Nglurug Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake..

Nglurug Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake..

Menang jawa

Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Bagi yang orang jawa mungkin tidak asing dengan kalimat ini. Falsafah jawa ini kurang lebih mempunyai arti bahwa menyerang atau berjuang itu tanpa perlu harus membawa massa dan bala bantuan, serta Kemenangan itu diraih tanpa harus merendahkan atau mempermalukan lawan yg kalah.

Mungkin jika dipahami ini sepele, tetapi sejatinya ini bukanlah hal yang mudah. Falsafah "Nglurug tanpo bolo" mengajarkan bahwa untuk mendatangi medan perjuangan, apapun bentuknya itu, termasuk perjuangan hidup, kita harus berani menghadapi siapa pun dan permasalahan apapun tanpa harus selalu mengharapkan bantuan dari orang lain. Memang pada hal-hal tertentu kita membutuhkan bantuan orang lain, namun hal itu bukanlah suatu kemutlakan. Dalam kondisi tertentu, kita juga sering dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri.

Untuk bisa menerapkan falsafah "nglurug tanpo bolo" ini bukan berarti kita bisa sembrono sekehendak hati ketika melangkah dan berjuang. Kita memang harus berani namun juga harus dengan perhitungan yang cermat. Selain itu, kita juga harus memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam mengambil suatu tindakan. Seseorang yang seperti inilah yang dalam dirinya bersemayam mental juara, bukan yang hanya berani menggertak jika mempunyai bala bantuan yang banyak.

Makna lain dari falsafah ini yaitu bahwa medan perang yang kita hadapi sesungguhnya adalah perjuangan melawan "diri sendiri". Perang yang seperti ini berarti kita harus mampu berperang melawan "hawa nafsu" yang bersemayam dalam diri kita. Inilah perang yang mesti kita hadapi, karena musuh terbesar kita adalah nafsu kita sendiri.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, falsafah ini juga bisa diterapkan saat kita hendak berusaha mencapai sesuatu. Adakalanya perbuatan yang hendak kita lakukan ada yang tidak menyukainya dan mengambil sikap bermusuhan dengan kita. Maka untuk me"menangkan" tujuan kita, bukan berarti kita harus menyerang frontal atau menyerang dengan massa untuk menghadapi "musuh" kita tersebut. Cara yang tepat dengan menerapkan falsafah tersebut adalah menemuinya secara langsung dengan penuh hati-hati, bijaksana, serta tidak gegabah, untuk mengubah cara pandang musuh kita tersebut.

Cara seperti ini lebih mengedepankan pendekatan kepada orang lain dari hati ke hati. Dengan pendekatan tersebut maka orang lain atau "musuh" kita akan merasa dianggap atau dihormati pendapatnya. Dengan model pendekatan seperti ini, tidak jarang orang yang semula tidak senang kepada kita justru menjadi bersimpati. Dan mereka yang semula memusuhi kita, akan cenderung berbalik mendukung kita. 

Selanjutnya yaitu "menang tanpo ngasorake". Pada umumnya, kita akan bersorak girang bila rival atau mereka yang selama ini memusuhi kita akhirnya menderita kalah tertimpa musibah. Kita kadang merasa puas dan bangga jika mampu mengolok-olok rival yang semakin tersudut, bahkan lebih bahagia lagi jika aib kompetitor kita tersebar luas menjadi bahan obrolan di setiap sudut jalan. Ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga", begitu gambaran kita pada musuh yang berhasil kita kalahkan dalam suatu persaingan.

Namun kita sering kali lupa bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kita. Bisa saja suatu saat hal seperti itu kemudian berbalik menimpa kita dan kita harus siap jika harus menerimanya. Falsafah "menang tanpo ngasorake" mengajarkan bahwa kemenangan hendaknya diraih dengan cara bijaksana, yakni tanpa harus mempermalukan lawan yang dikalahkan. Berusahalah untuk menang dengan berjiwa besar, yakni menjadikan si kalah tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus diselimuti kehinaaan.

Kemenangan tanpa harus menunjukkan kegembiraan dengan maksud merendahkan orang lain adalah kemenangan yang terhormat. Sebagai manusia, sudah seharusnya bagi kita untuk selalu bisa menjunjung harkat martabatnya sendiri dan sesamanya, menjaga kehidupan dan sadar akan kewajaran perbedaan. Dengan kedua falsafah jawa di atas, mari ambil maknanya dan terapkan sebagai pedoman hidup kita di dalam kesederhanaan bermasyarakat.


Selengkapnya
Kepingan Hidup

Kepingan Hidup

Puzzle

"Hidup itu seperti menyusun kepingan-kepingan puzzle". Kita membentuk gambar diri kita dari apa yang kita lakukan.. Kita mendapat satu keping dalam setiap peristiwa yang kita alami. Kepingan itu yang dinamakan makna. Makna itu kemudian kita susun dengan makna-makna lain yang sudah tersusun sebelumnya.

Terkadang kepingan makna itu tersusun dengan benar dan kita lanjutkan dengan menyusun keping baru dari peristiwa baru yang kita alami. Peristiwa yang terbentuk yang berkaitan dengan peristiwa sebelumnya..

Tetapi sering juga akal kita buntu pada satu titik. Kenapa semua tidak berjalan dengan baik? Kenapa semua tidak sesuai dengan yang kita harapkan? Itu pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di kepala dan membuat kita menjadi gelisah..

Ketika semua tidak berjalan dengan baik, ketika kepingan itu tidak memberikan gambaran yang kita inginkan, kita biasanya terduduk diam. Merekonstruksi kembali apa yang pernah kita lakukan yang menjadikan kita seperti sekarang.

Akhirnya kita bongkar lagi kepingan yang tersusun. Terkadang kita bongkar semua, mulai dari awal lagi. Tapi lebih banyak kita bongkar sebagian ketika kita tahu, di titik inilah kita salah menyusun kepingan..

Begitulah terus hidup kita, menyusun, membongkar, susun lagi, bongkar lagi, sampai pada akhirnya kita menemukan gambar yang tepat apa dan siapa diri kita sebenarnya...

Banyak dari kita yang sudah menentukan gambar apa yang kita inginkan nanti, baru menyusun kepingan-kepingan. Kita menggambar keinginan kita dengan penuh nafsu. Kita ingin menjadi sesuatu, meski sesuatu itu tidak sesuai dengan kadar kita sebenarnya.

Nafsu yang membuat kita salah menyusun kepingan. Sehingga pada titik tertentu, kepingan-kepingan itu ternyata sama sekali tidak membentuk gambar. Macet. Berantakan. Kita mengeluh dan terus memaksa menyusun kepingan baru dari kepingan yang berantakan itu. Yang terjadi semakin berantakan, semakin kita tenggelam, terlilit masalah besar...

Susunlah kepingan hidup kita bukan berdasarkan apa yang kita inginkan. Susunlah kepingan hidup kita karena memang kita harus menautkannya dengan kepingan yang ada.

Gambar yang ada dalam benak kita, belum tentu sesuai dengan gambar yang akan terbentuk dari kepingan yang kita susun. Harus sabar daripada semua salah dan kita harus membongkar lagi semua dari awal..

Semua rencana kita tidak lebih baik dari rencana Tuhan... Janganlah jadi manusia yang berencana, lalu berdoa minta Tuhan mengabulkanNya. Berjalanlah dulu dan minta Tuhan menjaga kita dari nafsu yang akan menyesatkan di perjalanan... Itulah sebaik-baik rencana yang kita butuhkan..

Mari kita merenungi semua kesalahan akibat kesombongan kita bahwa rencana kitalah yang terbaik. Sudah saatnya kita bongkar semua kepingan yang tersusun dari sudut pandang yang salah...



Tulisan di atas saya kutip, edit, dan ringkas seperlunya tanpa menghilangkan makna dari www.dennysiregar.com
Selengkapnya
Filosofi Akar

Filosofi Akar

Akar

Ada banyak pelajaran yang bisa kita amati dari segala hal yang ada di sekitar kita. Tuhan menciptakan manusia dan seisi jagat raya ini salah satunya agar manusia mau berpikir, memahami dan menghayati segala hal yang telah Tuhan ciptakan. Penghayatan atas hal-hal tersebut juga merupakan pembelajaran bagi manusia dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya. 

Selain manusia dan hewan, tumbuhan adalah salah satu jenis ciptaan Tuhan yang berperan besar terhadap berlangsungnya kehidupan di bumi. Sebagaimana halnya sebuah bangunan, pohon atau tumbuhan dapat tumbuh subur tinggi menjulang karena memiliki pondasi kuat yang menopang di bawahnya. Pondasi tersebut adalah yang disebut akar. Akar merupakan bagian tumbuhan yang biasanya terdapat di dalam tanah, dengan arah tumbuh ke pusat bumi. Fungsi akar adalah untuk menyokong dan memperkokoh berdirinya tumbuhan di tempat hidupnya. 

Akar menjadi kontributor utama kehidupan baru sebuah pohon. Seiring berjalannya waktu, akar tumbuh menjadi pondasi yang kuat. Ketika tahun demi tahun berlalu, ia sudah siap menopang batang yang tinggi. Dengan kokohnya akar, pohon yang menjulang tinggi akan gagah dan kokoh berdiri di tempatnya meski diterpa badai dan angin yang bertiup dengan kencangnya. 

Ketika melihat pohon berbuah, kita sering kali dibuat terpesona oleh ranumnya buah, karena memang buah merupakan hasil yang secara langsung yang dapat kita lihat dan kita nikmati dari sebuah pohon. Selain buah, bagian lain yang dapat langsung kita lihat dari pohon adalah rindangnya dedaunan, kemudian ranting, dahan, batang dan pohon yang berdiri kokoh. Namun dari sekian bagian pohon tersebut, sering kali luput dari pengamatan kita atau kita sering kali lupa akan peran dari bagian yang juga sangat penting, yaitu akar.  

Akar merupakan struktur tanaman yang menempati posisi paling penting, strategis dan utama. Akarlah yang menjadikan sebatang pohon dapat hidup dan berdiri tegak. Namun karena seringkali ia tersembunyi di dalam tanah, maka ia tidak terlihat oleh manusia. Ia rela semua mata manusia kagum dan menyukai bagian yang lainnya, entah batang kayunya yang kuat atau buahnya yang lezat. 

Akarlah yang bersusah payah merambat ke segala arah tak kenal lelah, meski kering serta tanah tandus di musim kemarau, ia tetap mencari makanan demi tegak dan hidupnya sang pohon. Ia tidak pernah mengeluh lantaran merasa capek berpuluh-puluh meter mengais saripati tanah. Ia rela terus tersembunyi di dalam tanah asalkan bisa memberikan manfaat yang terbaik bagi yang ada di permukaan tanah. Ia memang tak mungkin berbuat semuanya sendiri, sehingga ia menerima uluran tangan matahari dan banyak berterima kasih kepada hujan yang menyiram suburkan tanah dengan curahan airnya.

Itulah prinsip hidup akar. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Sebagian dari kita mungkin lebih mengutamakan ketenaran, popularitas dan kemasyhuran. Maka tidak jarang nilai kebaikan yang kita lakukan justru seringkali terjerumus riya yang bertujuan mendapat pujian dari orang lain. Akhirnya perbuatan kita pun menjadi sia-sia. Dari filosofi akar, mari kita pahami kembali bahwa setiap usaha dan perbuatan baik hendaknya selalu dilandasi dengan mengedepankan prinsip perjuangan dan pengorbanan yang tulus dan ikhlas. 

Suatu amal perbuatan yang berangkat dari pengorbanan yang tulus dan niat yang ikhlas pasti akan memperoleh hasil yang baik dan memuaskan. Ibarat pohon, mustahil tanpa akar yang menghujam kuat ke bumi akan menghasilkan buah yang berkualitas tinggi, karena badai dan topan akan mudah menumbangkannya sebelum proses pembuahan terjadi. 

Akar juga mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh menyerah dalam bertumbuh. Dalam hidup, kita harus berani untuk menjulang tinggi dan berusaha memberi manfaat untuk orang lain. Jika kita mau melalui perjuangan yang keras dan penuh kesabaran untuk membangun pondasi yang kuat, maka kelak kita sudah memiliki dasar yang baik untuk meraih keberhasilan.

Begitulah Tuhan mencontohkan keikhlasan sejati pada manusia melalui salah satu contoh ciptaan-Nya, semoga kita dapat menjadikannya pelajaran sebagai bekal dalam mengayuh bahtera di tengah derasnya ombak samudra kehidupan. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim, 24-25)


Selengkapnya
Kesederhanaan Rasulullah SAW

Kesederhanaan Rasulullah SAW

Hidup sederhana

Ketika membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, baik itu dari buku-buku sejarah atau dari nukilan hadits-hadits beliau, kita mendapati kesan bahwa seakan-akan Rasulullah SAW hidup sangat miskin dan serba kekurangan. Diceritakan pula bahwa hingga akhir hayatnya, beliau tidak meninggalkan harta warisan apa pun kepada keluarganya. Bahkan ketika itu sebuah perisai perangnya tergadaikan pada seorang Yahudi untuk menafkahi keluarganya.

Memang riwayat tersebut benar adanya. Namun jika dirunut dari sejarah perjuangan hidup beliau, sesungguhnya Rasulullah adalah seorang yang kaya. Sebelum menikah dengan Khadijah, beliau adalah seorang pekerja keras, mulai dari menjadi seorang penggembala sampai menjadi pedagang. Terlebih setelah kemudian beliau menikah dengan Khadijah, tentu saja harta kekayaannya semakin banyak. Tetapi, Rasulullah SAW tidak terjebak oleh harta kekayaannya. Beliau tetap hidup sederhana, sehingga dalam tarikh, yang ditonjolkan adalah suatu kesan bahwa beliau adalah orang yang miskin. Sikap sederhana dan bersahaja ini juga beliau contohkan kepada keluarga dan para sahabatnya.

Sejalan dengan perkembangan perjuangan Islam, maka harta kekayaan Rasulullah SAW seluruhnya digunakan untuk pembiayaan jihad dan kepentingan umat. Dalam ajaran tasawuf, inilah yang disebut zuhud. Zuhud Rasulullah bukan berarti beliau benci harta dan menghindarinya, bentuk zuhud beliau adalah menghindari memperkaya diri dan hidup bermewah-mewahan. Oleh karenanya jika harta kekayaan telah ada di tangannya, harta tersebut beliau gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Padahal seandainya Rasulullah mau, beliau mampu bergaya hidup mewah seperti Abu Sufyan sebelum masuk Islam atau orang-orang kaya Quraisy lainnya. Namun keagungan pribadinya membuatnya memilih menjadi orang yang sederhana.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, suatu ketika sahabat Ibnu Mas'ud datang ke rumah Rasulullah SAW. Ketika itu, Rasulullah SAW sedang berbaring di atas selembar anyaman daun kurma. Pada saat beliau bangun dari tidurnya, tampak membekas guratan daun kurma pada pipi Rasulullah. Ibnu Mas'ud berpikir bahwa Muhammad adalah Nabi Allah, pemimpin umat yang ditauladani, bahkan beliau adalah seorang pembesar.

Menurut pemikiran Ibnu Mas'ud, tidaklah pantas seorang yang mulia tidur seperti itu. Ibnu Mas'ud kemudian berkata, "Wahai Rasul, sebaiknya kucarikan bantal untukmu". Mendengar demikian buru-buru Rasulullah SAW mencegah, "Tiada keinginanku untuk itu, Wahai Ibnu Mas'ud. Aku dan dunia ini, bagaikan seseorang yang sedang bepergian yang sebentar berteduh ketika matahari terik. Bernaung di bawah pohon rindang, kemudian setelah berkurang rasa lelah, akan melanjutkan perjalanan ke arah tujuan. Bukannya terus menerus ingin berteduh."

Sebagai seorang yang mulia, pemimpin umat, disegani oleh penguasa-penguasa negeri lain, Rasulullah tetap sederhana. Kesederhanaan itu tidak hanya diterapkan bagi dirinya sendiri, namun juga bagi keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Beliau seorang pembesar, namun seringkali dapur keluarganya tidak mengepul.

Dalam riwayat lain diterangkan tentang pengakuan Aisyah, istri beliau kepada kemenakannya, Urwah, "Kamu lihat sendiri, seringkali berhari-hari dapurku tidak menyala". Urwah bertanya, "Lalu, apa yang sehari-hari kalian makan?". Aisyah menjawab, "Paling banter makan kurma beberapa butir dan air putih saja. Kecuali jika ada para tetangga Anshar yang berbaik hati mengantarkan makanan kepada Rasulullah, dari mereka kami bisa merasakan seteguk susu". Lalu Rasulullah menimpali, "Kami ini segolongan yang tidak akan makan kecuali jika lapar. Sedangkan jika kami makan, tidak harus sampai kenyang".

Itulah kesederhanaan Rasulullah SAW terhadap harta benda. Kesederhanaan hidup demikian yang menimbulkan kesan bahwa Rasulullah SAW sangat miskin karena benci terhadap harta benda. Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menempuh jalan kemiskinan, melainkan mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sederhana dan tidak rakus terhadap harta kekayaan. Sebab seandainya Rasulullah mau, maka beliau pun bisa menjadi kaya raya. Bukankah beliau juga adalah seorang pembesar "laksana raja" yang disegani oleh penguasa-penguasa di jazirah Arab hingga sampai daratan Asia?



Disarikan dari Mukasyafatul Qulub karya Syaikh Imam Al- Ghazali.
Selengkapnya
Bijaksana dalam Hidup

Bijaksana dalam Hidup

Bersaudara

Cukup lama saya tidak menulis di blog ini. Dewasa ini, beberapa bulan ini, kita banyak disuguhkan berbagai peristiwa yang cukup memanas di tanah air. Perselisihan dan perbedaan cara pandang dalam menyikapi segala hal yang terjadi tidak jarang membuat renggangnya hubungan antar sesama anak manusia. Saya tidak ingin membahas politik, namun saya ingin mencoba memahami mengapa perselisihan seperti ini bisa sampai terjadi di sekitar kita.

Seringkali, yang menyebabkan perselisihan dan pertikaian atau bahkan sampai terjadi peperangan di antara umat manusia adalah ketergantungan kepada ajaran-ajaran tertentu, yang mengklaim paling benar ketimbang yang lain, dan merendahkan ajaran lain yang berbeda dengan yang kita yakini. Orang-orang awam, dewasa ini sering mengklaim bahwa keyakinan mereka adalah satu-satunya yang benar dan harus diikuti. Kaum fanatik ini juga mengakui bahwa Tuhan dan kebenaran adalah hanya milik mereka.

Munculnya sekte-sekte yang berbeda, yang saling bertentangan dan meremehkan satu sama lain juga telah menyebabkan perselisihan dan perpecahan yang tiada akhir di antara umat manusia. Benih-benih perpecahan ada bahkan di dalam lingkup yang lebih luas, dalam persaudaraan. Persaudaraan sebesar apa pun, tidak akan sempurna selama masih mengandung perpecahan di antara manusianya. 

Kebanyakan orang lebih memilih berbuat sia-sia dengan memperselisihkan keyakinan, ketimbang mencari titik temunya dalam kebenaran tunggal. Padahal, jika kita memahami, kebenaran yang seperti ini adalah satu dan sama. Hanya saja ia dapat disaksikan dalam aspek yang berbeda untuk orang-orang tertentu pada saat tertentu. Orang-orang yang tidak memahami inilah yang dengan mudah menghina keyakinan orang lain, menganggap orang-orang yang tidak seiman dengannya masuk neraka dan menganggap keyakinan sendiri yang paling benar. 

Menjadi manusia yang bijaksana musti memahami hal ini. Setiap saat, setiap perbuatan, setiap pemikiran dan setiap kata harus selalu dipertimbangkan, dicerna, diukur, dan dianalisa sebelum diucapkan. Karena itu, segala sesuatu yang ia kerjakan adalah bersama dengan kebijaksanaan. Bagi seseorang yang bijaksana, dalam aspek religius ia tetap berpegang teguh dengan keyakinannya. KepadaNya lah ia menempatkan kepercayaannya. Ia juga bergantung kepada belas kasihNya untuk menghilangkan egoisme dalam dirinya.

Namun dalam kehidupan sosial, ia akan membebaskan diri dari batas-batas kebangsaan, rasial dan agama. Ia lebih memilih untuk menyatukan diri dalam persaudaraan manusia, yang bebas dari perbedaan status, kelas, keyakinan, ras, bangsa atau agama, dan menyatukan umat manusia dalam persaudaraan universal. Karena alasan inilah, seseorang yang bijaksana bisa hidup rukun dengan segala lapisan masyarakat, tanpa membeda-bedakan pandangan, latar belakang, kepercayaan, keyakinan mereka, dan bahkan agama mereka.

''Hanya ada satu persaudaraan, yakni persaudaraan manusia yang menyatukan anak-anak bumi dalam diri Tuhan'', Hazrat Inayat Khan.

Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang dicerahkan dari dalam. Ia muncul bersamaan dengan kematangan jiwa. Semakin tinggi dan matang tingkat jiwa seseorang, semakin rendah hatilah dia. Orang yang bijaksana melihat hakikat kemanusiaan dalam diri setiap manusia, pria, wanita, ras dan bangsa. Penolakan terhadap hal-hal asing, dan fanatik pada satu hal saja yang diketahui, justru telah membuat manusia berada dalam kegelapan selama berabad-abad.

Seseorang yang bijaksana hendaknya mempunyai rasa toleransi dan tenggang rasa yang besar, dan menganggap bahwa semua keyakinan, agama, mempunyai hak untuk hidup dan memiliki kebenaran yang sama. Dia melihat semua agama dan keyakinan seperti beragam bentuk sekolah. Beberapa di antaranya mempelajari hidup lebih mendalam ketimbang yang lainnya. Dan masing-masing kelas di sekolah itu terdapat murid-murid yang aktif berperan di dalamnya.

Tugas yang mesti dipenuhi setiap manusia dalam kehidupan ini adalah hidup harmonis dengan sesama umat manusia, rukun, dan bergaul dengan mereka sebagaimana biasanya, saling menyapa dengan senyum, berbagi suka dan duka, dan berdiri di samping mereka. Jika seseorang sepanjang hidupnya bersikap seolah-olah seperti malaikat, dia tidak akan banyak mencapai prestasi, yang paling diharapkan dari manusia adalah memenuhi kewajibannya sebagai manusia.

Buah harus matang terlebih dahulu sebelum rasanya menjadi manis. Demikian juga jiwa harus telah mengalami perkembangan dalam tingkat tertentu sebelum akhirnya memperoleh kebijaksanaan. Jiwa yang telah berkembang akan semerbak harum, dan kemanisan jiwanya akan terlihat jelas, seperti bunga yang menyebarkan aroma wanginya, dan juga seperti buah yang ketika matang berubah warna dan rasanya.

Selengkapnya