Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

kalender jawa
via kompas.com 

Kalender Jawa (Penanggalan Jawa) adalah sistem penanggalan yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (Raja Mataram Islam) yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645 M. Kalender ini memakai dua siklus hari yaitu siklus mingguan (saptawara) yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi/manis). Keistimewaan penanggalan ini yaitu merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Islam, Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Keberadaan kalender Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan Agung, Raja Mataram terbesar yang memiliki gelar lengkap Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Di bawah pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaannya. Berbagai aspek seni budaya berkembang dengan pesat baik seni tari, seni pahat, seni suara dan seni sastra. Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa juga turut berkembang pesat, salah satunya yaitu dengan terciptanya kalender Jawa. 

Pada masa itu, sistem penanggalan ini digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai wilayah pecahannya yang mendapat pengaruh Mataram. Sang Raja Mataram, Sultan Agung, memang dikenal sebagai seorang raja yang berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, beliau menghendaki adanya sistem penanggalan tersendiri bagi orang Jawa yang dihasilkan dari perpaduan antara kebudayaan asli jawa, kebudayaan Hindu/ Budha (India), dan kebudayaan Islam. 

Sebelum tahun 1633 Masehi, Kesultanan Mataram menggunakan Kalender Saka yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh syamsiah), yang merupakan perpaduan perhitungan kalender jawa dengan kalender Hindu. Sementara saat agama Islam telah semakin berkembang di Jawa, masyarakat pesantren biasa menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada peredaran bulan (tarikh Qomariyah). 

Sultan Agung bermaksud memadukan tradisi masyarakat kejawen yang masih menggunakan Kalender Saka dengan tradisi pesantren yang sudah menggunakan Kalender Hijriah. Oleh karena itulah sejak tahun 1633 M (1555 Saka) Sultan Agung merubah kalender Saka menjadi kalender Hijriah yang dipadukan dengan tradisi-tradisi Jawa. Perubahan sistem kalender ini juga dimaksudkan agar hari-hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri dan Idul Adha yang biasa dirayakan di keraton Mataram (biasa disebut Grebeg) dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sesuai dengan ketentuan dalam kalender Hijriah. 

Pada waktu itu, kalender Saka sendiri sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu kemudian diteruskan dalam kalender Hijriah (Islam) dengan angka tahun 1555, meskipun dasar perhitungan keduanya berbeda. Saat itu, perubahan kalender di jawa ini terjadi dan mulai diberlakukan pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, dan bersamaan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. 

Ide besar Sultan Agung ini didukung oleh para Ulama dan abdi dalem keraton, khususnya para tokoh pakar yang menguasai ilmu falak atau ilmu perbintangan. Kalender ini kemudian juga diberlakukan di seluruh wilayah Kesultanan Mataram meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Blambangan). 

Sistem kalender baru ini kemudian disebut juga dengan Kalender Sultan Agung atau Anno Javanico. Adapun sekarang, kalender (penanggalan) ini lebih dikenal sebagai kalender Jawa. 

Nama-Nama Bulan dalam Kalender (Penanggalan) Jawa


Nama-nama bulan dalam kalender Jawa sebagian diambil (serapan) dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab dan sebagian lagi menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta dan Melayu. 

No.  Nama Bulan Jumlah hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud atau Rabingul awal 30
Bakda Mulud atau Rabingulakir 29
Jumadilawal 30
Jumadilakir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10  Sawal 29
11  Séla (Dulkangidah, Apit) 30
12  Besar (Dulkahijjah) 29/30


Selengkapnya
Seni Tari Barongsai, Sejarah dan Keberadaannya

Seni Tari Barongsai, Sejarah dan Keberadaannya

Barongsai

Suku bangsa Tiongkok atau China merupakan etnis yang penyebarannya hampir merata di seluruh dunia. Tidak heran jika di banyak negara kemudian bermunculan kawasan seperti pecinan di Indonesia, yaitu kawasan yang banyak di huni etnis China. Penyebaran mereka di berbagai negara di belahan dunia tentunya juga membawa seni dan kebudayaan dari tanah nenek moyang mereka. Di antara seni yang masih tetap eksis hingga sekarang bahkan sering ditampilkan dalam berbagai event acara adalah pertunjukan seni barongsai. 

Barongsai adalah seni tari tradisional Cina dengan menggunakan sarung atau kostum yang menyerupai singa. Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Tiongkok, singa adalah simbol dari keberanian, stabilitas, dan keunggulan. Konon, tarian barongsai yang dilakukan dengan diiringi suara keras dapat mengusir roh-roh jahat, hantu dan Nian (monster). Pertunjukan seni barongsai juga bermakna untuk mengusir segala hal-hal buruk yang akan terjadi. Selain itu, Masyarakat China juga percaya, tarian singa barongsai adalah pertunjukan yang membawa keberuntungan. Oleh sebab itu, tarian barongsai biasa diadakan pada berbagai acara penting, seperti diantaranya pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan pada Tahun Baru Imlek.

Sejarah Barongsai


Keberadaan Barongsai memiliki sejarah sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan pertama tentang seni tari ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi. Barongsai hadir sejak 1500 tahun silam. Ada beberapa versi sejarah mengenai keberadaan tarian Barongsai. Versi pertama mengatakan bahwa keberadaan barongsai adalah berasal dari tradisi untuk pengusiran roh-roh jahat, hantu atau nian (monster). 

Menurut cerita masyarakat China, dikisahkan pada masa Dinasti Qing, di salah satu wilayah di Tiongkok, muncul nian (monster) yang mengganggu ketentraman penduduknya. Penduduk dibuat resah dan ketakutan dengan kemunculan monster tersebut. Hingga pada suatu waktu munculah seekor singa (barongsai) yang dengan kedatangannya mampu menghalau monster itu menjauh dari penduduk. Barongsai mampu mengalahkan monster dan membuat hawa jahat itu pergi ketakutan. 

Namun setelah kepergian singa barongsai tersebut, sang monster yang sakit hati kembali untuk membalas dendam kepada penduduk desa. Masyarakat dilanda kepanikan dan bingung karena singa yang pernah menyelamatkan desa mereka tidak diketahui keberadaannya. Akhirnya, mereka menciptakan kostum Barongsai untuk dapat mengusir monster itu kembali. Ternyata dengan mengenakan kostum barongsai, mereka berhasil membuat monster itu lari ketakutan. Hal inilah yang kemudian mendasari kenapa Barongsai selalu hadir dalam perayaan Imlek. Kini, pertunjukan barongsai mengusir monster diibaratkan sebagai mengusir aura-aura buruk yang ada. 

Sedangkan versi lain, sebagaimana dikutip dari wikipedia, menyebutkan bahwa Kesenian Barongsai muncul pada masa dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Dibuat kewalahan saat menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Akhirnya, Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda hingga sekarang. 

Seni Tari Barongsai


Seni tari barongsai secara umum dikelompokan dalam dua jenis barongsai, yaitu Singa Utara dan Singa Selatan. Singa Utara bersurai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara juga lebih terlihat alami dan lebih mirip singa. Sementara Singa Selatan memiliki sisik serta jumlah kaki bervariasi, antara dua atau empat kaki. Kepala Singa Selatan juga dilengkapi tanduk. Gerakan Singa Utara dan Singa Selatan juga tidak sama. Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepala yang keras dan melonjak-lonjak seiring tabuhan gong dan tambur. Sementara, Singa Utara cenderung lebih lincah serta penuh dinamika. Salah satu gerakan wajib Barongsai yang merupakan klimaks dan dramatis adalah saat singa memakan amplop berisi uang. Di atas amplop biasanya disertai sayuran selada air sebagai perlambang hadiah bagi sang singa.

Barongsai
via liputan6

Pelengkap tarian Barongsai adalah suara kembang api. Suara pukulan simbal, gong, dan gendang biasanya menyertai adegan semarak ini. Setiap gerakan singa, punya irama musik khusus. Musik mengikuti gerakan singa, suara drum mengikuti singa, sementara simbal dan gong mengikuti pemain gendang. Tarian Barongsai menggabungkan seni, sejarah, serta gerakan kungfu. Biasanya para pemain kungfu dan sekompok penari singa terdiri dari sekitar sepuluh orang.

Untuk menguasai tarian barongsai, para penari barongsai membutuhkan keahlian khusus dan ketangkasan yang di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain. Hal ini dikarenakan permainan Barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya minimalis.

Kesenian Barongsai di Indonesia


Kesenian barongsai masuk ke Indonesia pada sekitar abad 17, yaitu ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Kesenian Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. 

Pada masa Presiden Soeharto, Barongsai hanya boleh dimainkan secara terbatas yaitu seperti pada setiap tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek) di panggung besar Klenteng Gedung Batu Sam Po Kong, Semarang. Setelah perubahan situasi politik yang terjadi pada tahun 1998, kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya akhirnya bangkit kembali dan banyak perkumpulan barongsai mulai kembali bermunculan. Bahkan di antaranya banyak yang meraih penghargaan dari berbagai ajang kejuaraan baik di tingkat nasional ataupun internasional.

Dalam perkembangannya, permainan barongsai juga semakin bervariasi dengan dipadukan kesenian lain seperti beladiri Wushu, sehingga menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik yang terdengar dari alat musik. Di Indonesia, kini perkumpulan seni tari barongsai banyak tersebar di berbagai kota dan dipelajari tidak hanya oleh kaum muda masyarakat etnis China. Banyak kaum muda pribumi yang kini ikut serta memainkannya. Keberadaan pertunjukan seni barongsai dapat menjadi ajang pengenalan budaya China disamping turut melestarikannya. Selain itu, keberadaan seni barongsai di Indonesia juga semakin memperkaya khazanah keragaman seni dan budaya yang ada di bumi Indonesia.

Diolah dari berbagai sumber
Selengkapnya
Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Arti Kesetiaan dan Pengorbanan Karna

Dalam hidup, kita banyak disuguhi berbagai kisah yang menceritakan mengenai kesetiaan dan pengorbanan. Bahkan adakalanya kedua hal tersebut mesti diraih dengan menghinakan diri demi tergapainya tujuan yang mulia. Mungkin inilah tujuan yang hendak dicapai oleh Karna. Dalam tokoh pewayangan, Karna adalah kakak tertua dari para Pandawa. Meskipun begitu, dalam perang besar Mahabarata, ia justru berada di pihak yang berseberangan dengan para saudaranya, Pandawa. Ia menjadi pendukung besar pihak Kurawa, yang dipimpin Duryudana.

Basukarna
ilustrasi

Karna adalah putra angkat dari kusir kerajaan Hastinapura, Adirata. Ia lahir dari Kunti, ibu para Pandawa, dengan ayah Batara Surya. Ia 'dibuang' oleh ibunya dengan cara menghanyutkannya ke sungai. Karna dibekali anting-anting dan sebuah baju sakti oleh ayahnya, Batara Surya. Konon baju sakti ini tidak akan mampu ditembus senjata sakti apapun. Diceritakan, Karna adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Meski terlihat angkuh, ia dikenal dermawan dan murah hati, terutama kepada fakir miskin dan kaum brahmana. Pada bagian akhir perang besar di ladang Kurusetra itu, Karna diangkat sebagai panglima pihak Kurawa, namun akhirnya gugur di tangan saudaranya sendiri, Arjuna.

Pada saat remaja, saat jati dirinya belum terungkap, ia berkesempatan mendapat pengalaman hidup bersama para pangeran dari Kurawa dan Pandawa. Hingga pada suatu hari, diadakanlah pertunjukan ketangkasan memanah yang diikuti oleh para pangeran Kurawa dan Pandawa. Dalam pertunjukan itu, Arjuna dari Pandawa berhasil membungkam lawan-lawannya dengan keahliannya memanah. Saat Karna hendak menantang Arjuna beradu keahlian memanah, Arjuna menolaknya mentah-mentah. Menurut Arjuna, Karna hanya seorang anak kusir dari kasta sudra, kasta yang terendah, maka tidak pantas baginya beradu kepandaian dengan seorang pangeran. 

Merasa dihina oleh Arjuna, batin Karna bergemuruh menahan amarah, gemeretak giginya dan kepalan tangannya bahkan dapat dilihat oleh siapapun juga di tengah lapang di mana perlombaan memanah antar murid Durna itu diselenggarakan. Melihat bara kebencian dari mata Karna saat dihina Arjuna, pangeran Duryudana dari Kurawa memainkan siasatnya. Ia mengetahui potensi besar yang dimiliki Karna, sehingga ia pun mendekati Karna dan merangkulnya sebagai kawan. Bahkan Duryudana akhirnya memberi Karna jabatan sebagai Raja di sebuah negeri jajahan Kurawa bernama Awangga. 

Kesetiaan Karna


Dari sini kita bisa melihat awal mula mengapa Karna yang tahu bahwa Duryudana sebetulnya bukanlah orang baik, namun ia justru sumpah setia terhadapnya. Kesetiaan Karna kepada Duryudana dan Kurawa telah diikat oleh persahabatan yang erat di antara keduanya. Bahkan saat terjadinya perang besar Bharatayuda, ia bersumpah setia untuk membela Kurawa sampai mati. 

Dilihat dari kacamata orang awam seperti kita, kadang timbul pertanyaan mengapa Karna yang tahu arti kebenaran justru berada di pihak yang disimbolkan dengan keangkara murkaan. Ia tahu betul bahwa kebenaran di pihak Pandawa, yang nyata-nyata adalah saudaranya. Bahkan dengan sifat kesatrianya itu, tidaklah pantas baginya mendampingi Kurawa. Meskipun begitu, menurut pendiriannya, apa yang ia lakukan adalah semata-mata hanya ingin membalas budi pada orang yang pernah mendukung dan menolongnya, yakni Duryudana. Karena itulah, meski nyawa jadi taruhannya, ia tetap memegang teguh janji setia untuk tetap berada di barisan pendukung Duryudana di pihak Kurawa sepanjang hidupnya.

Pengorbanan Karna


Dikisahkan saat Kresna menjadi duta ke Hastinapura, ia pernah menemui Karna dan memintanya agar bergabung dengan Pandawa. Terlebih Karna juga sebenarnya sudah tahu bahwa dia adalah kakak tertua para Pandawa. Namun Karna menolak permintaan Kresna. Karna beralasan bahwa sebagai seorang kesatria, ia harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Duryudana. Kresna juga telah menjelaskan kepada Karna bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah menumpas keangkara murkaan. Namun Karna tetap teguh pada pendiriannya. 

Karna setia
ilustrasi

Dalam versi pewayangan Jawa, karena terus didesak oleh Kresna, Karna akhirnya terpaksa membuka rahasia bahwa ia tetap membela Kurawa agar supaya bisa menghasut Duryudana agar berani berperang melawan Pandawa. Ia yakin bahwa dengan kemenangan para Pandawa, angkara murka di Hastinapura juga akan hilang bersama dengan kematian Duryudana. Ia bahkan rela dirinya menjadi korban demi tertumpasnya keangkara murkaan. Ia juga siap dengan sepenuh hati menyerahkan dirinya sebagai tumbal demi kebahagiaan saudara-saudaranya, para Pandawa.

Saat meletusnya perang Baratayudha, Karna yang menjadi panglima perang Kurawa akhirnya tewas di tangan Arjuna. Saat menghadapi kematiannya, Karna dengan gagah beraninya tetap memegang senjata busurnya. Ia tewas bersamaan dengan hujan yang seketika turun. Sungguh sebuah ungkapan duka yang mendalam dari para dewata. Duka yang muncul karena mayapada telah kehilangan seorang manusia kinasih, yakni manusia yang menjaga janji dan kesetiaannya.

Selengkapnya
Asal Usul Lebaran dan Maknanya

Asal Usul Lebaran dan Maknanya

Maafan saat lebaran

Masyarakat Indonesia biasa menyebut hari raya Idul Fitri dengan istilah lebaran. Tidak diketahui sejak kapan istilah ini populer sebagai pengganti kata lain dari idul fitri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Lebaran adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Mungkin ada yang penasaran, sebenarnya dari manakah asal kata lebaran ini? Atau apakah makna lebaran itu? 

Istilah lebaran bukanlah berasal dari bahasa Arab sebagaimana "Idul Fitri". Istilah lebaran diyakini berasal dari bahasa lokal di Indonesia. Meski demikian, tidak diketahui secara persis dari daerah atau suku manakah istilah lebaran ini berasal. Ada sebagian yang beranggapan bahwa kata Lebaran berasal dari Bahasa Madura 'lober' yang berarti tuntas. Ada juga yang berpendapat lebaran berasal dari Bahasa Sunda 'lebar' yang berarti melimpah ruah atau kadang juga disebut 'boboran', sementara ada juga yang berpendapat lebaran berasal dari Bahasa Betawi 'lebar' yang berarti luas dan dalam. 

Sementara dalam bahasa jawa, istilah lebaran diyakini berasal dari kata 'lebar' yang berarti usai atau selesai. Dalam istilah lebaran juga terkandung makna lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita selesai menjalankan ibadah puasa, atau bisa juga dimaknai usai/ berhenti dari kemaksiatan. Sedangkan Lebur artinya lebur/ terhapus dari dosa-dosa. Luber artinya mendapat luberan/ limpahan pahala, keberkahan, dan rahmat dari Allah SWT. Sementara Labur artinya bersih suci dari dosa, sebagaimana imbalan bagi orang yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah puasa. 

Ada yang beranggapan bahwa tradisi 'lebaran' konon sudah ada bahkan sebelum agama Islam datang. Lebaran berasal dari tradisi Hindu yang menandakan selesainya masa puasa (tapa/ tidak makan dalam tradisi hindu). Saat Islam datang ke jawa dibawa oleh para Walisongo, istilah lebaran tetap dipertahankan agar umat Hindu yang baru masuk Islam saat itu tidak merasa asing dengan agama baru yang dianutnya. Oleh karenanya, sebutan untuk berakhirnya puasa (ramadhan) bagi umat Islam di jawa pun kemudian disebut juga dengan istilah lebaran. 

Menurut budayawan Umar Khayam, tradisi lebaran sebagaimana yang lazim dipraktekkan oleh kaum Muslim di Indonesia ini bermula sejak abad ke-15, yakni sejak diperkenalkan oleh Sunan Bonang. Sebagai salah satu anggota Wali Songo yang berjasa besar dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa, Sunan Bonang inilah yang konon awalnya memperkenalkan tradisi Lebaran dengan meminta umat Islam untuk saling bermaaf-maafan sebagai "penyempurna" atas pengampunan yang diberikan Allah SWT. Dengan kata lain, dengan puasa, Allah SWT telah mengampuni atau memaafkan dosa-dosa umat Islam yang dilakukan kepada-Nya, maka dengan saling memaafkan satu sama lain, dosa dan kesalahan kepada sesama juga menjadi termaafkan. 

Meski banyak yang meyakini kalau istilah lebaran berasal dari bahasa jawa, pada kenyataannya, orang jawa sendiri jarang menggunakan istilah lebaran saat Idul Fitri. Mereka lebih sering menggunakan istilah "sugeng riyadin" sebagai ungkapan selamat hari raya Idul Fitri. Sebutan lebaran pada saat hari raya Idul Fitri justru lebih banyak digunakan oleh orang Betawi dengan pemaknaan yang berbeda. Menurut mereka, kata lebaran berasal dari kata lebar yang dapat diartikan luas. Maksudnya yaitu gambaran keluasan atau kelegaan hati setelah usai menjalankan ibadah puasa, serta kegembiraan dalam menyambut datangnya hari kemenangan.

Jika disimpulkan dari penjabaran di atas, Asal kata lebaran dari beberapa bahasa daerah tersebut sebetulnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Sehingga bisa dikatakan, istilah lebaran ini sudah menjadi milik bersama seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Lebaran adalah hari raya bagi umat Islam untuk bergembira dan bersuka cita, mengenakan pakaian baru (jika ada), menyantap segala rupa makanan dan minuman, berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, serta bersilaturahmi dengan sanak keluarga dan karib kerabat sembari merayakan hari kemenangan.


Sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas, istilah lebaran dalam bahasa jawa mengandung maksud atau memiliki lima padanan kata yang berkaitan makna dengannya. Lima kata tersebut adalah lebar-an, luber-an, labur-an, lebur-an dan liburan. 

Pertama, lebar-an yang berasal dari kata lebar dengan dibubuhi imbunan -an. Lebar disini maksudnya bukanlah lebar dalam arti ukuran benda, bangunan, lapangan atau semacamnya. Lebar yang dimaksud adalah 'lebar hati', yaitu hati yang lapang (luas) untuk saling memaafkan. Istilah lebar ini juga sejalan dengan ungkapan Orang tua jawa yang biasa berucap "sing jembar (luas) atine" manakala kita disakiti. Dengan hati yang luas (lebar) ini maka timbulah rasa untuk saling memaafkan di antara sesama. 

Kedua, luber-an dari asal kata luber dan imbuhan an. Dalam KBBI luber memiliki arti melimpah atau meluap. Dengan berakhirnya ibadah puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri, kita berharap semoga Luber maafnya, luber rezekinya dan luber pula pahalanya. Begitu pula dalam hidup semoga kita senantiasa mendapat luberan/ limpahan keberkahan, dan rahmat dari Allah SWT. 

Ketiga, labur-an. Dalam istilah lebaran terkandung makna kata laburan yang dalam bahasa jawa dapat berarti mengecat. Sebagaimana kebiasaan masyarakat kita setiap kali menjelang datangnya Idul Fitri, rumah-rumah akan dicat baru agar tampak lebih indah. Dari filosofi laburan ini, kita hiasi dan warnai hari raya dengan tradisi silaturahmi dan bermaaf-maafan agar kita menjadi pribadi baru yang bersih dan suci, serta tentunya menjadikan lebaran menjadi lebih indah dan lebih bermakna. 

Keempat, lebur-an. Lebaran berakar dari kata leburan yang berarti menyatukan. Makna filosofisnya yaitu dengan melewati ujian dan cobaan, serta kesabaran dan ketenangan pada saat Ramadhan, maka diharapkan kita telah mampu meleburkan diri kita pada sifat-sifat Tuhan, atau yang biasa disebut "manunggaling kawula gusti". Makna lain leburan yakni dengan datangnya hari raya, maka umat Islam di seluruh penjuru bumi lebur menjadi satu dalam kumandang takbir untuk menyambut datangnya hari kemenangan bagi seluruh umat Islam dimanapun berada. 

Kelima, libur-an. Lebaran dimaknai liburan. Sebenarnya ini merupakan plesetan, namun pada kenyataannya memang dalam kalender Nasional, Hari Raya Idul Fitri adalah tanggal merah yang artinya hari libur atau bebas dari aktivitas pekerjaan atau kesibukan sebagaimana hari biasa. Dengan hari raya menjadi hari untuk liburan, maka kita bisa menikmatinya dengan pulang ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, serta berkunjung ke tempat-tempat wisata untuk menyegarkan pikiran dari kepenatan sebelum kembali pada kesibukan aktivitas pekerjaan. 


Selengkapnya
Cara Masuk atau Saluran-Saluran Penyebaran Agama Islam di Indonesia

Cara Masuk atau Saluran-Saluran Penyebaran Agama Islam di Indonesia

Menurut para sejarawan, agama Islam di Indonesia berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat (India). Golongan pembawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang, mubaligh, kaum sufi, dan para wali. Adapun golongan penerima Islam di indonesia adalah kalangan masyarakat daerah pesisir, golongan raja dan bangsawan, hingga masyarakat di wilayah pedalaman.

masjid Baiturrahman Aceh
via shutterstock

Ada banyak teori yang menjelaskan mengenai kapan mula-mula Islam masuk ke Indonesia dan siapa para pembawanya. Informasi selengkapnya silahkan baca: 7 Teori Masuknya Islam di Indonesia

Berbeda dengan penyebaran Islam di benua-benua lain, proses penyebaran Islam di Nusantara umumnya berjalan dengan lancar dan damai tanpa melalui jalan penaklukan atau pertumpahan darah. Agama Islam dapat diterima dan berkembang dengan baik di dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
  • Syarat masuk agama Islam sangat mudah, yaitu hanya mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak perlu ada upacara khusus. 
  • Upacara-upacara peribadatan dalam Islam sangat sederhana. 
  • Ajaran Islam tidak mengenal sistem kasta. 
  • Islam bersifat terbuka sehingga penyebaran Islam dapat dilakukan oleh setiap orang Islam. 
  • Penyebaran agama Islam di Indonesia disesuaikan dengan adat dan tradisi masyarakat Indonesia.
  • Ajaran Islam berdampak positif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat dengan adanya kewajiban membayar zakat bagi orang Islam yang mampu. 
  • Keruntuhan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha seperti Sriwijaya dan Majapahit, memberikan kesempatan yang luas bagi perkembangan Islam. 

Saluran-Saluran Penyebaran Islam


seni Islam
via istockphoto

Adapun proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui beberapa saluran atau cara sebagai berikut. 

a. Melalui Perdagangan


Hal ini terkait dengan perkembangan lalu lintas pelayaran dan perdagangan pada abad ke-7 sampai abad ke-16 dari Eropa, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina. Para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan Gujarat singgah berbulan-bulan di Malaka dan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia menunggu angin muson yang berubah arah tiap enam bulan sekali untuk kembali ke negeri asalnya. Selama menunggu itu terjadilah proses interaksi dengan masyarakat setempat, para bangsawan, bahkan dengan para raja. Kesempatan ini mereka pergunakan pula untuk menyebarkan agama Islam. 

b. Melalui Perkawinan


Ada pula di antara para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang kemudian menikah dengan wanita-wanita Indonesia. Melalui perkawinan tersebut, maka terbentuklah ikatan kekerabatan besar beragama Islam yang merupakan awal terbentuknya masyarakat Islam. Sebagai buktinya, sampai sekarang di beberapa kota di Indonesia masih ditemukan kampung Pekojan, yaitu perkampungan para pedagang Gujarat (Koja = pedagang Gujarat). Perkawinan dilangsungkan pula dengan golongan bangsawan. Misalnya, Raden Rahmat atau Sunan Ampel menikahi Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawungaten, dan Raja Brawijaya dengan Putri Ceumpa yang beragama Islam, yang kemudian berputra Raden Patah.

c. Melalui Pendidikan


Para ulama atau mubalig banyak mendirikan pondok pesantren di beberapa tempat di Nusantara. Di sanalah para santri dari berbagai daerah mendapatkan pendidikan agama Islam secara mendalam. Setelah tamat, mereka berkewajiban menyebarkan ajaran Islam di daerah masing-masing sehingga mendorong munculnya pondok-pondok pesantren baru, misalnya Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Raden Rahmat mempunyai murid Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, dan Raden Patah. Sunan Giri kemudian mempunyai murid Fatahillah/ Faletehan dari Pasai. 

d. Melalui Seni Budaya


Penyebaran agama Islam melalui sarana seni budaya disesuaikan dengan keadaan di Indonesia karena ketika itu kebudayaan Hindu-Buddha dan kepercayaan asli masih berakar kuat. Para penyebar agama Islam tidak serta-merta mengubah seni budaya tersebut, bahkan adakalanya mereka menggunakan seni budaya tersebut sebagai sarana menyebarkan Islam. Contoh seni budaya yang berpengaruh dalam proses islamisasi antara lain seperti seni gamelan dan wayang. Sering kali ajaran Islam diselipkan dalam cerita-cerita wayang, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Selain itu, pengaruh Islam juga berkembang melalui seni sastra, seni rupa, kaligrafi, seni ukir, dan lain-lain.

e. Melalui Ajaran Tasawuf


Tasawuf mengajarkan umat Islam agar selalu membersihkan jiwa dan mendekatkan diri dengan Tuhannya. Kaum sufi (penganut tasawuf) hidup dengan sederhana dan sering kali memiliki keahlian yang bersifat magis, seperti menyembuhkan penyakit dan ilmu kebatinan. Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal antara lain Hamzah Fansuri, Nurrudin ar-Raniri, Syamsuddin as Sumatrani, Syekh Yusuf al Makassari, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dll. Apa itu tasawuf?. Silahkan baca: Asal Kata Tasawuf dan Pengertiannya.

Selengkapnya
Puisi Kontemporer dan Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri

Puisi Kontemporer dan Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri

Dilihat dari hasil karya-karyanya, ada cukup banyak penyair tanah air yang digolongkan ke dalam penyair yang melahirkan puisi-puisi kontemporer. Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Ardinugraha, Linus Suryadi A.G., Leon Agusta, Hamid Jabbar, F. Rahardi, Rahim Qahar, Ibrahim Sattah, dan Husni Djamaluddin adalah beberapa di antara tokoh-tokoh penyair yang dikenal sebagai pencipta puisi-puisi kontemporer di Indonesia. 

Puisi Kontemporer dan Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri
gambar via media Indonesia

Apakah puisi kontemporer itu?. Puisi kontemporer adalah bentuk puisi masa kini yang berusaha keluar dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Atau dengan kata lain, puisi kontemporer adalah puisi kekinian yang berusaha untuk mendobrak gaya penulisan puisi konvensional (Sapardi Djoko Damono). Oleh karenanya, diperlukan kejelian bagi pembacanya untuk bisa memahami jenis puisi tersebut.

Ciri-Ciri Puisi Kontemporer

Jika diperhatikan, tampak ada beberapa kesamaan pada ciri-ciri puisi kotemporer. Puisi-puisi kontemporer biasanya menonjolkan bentuk grafis, misalnya disajikan dalam bentuk kotak, bentuk anak panah, atau bentuk-bentuk lainnya. Pada puisi kontemporer, bentuk-bentuk tersebut memang dipentingkan. Misalnya, ada puisi yang berbentuk pot, zig-zag, dan gunung. Tentu saja bentuk-bentuk seperti itu memiliki arti tersendiri yang juga membantu pembaca dalam memaknai puisinya.

Karakteristik puisi kontemporer adalah bebas tidak ada aturan. Artinya, puisi-puisi tersebut tercipta sesuai dengan keinginan penyair. Dalam hal ini, penyair bebas bermain diksi, bebas dalam tipografi, dan bebas menggunakan lambang/simbol. Terkait dengan ciri paling dominan pada puisi tersebut adalah bebas bermain diksi, yaitu ketidaklaziman menggunakan pasangan kata.

Selain itu, puisi kontemporer juga mengutamakan kekuatan bunyi daripada makna, bahkan sepintas kata-kata dalam puisi seperti tidak mengandung makna. Penggunaan kata-kata itu lebih tertuju pada permainan bunyi. Misalnya dalam puisi "Pada Mulanya Sepi" karya Husni Djamaluddin, penyair menggunakan kata sepi, tak, yang, dan kata-kata lainnya sehingga membentuk perulangan bunyi yang semakin tegas dan jelas, walaupun bagian ujungnya berupa ceceran huruf dari kata kau dan aku. 

Baca juga: Mengenal 10 Tokoh Penyair Kenamaan Indonesia

Dengan karakternya yang seperti itu, puisi karya Husni Djamaluddin ataupun puisi-puisi kontemporer lainnya dapat dirumuskan sebagai puisi yang mengutamakan permainan bunyi dan mengabaikan arti. Hal itu berbeda dengan puisi Chairil Anwar atau sastrawan lain yang seangkatan dengannya yang lebih mengutamakan arti daripada bunyi. Berbeda pula dengan puisi Amir Hamzah yang mengutamakan arti sekaligus bunyi.
 
Maksud dan Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri

Berikut ini adalah salah satu contoh puisi kontemporer berjudul Tragedi Winka & Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri, penyair dan sastrawan Indonesia yang juga dijuluki sebagai Presiden Puisi Indonesia. Puisi unik ini cukup populer di kalangan penggiat sastra sehingga menarik untuk kita cermati dan pahami maknanya.


kawin

           kawin

                      kawin

                                kawin

                                           kawin

                                                     ka

                                               win

                                          ka

                                    win

                                ka

                           win

                       ka

                 win

             ka

       win

 ka

      winka

               winka

                         winka

                                  sihka

                                           sihka

                                                    sihka

                                                             sih

                                                         ka

                                                    sih

                                                 ka

                                            sih

                                         ka

                                   sih

                                ka

                            sih

                        ka

                            sih

                                 sih

                                      sih

                                           sih

                                                sih

                                                     sih

                                                          ka

                                                            Ku

(Sutardji Calzoum Bachri, 1983)


Perhatikan dan cermati kembali puisi "Tragedi Winka & Sihka" di atas. Dalam puisi tersebut, bentuk grafis lebih dipentingkan. Tentunya bukan tanpa maksud penyair menulis puisi dengan bentuk zig-zag. Ia sebenarnya mempunyai maksud tertentu dengan membalik kata-kata yang digunakan karena di dalam puisi yang tidak bermakna diberi makna; dan mungkin pula kata yang sudah bermakna diberi makna baru. Maju-mundurnya baris dan maju-mundurnya pernyataan juga mungkin mengandung maksud tersendiri. Dengan kata lain, bentuk, larik, dan kata dalam puisi di atas membentuk makna tersembunyi.

Meskipun makna puisi tersebut tidak diungkapkan, tetapi bentuk fisik puisi tersebut membentuk makna tersendiri. Puisi di atas adalah tragedi, yakni tragedi winka dan sihka. Pembalikan kata /kawin/ menjadi /winka/ dan /kasih/ menjadi /sihka/ mengandung makna bahwa perkawinan antara suami istri itu berantakan dan kasih antara suami dan istri tersebut sudah berbalik menjadi kebencian.

Baris-baris puisi yang membentuk zig-zag mengandung makna terjadinya kegelisahan dalam perjalanan perkawinan itu. Pada baris ketujuh, kata /kawin/ berjalan mundur. Hal ini mengandung makna bahwa cinta dalam perkawinan yang tadinya besar, berubah menjadi semakin kecil. Di baris ke-15, kata /kawin/ sudah berubah menjadi /winka/ yang dapat ditafsirkan sebagai percekcokan dan perpisahan yang sudah sering terjadi sehingga kata /kasih/ itu berubah menjadi /sihka/. Dengan kata lain, kasih itu sedang benar-benar berubah menjadi kebencian.

Di baris ke-22, kasih itu sangat mundur sampai akhirnya tinggal sebelah saja, yakni /sih/. Akhir puisi ini menjelaskan bahwa /kawin/ dan /kasih/ kini telah menjadi kaku atau menjadi tragedi. /Ku/ dimulai dengan huruf kapital yang bermakna bahwa sang Penyair akhirnya berpaling kepada Tuhan.

Selengkapnya
Pembagian Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Pembagian Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Angkatan Sastra di Indonesia dan Karakteristiknya

Perkembangan sastra di Indonesia memang telah banyak melahirkan para pujangga, penyair, dan sastrawan-sastrawan hebat dari semenjak negeri ini berdiri hingga saat ini. Bahkan dari rentang waktu mulai tahun '20-an hingga sekarang, sastra modern Indonesia terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Maka dari itu, para ahli kemudian menggolongkan sastrawan-sastrawan tersebut ke dalam beberapa angkatan. 

Berikut ini merupakan pembagian angkatan-angkatan sastra Indonesia berdasarkan urutan waktunya.

1. Angkatan ‘20-an atau Angkatan Balai Pustaka


Karya sastra yang luhur pada Angkatan 20-an sering disebut sebagai karya sastra Angkatan Dua Puluhan atau Angkatan Balai Pustaka. Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbit adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang diterbitkan tahun 1921.

Karya-karya yang lahir pada periode itu disebut pula Angkatan Balai Pustaka karena karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Peran Balai Pustaka dalam menghidupkan dan memajukan perkembangan sastra Indonesia memang sangat besar. Penerbitan pertamanya Azab dan Sengsara, kemudian berpuluh-puluh novel lain diterbitkan pula, termasuk buku-buku sastra daerah.

Selain disebut Angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’20-an disebut pula Angkatan Sitti Nurbaya karena novel yang paling laris dan digemari masyarakat pada masa itu adalah novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli.

Secara umum, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka bertemakan masalah-masalah sosial seperti kesetiaan istri kepada suami atau orang tua, kepatuhan pada adat, pentingnya belajar, dan tentang kewajiban menghargai sesama.

2. Angkatan ‘30-an atau Angkatan Pujangga Baru


Istilah Angkatan Pujangga Baru untuk karya-karya yang lahir sekitar tahun ‘30 - ’40-an, diambil dari majalah Pujangga Baroe yang terbit pada tahun 1933. Majalah ini dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, serta Armijn Pane.

Angkatan Pujangga Baru disebut juga Angkatan Tiga Puluhan sebab angkatan ini lahir pada tahun ’30-an. Karya sastra yang lahir pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra pada angkatan sebelumnya. Karya-karya pada periode ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak mempersoalkan tradisi sebagai tema sentralnya. Hal semacam itu timbul karena para pengarang sudah memiliki pandangan yang jauh lebih maju dan sudah mengenal budaya-budaya yang lebih modern. Di samping itu, semangat nasionalisme mereka sudah semakin tinggi sehingga isu-isu yang diangkat tidak lagi kental dengan warna kedaerahan.

3. Periode ‘45


Periode ’45 disebut juga Angkatan Chairil Anwar karena perjuangan Chairil Anwar sangat besar dalam melahirkan angkatan ’45 ini. Dia pula yang dianggap sebagal pelopor Angkatan ‘45. Angkatan ‘45 disebut juga Angkatan Kemerdekaan sebab dilahirkan pada tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Karya-karya yang lahir pada masa Angkatan ’45 sangat berbeda dengan karya sastra masa sebelumnya. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa ini antara lain bebas, individualistis, universalitas, dan realistis.

Sikap hidup dan sikap dalam berkarya para pengarang dan sastrawan Angkatan ’45 sangat tegas. Mereka mengumumkan sikap hidup tersebut melalui majalah Siasat dalam rubrik “Gelanggang”. Sikap tersebut mereka beri nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang diumumkan tahun 1950 dalam majalah Siasat.

4. Angkatan ‘66


Nama Angkatan '66 dicetuskan oleh Hans Bague (H.B) Jassin melalui bukunya yang berjudul Angkatan ‘66. Angkatan ini lahir bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yang tengah mengalami kekacauan akibat teror dan merajalelanya paham komunis. Pada saat itu, PKI hendak menguasai negara dan berusaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir pada periode ini lebih banyak yang berwarna protes terhadap keadaan sosial dan politik pemerintah pada masa itu.

Pengarang yang produktif pada masa ini antara lain Taufiq Ismail, Mansur Samin, dan Goenawan Mohammad. Karya-karya yang terbit di antaranya Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar, Tirani (kumpulan puisi) karya Taufiq Ismail, Pariksit karya Goenawan Mohammad, dan sebagainya.

5. Angkatan ‘70-an


Sekitar tahun ‘70-an, muncul karya-karya sastra yang lan dari karya sebelumnya. Kebanyakan karya-karya itu tidak menekankan pada makna kata. Para kritikus sastra menggolongkan karya-karya tersebut ke dalam jenis sastra kontemporer (mutakhir). Kemunculan sastra semacam ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Ciri umum dari puisi Sutardji adalah diabaikannya unsur makna. Puisi Sutardji lebih menekankan permainan bunyi dan bentuk grafis. Kemutakhiran puisi-puisi Sutardji itu terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan pada tahun 1981.

Kemutakhiran puisi-puisi angkatan ‘70-an tampak pula pada puisi-puisi Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Hukla (1979), Hamid Jabbar dalam Wajah Kita (1981), F. Rahardi dalam Catatan Sang Koruptor (1985), Rahim Qahhar dalam Blong, dan Ibrahim Sattah dalam Dandandik (1975).

Beberapa sastrawan lainnya pada angkatan ini adalah Umar Kayam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Akhdiat K. Miharja, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo, H.B. Jassin, dan sebagainya.

Semangat avant-garde (melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman) dalam karya puisi sangat menonjol pada angkatan ini. Beragam aliran sastra pada masa ini pun berkembang, antara lain munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan sebagainya. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini.

Novel-novel yang terbit pada paruh pertama hingga pertengahan tahun 1970-an menampilkan serentetan gejala lokal yang melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini dapat ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, dan sebagainya.

6. Angkatan ‘80-an


Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern. Novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar (1981), dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, adalah beberapa contoh novel yang berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.

Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980 ditandai pula dengan banyaknya roman percintaan karya sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut, misalnya Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa sastrawan lainnya yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an antara lain Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Marendra Massardi, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi, dan sebagainya.

Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 yang tokoh utamanya selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an pun pada umumnya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Pada era ’80-an ini, tumbuh juga sastra yang beraliran pop remaja, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar membaca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”.

7. Angkatan Reformasi


Seiring jatuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, muncullah wacana tentang sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnva Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1996 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noer juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

8. Angkatan 2000


Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, tetapi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000. Mereka yang termasuk di dalamnya sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990 - an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.

Angkatan ini ditandai pula oleh karya-karya yang cenderung berani dan vulgar. Hal ini tampak pada karya-karya Ayu Utami dengan novelnya yang berjudul Saman. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, sebagai lanjutan dari Saman.

Sebagai counter atas maraknya karya-karya yang vulgar dan novel-novel teenlit yang mengadopsi begitu saja moral pergaulan yang serbabebas ala remaja Amerika, pada masa ini bermunculan pula fiksi-fiksi islami. Oleh karena itu, fiksi islami kemudian didefinisikan sebagai karya sastra fiksi yang ditulis dengan pendekatan islami, baik dalam mengeksplorasi tema (persoalan yang diangkat) maupun dalam mengemasnya ke dalam karya. Umumnya, bahasanya santun dan bersih dari citraan-citraan yang erotis dan vulgar.

Menariknya, aktivis gerakan fiksi islami didominasi oleh para penulis perempuan, seperti halnya fiksi sekuler yang juga didominasi oleh penulis perempuan. Dua kelompok mainstream sastra yang berbeda ‘ideologi’ itu seakan saling berebut pembaca dan pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer.

Kehadiran sastra Islam sebenarnya tidak spontan. Sejak paruh terakhir dasawarsa 1990-an, khazanah sastra Indonesia sebenarnya sudah diramaikan oleh kehadiran fiksi islami. Fiksi bernapaskan Islam ini menawarkan semacam ‘wacana baru’ sebagai wacana sastra alternatif bagi masyarakat pecinta fiksi Indonesia kontemporer. Tradisi penulisan fiksi islami tersebut kemudian berkembang sangat marak, terutama sejak awal dasawarsa 2000-an. Banyak penulis ternama lahir dari fenomena fiksi Islami itu, seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Fahri Aziza, Pipiet Senja, dan Habiburrahman El Shirazi.

Selengkapnya
Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

"Bahasa Jawa tidak bisa begitu saja kita hilangkan tanpa bekas ditelan zaman. Bahasa Jawa harus kita lestarikan bersama agar kelak sastra Jawa dapat terus berkembang dan dikenal di seluruh belahan dunia. Geguritan dapat memperkaya khasanah budaya kita."

Demikian sebuah pesan luhur singkat agar kita semua melestarikan sastra dan budaya Jawa sehingga tidak punah ditelan masa. Sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu yang menjadi perhatian kita adalah apa yang disebut dengan geguritan. Pengertian dari geguritan adalah sebuah karya sastra jawa yang dibuat dengan menggunakan kalimat yang indah dan mempunyai makna. 

Geguritan, Karya Sastra Jawa Yang Kaya Makna

Melansir dari wikipedia, geguritan merupakan bentuk puisi yang berkembang di kalangan penutur bahasa Jawa dan Bali. Geguritan juga merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Hal ini disebabkan karena pada zamannya, geguritan dibuat oleh seorang penulis yang tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. 

Kata geguritan dalam kamus Bali-Indonesia berasal dari kata gurit yang artinya gubah, karang, sadur (Depdiknas Prop. Bali, 1991:254). Dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan bahwa geguritan itu berasal dari kata gurit yang artinya sajak atau syair (Poerwadarminta, 1986:161). Sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan bahwa gurit artinya adalah goresan. 

Geguritan berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa bentuk geguritan yang berbeda. Dalam bentuk yang awal, geguritan berwujud nyanyian yang memiliki sanjak tertentu. Di Bali, berkembang bentuk geguritan semacam ini. Sementara pengertian geguritan di Jawa telah berkembang menjadi sinonim dengan puisi bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan diri pada aturan metrum, sajak, serta lagu.

Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut, seperti pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smaradhana, dandang, ginada dan demung. Oleh karenanya, di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa. 

Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut pada lingsa, pada dan carik. "Syarat-syarat yang biasa disebut (pada lingsa) yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris". 

Berdasarkan pandangan di atas, maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu. Cara penyampaian Geguritan ini juga biasanya menggunakan bahasa yang mempunyai rima, irama, mitra, bait, serta penyusunan kata yang tepat.

Contoh Geguritan Dengan Tema Hari Kemerdekaan
 
Wutah Getihku
(karya Mahardono Wuryantoro)

Gumelar jembar bumi asri
Sumunar sumringah sunare bagaskara
Padhang sumilak hanelai jagad Nuswantara
Bumi pusaka wus kawentar
Ombak-ombak samodra, kencana kang ngrenggani
Wutah getihku daktresnani

Kawulamu….
Guyub rukun anambut kardi
Jeroning swasana tentrem lan mardika
Gilig ing tekad manunggal
Cumithak jeroning ati, bebarengan ambangun

Aku lila….
Korban jiwa raga kanggo bumiku
Nadyan awak ajur dadi sawur
Lan getihku mblabar mili, netes ing bumi pertiwi
Labet raharjaning nagara

Lumantar iki….
Isining atiku ginurit
Prasetyaku thukul saka ati kang tulus
Njaga langgenging kamardikan
Donga pujiku kebak kaendahan, kanggo wutah getihku


Contoh Geguritan Dengan Tema Hari Pendidikan

Ki Hajar Dewantara
(karya Bisri Nuryadi)

Ing adheme hawa Walanda
Sira panggah netepi setya
Nyawiji ing ngilmu
Ngugemi ing laku
Nyerat ing saben-saben wektu

Nalika ati krasa
krungu swara jerite sedulur
Ing lemah Pertiwi
Sira gumregah greget
Bali ing desa mijilmu
Nuswantara

Suwardi suryaningrat
Kondhang kanthi asma Ki Hajar Dewantara
Putra kraton sugih bandha brana
Milih dadi satriya lelana
Manunggal sajroning rakyat jelata
Gugur dadi pahlawan Negara
Minangka Bapak Pendhidhikan Bangsa


Itulah sekilas tentang geguritan dan contohnya. Di zaman modern seperti sekarang ini, betapa kita sebagai orang Indonesia harus melestarikan dan menjaga budaya Indonesia agar tidak diakui oleh negara lain, dan jangan sampai suatu ketika orang Jawa harus belajar bahasa dan budaya Jawa dari negara lain seperti Suriname dan Belanda.

Selengkapnya