Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan
via pixabay |
via pixabay |
via pixabay |
Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.
ilustrasi via pixabay |
Dalam surah Ash Shaffat ayat 100-111, Allah SWT menggambarkan kejujuran Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:
Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.
Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.
Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”
Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak melainkan kedua belah pihak baik dari Nabi Ibrahim maupun Ismail.
Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 setelah itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman."
Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul Istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.
Yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaaffah?. Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam?.
Oleh karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, maka yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.
Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian. Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya mereka berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallaahu A'lam bishshawaab.
Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.
ilustrasi via pixabay |
Dalam surah Ash Shaffat ayat 100-111, Allah SWT menggambarkan kejujuran Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:
Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.
Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.
Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”
Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak melainkan kedua belah pihak baik dari Nabi Ibrahim maupun Ismail.
Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 setelah itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman."
Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul Istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.
Yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaaffah?. Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam?.
Oleh karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, maka yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.
Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian. Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya mereka berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallaahu A'lam bishshawaab.
Masyarakat modern seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang berkemajuan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, rasional, mandiri, dan bebas. Asumsi kita selama ini hanya orang yang pendidikannya rendah dan tidak menguasai teknologi canggih serta berasal dari masyarakat lapis bawah saja yang selalu mempunyai masalah. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan kumuh, dan mentalitas rendah.
Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat modern yang rasionalis, sekularis, materialis, dan menguasai teknologi canggih pun tidak semuanya mampu menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan, kehangatan, dan ketenteraman dalam hidupnya. Bahkan ada kecenderungan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang, maka tuntutan hidup juga akan semakin meningkat. Maka apabila seseorang tidak mampu mengendalikan kehidupannya, akan menimbulkan permasalahan baru bagi hidupnya, yakni kegelisahan spiritual dan kekeringan rohani serta tekanan kejiwaan.
Penyebabnya tidak lain karena kehidupan masyarakat modern lebih banyak dipenuhi oleh rutinitas fisik, pemikiran, dan persaingan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyuburkan kehidupan batiniah, kehidupan sosial (silaturahmi) dan kebutuhan rohaninya. Berkaitan dengan hal ini, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Kebaikan yang paling cepat pahalanya ialah berbakti dan mengokohkan silaturahmi (mengokohkan hubungan kekerabatan). Dan kejahatan yang paling cepat siksanya ialah kezaliman dan memutuskan hubungan kerabat.” (H.R. Ibnu Maiah).
Kezaliman dalam bentuk modern bisa berupa realisasi paham kapitalisme, illegal logging, korupsi, manipulasi, monopoli, dan sebagainya. Adapun bentuk pemutusan silaturahmi modern bisa berupa individualisme, egoisme, ataupun sikap mementingkan golongan atau kelompoknya. Masyarakat modern yang cenderung rasional, sekuler, dan materialistik telah menyebabkan hilangnya visi keilahian dan nilai-nilai kerohanian mereka, sehingga dengan mudah menimbulkan gejala-gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual.
ilustrasi via pixabay |
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern tidak mampu memenuhi kebutuhan vital manusia, yakni kehangatan dan ketenangan rohaniah, yang semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu Ilahi. Akibatnya, sekarang ini banyak dijumpai masyarakat yang mengalami stres karena adanya tekanan dan kelelahan psikologis. Mereka tidak lagi mempunyai pegangan dan sandaran hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Naisbit dan Aburdene dalam bukunya yang sangat terkenal Megatrends 2000. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini, tidak memberikan makna tentang kehidupan.
Semula banyak orang terpesona melihat gemerlapnya modernisasi. Mereka beranggapan bahwa modernisasi akan membawa kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Ternyata ada sisi yang tidak terdeteksi yakni ada gejala the agony of modernization, yaitu azab dan sengsara karena modernisasi. Gejalanya adalah meningkatnya angka kriminalitas yang diikuti dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, gangguan jiwa, dan gejala psikopat.
Abu al-Wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern sebagai berikut:
Kehidupan pada masa modern adalah kehidupan yang penuh tantangan dan godaan. Kehidupan yang serba permisif, serba boleh, serta tawaran hidup yang hedonis, konsumtif, dan serba instan, menyebabkan manusia mudah tergiur mengikuti tawaran-tawaran hidup yang serba mewah. Bagi yang tidak mampu mengendalikan diri dari jeratan keinginan menurutkan hawa nafsu duniawinya, maka ia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kesucian hidupnya.
Untungnya, ada sebagian masyarakat yang menyadari bahwa apabila manusia hanya mengejar kepuasan duniawi maka ada sesuatu yang lepas dari kehidupan kita, yakni ketenangan, kedamaian, jiwa welas asih, sifat kemanusiaan terhadap sesama sehingga menyebabkan jiwanya kering dan mudah retak atau stres karena tidak ada tempat untuk menyandarkan permasalahan hidup yang dihadapinya. Mereka mulai menyadari kebenaran dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28:
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
Ayat di atas menegaskan bahwa ketenangan dan kebahagiaan hakiki berada di dalam hati manusia, bukan pada jumlah kekayaan yang dimiliki atau tingginya jabatan yang disandangnya. Adapun mengenai pentingnya hati, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
"Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah anggota tubuh seluruhnya, dan apabila ia buruk, maka buruk pulalah anggota tubuh itu seluruhnya. Ingat, itulah hati." (H.R. Bukhari-Muslim)
Berzikir memang merupakan upaya untuk merasakan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah cara yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia modern untuk membina hati mereka, membina rohani mereka agar mempunyai tempat bersandar dari kelelahan perjalanan hidup mereka.
Memang, ketika suatu masyarakat sudah terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena adanya pengaruh dari proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah manusia modern sebenarnya mulai membutuhkan pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Hal ini penting agar mereka terbebas dari penyakit hati baik yang berupa kegelisahan, stres maupun kejahatan-kejahatan yang dimungkinkan muncul sebagai dampak dari kehidupan modern yang penuh dengan kompetisi.
Itulah gambaran dari kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Ada kelebihan yang bisa dinikmati dari modernisasi tetapi juga ada celah kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat moralitas. Mulai dari rasa hampa dan keringnya jiwa hingga tingkah laku yang melampaui batas kemanusiaan dan kesusilaan.
Masyarakat modern sangat membutuhkan sentuhan spiritual untuk menyejukkan dan menyirami hatinya yang telah kering dan beku, serta melabuhkan perasaan gundah dan gelisah. Ajaran agama menawarkan sebuah kegiatan yang dapat menghangatkan jiwa, menenteramkan hati dan menyejukkan rasa serta menghindarkan diri dari hawa nafsu dunia yang menyesatkan, sehingga akan melahirkan suatu kehidupan baru yang dihiasi dengan akhlakul karimah.
Dengan kembali memperdalam agama dari para Ulama dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat modern dapat mewujudkan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, antara duniawi dan ukhrawi, sekaligus menekan tuntutan hidup duniawi yang berlebihan yang sering menyebabkan manusia lupa akan harkat dan martabatnya. Wallaahu A'lam
Santos el Salam Juni 14, 2023 Admin Bandung IndonesiaMasyarakat modern seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang berkemajuan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, rasional, mandiri, dan bebas. Asumsi kita selama ini hanya orang yang pendidikannya rendah dan tidak menguasai teknologi canggih serta berasal dari masyarakat lapis bawah saja yang selalu mempunyai masalah. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan kumuh, dan mentalitas rendah.
Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat modern yang rasionalis, sekularis, materialis, dan menguasai teknologi canggih pun tidak semuanya mampu menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan, kehangatan, dan ketenteraman dalam hidupnya. Bahkan ada kecenderungan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang, maka tuntutan hidup juga akan semakin meningkat. Maka apabila seseorang tidak mampu mengendalikan kehidupannya, akan menimbulkan permasalahan baru bagi hidupnya, yakni kegelisahan spiritual dan kekeringan rohani serta tekanan kejiwaan.
Penyebabnya tidak lain karena kehidupan masyarakat modern lebih banyak dipenuhi oleh rutinitas fisik, pemikiran, dan persaingan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyuburkan kehidupan batiniah, kehidupan sosial (silaturahmi) dan kebutuhan rohaninya. Berkaitan dengan hal ini, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Kebaikan yang paling cepat pahalanya ialah berbakti dan mengokohkan silaturahmi (mengokohkan hubungan kekerabatan). Dan kejahatan yang paling cepat siksanya ialah kezaliman dan memutuskan hubungan kerabat.” (H.R. Ibnu Maiah).
Kezaliman dalam bentuk modern bisa berupa realisasi paham kapitalisme, illegal logging, korupsi, manipulasi, monopoli, dan sebagainya. Adapun bentuk pemutusan silaturahmi modern bisa berupa individualisme, egoisme, ataupun sikap mementingkan golongan atau kelompoknya. Masyarakat modern yang cenderung rasional, sekuler, dan materialistik telah menyebabkan hilangnya visi keilahian dan nilai-nilai kerohanian mereka, sehingga dengan mudah menimbulkan gejala-gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual.
ilustrasi via pixabay |
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern tidak mampu memenuhi kebutuhan vital manusia, yakni kehangatan dan ketenangan rohaniah, yang semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu Ilahi. Akibatnya, sekarang ini banyak dijumpai masyarakat yang mengalami stres karena adanya tekanan dan kelelahan psikologis. Mereka tidak lagi mempunyai pegangan dan sandaran hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Naisbit dan Aburdene dalam bukunya yang sangat terkenal Megatrends 2000. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini, tidak memberikan makna tentang kehidupan.
Semula banyak orang terpesona melihat gemerlapnya modernisasi. Mereka beranggapan bahwa modernisasi akan membawa kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Ternyata ada sisi yang tidak terdeteksi yakni ada gejala the agony of modernization, yaitu azab dan sengsara karena modernisasi. Gejalanya adalah meningkatnya angka kriminalitas yang diikuti dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, gangguan jiwa, dan gejala psikopat.
Abu al-Wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern sebagai berikut:
Kehidupan pada masa modern adalah kehidupan yang penuh tantangan dan godaan. Kehidupan yang serba permisif, serba boleh, serta tawaran hidup yang hedonis, konsumtif, dan serba instan, menyebabkan manusia mudah tergiur mengikuti tawaran-tawaran hidup yang serba mewah. Bagi yang tidak mampu mengendalikan diri dari jeratan keinginan menurutkan hawa nafsu duniawinya, maka ia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kesucian hidupnya.
Untungnya, ada sebagian masyarakat yang menyadari bahwa apabila manusia hanya mengejar kepuasan duniawi maka ada sesuatu yang lepas dari kehidupan kita, yakni ketenangan, kedamaian, jiwa welas asih, sifat kemanusiaan terhadap sesama sehingga menyebabkan jiwanya kering dan mudah retak atau stres karena tidak ada tempat untuk menyandarkan permasalahan hidup yang dihadapinya. Mereka mulai menyadari kebenaran dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28:
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
Ayat di atas menegaskan bahwa ketenangan dan kebahagiaan hakiki berada di dalam hati manusia, bukan pada jumlah kekayaan yang dimiliki atau tingginya jabatan yang disandangnya. Adapun mengenai pentingnya hati, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
"Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah anggota tubuh seluruhnya, dan apabila ia buruk, maka buruk pulalah anggota tubuh itu seluruhnya. Ingat, itulah hati." (H.R. Bukhari-Muslim)
Berzikir memang merupakan upaya untuk merasakan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah cara yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia modern untuk membina hati mereka, membina rohani mereka agar mempunyai tempat bersandar dari kelelahan perjalanan hidup mereka.
Memang, ketika suatu masyarakat sudah terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena adanya pengaruh dari proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah manusia modern sebenarnya mulai membutuhkan pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Hal ini penting agar mereka terbebas dari penyakit hati baik yang berupa kegelisahan, stres maupun kejahatan-kejahatan yang dimungkinkan muncul sebagai dampak dari kehidupan modern yang penuh dengan kompetisi.
Itulah gambaran dari kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Ada kelebihan yang bisa dinikmati dari modernisasi tetapi juga ada celah kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat moralitas. Mulai dari rasa hampa dan keringnya jiwa hingga tingkah laku yang melampaui batas kemanusiaan dan kesusilaan.
Masyarakat modern sangat membutuhkan sentuhan spiritual untuk menyejukkan dan menyirami hatinya yang telah kering dan beku, serta melabuhkan perasaan gundah dan gelisah. Ajaran agama menawarkan sebuah kegiatan yang dapat menghangatkan jiwa, menenteramkan hati dan menyejukkan rasa serta menghindarkan diri dari hawa nafsu dunia yang menyesatkan, sehingga akan melahirkan suatu kehidupan baru yang dihiasi dengan akhlakul karimah.
Dengan kembali memperdalam agama dari para Ulama dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat modern dapat mewujudkan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, antara duniawi dan ukhrawi, sekaligus menekan tuntutan hidup duniawi yang berlebihan yang sering menyebabkan manusia lupa akan harkat dan martabatnya. Wallaahu A'lam
Seperti yang kita lihat sekarang, dimanapun, pendidikan karakter kini tengah digalakkan. Terutama di sekolah-sekolah sebagai kawah candradimuka bagi individu sebelum terjun langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya mengintegrasikan pendidikan yang ditegaskan pada character building. Hal itu juga didukung dengan buku-buku yang sebagian besar juga menyajikan nilai pendidikan karakter. Lantas bagaimana hasilnya?.
Hasil dari pendidikan karakter memang menjadi tolok ukur kualitas seorang individu. Namun seperti apa pendidikan karakter yang berhasil?. Keberhasilan pendidikan karakter antara lain yaitu bisa menghasilkan individu yang berdaya saing, jujur, bersopan santun dan memiliki kepribadian yang kuat. Pendidikan karakter juga menjadi tanda bahwa sebuah pendidikan formal itu berhasil, tidak hanya dari segi intelektual siswanya saja.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang, mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Sulit memang untuk menanamkan pendidikan karakter bila tidak sejak dini. Apalagi jika hanya diterapkan pada pendidikan tingkat atas. Mengapa?, karena pendidikan karakter itu pahit jika hanya diajarkan mentah-mentah. Terlebih pada siswa-siswa tingkat atas yang notabenenya pergaulan mereka sudah sangat kompleks. Sementara para siswa tingkat atas biasanya mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak suka diatur.
ilustrasi via shutterstock |
Sebenarnya bila ditelaah lebih jauh, pendidikan karakter merupakan tanggung jawab antara orang tua siswa dan guru di sekolah. Namun yang lebih berpengaruh adalah orang tua, karena pendidikan karakter seharusnya sudah menjadi bekal dari rumah. Ketika siswa berangkat dari rumah misalnya, sebelum berangkat sekolah siswa berpamitan pada kedua orang tua dengan cara mencium tangan dan melakukan hal yang sama apabila bertemu dengan guru di sekolah.
Sayangnya, orang tua siswa kadang kurang memahami akan hal itu. Jangankan tahu apa itu pendidikan karakter, dengan melihat anaknya mau berangkat sekolah saja sudah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Namun ada satu hal yang tertinggal dalam diri anaknya, yaitu kebutuhan moril. Selanjutnya mereka (orang tua) juga kadang beranggapan bahwa tanggung jawab anaknya sepenuhnya berada di tangan sang pendidik.
Padahal biar bagaimanapun, orang tua mempunyai andil besar bagi pendidikan karakter anaknya, misalnya kesopanan, tanggung jawab, kejujuran, etika pergaulan, dan pendidikan moral. Dan dalam hal ini guru hanya sebagai fasilitator saja, dengan kata lain bisa dikatakan hanya sebagai penyempurnanya.
Faktanya, fenomena yang ada saat ini orang tua sepertinya meletakkan tanggung jawab pendidikan anaknya sepenuhnya pada guru. Pendidikan moral, mata pelajaran umum dan sebagainya sepenuhnya jatuh di tangan pendidik. Lantas bila begitu, apa tugas orang tua?. Memang, orang tua menitipkan anaknya pada guru agar mendapatkan pendidikan yang baik, supaya anaknya bisa menjadi individu yang lebih baik.
Tapi meskipun demikian, orang tua tidak lantas lepas tangan akan pendidikan anaknya. Dan ketika terjadi sesuatu yang “kurang sedap" pada anaknya, orang tua tidak seharusnya menyalahkan sepenuhnya pada guru. Karena biar bagaimanapun, guru hanya sebagai fasilitator bagi pendidikan anaknya. Atau juga biasa disebut sebagai orang tua kedua. Akan lebih baik ketika orang tua mengajarkan kepada anak untuk berlaku jujur dan mencoba untuk mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan alangkah baiknya, jika setiap individu sudah memiliki kesadaran untuk menunjukkan seperti apa karakternya.
Seperti yang kita lihat sekarang, dimanapun, pendidikan karakter kini tengah digalakkan. Terutama di sekolah-sekolah sebagai kawah candradimuka bagi individu sebelum terjun langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya mengintegrasikan pendidikan yang ditegaskan pada character building. Hal itu juga didukung dengan buku-buku yang sebagian besar juga menyajikan nilai pendidikan karakter. Lantas bagaimana hasilnya?.
Hasil dari pendidikan karakter memang menjadi tolok ukur kualitas seorang individu. Namun seperti apa pendidikan karakter yang berhasil?. Keberhasilan pendidikan karakter antara lain yaitu bisa menghasilkan individu yang berdaya saing, jujur, bersopan santun dan memiliki kepribadian yang kuat. Pendidikan karakter juga menjadi tanda bahwa sebuah pendidikan formal itu berhasil, tidak hanya dari segi intelektual siswanya saja.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang, mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Sulit memang untuk menanamkan pendidikan karakter bila tidak sejak dini. Apalagi jika hanya diterapkan pada pendidikan tingkat atas. Mengapa?, karena pendidikan karakter itu pahit jika hanya diajarkan mentah-mentah. Terlebih pada siswa-siswa tingkat atas yang notabenenya pergaulan mereka sudah sangat kompleks. Sementara para siswa tingkat atas biasanya mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak suka diatur.
ilustrasi via shutterstock |
Sebenarnya bila ditelaah lebih jauh, pendidikan karakter merupakan tanggung jawab antara orang tua siswa dan guru di sekolah. Namun yang lebih berpengaruh adalah orang tua, karena pendidikan karakter seharusnya sudah menjadi bekal dari rumah. Ketika siswa berangkat dari rumah misalnya, sebelum berangkat sekolah siswa berpamitan pada kedua orang tua dengan cara mencium tangan dan melakukan hal yang sama apabila bertemu dengan guru di sekolah.
Sayangnya, orang tua siswa kadang kurang memahami akan hal itu. Jangankan tahu apa itu pendidikan karakter, dengan melihat anaknya mau berangkat sekolah saja sudah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Namun ada satu hal yang tertinggal dalam diri anaknya, yaitu kebutuhan moril. Selanjutnya mereka (orang tua) juga kadang beranggapan bahwa tanggung jawab anaknya sepenuhnya berada di tangan sang pendidik.
Padahal biar bagaimanapun, orang tua mempunyai andil besar bagi pendidikan karakter anaknya, misalnya kesopanan, tanggung jawab, kejujuran, etika pergaulan, dan pendidikan moral. Dan dalam hal ini guru hanya sebagai fasilitator saja, dengan kata lain bisa dikatakan hanya sebagai penyempurnanya.
Faktanya, fenomena yang ada saat ini orang tua sepertinya meletakkan tanggung jawab pendidikan anaknya sepenuhnya pada guru. Pendidikan moral, mata pelajaran umum dan sebagainya sepenuhnya jatuh di tangan pendidik. Lantas bila begitu, apa tugas orang tua?. Memang, orang tua menitipkan anaknya pada guru agar mendapatkan pendidikan yang baik, supaya anaknya bisa menjadi individu yang lebih baik.
Tapi meskipun demikian, orang tua tidak lantas lepas tangan akan pendidikan anaknya. Dan ketika terjadi sesuatu yang “kurang sedap" pada anaknya, orang tua tidak seharusnya menyalahkan sepenuhnya pada guru. Karena biar bagaimanapun, guru hanya sebagai fasilitator bagi pendidikan anaknya. Atau juga biasa disebut sebagai orang tua kedua. Akan lebih baik ketika orang tua mengajarkan kepada anak untuk berlaku jujur dan mencoba untuk mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan alangkah baiknya, jika setiap individu sudah memiliki kesadaran untuk menunjukkan seperti apa karakternya.
Ketika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.
ilustrasi shalat berjamaah |
Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud).
Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43)
Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya:
Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14)
Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam.
Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:
“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari).
Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)
Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.
Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih).
Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda:
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)
Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.
Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).
Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)
Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah.
Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab
Santos el Salam Juni 07, 2023 Admin Bandung IndonesiaKetika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.
ilustrasi shalat berjamaah |
Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud).
Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43)
Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya:
Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14)
Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam.
Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:
“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari).
Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)
Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.
Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih).
Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda:
"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)
Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.
Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).
Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)
Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah.
Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab
ilustrasi via pixabay |
ilustrasi via pixabay |
via imuzaki.com |
via imuzaki.com |
sekedar ilustrasi |
sekedar ilustrasi |