Fase-Fase Penting dalam Puasa Menurut Tinjauan Medis


Berpuasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam yang wajib dikerjakan bagi umat Muslim berdasarkan aturan dan ketentuan yang telah digariskan. Selain bagi orang sakit, musafir, manula, ibu hamil/menyusui atau para pekerja berat, puasa dalam Islam sejatinya mudah dan ringan untuk dilakukan. Tidak ada beban berat yang menyusahkan diri dan tidak akan ada pula bahaya yang bisa menimpa tubuh seseorang lantaran menjalankan puasa.

Secara awam, mungkin kita memahami bahwa puasa adalah sekedar mengganti pola waktu makan yang dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Namun dalam prosesnya, ternyata ada berbagai fase penting yang terjadi saat seseorang melakukan puasa.

Terbit fajar puasa
via pixabay

Dikutip dari tulisan Prof. Dr. Muhammad Nizar ad Daqqar dalam bukunya yang berjudul "Rawai'i ath Thibb al Islami", beberapa fase penting yang terjadi saat seseorang berpuasa di antaranya yaitu:

1. Fase Pertama Puasa


Fase pertama merupakan fase dimulainya aktivitas tidak makan (fase pasca absorpsi). Pada jam-jam pertama puasa ini, aktivisme proses konversi glikogen menjadi glukosa pun mencapai titik tertingginya. Sedangkan titik tertinggi aktivisme proses penguraian lemak (lypolysis) dan oksidasinya, serta proses konversi asam amino menjadi glukosa terjadi pada akhir fase ini. Adapun kejadian-kejadian terpenting yang terjadi pada fase pertama puasa antara lain:

  • Pembentukan glukosa sebagai satu-satunya bahan bakar bagi otak. 
  • Oksidasi lemak tidak mencapai kadar yang bisa melahirkan zat-zat ketone (ketone bodies) yang berlebihan di dalam darah. 
  • Pemanfaatan protein untuk menghasilkan energi dengan kadar yang dijamin tidak akan menimbulkan kekacauan pada keseimbangan nitrogen di dalam tubuh. 

Fakta-fakta tersebut pun semakin membuktikan bahwa puasa dalam Islam memang benar-benar mudah dan ringan, sehingga sebagian pakar tidak menganggap masa pasca absorpsi atau fase awal terhentinya suplai makanan sebagai salah satu fase starvasi.

Starvasi sendiri biasa didefinisikan sebagai pantangan mengkonsumsi makanan dan minuman sekaligus, baik secara total maupun sebagian dalam waktu pendek maupun panjang. Pada beberapa kasus tertentu, starvasi bisa jadi cukup berbahaya bagi kesehatan. Beda halnya dengan puasa dalam Islam, Allah tidak mewajibkan puasa dalam waktu yang panjang, atau sampai sehari semalam penuh.

Semua itu demi meringankan dan mempermudah umatnya, sehingga jika sudah waktunya, kebutuhan makanan tetap tidak dihalang-halangi untuk bisa memperoleh segala hal yang dibutuhkan dan bermanfaat baginya. 

2. Fase Kedua Puasa


Pada fase kedua, proses pembentukan glukosa baru semakin aktif. Proses oksidasi lemak juga dilakukan lebih intens dibandingkan proses oksidasi serupa pada fase pertama. Sedangkan zat-zat ketone pun mulai diproduksi untuk memasok energi yang dibutuhkan jaringan-jaringan, misalnya otak yang membutuhkan sekitar 10-20% energi dari zat-zat ketone.

Sementara itu jumlah glukosa yang diproduksi pada fase ini mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding produksi serupa pada fase pertama. Secara garis besar, kejadian-kejadian terpenting yang terjadi pada fase kedua ini antara lain:

  • Meningkatnya jumlah metabolisme protein dan terjadinya keseimbangan nitrogen negatif. 
  • Meningkatnya kerja pembentukan glukosa baru dengan mengoksidasi sisa lemak. 
  • Terbentuknya zat-zat ketone (ketone bodies) dan ketergantungan otak terhadap zat-zat ketone untuk mendapatkan energi. 

3. Fase Ketiga Puasa


Adapun hal-hal penting yang terjadi pada fase ketiga di antaranya yaitu:

  • Menurunnya jumlah penguraian protein (proteolysis) dan keluarnya nitrogen. 
  • Meningkatnya ketergantungan terhadap triacyglycerol (lemak) untuk menghasilkan energi. 
  • Semakin aktifnya kerja pembentukan glukosa baru dalam liver, hingga mencapai sekitar 85%. Glukosa tersebut terbentuk dari asam non amino seperti lactate, pyruvate dan gliserol. Dengan proses ini, dalam sehari liver menghasilkan 50 gram glukosa, alih-alih 200 gram perhari pada masa pertama. Ginjal juga turut memproduksi glukosa dengan tingkat produksi 40 gram glukosa perhari.
  • Kebutuhan terhadap glukosa dalam fase ini menurun. Otak kemudian menggantungkan pasokan energinya pada zat-zat ketone sebesar 70%-80%. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya penguraian lemak (lypolysis).

Dari uraian beragam fakta di atas, dapat kita ketahui bahwa jangka waktu puasa Islam yang rata-rata berkisar antara 12-16 jam, sebagian waktunya jatuh pada fase absorpsi, sementara sebagian besarnya jatuh pada masa pasca absorpsi dimana seluruh mekanisme absorpsi dan metabolisme berlangsung semakin aktif dan seimbang.

Selain itu, mekanisme penguraian glikogen, oksidasi lemak dan penguraiannya, penguraian protein dan pembentukan glukosa baru juga semakin aktif. Selama itu, fungsi tubuh manusia pun tidak mengalami instabilitas apapun. Lemak tidak teroksidasi dalam jumlah yang bisa melahirkan zat-zat ketone yang berbahaya bagi tubuh.

Keseimbangan nitrogen negatif tidak terjadi pada fase kedua ini lantaran keseimbangan metabolisme protein. Otak manusia, sel darah merah dan susunan saraf hanya bergantung pada glukosa untuk mendapatkan energi.

Kondisi ini berbeda dengan starvasi atau puasa medis, baik dalam jangka pendek apalagi panjang, yang tidak berhenti pada pengaktifan mekanisme-mekanisme ini, melainkan terus meningkat hingga dapat menimbulkan instabilitas atau ketidakstabilan pada sebagian fungsi tubuh.

Proses asimilasi makanan dalam puasa Islam terhitung unik, karena hanya mengandung dua fase: anabolisme dan katabolisme. Setelah makan sahur dan berbuka, proses anabolisme dimulai dengan pembangunan komponen-komponen penting di dalam sel dan peremajaan bahan-bahan yang tersimpan dalam sel yang menghasilkan energi. Sedangkan proses katabolisme dimulai setelah fase pasca absorpsi makanan sahur. Simpanan makanan yang berupa glikogen dan lemak diurai agar bisa membantu tubuh dengan pasokan energi yang dibutuhkan selama bergerak dan beraktifitas di siang hari.

Selama puasa Islam, masa katabolisme berkisar antara 8-13 jam. Dan rentang waktu ini terjadi dalam fase yang oleh para ahli nutrisi disebut sebagai fase pasca absorpsi yang berkisar antara 6-12 jam, bahkan terkadang sampai 40 jam, merujuk pada periodesasi fase-fase starvasi atau puasa mutlak yang digariskan oleh berbagai kalangan.

Para ahli mengatakan bahwa ini adalah fase yang benar-benar aman, dan tidak ada bahaya apapun bagi tubuh. Bahkan sebaliknya, tubuh bisa menggunakan sejumlah manfaat dari rasa lapar yang didapatkan (baca: Manfaat Puasa Ramadhan bagi Kesehatan Tubuh).

Makan sahur/berbuka
via shutterstock.com

Penegasan Rasulullah SAW akan perlunya makan sahur bagi orang yang berpuasa juga sangat relevan untuk memasok bahan yang diperlukan tubuh selama proses anabolisme yang berlangsung sekitar empat jam, terhitung sejak selesainya makan sahur.

Dengan menyantap makan sahur, fase pasca starvasi absorpsi dapat dipangkas sependek mungkin. Anjuran Rasulullah SAW untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur juga memangkas masa puasa sesingkat mungkin agar tidak sampai melampaui fase pasca absorpsi, sehingga puasa Islam pun tidak menimbulkan stres, dan tidak menjadi tekanan psikologis yang berbahaya bagi tubuh manusia dalam kondisi apapun. Rasulullah SAW bersabda:

"Makanlah sahur karena ada barokah di dalamnya".

Cadangan energi yang tersimpan dalam tubuh manusia mampu mencukupi kebutuhan energi tubuh selama tidak mengkonsumsi makanan sama sekali antara satu hingga tiga bulan. Allah SWT sengaja mempersiapkan cadangan energi yang besar ini dalam tubuh manusia agar bisa membantu tubuh saat dibutuhkan, seperti saat sakit, puasa, masa-masa paceklik, dan saat tidak mendapatkan suplai makanan.

Glukosa yang tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam liver dan otot mampu memasok tubuh dengan energi yang dibutuhkan tubuh selama fase pertama starvasi, menghindari dari makanan. Sementara lemak yang tersimpan di dalam jaringan lemak dan protein yang tersimpan di dalam otot semakin berkembang mensuplai energi yang dibutuhkan tubuh selama fase sedang dan fase panjang starvasi total.

Berdasarkan kenyataan ini, kita bisa menegaskan bahwa yang berhenti selama puasa adalah proses-proses pencernaan dan absorpsi, bukan proses pensuplaian nutrisi tubuh. Sel-sel tubuh bekerja secara normal dan memperoleh seluruh kebutuhannya dari simpanan glukosa, lemak, dan protein setelah mengalami proses penguraian (konversi) yang bisa dianggap sebagai proses pencernaan di dalam sel, sel tubuh mendapatkan semua kebutuhannya.

Glikogen dikonversi menjadi gula glukosa, sementara lemak dan protein dikonversi menjadi asam lemak dan asam amino melalui kerja jaringan enzim yang kompleks dan reaksi-reaksi bio kimia yang begitu njlimet sehingga membuat manusia yang mengetahuinya akan langsung takjub dan mengakui kebesaran dan pengetahuan Allah yang Maha Agung kekuasaanNya.

Begitulah manifestasi kemukjizatan sains dalam ibadah puasa menurut ajaran Islam yang semakin menampakkan diri seiring dengan kemunculan berbagai fakta dan inovasi ilmiah di zaman yang serba modern ini. Demikian. Semoga bermanfaat. Sumber dinukil dari buku "Keajaiban Ibadah Secara Medis" (disunting dari "Rawai'i ath Thibb al Islami" karya Prof. Dr. Muhammad Nizar ad Daqqar), Tim Kreatif Sabda, Tugu Publisher, Yogyakarta.

Labels: Kesehatan

Thanks for reading Fase-Fase Penting dalam Puasa Menurut Tinjauan Medis. Please share...!

0 Komentar untuk "Fase-Fase Penting dalam Puasa Menurut Tinjauan Medis"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.