Ditilik dari segi bahasa, sabar berarti mencegah dan menahan. Sedangkan dikaji berdasarkan syara', sabar didefinisikan sebagai upaya untuk menahan jiwa dari kedukaan dan kegelisahan, lisan dari mengadu sakit, dan anggota tubuh dari menyakiti diri sendiri seperti menampar pipi, memukul dada dan lain sebagainya. Ada pendapat lain yang mengatakan, "Sabar adalah salah satu akhlak utama dari jiwa, yang dengannya orang tertahan dari segala perbuatan yang kurang baik. Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa, sebagai sendi kelurusan dan keluhuran perilaku".
via shutterstock |
Imam Al Junaid pernah ditanya pendapatnya mengenai hakikat sabar, dan beliau mendefinisikan dengan "Menelan kepahitan tanpa bermasam muka". Sementara Dzun Nun Al Mishri pernah berkata, "Sabar ialah menjauhkan diri dari penyimpangan, tenang ketika menelan pahitnya musibah dan menampakkan diri selalu kaya hati atau berlapang dada, meskipun kemiskinan mewarnai kehidupannya". Ada pula yang mengasumsikan bahwa sabar itu ialah dengan bertahan diri terhadap musibah yang menimpanya, dengan berperilaku mulia. Pendapat lainnya mengatakan, "Sabar merupakan perasaan kaya (tegar) ketika musibah menimpa, dengan tidak menampakkan duka cita dan kepiluan".
Oleh karenanya, ketika seorang shaleh mengetahui ada seseorang yang mengadukan musibahnya kepada seorang kawannya, maka orang shaleh itu berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, mengapa engkau melakukan ini? Seharusnya engkau mengadukannya kepada Tuhan yang memberi rahmat kepadamu, tetapi engkau justru mengadukannya kepada orang yang tidak mampu memberi rahmat bagimu".
Sebagian Ulama Salaf berkata, "Seandainya tidak ada musibah di dunia ini, niscaya kita akan sampai di akhirat dalam keadaan merugi (tidak berpahala)". Suatu ketika, Urwah bin Zubair mendapati luka di kakinya yang mengharuskan kakinya untuk diamputasi. Ketika para tabib hendak memotong kakinya, mereka berkata, "Bagaimana seandainya anda kami beri minum dengan sesuatu yang dapat menawarkan rasa sakit?". Maka Urwah berkata, "Sesungguhnya Dia (Allah) sedang mengujiku untuk mengetahui sampai dimana batas kesabaranku, apakah aku harus menentang perintahNya?".
Syahdan, Abu Bakar As Shiddiq RA sedang jatuh sakit, maka orang-orang menjenguknya dan berkata, "Apakah perlu kami panggilkan tabib untuk anda?". Maka beliau berkata, "Aku telah dilihat oleh tabib (yakni Allah)". Lantas mereka bertanya, "Lalu bagaimana kata tabib itu?". Beliau menjawab, "Dia berkata, "Sesungguhnya Aku Yang Maha Melakukan apa yang Aku kehendaki".
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, "Allah tidak memberi kenikmatan kepada seorang hambaNya dengan suatu nikmat, kemudian Dia mengambil nikmat itu darinya. Lalu digantinya dengan kesabaran, melainkan apa yang dijadikan ganti itu lebih baik daripada apa yang diambilNya".
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Sa'id bin Jubair pernah berkata, "Sabar adalah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang telah ditimpakanNya kepadanya, dengan mengharap pahala dariNya atas musibahnya itu. Boleh jadi hamba itu merasa gelisah dan mengeluh olehnya, tetapi dia masih bertahan, sehingga Allah melihatnya sebagai orang yang sabar".
Sehubungan dengan ucapannya "Pengakuan hamba kepada Allah terhadap takdir yang berlaku atasnya", mungkin ini merupakan penafsiran dari ucapannya ketika tertimpa musibah, "Inna lillaahi...." (Sesungguhnya kami milik Allah). Dalam masalah ini, dia menyadari betul bahwa dirinya milik Allah SWT, dan Dia berhak berbuat apa saja terhadap sesuatu yang dimilikiNya. Sedangkan ucapannya "Dan mengharap pahala yang ada di sisiNya", adalah penafsiran dari ucapannya, "Wa inna ilaihi raaji'uun" (Dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya). Yakni, kami akan dikembalikan kepada Allah, lalu Dia berhak memberi balasan terhadap kesabaran kami, dan tidaklah pahala dari musibah itu akan hilang begitu saja.
Ada dua cara dalam mengadukan kegundahan hati, yaitu:
Pertama, Mengadu kepada Allah SWT, dan cara ini tidak bertentangan dengan sabar, sebagaimana ucapan Nabi Ya'qub As dalam Al Qur'an, "Sesungguhnya aku mengadukan kesedihan dan kepiluanku ini hanya kepada Allah... "(QS. Yusuf, 86). Padahal sebelumnya beliau pernah mengatakan, "... Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku)"(QS. Yusuf, 83). Hal ini juga sebagaimana ucapan penghulu orang-orang yang sabar, Rasulullah SAW, "Ya Allah, saya mengadu kepadaMu akan lemahnya kekuatanku dan kecilnya upayaku".
Kedua, Mengadunya orang yang tertimpa musibah dengan ucapan atau perbuatan. Biasanya orang seperti ini tidak mampu mengendalikan dirinya sehingga mudah terbawa emosi, marah-marah, merasa putus asa, dan bertindak gegabah. Cara ini bertolak belakang dengan sikap sabar, bahkan dapat melenyapkan kesabaran itu sendiri.
Medan keselamatan dan kesehatan (afiat) bagi manusia adalah lebih luas daripada medan kesabaran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam doa beliau, "Apabila Engkau tidak murka kepadaku, maka tidak peduli, sebab afiat-Mu adalah sangat luas bagiku". Hal ini juga senada dengan sabda beliau yang lain, "Seseorang tidak diberi dengan suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada sabar". (HR. Bukhari Muslim). Demikian itu, disebabkan pada hadits yang kedua ini setelah bahaya dan musibah itu terjadi, otomatis kesabaran di sini memegang peranan sangat penting dibanding perkara lainnya. Adapun sebelum musibah itu terjadi atau menimpa seseorang, maka lapangan afiat Allah adalah lebih luas.
Di dalam jiwa manusia sendiri tersimpan dua kekuatan, yaitu kekuatan untuk maju (progresif) dan kekuatan bertahan (defensif). Dan hakikat sabar ialah menjadikan kekuatan progresif untuk diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat dan kekuatan defensif digunakan untuk menahan dari hal-hal yang membahayakannya. Ada sebagian orang yang bersabar untuk qiyamullail dan beratnya puasa, tetapi ia tidak sabar untuk meninggalkan melihat perkara haram. Dan sebagian lagi, mampu bersabar untuk tidak melihat pada perkara haram, tetapi dia tidak memiliki kesabaran untuk mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar dan berjihad di jalan Allah.
Jiwa manusia adalah wahana menuju surga atau neraka. Sedang sabar dalam menempa jiwa, sama seperti kemudi dan rem bagi kendaraan. Andaikata kendaraan tidak memiliki kemudi dan rem, maka dia berjalan tanpa arah yang pasti dan tidak terkendali. Oleh karenanya, seorang tokoh Sufi pernah berkata:
"Kendalikan jiwa ini, sebab ia bekecenderungan pada setiap kejahatan. Semoga Allah merahmati seseorang yang menjadikan bagi nafsunya suatu tali kendali. Maka dengan tali itu, akan menuntunnya taat kepada Allah dan dengan kendalinya, berbeloklah dari kemaksiatan kemudian kembali kepada Allah, dan sesungguhnya bersabar dari larangan Allah itu lebih mudah daripada bersabar menahan azabNya". Baca Selanjutnya: Pengelompokkan Sabar dan Penjabarannya
Labels:
Refleksi
Thanks for reading Hakikat Sabar Menurut Para Salafuna Shalih. Please share...!
0 Komentar untuk "Hakikat Sabar Menurut Para Salafuna Shalih"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.