Tiga Macam Kekosongan dalam Hidup Manusia


Manusia adalah makhluk yang mulia andaikata ia mau berjalan sesuai koridor yang telah digariskan oleh Sang Khaliq, yakni dengan bertaqwa dan ikhlas mengabdi kepadaNya. Namun seringkali karena godaan dunia yang membujuk, manusia mudah terjerumuskan ke dalam jurang hina dina yang membuat ia merana baik saat di dunia terlebih saat di akhirat kelak. 

Betapa banyak kita jumpai manusia yang dalam hidupnya sering menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya sehingga ketika pada akhirnya mereka ditimpa kemalangan, mereka pun merasa hidupnya hampa seakan tiada berguna. Inilah saat-saat manusia mengalami kekosongan dalam hidupnya.

Ilustrasi hidup kosong

Dr. Yusuf al Qardhawi dalam al Waqtu fi Hayatil Muslim hal. 13 menyebutkan bahwa, "Orang yang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah durhaka pada harinya dan menganiaya diri". 

Berkaitan dengan orang-orang yang seperti ini, paling tidak ada tiga macam kekosongan yang biasa melanda manusia ketika ia merasa hidupnya telah hampa karena semakin jauh dari cahaya keimananan. Tiga macam kekosongan itu adalah kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa.

1. Kekosongan Akal

Akal merupakan mutiara termahal yang dimiliki manusia. Manusia tanpa memfungsikan akal untuk mengenal Tuhannya, maka nilainya tidak ubahnya seperti binatang. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata dalam pandangan Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mau menggunakan akalnya". (QS. Al Anfaal, 22). 

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengkategorikan "kekosongan akal" sebagai sifat binatang, sebab binatang merupakan makhluk ciptaanNya yang tidak memiliki kesiapan untuk menggunakan akalnya. Karenanya, Allah SWT menyejajarkan manusia dengan binatang apabila ia mengabaikan fungsi dan peran akalnya dalam menerima pengetahuan-pengetahuan yang berguna. 

Umar bin Khattab pernah berkata, "Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah agamanya dan harga dirinya adalah akhlaknya". Senada dengan ucapan Umar ini, Ibrahim bin Hasan pernah bersyair:

Perhiasan seorang pemuda di tengah masyarakatnya
Adalah keluhuran akalnya, meski sedikit kekayaannya
Dan keburukannya di tengah masyarakat
Adalah kekerdilan akalnya, meski tinggi nasab keturunannya
Sebaik-baik pemberian Allah kepada seseorang adalah akalnya, 
Tak ada sesuatu pun yang setara dengannya. 
Jika Dia telah memberi kesempurnaan akal bagi seseorang
Maka sempurna pula akhlak perbuatannya. 

Oleh karenanya, kita harus menyadari akan pentingnya pengisian akal pikiran dengan sesuatu yang bermanfaat. Apabila seseorang hidup dalam kekosongan akalnya, berarti ia telah menentukan hidupnya sendiri dalam kehancuran, sekaligus menentukan akhiratnya dalam keadaan celaka. Itulah akhir perjalanan orang yang memiliki sifat "kekosongan akal". 

Adapun orang yang mengisi akalnya dengan sesuatu yang bermanfaat, baik menyangkut masalah dunia seperti bekerja mencari nafkah, atau pun masalah akhirat dengan senantiasa beribadah atau mengkaji berbagai ilmu, maka dialah orang yang benar-benar beruntung. Semua itu disebabkan dirinya mau mengonsumsi akalnya sesuai dengan hakikat penciptaan akal itu sendiri, yaitu tadabbur (memperhatikan) Allah dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk itu, serta tafakkur (memikirkan) ayat-ayat dan makhluk-makhluk ciptaanNya. 

2. Kekosongan Hati

Hati hanyalah sepenggal organ dari tubuh manusia. Jika ia hidup, maka hiduplah seluruh tubuhnya, sebaliknya jika hati sudah mati, maka matilah seluruh tubuhnya (baca: Klasifikasi Hati Manusia Menurut Kondisinya). Hati laksana bejana tempat bersemayamnya iman dan juga hawa nafsu. Saat hati telah terjangkiti penyakit-penyakit seperti dengki, dendam, dan benci kepada sesamanya, takabbur, dan terlalu cinta pada dunia, maka sedikit demi sedikit hatinya akan menjadi kosong. Dan barang siapa sampai pada tingkat demikian, maka sesungguhnya ia telah menganiaya dirinya sendiri.

Oleh karenanya, untuk memenuhi "kekosongan hati" haruslah dengan keimanan. Allah SWT berfirman, "... Tetapi Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan jadikan iman itu indah dalam hatimu". (QS. Al Hujurat, 7). Dan inilah yang pernah ditekankan oleh sahabat Ibnu Mas'ud ketika beliau meminta agar kita selalu menelusuri hati di tempat-tempat keimanan. Beliau berkata, "Carilah hatimu di tiga tempat (kesempatan), yakni saat mendengar ayat-ayat Al Qur'an dikumandangkan, di majlis-majlis tempat orang berdzikir dan di saat engkau berada sendirian di tempat sunyi. Jika tidak engkau dapatkan hatimu di tempat-tempat ini, maka bermohonlah kepada Allah agar memberikan karunia hati, sebab pada dasarnya engkau tidak mempunyai hati". 

Orang yang mendalami secara cermat arti ucapan Ibnu Mas'ud ini, maka ia akan tahu bahwa tempat dan berbagai kesempatan yang disebutkan itu memang dapat menambah keimanan di dalam hati manusia, dan iman inilah obat "kekosongan hati" itu. Perilaku inilah yang senantiasa dijalankan oleh para Salafuna Shalih. Mereka selalu memenuhi hati dan menghiasinya dengan iman serta berusaha agar keimanannya terus berkembang dan senantiasa mempercantik hati. Maka ia benar-benar berusaha untuk berbuat adil bagi dirinya dan menjauhkannya dari kezaliman serta senantiasa istiqamah (lurus) sesuai dengan jalan yang dikehendaki oleh Allah SWT. 

3. Kekosongan Jiwa (Nafs

Apabila jiwa tidak kita sibukkan dengan hal-hal positif, maka ia akan menyibukkan kita dengan kebatilan. Menyibukkan jiwa dengan kebaikan ialah dengan menyucikan, mendidik, dan menarik tali kekangnya dari perkara yang batil. Karena jika tidak demikian, jiwa akan senantiasa terbiasa bersinggungan dengan keburukan dan terus menerus menyimpang dari jalan yang lurus, yang pada akhirnya akan menyengsarakan diri sendiri. Barang siapa melepaskan tali kekang hawa nafsunya untuk berbuat apa pun yang ia sukai, maka ini merupakan gambaran jiwa yang kosong. 

Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya, "Itulah gambaran jiwa yang kosong, yang tidak pernah mengenal makna serius (kesungguhan). Ia bersikap santai meski menghadapi bahaya yang mengintai. Ia bercanda ria di saat membutuhkan keseriusan serta senantiasa meremehkan permasalahan yang suci dan sakral. Jiwa yang kosong dari sikap serius dan penuh kesucian, akan menyebabkannya senantiasa meremehkan setiap persoalan yang menyelimutinya, mengalami kegersangan jiwa dan dekadensi moral. Jiwa yang demikian, tidak patut untuk bangkit mengemban tugas dan tidak akan tegak membawa beban amanah. Dan jadilah kehidupan di dalam jiwa demikian itu hampa, remeh, dan tiada berharga". 


Agar jiwa tersebut dapat aktif kembali, maka itu bergantung pada usaha bagaimana ia mendapatkan tarbiyah (pendidikan) dan tashfiyah (penyucian). Orang yang berhasil dalam mendidik dan menyucikan jiwanya inilah orang-orang yang akan beruntung di dunia dan di akhirat kelak. Allah SWT berfirman, "Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". (QS. Asy Syams, 9-10). 

Demikianlah gambaran tentang jiwa yang disucikan dengan penuh pengabdian (ubudiyah) kepada Allah dan sesama. Marilah kita melatih (riyadhah) jiwa kita dan memenuhinya dengan cara memperoleh pendidikan dan penyucian (tazkiyah), agar kita dapat memperoleh keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat kelak. Wallahu A'lam. (dinukil dari Al Waqt 'Amaar au Damaar, karya Jasiem M. Badr Al Muthowi')

Labels: Horizon

Thanks for reading Tiga Macam Kekosongan dalam Hidup Manusia. Please share...!

0 Komentar untuk "Tiga Macam Kekosongan dalam Hidup Manusia"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.