Sejarah Gerakan AOI di Kebumen


Sejarah masa lalu bangsa kita memang kadang masih ada yang buram, sehingga kenyataan kadang bertolak belakang dengan yang tertulis dalam buku sejarah. Saya ingat dulu sewaktu masih SD, terdapat pelajaran IPS yang salah satu materinya membahas tentang sejarah pemberontakan DI/TII yang pernah terjadi di beberapa wilayah di negeri ini. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) sendiri merupakan gerakan kelompok Islam di Indonesia yang menghendaki pembentukan negara Islam di Indonesia. Di sana disebutkan bahwa salah satu gerakan ini juga pernah terjadi di wilayah Kebumen, yang dimotori oleh seorang Ulama Kebumen yang dikenal dengan Romo Pusat (Syaikh Mahfudz). 

Gerakan yang disebut AOI (Angkatan Oemat Islam) ini pernah disebut sebagai bagian dari DI/TII pimpinan Kartosoewirjo, sehingga akhirnya dilarang oleh pemerintah saat itu. Markas pusat AOI di Somalangu juga kemudian digempur oleh militer saat itu. Bahkan tokoh-tokoh AOI dan pengikut Syekh Mahfudz yang berhasil lolos dari maut kemudian diburu dan akhirnya ditangkapi oleh pihak militer saat itu. Simbah buyut saya sendiri (Alm. Mbah Kusni) merupakan salah satu di antaranya. Bersama dengan Alm. Simbah Kyai Yahya Jaelani (Tokoh Ulama asal Candiwulan kec. Adimulyo) dan yang lainnya, mereka pernah dipenjara di Gombong selama berbulan-bulan lamanya. 

Di sana, mereka mendapatkan penjagaan ketat dari para penjaga yang mengawasinya. Mereka bahkan didupaki dan dipukuli di sana. Badan menjadi kurus kering dan rambut dipenuhi oleh tuma (kutu) Jepang. Saat ada keluarga yang menjenguk dan hendak membawa makanan untuk mereka, maka akan ditolak alias tidak diperkenankan. Beruntung bagi simbahku, karena salah satu dari penjaga tersebut ada salah satu yang masih termasuk saudara keponakannya, sehingga beliau 'sedikit' mendapat keistimewaan di banding lainnya. Dengan bantuan keponakannya itu, beliau bisa mendapatkan bekal makanan yang dibawa oleh simbah putri dari rumah. Di bawah kawat berduri saat mbeduli suket (mencabuti rumput), diselipkanlah bekal makanan tersebut untuk simbahku. Makanan itu pun kemudian dibagi rata dengan kawan-kawan seperjuangannya di sana. Kurang lebih 3 bulan lamanya akhirnya mbah buyut saya dibebaskan. Sedangkan Simbah Kyai Yahya Jaelani kabarnya sampai 5 bulan sampai akhirnya beliau dibebaskan. (Cerita ini saya dapat dari salah satu kakek saya/putra Mbah Kusni).

Kembali ke sejarah AOI, gerakan ini adalah badan kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. AOI terbentuk pada 27 Ramadhan 1346 H/ 4 September 1945. Pendirinya, Mbah Kiai Mahfudz Abdurrahman merupakan salah satu tokoh kunci yang menggerakkan santri dalam menjemput kemerdekaan. Nasionalisme Kiai Mahfudz menjadi catatan penting bagi pergerakan kaum santri, terutama di kawasan Kedu Selatan, dalam melawan penjajah, baik sebelum proklamasi kemerdekaan, maupun sesudahnya. Pada masa awal-awal kemerdekaan, keberadaan tentara nasional sebagai pasukan militer Negara Indonesia belum sepenuhnya solid. Pasukan-pasukan militer yang terdiri dari berbagai latar belakang ideologi, golongan dan etnis, masih tercerai berai. Pasukan yang dikomando Panglima Soedirman juga masih menata barisan.

Menurut Gus Dur, Angkatan Oemat Islam (AOI) muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kebijakan ini menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya perang kemerdekaan. Namun, peleburan itu dengan misi bahwa hanya orang-orang yang mendapat pendidikan ‘Sekolah Umum Belanda’ saja yang menduduki jabatan komandan Batalyon. Pada konteks ini, Syekh Mahfudz Abdurrahman berminat menjadi komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Akan tetapi, karena alasan ijazah dan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang negosiasi, maka karier Kiai Mahfudz terhalang. Akhirnya, yang menjadi Komandan Batalyon adalah pemuda bernama Ahmad Yani. 

Akar sejatinya adalah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang digelorakan Kabinet Hatta pada 1948. Kebijakan ini, atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Melalui program Rera, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan dipangkas menjadi separuh dari seluruh personil, dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang memiliki ijazah. Dari sini dapat dipahami bahwa mereka yang mendapat pendidikan militer di zaman Belanda dan Jepanglah yang mendapat prioritas, karena memiliki persyaratan administratif. Sedangkan bagi kalangan santri tidak mendapatkan tempat dan disingkirkan dari jalur karier militer. Padahal sebagaimana diketahui, laskar-laskar santri dalam barisan AOI juga turut berperan penting dalam perang kemerdekaan.

Syekh Mahfudz Abdurrahman pun risau dengan hal ini. Beliau mengomando lebih dari 10.000 pasukan dan sekitar 30.000 massa tambahan yang menguatkan barisan laskar. Kiai Mahfudz ingin agar pasukannya dapat diakomodir oleh kebijakan negara, mengingat jasa penting dan kegigihan melawan penjajah pada masa kemerdekaan. Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mereka memang sebagian besar dari kalangan santri dan petani, yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Padahal, ketika pasukan NICA menyerbu berbagai kawasan di Jawa Tengah, pasukan AOI dengan gigih melawan penjajah. Sebagai Ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan di bawah Bupati Kebumen, Kiai Mahfudz mengerakkan pasukannya di garda depan menghadapi NICA. Pasukan AOI menjaga garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong Timur (Kuntowijoyo, 1970).

Ketika menjaga demarkasi barat Yogyakarta, ketika menjadi Ibu Kota RI, Kiai Mahfudz sempat was-was karena demarkasi timur, di kawasan Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin. Tentu saja, peristiwa Madiun pada 1948 menguras energi laskar, tentara dan rakyat. Kiai Mahfudh merasa bahwa NICA akan memanfaatkan situasi ini dengan menjebol demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu Yogyakarta, agar RI jatuh ke tangan Belanda. Pada 18 Desember 1948, tentara NICA menggelar kampanye militer Doortot naar Djokdja. Kampanye militer ini berhasil menawan Soekarno-Hatta, sebagai pemimpin Republik Indonesia. Operasi militer NICA ini, membuat pasukan TNI dan laskar-laskar tercerai berai. Kemudian, setelah peristiwa ini, terjadi penandatanganan kesepakatan di Istana Rijswik, pada 27 Desember 1949. Kesepakatan ini, merupakan lanjutan dari Konferensi Meja Bundar, dengan rumusan pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didukung APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasional. Tentu saja, kesepakatan ini membawa masalah tersendiri bagi pasukan-pasukan militer yang telah terkoordinasi pada era sebelumnya.

Pasukan AOI mendapat tawaran dari APRIS untuk bergabung. Kiai Mahfudz menolak bergabung, karena beliau melihat bahwa kebijakan Rera merugikan laskar-laskar dan terutama AOI. Setidaknya, ada empat ancaman pasca kebijakan Rera: (1) ancaman eksistensi organisasi, (2) ancaman kehilangan posisi sosial ekonomi, (3) ancaman kehilangan posisi politis (4) ancaman kehilangan posisi budaya. Kiai Mahfudh sebenarnya sudah tidak memikirkan tentang karier militer atau posisinya sebagai komandan laskar. Akan tetapi, nasib puluhan ribu pasukan dan simpatisan laskar Hizbullah-Sabilillah, dan Pasukan AOI di kawasan Kedu Selatan menjadi keprihatinan Kiai Mahfudz. AOI pada masa itu memang memiliki pengaruh besar di Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Bahkan, kharisma Kiai Mahfudh melebihi otoritas pejabat Bupati Kebumen pada masa itu, RM Istikno Sosrobusono (Widiyanta, 1999).

Atas bujukan KH Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar. Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Meski pasukan AOI sudah bergabung dengan Batalyon Lemah Lanang, akan tetapi masalah tidak berhenti. Para pasukan AOI yang memiliki prinsip keagamaan kuat, berbeda tradisi dengan pasukan didikan Militarie Academie Hindia Belanda, yang menjadi pasukan APRIS. Akibatnya, terjadi perkelahian antar pasukan, hingga satu pasukan AOI meninggal. Kolonel Sarbini di Magelang pun menganggap peristiwa ini sebagai percikan pemberontakan, sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani untuk menggempur Somalangu.

Sebenarnya hal yang sangat tidak berdasar jika Syekh Mahfudz dan lasykarnya dikatakan hendak memberontak. Menurut keterangan Kiai Afifuddin (kerabat Kiai Mahfudz), hingga menjelang 1 Agustus 1950, Kiai Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep-konsep untuk mendirikan negara tersendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan juga tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah. Kiai Mahfudz hanya ingin memperluas kawasan kepoetihan, semacam kawasan kaum muslim untuk memperluas interaksi komunitas. Akan tetapi, pembicaraan tentang ide Kiai Mahfudz ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Pertemuan para pimpinan Batalyon 423 dan 426 (berasal dari laskar Hizbullah-Sabilillah), hanya ditujukan sebagai pertemuan untuk membahas kebijakan Rera dari pemerintah.

Masjid Somalangu
Masjid Somalangu via situsbudaya.id

Oleh karenanya, betapa kagetnya Kiai Mahfudz saat pada pagi hari 1 Agustus 1950 pihak militer tiba-tiba menyerbu Somalangu dengan serangan mendadak. Bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk di kawasan Sumolangu, Candiwulan dan Candimulyo serta kawasan sekitarnya pun menjadi rusak. Masjid kuno yang berusia lebih 400 tahun juga mengalami kerusakan parah. Arsip-arsip dibakar. Mayat berserakan dimana-mana, mulai dari orang tua, pemuda, ibu-ibu, anak-anak dan bahkan bayi. Sekitar 1000 orang tewas pada hari itu. Sungguh keadaan yang sangat memilukan pada saat itu. Kejadian ini juga membawa luka mendalam bagi pengikut-pengikut Kiai Mahfudz yang berhasil meloloskan diri. 

Pada akhirnya, KH Mahfudz tewas tertembak saat berada di Gunung Selok Srandil, Cilacap. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di sana. Sepeninggal beliau, sisa-sisa pengikut beliau yang berhasil lolos kemudian ada yang bergabung dengan sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merabu Merapi Complex) di kawasan Gunung Slamet. Inilah yang kemudian menjadi stigma Kiai Mahfudz dan pengikutnya semakin memburuk di hadapan pemerintah. Buku-buku sejarah yang ditulis setelah peristiwa ini, dalam sudut pandang militer, memandang Kiai Mahfudz dan pasukannya sebagai pemberontak. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah intrik politik dan kepentingan para elite militer dalam misi Rera, yang ingin menyingkirkan kaum santri dalam peta militer negeri ini.

Mengenai makam Syekh Mahfudz di gunung Srandil, saya ingat dulu sewaktu saya masih nyantri di Pesantren Al Ihya Ulumaddin Kesugihan, Almarhum Romo Kyai Chasbullah Badawi (pengasuh saat itu) pernah mengerahkan santri-santrinya menuju lokasi makam Syekh Mahfudz di Gunung Srandil ini. Menggunakan truk-truk, kami para santri diangkut menuju Gunung Srandil untuk kerja bakti membersihkan makam syekh Mahfudz yang saat itu dipenuhi semak belukar. Makam beliau sendiri kemudian dibuatkan sebuah bangunan sehingga juga memudahkan bagi para peziarah yang hendak berdoa di makam beliau. Sepanjang pengamatan saya, beberapa kali area makam tersebut kemudian dibangun dan dikembangkan. 

Kiprah Angkatan Oemat Islam (AOI) sebagai laskar para pejuang untuk menegakkan NKRI di kawasan Kedu Selatan memang perlu ditulis ulang dengan sudut pandang sejarah yang sebenarnya, sehingga pandangan mengenai gerakan AOI yang selama ini pernah dianggap sebagai pemberontak dapat bersih seutuhnya. Terlebih bagi generasi muda Kebumen, sudah seharusnya bagi kita untuk mengetahui dan belajar dari sejarah Gerakan Santri yang pernah ada di Kebumen ini. Terlepas dari problematikanya dengan pihak militer saat itu, kiprah AOI di bawah komando Kiai Mahfudz Abdurrahman adalah gerakan yang sangat gigih dalam melawan penjajah, serta turut berperan besar dalam membela kedaulatan NKRI tercinta. Wallaahu A'lam. Sumber: www.nu.or.id

Labels: Kebumen, Sejarah

Thanks for reading Sejarah Gerakan AOI di Kebumen. Please share...!

0 Komentar untuk "Sejarah Gerakan AOI di Kebumen"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.