Asal Muasal Nama dan Sejarah Kabupaten Purworejo


Banyak kita amati fenomena Daerah-Daerah (Kabupaten) yang merubah hari jadinya. Termasuk di antaranya yaitu Kabupaten Purworejo. Jika biasanya perubahan merujuk pada data sejarah yang lebih tua, maka berbeda dengan Kabupaten yang satu ini. Ketentuan tentang hari jadi Kabupaten ini justru diambil dari data sejarah yang lebih baru.

Meskipun begitu, perubahan ini tampaknya lebih valid dan lebih sesuai jika diteliti dari segi nama dan sejarah keberadaan daerah ini sebagai sebuah wilayah pemerintahan. Kabupaten yang memiliki motto Purworejo BERIRAMA (Bersih, Indah, Rapi, Aman, dan Makmur) ini berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang di utara, Kabupaten Kulon Progo (Provinsi DIY) di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Kebumen di sebelah barat.

Sejarah Purworejo

Asal Usul Nama Purworejo


Wilayah yang sekarang dikenal dengan Purworejo ini merupakan salah satu kota tertua di Nusantara. Bahkan kabarnya wilayah ini sudah ada sejak sebelum munculnya kerajaan Majapahit. Pada masa Mataram Islam hingga abad ke-19, wilayah ini lebih dikenal sebagai Bagelen, yang saat ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten ini. 

Menurut sejarahnya, sebutan nama Purworejo baru ada sejak tahun 1830. Asal mula penyebutan Purworejo berawal dari peristiwa setelah Raden Adipati Cokrojoyo diangkat sebagai Tumenggung (Bupati) di wilayah ini pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono VI, yakni pada tahun 1828. 

Konon sebelumnya wilayah ini hendak diberi nama Brengkelan atas persetujuan para pembesar negeri dan Komisaris Van Lawick Van Pabst (Belanda). Namun saat itu Adipati Cokrojoyo yang kemudian bergelar Raden Adipati Aryo Cokronegoro I kurang berkenan dengan nama tersebut. Sebab Brengkelan mempunyai arti suka membantah dan tidak mau mengalah. 

Setelah memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa, terbersitlah sebuah nama yang bagus dan mempunyai arti yang baik serta mempunyai harapan atas masa depan yang gemilang. Nama yang beliau usulkan adalah Purworejo yang mempunyai arti awal dari kemakmuran yang akan dinikmati oleh para penduduknya. 

Penggunaan nama Purworejo yang dipilih oleh Cokronegoro dimaksudkan agar nantinya masyarakat di daerah ini menjadi mandiri, makmur dan sejahtera, karena saat itu memang Belanda masih berkuasa. Setelah mendapat persetujuan, wilayah yang menjadi kewenangan Raden Tumenggung Cokronegoro itu pun kemudian diubah namanya menjadi Purworejo. 

Jika dijabarkan, Purwo berarti awal, terdepan atau maju sedangkan rejo artinya makmur dan penuh dengan keberkahan serta kemuliaan. Dengan perubahan ini, harapannya daerah di bawah kewenangan Cokronegoro ini benar-benar akan bisa menjadi daerah yang mandiri, maju, makmur dan penuh berkah bagi masyarakatnya.

Dalam sejarahnya, wilayah Purworejo telah mengalami perjalanan yang sangat panjang sekali. Hal ini juga bisa kita ketahui dari ketentuan sejarah hari jadi Purworejo sebelum diganti dengan ketentuan yang sekarang. Sebelumnya, Prasasti 'Kayu Ara Hiwang' yang ditemukan di Desa Boro, Banyuurip sudah sejak lama menjadi penanda hari jadi lahirnya Kabupaten Purworejo. Prasasti Kayu Ara Hiwang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa kuno sebanyak 21 baris yang ditulis berkeliling dari sisi depan, samping kanan, sisi belakang dan samping kiri. 

Dari prasasti yang kini tercatat serta disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.78 ini diketahui bahwa kala itu, Desa Kayu Ara Hiwang wilayah Watutuhang (awal Purworejo Bagelen) ditetapkan menjadi 'Sima' (wilayah perdikan) oleh Rake Wanua Poh Dyah Sala, putra Sang Ratu Bajra yang bertanggal 5 Paro Gelap, hari Senin Warukung, bulan Asuji tahun 823 Saka. 

Dalam prasasti juga diungkapkan bahwa saat peresmian tersebut telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Thang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mntyasih (Matesh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pekambingan, Kalungan (Kalongan, Loano). 

Berdasarkan temuan prasasti yang jika dikonversikan bertanggal 5 Oktober 901 Masehi inilah akhirnya oleh sidang DPRD kabupaten Purworejo kemudian (pernah) dipilih dan ditetapkan menjadi hari lahirnya Kabupaten Purworejo. Selain atas dasar prasasti tersebut, Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada abad ke-15 juga kabarnya pernah melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari Bali ke Pakuan. Hal ini juga menunjukan bahwa telah sekian lama daerah Purworejo ini telah dijadikan permukiman sejak zaman dahulu kala. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, wilayah Purworejo merupakan salah satu kota tertua di Nusantara. Sejak zaman dahulu, wilayah yang sebelumnya lebih dikenal sebagai wilayah tanah Bagelen ini merupakan kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain. Dalam sejarah juga tercatat sejumlah tokoh yang berasal dari wilayah ini. 

Sebagai contoh, dalam pengembangan agama Islam di tanah Jawa bagian Selatan, kita mengenal tokoh Sunan Geseng. Sunan Geseng dikenal sebagai Ulama besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukula dan pengaruhnya sampai ke Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang. 

Selain itu, saat masa pembentukan kerajaan Mataram Islam, banyak tokoh dari Bagelen yang menjadi pasukan andalan Sutawijaya yang setelah bertahta kemudian bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah, tercatat pula bahwa tokoh Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Bagelen sangat disegani. Saat perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Bagelen juga menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat. 

Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada Hindia Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (setelah Perang Diponegoro), wilayah Bagelen kemudian dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibu kotanya Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo yang dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro I.

Adipati Cokronegoro I dilantik menjadi bupati pada hari Rabu Wage tanggal 17 Besar tahun Jumadil awal 1757 Jawa atau 1245 H yang bertepatan dengan tanggal 9 juni 1830. Pelantikan ini dilakukan di tanah Bagelen oleh komisaris Belanda untuk tanah-tanah Mancanegara bagian barat, yaitu Van Sevenhoven dan diambil sumpahnya oleh Kyai Haji Akhmad Badaruddin (bekas penasehat Pangeran Diponegoro) yang turut dalam perundingan di Magelang, dan kemudian diangkat sebagai penghulu landraad untuk Kadipaten Bagelen. 

Sebagai Bupati Purworejo, banyak peranan yang telah dilakukan oleh Adipati Cokronegoro I. Beliau merupakan bupati Purworejo pertama yang telah banyak berjasa dalam pembangunan di wilayah Kabupaten Purworejo. 
Dalam perkembangannya, pada tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kemudian merubah kembali administrasi pemerintah di Kedu Selatan, yakni Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjadi satu dengan Kebumen dan menjadi Kabupaten Kebumen. Sedangkan Kabupaten Semawung (Kutoarjo) juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan Kabupaten Ledok kemudian menjadi Kabupaten Wonosobo.

Sebagai pusat pemerintahan, kota Purworejo dibangun dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Purworejo saat itu adalah kota tangsi militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam juga dipusatkan pemukimannya di sini. 

Sejumlah bangunan tua bergaya indischmasih juga masih terawat dan digunakan hingga kini, di antaranya seperti Masjid Jami' Purworejo (tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879).

Ketentuan Hari Jadi Kabupaten Purworejo


Terkait hari jadi Kabupaten Purworejo, semula ketentuan mengenai hal tersebut berpatokan pada prasasti 'Kayu Ara Hiwang' yang bertanggal 5 Oktober 901 Masehi. Namun setelah dilakukan kajian ulang oleh berbagai ahli berdasar pada Babad Kedung Kebo dan juga dalam Babad Mataram, maka ditemukan kesimpulan bahwa kata Purworejo mulai disebut dan ada pada tanggal 27 Februari 1831. 

Penemuan ini menunjukan bahwa pendekatan hari jadi kabupaten Purworejo menggunakan pendekatan etimologis, yakni kapan awal kata Purworejo menjadi statement resmi yang disampaikan pada masyarakat. 

Ketentuan ini juga kemudian dikuatkan dengan lahirnya Perda Kabupaten Purworejo no 1 tahun 2019 tentang perubahan dan penetapan hari jadi. Berdasarkan Perda tersebut, maka hari jadi Purworejo yang sebelumnya jatuh pada 5 Oktober 901 berubah dan ditetapkan menjadi tanggal 27 Februari 1831. 

Demikianlah Asal Muasal Nama dan Sejarah dari Kabupaten Purworejo. Semoga dengan perubahan ini, akan membawa semangat warganya dalam melaksanakan pembangunan untuk Purworejo yang lebih maju, toto titi tentrem kerta raharja, dan gemah ripah loh jinawi.

Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purworejo
https://budaya-indonesia.org/Asal-usul-Nama-Purworejo
https://purworejokab.go.id/web/sejarah-kabupaten-purworejo.html
https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-4446614/hari-lahir-kabupaten-purworejo-kini-berubah-mengapa

Labels: Sejarah

Thanks for reading Asal Muasal Nama dan Sejarah Kabupaten Purworejo. Please share...!

0 Komentar untuk "Asal Muasal Nama dan Sejarah Kabupaten Purworejo"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.