Saat memasuki tahun baru Hijriyah (Muharram) atau sebelum menjelang bulan Ramadhan tiba, beberapa lokasi tujuan ziarah para Wali biasanya kembali ramai dikunjungi oleh rombongan peziarah. Tradisi ini juga berlaku di beberapa lokasi tujuan ziarah Wali di sekitar wilayah Kebumen. Untuk itulah pada hari Ahad 15 Muharram 1438 H atau bertepatan dengan 16 Oktober 2016, Majlis Ta'lim Darussalam Satinem desa Candiwulan kembali mengadakan rangkaian ziarah Wali yang kali ini mengambil lokasi di sekitar wilayah Kabupaten Kebumen.
Menggunakan dua mobil berukuran sedang, rombongan ziarah berisi sekitar 20 orang lebih yang terdiri dari jamaah majlis ta'lim dan beberapa orang rombongan Bapak Kiyai dari Jagasima yang menjadi Imam ibadah ziarah. Adapun tujuan lokasi ziarah yang dituju adalah makam Syaikh Baribin di Grenggeng Karanganyar, Syaikh Abdul Kahfi di Somalangu, Mbah Lancing di Mirit, Syaikh Mubin di Ayam Putih, Syaikh Abdul Awal dan Syaikh Anom Sidakarsa di Petanahan.
Pukul 7. 45 pagi, mobil rombongan ziarah berangkat dari lokasi majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa Candiwulan. Sebelum menuju lokasi makam para Wali, terlebih dahulu kami berziarah ke makam Bpk. Ir. H. Suparman di Panjangsari, Gombong. Beliau adalah salah satu pendiri dan yang meresmikan majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa Candiwulan. Pukul 8. 15, kami sampai di lokasi makam Bpk Ir. H. Suparman di desa Panjangsari, kec. Gombong, Kebumen. Setelah usai berziarah, pukul 8. 40 rombongan mobil kembali berjalan menuju lokasi selanjutnya.
Menuju lokasi makam Wali tujuan pertama yaitu makam Syaikh Baribin di bukit Grenggeng. Dari jalan raya utama, kami belok utara melewati pasar Kemit dan terus ke arah utara kurang lebih 2 km hingga akhirnya sampai di dusun Setonokunci, Grenggeng, Kecamatan Karanganyar. Di sinilah letak makam Syaikh Baribin berada. Pukul 9. 05, kami sampai di lokasi parkir mobil. Dari tempat parkir, kami harus berjalan kaki untuk menuju lokasi makam. Setelah memasuki gapura makam, perjalanan kami lewati melalui jalanan menanjak yang lumayan tinggi.
Meskipun akses jalan kini telah beraspal atau dicor, tetap butuh perjuangan ekstra untuk bisa sampai lokasi makam. Jalanan yang lumayan menanjak membuat sebagian peziarah sering berhenti untuk beristirahat sebentar. Banyaknya tenaga yang keluar juga membuat tubuh banyak mengeluarkan keringat. Dalam perjalanan, kami banyak menjumpai tumbuhan sejenis pandan yang banyak tumbuh di sepanjang sisi jalan. Tumbuhan yang daunnya biasa dibuat kerajinan seperti tikar ini agaknya memang dibudidayakan oleh warga sekitar lereng dataran tinggi ini. Di sini juga banyak kami jumpai pohon-pohon seperti pohon aren dan pohon-pohon jenis lainnya yang banyak tumbuh di daerah pegunungan.
Sekitar 20 menit berjalan, sampailah kami di lokasi makam Syaikh Baribin yang berada di atas bukit. Setelah semua rombongan sampai di atas, kami beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Banyaknya rombongan peziarah lain yang datang juga membuat kami harus rela bersabar dan mengantri menunggu giliran untuk berziarah. Kami juga sempat berbincang dengan juru kunci makam mengenai riwayat sejarah Syaikh Baribin. Setelah tiba giliran berziarah, rombongan kami bergegas masuk ke dalam bangunan di mana makam Syaikh Baribin berada. Suasana di dalam sedikit gelap dengan cahaya lampu yang tidak begitu terang. Di depan makam terdapat sebuah gambar lukisan potret Syaikh Baribin bersama tokoh lain yang bernama Adipati Jana.
Syekh Baribin Grenggeng
Syaikh Baribin atau Raden Saputra/ Raden Putra/ Harya Baribin adalah putra dari Prabu Brawijaya IV (Bra Tanjung) dengan isteri Putri Pajang. Dikarenakan tidak diperbolehkan adanya tahta kembar (setelah wafatnya Brawijaya IV/ Bra Tanjung), Raden Putra yang merupakan adik dari Raden Alit /Angkawijaya /Brawijaya V akhirnya meninggalkan kerajaan Majapahit dengan ikhlas. Raden Putra pun pergi ke arah barat untuk menjalani takdir besarnya. Dalam pengembaraannya, beliau sempat singgah di beberapa tempat di wilayah Kebumen, sampai akhirnya beliau pergi ke Pajajaran. Di Pajajaran, beliau kemudian menikah dengan salah satu cucu Raja Pajajaran dan dianugerahi empat orang anak.
Singkat cerita, dari Pajajaran Raden Putra kemudian kembali ke timur dan menghabiskan masa hidupnya di Gunung Grenggeng yang hingga kini dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Syaikh Baribin. Menurut penuturan masyarakat setempat, beliau adalah tokoh yang awal mengembangkan agama Islam di sekitar Gombong, Karanganyar dan Sempor pada ratusan tahun yang lalu. Konon dahulu semasa hidupnya, Eyang Syaikh Baribin dikenal sebagai orang sakti yang berjuang membela kebenaran dan menentang kejahatan, serta menolong orang yang kesusahan.
Singkat cerita, dari Pajajaran Raden Putra kemudian kembali ke timur dan menghabiskan masa hidupnya di Gunung Grenggeng yang hingga kini dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Syaikh Baribin. Menurut penuturan masyarakat setempat, beliau adalah tokoh yang awal mengembangkan agama Islam di sekitar Gombong, Karanganyar dan Sempor pada ratusan tahun yang lalu. Konon dahulu semasa hidupnya, Eyang Syaikh Baribin dikenal sebagai orang sakti yang berjuang membela kebenaran dan menentang kejahatan, serta menolong orang yang kesusahan.
Pada saat beliau wafat, konon mayatnya mengeluarkan bau yang sangat harum. Mayatnya pun akhirnya menjadi rebutan orang banyak. Pada saat mayat tersebut akan dicuri oleh sekelompok orang, tiba-tiba terdengar suara gaib yang mengumandang yang dalam bahasa jawa disebut “gumrenggeng” sehingga masyarakat dapat mengetahui pencurian tersebut dan berhasil digagalkan, maka untuk mengenang peristiwa ini, daerah tersebut akhirnya dinamakan Gunung Grenggeng. Warga Grenggeng juga biasa menyebut nama Eyang Syaikh Baribin dengan sebutan Mbah Grenggeng. Sampai saat ini, keberadaan makam Syaikh Baribin dipercaya membawa berkah bagi warga sekitar, terlebih dengan semakin banyaknya peziarah yang berkunjung ke sana.
Setelah selesai berziarah di makam Syaikh Baribin, rombongan ziarah kembali berjalan turun gunung menuju lokasi parkir mobil. Setelah sampai di bawah dan sempat beristirahat sejenak, pukul 10. 30 mobil kembali berjalan menuju lokasi makam berikutnya yaitu makam Syaikh Abdul Kahfi di Somalangu. Perjalanan menuju Somalangu memakan waktu hampir dua jam karena salah satu mobil kami sempat berhenti karena mengalami sedikit masalah. Pukul 12. 26, akhirnya kami sampai di Somalangu.
Sebelum berziarah, kami shalat dzuhur terlebih dulu di masjid seberang jalan lokasi parkir. Setelah shalat, kami langsung bergegas menuju makam untuk berziarah. Dari tempat parkir, kami berjalan kaki memasuki gapura menuju arah selatan hingga sampai di lokasi makam. Makam yang juga disebut Lemah Lanang ini terletak di perbatasan Desa Sumberadi dan Candimulyo. Banyak peziarah yang mengunjungi tempat ini, bahkan pada saat Milad Ponpes Al-Kahfi beberapa saat lalu, ribuan jamaah dari luar Jawa, seperti Sumatera, Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi juga berdatangan untuk berziarah.
Baca juga: 7 Tujuan Ziarah Wali di Pulau Bali (Ziarah Wali Pitu)
Baca juga: 7 Tujuan Ziarah Wali di Pulau Bali (Ziarah Wali Pitu)
Sayyid Abdul Kahfi Al Hasani
Sayyid Muhammad Ishom al-Hasani atau Syaikh Abdul Kahfi Awal adalah pendiri Pondok Pesantren Somalangu yang konon dibangun semenjak tahun 879 H /1475 M. Ayahnya bernama Sayid Abdul Rasyid bin Abdul Majid Al Hasani, yang nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah SAW melalui Sayyidina Hasan RA. Konon beliau awalnya senang mengembara dari gua ke gua sehingga dijuluki Abdul Kahfi. Beliau yang berasal dari Hadramaut, Yaman, mendarat pertama kali di Pantai Karangbolong Kebumen pada 852H /1448 M, yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit atau Prabu Brawijaya I (1447 – 1451 M). Beliau wafat pada malam Jumat 15 Sya’ban 1018 H atau 12 November 1609 M. Konon beliau merupakan orang pertama yang dimakamkan di perbukitan Lemah Lanang di Desa Sumberadi, Kecamatan Kebumen, Kebumen. Syaikh Abdul Kahfi dianggap sebagai peletak dasar berkembangnya agama Islam di wilayah Kebumen. Keberadaan Pondok Pesantren di Somalangu berpengaruh besar pada perkembangan kemajuan Islam di Kebumen, bahkan pengaruhnya juga menyebar sampai ke daerah lain di Jawa dan bahkan sampai luar Jawa.
Selain makam Syaikh Abdul Kahfi Awal, di areal pemakaman ini juga terdapat makam Sayyid Ibrahim al-Hasani yang lebih dikenal dengan Syaikh Abdul Kahfi Tsani. Beliau adalah pendiri PonPes Somalangu periode kedua. Menurut sejarah, pondok Somalangu sepeninggal Syaikh Abdul Kahfi Awal sempat mengalami fatrah karena tiadanya penerus sampai beberapa kurun waktu. Syaikh Abdul Kahfi Tsani inilah yang membangun dan menata kembali pondok Somalangu yang sebelumnya pernah didirikan oleh pendahulunya. Menurut silsilahnya, Syaikh Abdul Kahfi Tsani adalah putra dari Sayyid Muhammad al-Marwah bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syaikh Abdul Kahfi Awal. Untuk membedakan keduanya, dipakailah istilah Awal untuk pendiri periode pertama dan Tsani untuk pendiri periode kedua.
Selesai berziarah, kami beristirahat sembari makan siang sebelum melanjutkan perjalanan ke makam berikutnya. Pukul 13. 50 perjalanan akhirnya kami lanjutkan kembali yaitu menuju makam Mbah Lancing di Mirit. Dari Somalangu, mobil berjalan sampai arah Kutowinangun dan kemudian belok ke arah selatan sampai tembus jalan raya jalur selatan arah Jogja. Pukul 14. 55, sampailah kami di lokasi makam Mbah Lancing di desa Mirit, Kec. Mirit.
Mbah Lancing Mirit
Makam Mbah Lancing merupakan salah satu tujuan ziarah yang cukup populer di wilayah Kebumen. Tidak heran makamnya selalu ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Di depan bangunan makam juga banyak dijumpai para pedagang yang berjualan aneka macam panganan dan jajanan khas Kebumen. Makam Mbah Lancing berada di sebuah bangunan berbentuk joglo dengan dinding kayu berukir. Namun uniknya, meskipun di dalam bangunan, nisan makam justru berada di bagian belakang, di tempat terbuka tanpa atap sama sekali. Keunikan lain adalah adanya tumpukan kain batik menggunung di atas pusaranya. Di sebelah Makam Mbah Lancing juga terdapat makam ayahnya yaitu Kyai Ketijoyo dan satu makam lagi yang agak terpisah yaitu makam Kyai Dipodrono.
Keberadaan tumpukan kain batik atau biasa disebut sinjang di atas pusaranya adalah berasal dari para peziarah sebagai ungkapan rasa syukur karena terkabul doanya. Orang yang hendak meletakkan sinjang di atas Makam Mbah Lancing harus datang ke juru kunci terlebih dahulu. Kain batik atau sinjangnya pun tidak boleh dibeli di pasar, juru kunci akan meminta seorang wanita, dengan syarat-syarat tertentu, untuk membatik sinjangnya. Konon semasa hidupnya, Mbah Lancing senang memakai kain batik untuk bebedan (lancingan), sehingga kemana pun pergi beliau selalu memakai lancing, karena itulah beliau kemudian dikenal dengan sebutan Mbah Lancing. Dan karena itu pula tampaknya penghormatan untuk Mbah Lancing dilakukan dengan menumpuk kain batik di atas pusaranya.
Menurut silsilahnya disebutkan bahwa Brawijaya V dengan Dewi Penges (Reksolani) berputra Ario Damar (Adipati Palembang). Ario Damar dengan Putri Cempo (Campa) berputra Ario Timbal (Raden Kusen, Adipati Terung). Raden Kusen berputra Ki Ageng Yudotaligrantung dan Raden Carangnolo. Raden Carangnolo berputra Wonoyudo Inggil (Wongsojoyo I, Kyai Wirotanu). Wongsoyudo Inggil berputra Kyai Ketijoyo, Wonoyudo Lante (Wongsojoyo II), dan Wonoyudo Pamecut (Wongsojoyo III). Kyai Ketijoyo adalah ayah dari Mbah Lancing. Semasa hidupnya, Mbah Lancing konon tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Mbah Lancing atau yang bernama asli Kyai Baji adalah tokoh yang dianggap berjasa dalam memberantas para penjahat dan pencoleng yang menjadikan daerah Mirit sebagai sarangnya pada waktu itu. Beliau bersama Mbah Kyai Marwi merupakan perintis permukiman di Desa Mirit. Beliau juga merupakan seorang wali yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pesisir selatan tanah jawa.
Setelah selesai berziarah di makam Mbah Lancing, pukul 15. 30 kami melanjutkan perjalanan ke lokasi ziarah berikutnya, yaitu makam Syaikh Maulana Muhammad Najmuddin 'Ali Mubin di Ayam Putih. Untuk menuju kesana, dari lokasi makam Mbah Lancing, mobil berjalan ke arah barat sampai wilayah kecamatan Buluspesantren. Pukul 16. 00 kami sampai di lokasi makam Syaikh Mubin, di desa Ayam Putih kec. Buluspesantren.
Tidak seperti makam-makam lain pada umumnya, makam Syaikh Mubin tidak berada di areal pemakaman umum, melainkan berada di sebuah areal pekarangan yang dibuatkan bangunan khusus untuk lokasi makam yang telah ada sebelumnya. Makam Syaikh Mubin merupakan makam yang dikeramatkan oleh warga masyarakat Ayam Putih dan sekitarnya, bahkan juga oleh masyarakat luar kota Kebumen, seperti dari Yogyakarta, Solo hingga Jawa Timur.
Syekh Mubin atau Mbah Mubin
Syaikh Maulana Muhammad Najmuddin ‘Ali Mubin atau dikenal dengan Syekh Mubin atau Mbah Mubin adalah seorang Ulama yang berasal dari Gujarat India. Beliau datang ke tanah Jawa pada abad ke-XVII. Menurut sejarah, Syaikh Mubin datang ke Jawa dengan menggunakan Kapal melalui Samudera Hindia dan mendarat di Pantai Ambal, Kebumen.
Beliau dikirim oleh gurunya ke tanah Jawa untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa tepatnya diantara sungai Progo di Kulon Progo dengan sungai Serayu, Cilacap. Sekitar tahun 1646 M Syaikh Mubin menyebarkan dakwahnya di tanah Kebumen ini, khususnya dibagian pesisir pantai selatan Desa Ayam Putih, Buluspesantren. Menurut silsilahnya, Syaikh Mubin adalah salah satu buyut dari Sulthanul Auliya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Urutan silsilahnya adalah Syaikh Muhammad Najmudin Ali Mubin bin Syaikh Musa bin Syaikh Wahab bin Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Dengan metode dakwahnya yang santun dan merakyat, Syaikh Mubin mudah dikenal dan dakwahnya mudah diterima oleh para penduduk mulai dari kalangan bawah, menengah hingga kalangan atas (Raja). Syaikh Mubin merupakan salah satu guru dari para wali di tanah Jawa. Dari sekian banyak muridnya, salah satu tokoh yang menjadi murid kesayangan beliau adalah Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Wilayah dakwah Syaikh Mubin yang tidak begitu jauh dari pusat kerajaan Mataram di Yogyakarta, membuat keduanya dapat bertemu dan pada akhirnya Sultan Agung memutuskan untuk berguru kepada beliau. Sebagai muridnya, tentu banyak pengaruh yang didapat Sultan Agung dari Syaikh Mubin selaku gurunya.
Makam Sultan Agung memang berada di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Namun di dekat lokasi makam Syaikh Mubin, terdapat peninggalan dari Sultan Agung yang masih tersisa. Peninggalan tersebut adalah tunggak Kayu Laban yang berada di depan bangunan makam Syaikh Mubin. Tunggak kayu tersebut berada di dalam rumah kecil di depan bangunan makam. Konon tunggak kayu laban itu adalah tempat bertapa atau semedi Sultan Agung Hanyokro Kusuma, murid kesayangan Syekh Mubin. Berdasarkan cerita rakyat sekitar makam, tunggak kayu ini kabarnya tidak mempan dipotong. Konon setiap akan dipotong menggunakan kampak ataupun dengan alat pemotong kayu lainnya, kayu ini berpindah tempat dengan sendirinya. Bahkan kampaknya pun akan hilang sendiri dengan sekejap ketika akan memotongnya, tidak tahu kemana hilangnya. Oleh karenanya banyak yang mengeramatkan lokasi makam ini.
Selesai berziarah di makam Syaikh Mubin, pukul 16. 30 perjalanan kembali dilanjutkan menuju lokasi makam berikutnya, yaitu makam Syaikh Abdul Awal di Petanahan. Pukul 16. 45, kami sampai di lokasi makam Syaikh Abdul Awal di desa Kebonsari kec. Petanahan. Sebelum berziarah, terlebih dahulu kami shalat ashar berjamaah di masjid dekat lokasi makam. Setelah shalat kemudian dilanjutkan dengan berziarah di makam Syaikh Abdul Awal.
Syaikh Abdul Awwal
Menurut cerita, Syaikh Abdul Awwal dahulu bernama Mangkurat Mas, dari Yogyakarta, putra R. Pemanahan dari istri padmi. Pada saat ayahnya mangkat, terjadi perselisihan perebutan kekuasaan antara dirinya dengan pamannya yaitu Ki Ageng Giring yang bermukim di Cirebon. Hal ini menjadikan Mangkurat Mas akhirnya memutuskan untuk pergi dari keraton. Dia berprinsip bahwa kekuasaan hanya akan akan menjadikan seseorang mempertaruhkan segalanya, bahkan akhir ajal sekalipun dipertaruhkan demi kekuasaan.
Suatu ketika Mangkurat Mas atau Syaikh Abdul Awal berhasil menyembuhkan istri Ki Ageng Giring yang sakit, sebagai imbalannya, beliau meminta tanah seluas serban, yaitu bumi Mataram yang di kemudian hari ditempati, yaitu Kedungamba. Oleh karenanya kemudian Kedungamba dijadikan sebagai tanah Kaputihan oleh kerajaan Mataram, dengan Syaikh Abdul Awal diberi kewenangan sebagai Lurah Kedungamba. Daerah inilah yang sekarang ini menjadi bagian dari desa Kebonsari.
Syaikh Abdul Awal diperkirakan datang ke kedungamba atau Kebonsari pada tahun 1551 M dan wafat pada tahun 1598 M. Saat mengembara ke wilayah Kebumen, sebelumnya Syaikh Abdul Awal telah menamatkan ilmu dari pesantren dan menikah dengan seorang putri keraton Surakarta yang bernama Nyai Jonggrang. Beliau juga mempunyai seorang putra yang bernama Abdul Rauf, konon dia selalu berusaha untuk mengungguli kedigdayaan dan kesaktian ayahnya. Di deretan makam, makam Abdul Rauf berada di sebelah barat makam Syaikh Abdul Awal.
Saat bermukim di Kebonsari, Syaikh Abdul Awal berdakwah menyebarkan agama Islam hingga sampai Cilacap dan Banyumas. Dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya, beliau juga memberikan wewarah kepada banyak orang tentang ilmu-ilmu para wali. Di antara yang pernah menjadi muridnya yaitu Syaikh Anom Sidakarsa. Satu cerita menarik yang berkaitan dengan kewalian beliau adalah saat beliau hendak menunaikan ibadah haji ke tanah Makkah. Sebagai Wali yang berilmu tinggi sekaligus menandakan kemuliaan akhlaknya, beliau berangkat melakukan perjalanan haji dengan cara naik “mancung” dari pohon kelapa. Kemuliaan lain dari beliau adalah adanya gundukan rumah rayap di dekat lokasi makam beliau, yang disebut Unnur. Konon, jika di dekat makam seseorang terdapat Unnur, menandakan orang tersebut adalah orang yang mulia dan luhur ilmunya.
Selesai berziarah di makam Syaikh Abdul Awal, pukul 17. 35 perjalanan dilanjutkan menuju tujuan ziarah makam terakhir yaitu makam Syaikh Anom Sidakarsa di dukuh Wadas desa Grogol Beningsari, Petanahan. Pukul 17. 45 akhirnya kami sampai di lokasi makam Syaikh Anom Sidakarsa. Karena masuk waktu maghrib, sebelum berziarah kami shalat maghrib terlebih dahulu di mushola dekat lokasi makam.
Setelah shalat, kami segera memasuki bangunan tempat makam untuk berziarah. Lokasi makam Syaikh Anom semakin populer sebagai tempat kunjungan ziarah atau wisata religi di Kebumen. Bahkan di areal sekitar makam juga sudah dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai. lembaga pendidikan juga dibangun di lokasi sekitar makam untuk warga sekitar. Sementara di pinggir jalan menuju makam juga banyak berdiri bangunan warung untuk berjualan para pedagang. Makam ini selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah, terutama setiap malam jum'at, bulan Sya'ban, dan bulan Muharram.
Syaikh Anom Sidakarsa
Syaikh Anom Sidakarsa adalah salah seorang wali yang ikut berperan serta dalam penyebaran agama Islam di wilayah Kebumen. Dari silsilahnya, beliau masih keturunan ke 5 dari Raden Patah, Sultan Demak. Beliau bernama asli Dullah Sidiq dan hidup pada zaman Hamengku Buwono ke- IV. Meskipun berdarah biru, beliau lebih memilih untuk menyebarkan Agama Islam daripada mementingkan jabatan.
Sebelum singgah di wilayah Petanahan, sebelumnya beliau pernah babad alas di daerah Demak. Selain itu beliau juga pernah singgah di daerah Sumpyuh, Banyumas, dan sempat kembali ke Demak. Namun kemudian beliau melanjutkan dakwahnya menyebarkan Islam hingga sampai wilayah Petanahan Kebumen dan akhirnya menetap di tempat yang sekarang termasuk desa Grogol Beningsari sampai beliau wafat.
Semasa hidupnya, Syaikh Anom Sidakarsa pernah berguru kepada Syaikh Abdul Awal di Kebonsari. Sebagaimana gurunya, banyak kisah-kisah yang berkaitan dengan karomah dan kewalian Syaikh Anom Sidakarsa yang melegenda. Salah satunya adalah saat beliau menyusul gurunya pergi ke Makkah hanya dengan naik bekong (tempat beras) atau dalam kisah lain naik mancung kelapa seperti halnya gurunya. Oleh karena cerita itulah kemudian menjadi dasar terciptanya nama Syekh ANOM SIDAKARSA yang mempunyai arti, kata “SIDA” berarti Jadi dan “ KARSA” berarti Kesampaian. Sumber lain menyebutkan bahwa nama Syeh Anom Sidakarsa tersebut diketahui dari seseorang yang selama dua tahun berturut-turut melakukan riyadloh di makam tersebut pada tahun 1935. Orang itu yakni almarhum Simbah Chamid dari Kajoran Magelang.
Banyaknya mitos-mitos dan hal-hal aneh yang berkembang di sekitar makam Syekh Anom Sidakarsa menjadi magnet tersendiri bagi para peziarah yang berkunjung ke sana. Selain makam, salah satu yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Anom adalah sebuah sumur tua yang konon merupakan galian Syaikh Anom. Sumur ini dipercaya warga apabila airnya digunakan untuk mandi, diminum, dan cuci muka dapat mengobati penyakit, bahkan ada yang percaya bahwa air sumur tua itu dapat menjadi sarana ikhtiar agar mendapatkan keturunan. Letak sumur ini berjarak sekitar 300 meter dari lokasi makam Syaikh Anom.
Selesai berziarah, beberapa orang rombongan kami ada yang membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Karena rangkaian tujuan ziarah telah selesai, sebagian dari kami juga bersantai sejenak sembari minum kopi di warung sekitar lokasi makam sebelum akhirnya pulang. Pukul 19. 15 kami pulang dari makam Syaikh Anom dan sempat mampir ke desa Jagasima untuk mengantarkan pulang rombongan Pak Kyai. Pukul 20. 00 malam, akhirnya kami sampai di desa kami, desa Candiwulan kec. Adimulyo kab. Kebumen.
Ziarah di makam Bpk. Ir. Suparman dan istri, Ibu Satinem |
Referensi sejarah dinukil dari berbagai sumber. Wallaahu A'lam.
Baca juga : Catatan Perjalanan Ziarah Wali Jawa Tengah
Baca juga: Riwayat Hidup Joko Sangkrip (Arung Binang)
0 Komentar untuk "Ziarah Wali Sekitar Wilayah Kebumen"
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.