Makna Zuhud Terhadap Dunia


Sebelumnya kita telah membahas tentang hakikat dunia dan bermacam persepsi manusia tentangnya, di mana orang yang berlaku zuhudlah yang akan mendapat keberuntungan pada akhirnya. Sekarang apa makna dari zuhud terhadap dunia itu?. Mari kita pelajari bersama pada artikel kali ini. 

Pengertian Zuhud


Zuhud ialah menanggalkan segala bentuk kecintaan terhadap sesuatu, untuk mencintai sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya. Orang yang zuhud akan cepat paham bahwa langkah yang dipilihnya itu adalah jalan yang mulia dan diridhai di sisi Allah. Ia tahu bahwa kenikmatan akhirat itu lebih baik dan abadi bak untaian zamrud nan indah dan tahan lama. Sedangkan dunia ini ibarat gumpalan salju yang kian lama akan mencair kala tersengat pancaran sinar sang surya.

Ilustrasi
ilustrasi

Keyakinan dan perbedaan yang amat jauh antara kehidupan dunia dan akhirat inilah yang melecut dan menguatkan kecintaan seseorang terhadap kehidupan akhirat. Dalam firmanNya Allah mengingatkan: 

"Mereka bersuka cita dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat akhirat hanyalah kesenangan (yang sementara)". (QS. Ar Ra'd, 26).

Dari Mustaurad bin Syaddad al Fihri dari Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah dunia ini dibanding akhirat kecuali seperti sesuatu yang apabila salah seorang di antara kamu memasukkan jarinya ke dalam sungai, maka lihatlah, apa yang tersisa ketika dia menguarkannya?" (HR. Muslim).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah berpaling dari sesuatu untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada dunia, serta tidak terpaku terhadapnya dan mengangkat angan-angan pada tingkatan yang lebih tinggi daripada perkara yang pertama. 

Yunus bin Maisarah berkata, "Zuhud terhadap dunia itu bukanlah bermakna sebagai larangan (pengharaman) diri dari perkara yang halal atau materi duniawi, tetapi zuhud lebih dititikberatkan pada sikap percaya diri terhadap suatu perkara yang berada di tangan Allah lebih tinggi nilainya daripada apa yang ada di tangan sendiri, dan mengesampingkan semua perasaan sentimentil. Yang lebih penting lagi ialah sekalipun tertimpa musibah, iman harus tetap kuat dan bertawakal seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Juga apabila mendapatkan pujian atau celaan dari orang lain tidaklah berarti apa-apa selama berada di atas kebenaran".

Ketergantungan seorang hamba kepada apa yang dimiliki Allah harus lebih besar daripada sesuatu yang dimilikinya. Hal ini karena timbul dari kebenaran akidah dan keyakinannya kepada Allah SWT. 

Pernah ditanyakan kepada Abu Hazim Az Zahid, "Apakah yang anda miliki saat ini?". Beliau menjawab, "Dua kekayaan, yang aku tidak takut miskin selama keduanya berada di sampingku, yakni yakin kepada Allah dan putus asa dari apa yang ada pada manusia". Lalu ditanyakan lagi, "Tidakkah anda takut miskin?". Beliau menjawab, "Apakah aku takut miskin, padahal Tuhan pelindungku memiliki seluruh isi langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya". 

Fudhail berkata, "Esensi zuhud adalah ridha Allah SWT. Orang yang menerima apa adanya, dialah orang yang zuhud dan dialah yang patut dikatakan orang kaya". Barang siapa benar-benar yakin, maka dia hanya akan bergantung kepada Allah dalam segala hal dan rela terhadap pemberianNya serta terputus dari ketergantungan kepada sesama makhluk. Dengan kondisi seperti itu, dia tidak mencari dan menumpuk materi duniawi dengan menghalalkan semua cara. Orang yang memiliki sifat-sifat demikian adalah seorang zahid sejati, dia adalah orang terkaya, sekalipun tidak menumpuk harta benda. 

Ibnu Mas'ud berkata, "Makna yakin adalah jika kamu tidak menyenangkan orang lain dengan murka Allah, tidak dengki terhadap orang lain karena dia mendapatkan rezeki dari Allah, tidak mencela orang lain karena dia memiliki apa yang tidak engkau miliki. Sebab, rezekiNya itu tidak akan diperoleh hanya oleh keserakahan orang yang tamak dan tidak dapat ditolak oleh kebencian orang yang benci. Tetapi Allah, dengan keadilan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya, akan menjadikan semangat dan senang dalam sikap yakin dan ridha, dan menjadikan pesimis dan duka dalam sikap benci dan ragu-ragu".

Selain itu, ketika seorang hamba mendapat musibah di dunia berupa hilangnya harta, kedudukan, anak, atau yang lainnya, maka dia lebih mengharapkan pahala Allah atas musibahnya itu daripada kesenangan dunia yang hilang semasa berada di tangannya. Sikap yang demikian ini timbul karena didukung oleh faktor kekuatan iman dan keyakinan dalam hatinya. 

Ibrahim bin Adham berkata, "Zuhud diklasifikasikan menjadi tiga macam, zuhud fardhu, zuhud sebagai keutamaan dan zuhud sebagai keselamatan. Zuhud fardhu adalah zuhud terhadap perkara haram, zuhud sebagai keutamaan adalah zuhud terhadap perkara halal dan zuhud sebagai keselamatan ialah zuhud dalam perkara syubhat".

Setiap orang yang menjual dunianya dengan akhiratnya, adalah orang yang zuhud terhadap dunia. Sedangkan orang yang menjual akhiratnya demi dunia, juga termasuk orang zuhud, tetapi terhadap akhirat. Tetapi memang biasanya zuhud langsung diasosiasikan pada zuhud dunia. Dan zuhud harus ditujukan bagi perkara yang dikuasainya (dia miliki). 

Seseorang pernah memanggil Ibnul Mubarak, "Wahai orang yang zuhud!. Beliau kemudian menjawab, "Orang zuhud itu adalah Umar bin Abdul Aziz, karena dunia yang tunduk di hadapannya, tetapi beliau tidak tergiur olehnya, sedangkan aku, apa yang aku zuhudi?".

Hasan al Bashri berkata, "Aku bertemu dengan banyak kaum dan bergaul dengan banyak golongan. Mereka tidak tertarik dengan kemewahan dunia yang semu dan tidak pula sedih atau kecewa atas menjauhnya kenikmatan dunia darinya. Dunia di mata mereka adalah tidak lebih derajatnya dari debu. Ada di antara mereka yang bertahan hingga menjelang usia senja, tetapi tidak pernah memiliki sepotong baju yang utuh untuk melindungi tubuhnya, tidak juga perabot rumah tangga yang paling murah sekalipun. Bahkan tempat tinggalnya beralaskan tanah beratapkan langit. Bila malam menjelang, mereka berdiri di atas kaki-kaki telanjang. Air mata jatuh membasahi pipi-pipi mereka, dengan bermunajat kepada Tuhan agar membebaskan leher-lehernya dari jeratan api neraka. Jika mereka melakukan amal kebaikan, biasanya bersyukur dan tiada henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar menerima amalan itu. Andaikata mereka telah melakukan perbuatan yang salah, dengan penuh penyesalan mereka meratapi diri dari dosanya dan memohon ampunanNya. Demikianlah pemandangan yang sering terjadi di dalam kehidupan orang-orang yang shaleh dan mahabbatullah. Demi Allah, mereka tidak akan terbebas dan selamat dari perbuatan dosa melainkan dengan ampunan (maghfirah) Nya. Semoga rahmat dan ridha Allah selalu meliputi mereka".

Tingkatan Zuhud


Tingkatan pertama: Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal dia suka padanya, hatinya condong padanya dan nafsunya selalu menoleh ke arahnya. Kendati demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan duniawi. Orang seperti ini disebut Mutazahhid (yang berusaha untuk zuhud).

Tingkatan Kedua: Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena dia menganggap perkara keduniaan itu sepele, meski dia menginginkannya. Tetapi dia melihat kezuhudannya dan berpaling padanya. Orang yang berwawasan demikian identik dengan mereka yang merelakan uangnya satu dirham untuk memperoleh ganti dua dirham.

Tingkatan Ketiga: Orang yang zuhud terhadap dunia, tetapi dia berzuhud terhadap kezuhudannya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah menanggalkan jubah keduaniaannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang meninggalkan tembikar dan memungut intan permata. Orang yang sampai pada tingkatan ini tidak ubahnya seperti orang yang akan memasuki ruangan raja, tetapi dia terhalang oleh seekor "anjing" di depan pintu masuk ke ruangan itu. Maka, dilemparkannya "sekerat roti" ke arah anjing itu, untuk mengalihkan perhatiannya. Lalu, dia masuk dengan aman ke ruangan raja dan mendapatkan tempat di sampingnya. "Anjing" di sini adalah simbolik dari syetan, yang menghalangi manusia dari pintu Allah SWT, padahal pintuNya senantiasa terbuka lebar bagi siapa pun yang ingin memasukinya. Sedangkan dunia seisinya diibaratkan "sekerat roti". Maka barangsiapa yang meninggalkan dunia ini dengan harapan agar memperoleh tempat yang mulia di sisi Sang Raja (Allah SWT), tentunya tidak akan menoleh pada "sekerat roti" itu.

Labels: Refleksi

Thanks for reading Makna Zuhud Terhadap Dunia. Please share...!

0 Komentar untuk "Makna Zuhud Terhadap Dunia"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.