Kebanyakan dari kita tentu pernah membaca mengenai sejarah kebesaran kerajaan Majapahit dengan wilayah kekuasaannya yang membentang luas di seantero Nusantara. Tapi pernahkah kita membayangkan kiranya seperti apakah gambaran kehidupan masyarakat pada masa itu?. Bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan hidupnya?. Apakah kondisinya seperti halnya yang sering digambarkan di tivi-tivi dalam film-film kolosal seperti Tutur Tinular, Saur Sepuh, dan semacamnya?.
|
via indocropcircles.wordpress.com |
Majapahit merupakan kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya (1293 M) dan mencapai puncak kejayaannya ketika diperintah oleh Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dengan Mahapatihnya yaitu Gajah Mada. Disebutkan dalam kitab Negarakertagama, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Bahkan pengaruhnya juga menjangkau beberapa daerah di Asia Tenggara seperti Semenanjung Melayu dan Filipina bagian selatan.
Sejarah juga menyebutkan bahwa Majapahit adalah salah satu kerajaan agraris dan juga kerajaan Maritim terbesar di Nusantara setelah Sriwijaya. Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya yakni di pedalaman dan dekat aliran sungai. Sedangkan kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan Majapahit untuk menanamkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Nusantara pada masa itu. Artinya, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit pun juga menitikberatkan pada dua bidang tersebut, yakni pertanian sekaligus pelayaran.
Berdasarkan kitab Negarakertagama, struktur masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan (kasta) yaitu
brahmana,
ksatria,
waisya, dan
sudra. Ada pula golongan yang berada di luar lapisan ini yaitu
candala,
mleccha, dan
tuccha yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit. Meskipun demikian, aturan kasta pada masyarakat Majapahit ini tidak begitu ketat sebagaimana terdapat di India, sehingga kasta-kasta tersebut lebih bersifat teoritis dalam literatur istana.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Menurut Berita Cina yang ditulis oleh Ma-Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho ke Jawa, kerajaan Majapahit terletak di pedalaman pulau Jawa. Istana Raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3
zhang, pada salah satu sisinya terdapat pintu gerbang yang berat (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5
zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).
Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan kemanapun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Jika raja keluar istana, biasanya ia menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu.
Ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Para penduduk memakai kain atau baju, kaum lelaki memiliki rambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading. Bahasa penduduk pribumi sangat halus dan indah, dan mereka mengenal tulis menulis dengan daun kajang sebagai kertasnya dan pisau tajam sebagai pena.
Berita Cina tersebut juga menyebutkan bahwa para penduduk biasa duduk di rumahnya tanpa menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang, dan makan tanpa memakai sumpit. Sepanjang hari mereka senang memakan sirih, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Ma-Huan, penduduk Majapahit secara umum dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapat mata pencaharian di ibukota, orang-orang China selaku niagawan tinggal di ibukota dan kota-kota pelabuhan, dan penduduk pribumi Hindu atau Budha yang gemar memelihara anjing.
Pada zaman Majapahit, panen padi terjadi dua kali dalam setahun dan menghasilkan butir-butir beras yang amat halus. Selain padi, terdapat pula hasil pertanian lainnya berupa wijen putih, kacang hijau, dan aneka rempah-rempah. Hasil budidaya buah-buahan juga banyak jenisnya, seperti pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur mayur pun juga berlimpah baik jumlah maupun jenisnya. Adapun jenis-jenis hewan peliharaan masyarakat kala itu di antaranya yaitu burung beo, ayam kalkun, burung nilam, merak, pipit, kelelawar, dan juga hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, kuda, babi, ayam, bebek, serta hewan-hewan langka seperti monyet putih dan rusa putih.
Sebagai negara agraris, segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan pertanian warganya juga diperhatikan oleh pemerintahan Majapahit agar terpenuhi secara maksimal, salah satunya yaitu urusan pengairan. Untuk membantu pengairan pertanian agar teratur, maka pemerintah kerajaan Majapahit membangun dua buah bendungan untuk memfasilitasinya. Kedua bendungan tersebut yaitu bendungan Jiwu untuk mengaliri persawahan dan bendungan Trailokyapur untuk mengaliri daerah hilir.
Dalam bidang perdagangan, banyak pedagang Majapahit yang berperan sebagai pedagang perantara. Menurut catatan seorang pedagang dari Cina, Wa Ta-yuan, komoditas ekspor Jawa pada saat itu adalah lada, garam, kain, dan burung kakatua. Sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban merupakan beberapa kota pesisir yang menjadi pusat perdagangan untuk mengangkut barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman.
Sedangkan untuk bertransaksi, Kerajaan Majapahit juga memiliki mata uang sendiri yang disebut gobog. Gobog merupakan uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bahan-bahan tersebut kemungkinan didatangkan dari China sepanjang abad ke-11 M hingga abad ke-14 M. Bentuknya seperti koin dengan lubang di tengahnya. Mata uang bergambar relief ini memiliki tebal sekitar 2-6 mm, diameter 29-86 mm, dan berat antara 16-213 gram. Selain sebagai alat tukar, uang gobog juga biasa dipakai untuk pembayaran pajak.
|
via kompas.com |
Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, masyarakat Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti pada masa itu. Ukuran timbangannya disebut sekati. Satu sekati sama dengan 20 tahil. Setahil sama dengan 16 qian. Satu qian sama dengan 4 kubana. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang pernah mengunjungi Jawa juga menyebutkan bahwa istana raja Jawa saat itu penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.