan, yaitu dengan bersabar terhadap hal-hal yang membatalkannya. Sebab, yang terpenting di dalam beramal bukanlah pelaksanaannya, tetapi menjaga kesuciannya dari hal-hal yang bisa mengotori, bahkan membatalkannya. Dia harus bersabar dari riya', ujub, dan takabbur terhadap hasil kreatifitasnya. Dan bersabar terhadap hal-hal yang bisa membatalkannya.
Sebaliknya, bersabar dalam meninggalkan maksiat, maka hal ini masalahnya sudah jelas. Dan hal yang terbaik untuk menumbuhkan kesabaran ini adalah dengan membuang jauh-jauh kebiasaan yang negatif dan membuat jarak persahabatan dengan orang-orang yang suka bermaksiat. Jika kita sebelumnya terbiasa melakukan maksiat, maka niatkan dalam diri untuk meninggalkan semua itu dengan bersabar dan mulailah hidup dengan semangat baru untuk menggapai ridha Allah SWT.
Kedua, hal yang tidak termasuk dalam ikhtiar manusia, dan dia tidak berdaya untuk menolaknya, seperti datangnya musibah kepadanya. Musibah yang datang itu, kadangkala tidak melibatkan orang lain di dalamnya, misalnya karena bencana alam atau kematian. Dan ada pula musibah yang melibatkan orang lain, seperti pemukulan, penganiayaan atau caci maki. Dalam kaitannya dengan musibah yang berasal bukan dari orang lain, manusia dikelompokkan dalam empat tingkatan (maqam), yaitu:
1. Maqam 'Ajz (kelemahan iman), yaitu mengeluh dan mengadu kepada selain Allah.
2. Maqam Sabar.
3. Maqam Ridha. Baca juga: Ridha Terhadap Takdir Allah
4. Maqam Syukur, yakni dengan memaknai suatu musibah sebagai suatu nikmat yang harus disyukuri kepada Dzat yang menurunkan ujian itu bagi dirinya.
Sedangkan musibah yang melibatkan unsur manusia lain di dalamnya, maka dibagi pula menjadi empat maqam seperti di atas dan ditambah dengan empat maqam yang lain, yaitu:
5. Maqam 'Afwu (memaafkan orang yang mencelakakannya).
6. Maqam Salaamat ash Shadr (hati yang bersih dari keinginan balas dendam).
7. Maqam Qadar (meyakini bahwa itu adalah taqdir Allah).
8. Maqam Ihsan (berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk terhadap dirinya).
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Pengelompokkan Sabar. Please share...!
0 Komentar untuk "Pengelompokkan Sabar"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.