Kabupaten yang mempunyai semboyan BERCAHAYA (Bersih, Elok, Rapi, Ceria, Hijau, Aman, dan Jaya) ini berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Meski termasuk bagian dari wilayah Jawa Tengah, sebagian warga Cilacap yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat juga mahir bertutur kata menggunakan bahasa sunda. Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Banyumas di utara, Banyumas dan Kebumen di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, dan Pangandaran (Jawa Barat) di sebelah Barat.
Asal Usul Nama Cilacap
Ada berbagai versi mengenai asal usul sebutan nama Cilacap. Salah satu versi mengatakan bahwa nama Cilacap berasal dari kata Cacab (mencacab). Masyarakat Cilacap sampai sekarang mengenal cacab sebagai metode cara bertanam di lahan yang berair. Penyebutan Cilacap berasal dari kata Cacab yang mendapat imbuhan Ci yang dalam bahasa sunda berarti air. Masyarakat Cilacap sendiri memang sebagian penduduknya ada yang terdiri dari orang Sunda, sehingga turut mempengaruhi tradisi dan budaya yang ada di Cilacap.
Versi lain menyebutkan bahwa sebutan nama Cilacap mengadopsi dari bahasa Sunda, Ci berarti sungai/air dan Lacap berarti sungai atau bunyi-bunyian. Ada pula yang mengartikan Lacap/Tlacap juga berarti lancip atau tanah yang menjorok ke laut. Sementara dikutip dari kompas.com, asal nama Cilacap bukanlah berasal dari penggabungan kata Ci dan Lacap. Sebutan nama Cilacap justru berhubungan dengan mata bajak. Menurut Sumber Babad, pada masa lalu Raden Bei Tjakrawedana (putra Tumenggung Tjakrawedana I, Bupati Kasepuhan Banyumas) pernah diutus membuka hutan di daerah selatan untuk dijadikan pemukiman. Rombongan Raden Bei ini kemudian berhenti di ujung lekukan pantai teluk yang bentuknya mirip mata bajak, atau dalam bahasa Jawa disebut wluku, yang disebut cacab atau tlacap.
Mr W de Wolff van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto (1896-1900) membuat resensi buku karangan Veth yang berjudul Java, Geographisch, Ethnologisch, Historich, 3 Jilid, terbit 1875-1882 dalam majalah Ilmu Bumi di Negeri Belanda, mencatat bahwa penulisan Cilacap seringkali disalahtafsirkan sebagai kata yang berasal dari bahasa Sunda. Padahal Cilacap berasal dari ucapan (metathesis) kata Tlacap yang berubah menjadi Cilacap yang artinya sudut atau titik lancip (Scherpe hoek of punt). Perubahan pengucapan itu muncul karena perbedaan persepsi orang Belanda. Di Tanah Kerajaan, kata Tlacap digunakan untuk titik–titik yang dikenal pada patrun beberapa stasi payung dan "kepala" kain batik dan sarung.
Sejarah Kabupaten Cilacap
Sebagai wilayah yang secara geografis berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, maka secara sosiologis dan kultural, Cilacap juga merupakan batas /pertemuan antara Budaya Jawa (Banyumasan) dan Budaya Sunda (Priangan Timur). Sejarah keberadaan kabupaten Cilacap juga dipengaruhi akan hal itu.
Cilacap Pada Masa Kerajaan
Sejak dahulu, posisi geografis Cilacap berada diantara dua wilayah politik, yaitu Galuh (Sunda) dan Mataram (jawa). Dalam Perspektif Mataram (jawa), berdasarkan prasasti Salingsingan (1880) disebutkan bahwa desa Donan (Handaunan) yang merupakan cikal bakal Cilacap, sudah didiami penduduk sejak abad ke-9, yaitu saat Mataram Kuno diperintah DYAH LOKAPALA. Sementara dalam perspektif Galuh (Sunda), sejarah keberadaan Cilacap dapat dilihat dari laporan Belanda (1809) yang menyebutkan bahwa "Segara Anakan & Pulau Nusakambangan" merupakan bagian wilayah kekuasaan Galuh / Priangan Timur yang pernah dihuni oleh penduduk dengan perdagangan yang cukup ramai, namun sayangnya pemukiman tersebut kemudian dihancurkan oleh para perompak.
Keterangan lain juga tercatat dalam sebuah naskah kuno primer Bujangga Manik yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Bodleian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627. Naskah ini menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16. Di zaman dulu batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes) dan sungai Ciserayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Pada akhir zaman Kerajaan Majapahit (1294-1478) daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit, Adipati Pasir Luhur dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang wilayahnya membentang dari timur ke arah barat. Menurut Husein Djayadiningrat, pada tahun 1579, Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran diserang oleh kerajaan Islam Banten dan Cirebon. Dengan kekalahan di pihak Pakuan Pajajaran, wilayah bagian timur kerajaan Pakuan Pajajaran akhirnya diserahkan kepada kerajaan Cirebon. Dengan demikian, maka seluruh wilayah cikal-bakal Kabupaten Cilacap disebelah timur berada dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang dan sebelah barat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Cirebon.
Setelah Kerajaan Pajang diganti dengan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1587-1755, maka daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang diserahkan kepada Kerajaan Mataram Islam. Pada tahun 1595, Kerajaan Mataram Islam juga mengadakan ekspansi ke wilayah Galuh yang berada di wilayah Kerajaan Cirebon.
Sebelum dikuasai kolonial Belanda, sejarah Cilacap juga tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Banyumas. Pada abad ke 15, Bupati Wirasaba mendirikan kota baru bernama Banyumas sebagai pusat tempat kedudukan wedana, bupati (kepala bupati) dari 12 Bupati di bawah Kasunanan Surakarta. Karena dianggap ingin melepaskan diri dari Kasunanan, Banyumas kemudian dipecah menjadi 2 bagian wedana. Pertama, Bupati yang membawahi para bupati (bergelar Tumenggung/Ngabehi) yaitu Banyumas Kasepuhan (Purwokerto, Adipala dan Adireja) dan kedua Banyumas Kanoman (Purbalingga, Sokaraja, Panjer, dan sebagian Banjarnegara). Pada masa itu, daerah Cilacap yang sesungguhnya masih disebut Donan dan dipegang oleh Penguasa Pribumi / RONGGO AMAT DIMRAN menjadi rebutan diantara keduanya. Sedangkan untuk Kadipaten Majenang/ Dajeuhluhur dikuasai langsung oleh Kasunanan Surakarta, sehingga pada awalnya Kadipaten ini tidak menjadi bagian dari Banyumas, tetapi mempunyai jalur hubungan langsung dengan Kasunanan Surakarta.
Cilacap Pada Masa Kolonial Belanda
Dengan berakhirnya Perang Diponegoro (1830), maka wilayah mancanegara barat dari Mataram diambil kedalam kekuasaan langsung pemerintah kolonial. Daerah Banyumas dan Bagelen (Kedu) dianeksasi kedalam kekuasaan Hindia Belanda (1831). Setelahnya kemudian disusunlah Pemerintahan mulai dari Residen dan Asisten Residen untuk mendampingi para Bupati. Karesidenan Banyumas membawahi 5 Kabupaten, yaitu Ajibarang , Purbalingga, Purwokerto, Banjarnegara, dan Majenang / Dayeuhluhur. Sedangkan Cilacap saat itu masih merupakan distrik bersama sama dengan distrik Dayeuhluhur (termasuk Nusakambangan) dan Adiraja.
Saat pemerintahan kolonial menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), Pemerintah Hindia Belanda melihat adanya potensi pelayaran di Cilacap guna mengangkut komoditas hasil tanam paksa mereka ke pasar ekspor Eropa. Maka untuk melancarkan arus lalu lintas antara Sungai Serayu dan Cilacap, muncullah gagasan membuat satu kanal yaitu "KALI YASA" (kali yang dibuat). Pemerintah Hindia Belanda juga menugaskan Raden Bei TJAKRADIMEDJA (putra bupati Kasepuhan Banyumas) pada 1 januari 1839 untuk membuka wilayah Donan menjadi sebuah kota. Pemerintah Hindia Belanda menganggap daerah Banyumas Selatan terlalu luas, maka kemudian "Patenschap" Dayeuhluhur dipisahkan dari Banyumas dan dijadikan satu afdeling tersendiri yaitu: afdeling Cilacap dengan ibu kota Cilacap, yang menjadi tempat kedudukan kepala Bestuur Eropa Asisten Residen dan Kepala Bestuur Pribumi Rangga atau Onder Regent dengan Besluit tanggal 27 Juni 1841 No. 10 . X.
Pada masa Residen LAUNY, dibentuklah Onder Afdeling Tlacap dengan besluit Gubernur Jenderal D.DE ERENS tanggal 17 Juli 1839 Nomor 1, yang memutuskan: "Demi kepentingan pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih Rapi di kawasan selatan Banyumas dan peningkatan pembangunan Pelabuhan Cilacap, sambil menunggu usul organisasi distrik-distrik bagian selatan yang akan menjadi bagiannya, satu dari 3 Asisten Resident di Karesidenan ini akan berkedudukan di Cilacap"
Pada masa Residen Banyumas ke-9 VAN DE MOORE, diusulkan pembentukan Kabupaten Cilacap kepada Menteri Kolonial Kerajaan Belanda tanggal 29 Desember 1855 No. 86 dan Surat Rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 Nomor 7/A, disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerlukan persetujuan Raja Belanda yaitu permohonan persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi bestir pribumi dan pengeluaran anggaran lebih dari 5.220 gulden /pertahun.
Setelah menerima surat rahasia tersebut, maka "Onder Regentschap Cilacap" ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap) dengan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Maret 1856 Nomor 21. Raden Tumenggung TJAKRAWERDANA 1 akhirnya diangkat sebagai Adipati Tlacap oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 6 juli 1856. Demikianlah, Hingga saat ini, tanggal 21 Maret masih diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cilacap.
Sumber:
Wikipedia
kompas.com
kompas.com
clacapan.com
sibukforever.blogspot.com
Labels:
Sejarah
Thanks for reading Asal Usul Nama dan Sejarah Kabupaten Cilacap. Please share...!
Artikel sejarah yg sangat bagus. Saran saya kiranya perlu diteruskan dokumentasi sejarah Cilacap yang dihasilkan dari studi dengan validitas data otentik. Ada kesinambungan dari era ke era. Termasuk awal muasal masuknya perusahaan pertanian 'modern' yang berbentuk CV NV yang sangat luas di daerah saya Cimanggu. Dulu PNP/PTP 18 Kawung dan Cikukun. Catatan sejarah itu akan menjadi menarik utk mempelajari subkultur Majenang dan sekitarnya yang dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Sunda. Saya adalah putra asli Cimanggu yang telah meninggalkan kampung halaman lebih 40 tahun.
BalasHapusTerima kasih tambahannya mas. Kabupaten Cilacap memang istimewa baik segi wilayah, penduduk, termasuk dari sejarahnya. Meski bukan warga Cilacap, saya pernah merasakan hidup di Cilacap selama 7 tahun di Kesugihan sekitar sungai Serayu.
Hapus