Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

hari sumpah pemuda
via shutterstock

Keinginan para pemuda Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda semakin kuat. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya berbagai organisasi pergerakan nasional Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1908, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.

Pada dasarnya, organisasi-organisasi tersebut berpendapat bahwa persatuan Indonesia adalah senjata yang paling kuat dalam melawan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, pandangan bersifat kedaerahan harus dihilangkan dengan menyatukan semua organisasi kepemudaan yang ada di Indonesia pada masa itu.

Kongres Pemuda I


Dalam perjalanannya, rasa persatuan sebagaimana telah didengung-dengungkan oleh organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut semakin tertanam di dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926 diadakan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama di Jakarta. Kongres itu diikuti oleh semua perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan. 

Dalam kongres itu, dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bahasa, dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak di kemudian hari. 

Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabungan (fusi). Walaupun pembicaraan mengenai fusi ini belum membuahkan hasil yang memuaskan, kongres itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu. 

Kongres Pemuda II


Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama, tepatnya pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu antara lain Pemuda Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong Ambon, dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda. 

Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah sebagai berikut: 

Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI 

Wakil Ketua : Joko Marsaid dari Jong Java 

Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond 

Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond 

Pembantu II : Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond 

Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia 

Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes 

Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon 

Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi 

para peserta kongres pemuda II
para peserta kongres pemuda II

Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, yakni 27 - 28 Oktober 1928. Persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali ini di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Adapun isinya yaitu sebagai berikut:

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia yaitu Moh. Yamin, dan kemudian dibacakan secara khidmat di depan kongres oleh ketua kongres yaitu Sugondo Joyopuspito. Selanjutnya diperdengarkan pula lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya di muka umum yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R Supratman dengan gesekan biolanya.

Peristiwa bersejarah tersebut merupakan hasil kerja keras para pemuda pelajar Indonesia. Walaupun para peserta kongres berasal dari organisasi pemuda kedaerahan dengan latar belakang berbeda, mereka ikhlas melepaskan sifat kedaerahannya itu. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri ke dalam satu wadah yang telah disepakati bersama, yaitu Indonesia Muda.

Sumpah Pemuda ini menjadi salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Untuk itu, pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 kemudian menetapkan tanggal 28 Oktober sebagai peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Selengkapnya
Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870)

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870)

Tidak bisa kita bayangkan betapa sulit dan sengsaranya nenek moyang kita ketika hidup di zaman penjajahan. Meski hidup di tanah milik sendiri, mereka seperti tidak punya kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Semua itu tidak terlepas dari sistem politik yang diterapkan pemerintah kolonial terhadap warga pribumi. Satu di antaranya yaitu penerapan tanam paksa pada kurun waktu 1830 - 1870. 

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)

Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa Inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. 

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Pada Masa Penjajahan (1830 - 1870)

Sedangkan rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya pun dapat dikenakan hukuman fisik yang berat. Adapun jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica, dan kopi.

Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, maka pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda. 

Latar Belakang Sistem Tanam Paksa 

Penerapan sistem tanam paksa di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal berikut ini:

1. Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan biaya yang besar. 

2. Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830. 

3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden. 

4. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat. 

5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.

6. Gagal mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda. 

Aturan-Aturan Tanam Paksa

Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa. 

b. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.

c. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi. 

d. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah. 

e. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk. 

f. Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah. 

g. Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun. 

h. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas secara umum. 

Ketentuan-ketentuan tersebut dalam prakteknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut. 

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara paksaan. 

2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.

3. Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi.

4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.

5. Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani. 

6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani. 

7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.

Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia 

Pelaksanaan sistem tanam paksa memberikan beberapa dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif. 

Dampak Positif 
  • Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru. 
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor. 
Dampak Negatif 
  • Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan. 
  • Beban pajak yang berat. 
  • Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen. 
  • Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
  • Jumlah penduduk Indonesia pada saat itu menurun.

Selengkapnya
Kala Inggris Berkuasa di Bumi Nusantara (1811-1816)

Kala Inggris Berkuasa di Bumi Nusantara (1811-1816)

Dalam sejarah, tercatat bahwa Inggris juga pernah berkuasa di Indonesia pada tahun 1811 hingga 1816. Inggris berhasil memegang kendali pemerintahan dan kekuasaannya di Indonesia lewat perjanjian Tuntang (1811) dimana perjanjian tersebut memuat tentang kekuasaan belanda atas Indonesia diserahkan oleh Janssens (gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah era Daendels) kepada Inggris.

Kala Inggris Menguasai Bumi Nusantara (1811-1816)

Ketika Inggris menyerbu Pulau Jawa, Daendels sudah dipanggil kembali ke Belanda. Penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens ternyata tidak mampu bertahan dan terpaksa menyerah. Akhir dari penjajahan Belanda-Prancis itu ditandai dengan Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811 oleh S. Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssens dari pihak Belanda. Isi perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut. 

  • Seluruh Jawa dan sekitarnya diserahkan kepada Inggris. 
  • Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris. 
  • Semua pegawai Belanda yang mau bekerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatannya terus. 
  • Semua utang pemerintah Belanda yang dahulu, bukan menjadi tanggung jawab Inggris. 

Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raja Muda (Viceroy) Lord Minto yang berkedudukan di India, mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Wakil Gubernur (Lieutenant Governor) di Jawa dan bawahannya (Bengkulu, Maluku, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan). Hal itu berarti bahwa gubernur jenderal tetap berpusat di Calcuta, India. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raffles berkuasa penuh di Indonesia. 
Pemerintahan Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan rakyat Indonesia. Hal ini karena hal-hal berikut ini. 
  1. Para raja dan rakyat Indonesia tidak menyukai pemerintahan Daendels yang sewenang-wenang dan kejam.
  2. Ketika masih berkedudukan di Penang, Malaysia, Raffles beberapa kali melakukan misi rahasia ke kerajaan-kerajaan yang anti Belanda di Indonesia, seperti Palembang, Banten, dan Yogyakarta dengan janji akan memberikan hak-hak lebih besar kepada kerajaan-kerajaan tersebut. 
  3. Sebagai seorang liberalis, Raffles memiliki kepribadian yang simpatik. Ia menjalankan politik murah hati dan sabar walaupun dalam praktiknya berlainan. 

Kebijakan Pemerintahan Thomas S. Raffles 

Dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Raffles didampingi oleh suatu Badan Penasihat (Advisory Council) yang terdiri atas Gillespie, Cranssen, dan Muntinghe. Tindakan-tindakan Raffles selama memerintah di Indonesia (1811-1816) adalah sebagai berikut.

Bidang Birokrasi Pemerintahan 

a. Pulau Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan, yang terdiri atas beberapa distrik. Setiap distrik terdapat beberapa divisi (kecamatan) yang merupakan kumpulan dari desa. 

b. Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat. 

c. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah pusat. 

Bidang Ekonomi dan Keuangan 

a. Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedangkan pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. 

b. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) karena dianggap terlalu berat dan dapat mengurangi daya beli rakyat. 

c. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent). Sistem ini didasarkan pada anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah pemerintah. Oleh karena itu, para petani diwajibkan membayar pajak atas pemakaian tanah pemerintah. 

d. Pemungutan pajak pada mulanya secara perorangan. Namun, karena petugas tidak cukup akhirnya dipungut per desa. Pajak dibayarkan kepada kolektor yang dibantu kepala desa tanpa melalui bupati. 

Bidang Hukum 

Sistem peradilan yang diterapkan Raffles bisa dikatakan lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Jika Daendels lebih berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan. Menurut Raffles, pengadilan merupakan benteng untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, harus ada benteng yang sama bagi setiap warga negara. 

Bidang Sosial

a. Penghapusan kerja rodi (kerja paksa). 

b. Penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya, ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Hal itu terbukti dengan pengiriman kuli-kuli dari Jawa ke Banjarmasin untuk membantu perusahaan temannya, Alexander Hare, yang sedang kekurangan tenaga kerja. 

c. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau. 

Bidang Ilmu Pengetahuan 

Masa pemerintahan Raffles di Indonesia memberikan banyak peninggalan yang berguna bagi ilmu pengetahuan, antara lain berikut ini. 

a. Ditulisnya buku berjudul History of Java. Dalam menulis buku tersebut, Raffles dibantu oleh juru bahasanya Raden Ario Notodiningrat dan Bupati Sumenep, Notokusumo II. 

b. Memberikan bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago, diterbitkan dalam tiga jilid di Edinburg pada tahun 1820. 

c. Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 

d. Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi

e. Dirintisnya Kebun Raya Bogor. Thomas Stamford Raffles berjasa besar dalam merintis dibangunnya Kebun Raya Bogor pada sekitar tahun 1811. 

Selama lima tahun Raffles berkuasa di Indonesia, terjadi beberapa kali persengketaan dengan pribumi. Hal ini terjadi di Palembang (1811), Yogyakarta (1812), Banten (1813), dan Surakarta (1815), 

Berakhirnya Kekuasaan Thomas S. Raffles 

Thomas Stamford Raffles

Berakhirnya pemerintahan Raffles di Indonesia ditandai dengan adanya Convention of London pada tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil Belanda dan Inggris yang isinya sebagai berikut. 
  1. Indonesia dikembalikan kepada Belanda. 
  2. Jajahan Belanda seperti Sailan, Kaap Koloni, Guyana, tetap ditangan Inggris. 
  3. Cochin (di Pantai Malabar) diambil alih oleh Inggris, sedangkan Bangka diserahkan kepada Belanda sebagai gantinya. 

Raffles yang sudah terlanjur tertarik kepada Indonesia sangat menyesalkan lahirnya Convention of London. Akan tetapi, Raffles cukup senang karena bukan ia yang harus menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, melainkan penggantinya yaitu John Fendall, yang berkuasa hanya lima hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu yang meliputi wilayah Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua masa penjajahan Belanda, maka masa pemerintahan Inggris itu juga biasa disebut sebagai masa interregnum (masa sisipan).

Selengkapnya
Sejarah Kerajaan Malaka, Pendiri, Masa Kejayaan, Hingga Runtuhnya

Sejarah Kerajaan Malaka, Pendiri, Masa Kejayaan, Hingga Runtuhnya

Kesultanan Melaka (Malaka) adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri pada sekitar tahun 1380-1403 M di tepi selat Malaka. Asal usul berdirinya kerajaan ini berawal dari serangan kerajaan Majapahit ke wilayah Tumasik (kini dikenal sebagai Singapura) pada akhir abad 14 M. Akibat dari ekspansi tersebut, Parameswara, raja kecil yang membawahi Tumasik pun terpaksa melarikan diri. Ia bersama dengan para pengikutnya menyusuri pesisir Selat Malaka dan kemudian mendirikan kerajaan baru yakni kerajaan Malaka. 

Sumber lain menyebutkan bahwa pendiri kerajaan ini, Parameswara, merupakan salah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Pada awal abad ke15 M, terjadi perang saudara di Kerajaan Majapahit yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Dalam peperangan tersebut, seorang pangeran Kerajaan Majapahit yang bernama Parameswara bersama para pengikutnya melarikan diri dari Blambangan (Banyuwangi) menuju ke Tumasik (Singapura). 

Dikarenakan Tumasik dianggap kurang aman dan kurang sesuai untuk tempat pendirian sebuah kerajaan, maka perjalanan dilanjutkan ke utara sampai di Semenanjung Malaka. Di daerah inilah, Parameswara membangun perkampungan dibantu oleh petani dan nelayan setempat. Perkampungan baru itu berkembang pesat karena letaknya yang stretagis di tepi jalur perdagangan intenasional di Selat Malaka. Hal tersebut kemudian mendorong Parameswara untuk membangun sebuah kerajaan bernama Malaka.

istana kesultanan Malaka
Replika istana kerajaan Malaka

Pada saat itu, kegiatan perdagangan di Selat Malaka didominasi oleh para pedagang muslim. Akibatnya, pengaruh Islam sangat besar di wilayah ini. Hal itu berpengaruh pula terhadap rajanya. Parameswara pun akhirnya memutuskan untuk menganut agama Islam dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Malaka kemudian berkembang menjadi kerajaan yang cukup penting di Asia Tenggara. Untuk menjaga keamanan dari ancaman Siam dan Majapahit, Iskandar Syah pada tahun 1405 meminta perlindungan kepada Kaisar Tiongkok dengan menyatakan takluk kepadanya. 

Iskandar Syah berhasil mengembangkan Malaka menjadi kerajaan penting di Selat Malaka. la memerintah hingga tahun 1414 M. Setelah meninggal, ia digantikan putranya bernama Muhammad Iskandar Syah (1414-1424). Di bawah pemerintahannya, kekuasaan Malaka diperluas hingga menguasai seluruh wilayah Semenanjung Malaka. Guna memperkuat posisinya, Muhammad Iskandar Syah juga melakukan perkawinan politik dengan putri Kesultanan Samudra Pasai. 

Perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka pun semakin ramai. Namun, Muhammad Iskandar Syah kemudian dikudeta oleh saudaranya sendiri yang bernama Mudzafar Syah. Setelah menjadi raja baru, Mudzafar Syah bergelar Sultan Mudzafar Syah sehingga ia merupakan Raja Malaka pertama yang bergelar sultan. Mudzafar Syah memerintah Malaka pada tahun 1424-1458. Di bawah kepemimpinannya, Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Barat. 

Kedudukan yang demikian kuat membuat Sultan Mudzafar Syah berani menghadapi Kerajaan Siam. Serangan dari Kerajaan Siam dapat dipatahkan. Bahkan, Mudzafar Syah mampu meluaskan wilayah di sekitar Malaka, seperti Pahang, Kampar, dan Indragiri. Setelah Sultan Mudzafar Syah wafat, tahta diwariskan kepada putranya yang bergelar Sultan Mansyur Syah. 

Masa Kejayaan

Di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M), kerajaan Malaka berkembang pesat dan mencapai puncak kejayaannya. Sultan Mansyur Syah terus meluaskan wilayah kekuasaannya, bahkan Siam berhasil dikuasai. Pada masa pemerintahannya, Malaka juga berhasil menguasai Pahang, Kedah, Trengganu, dan sejumlah daerah di Sumatera.

armada laut malaka
ilustrasi via detik.com

Pada masa pemerintahan Mansyur Syah ini kabarnya hiduplah seorang laksamana hebat yang berjasa besar dalam mengembangkan Kesultanan Malaka, bernama Hang Tuah. Menurut cerita rakyat, ia digambarkan hidup dalam beberapa abad, sejak zaman Gajah Mada pada abad ke-14 sampai zaman Belanda pada abad ke-17. 

Pengganti Sultan Mansyur Syah adalah Sultan Alaudin Syah yang berkuasa antara tahun 1477-1488 M. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Malaka mulai mengalami kemerosotan. Satu demi satu wilayah yang dahulunya dikuasai mulai melepaskan diri dari Malaka. Alaudin Syah kemudian digantikan oleh putranya bernama Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M).

Runtuhnya

Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah semakin lemah. Daerah kekuasaannya hanya tinggal meliputi sebagian kecil Semenanjung Malaka. Pada masa pemerintahannya, datanglah ekspedisi bangsa Portugis yang dipimpin Alfonso D'albuquerque, yang kemudian berhasil menaklukkan Malaka. Setelah satu abad berdiri, Kerajaan Malaka pun akhirnya runtuh pada tahun 1511 M.

Selengkapnya
Sejarah Singkat Kesultanan Ternate dan Tidore

Sejarah Singkat Kesultanan Ternate dan Tidore

Ternate dan Tidore adalah nama dari dua kerajaan Islam bertetangga yang berdiri sejak abad ke-13 M. Kedua kerajaan besar tersebut terletak di sebelah barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Secara geografis, Ternate dan Tidore berada pada wilayah yang penting karena Kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Oleh karena itu, Kepulauan Maluku mendapat julukan The Spicy Island (pulau rempah-rempah). 

Pada mulanya, di Maluku berdiri beberapa kerajaan kecil yang tergabung ke dalam dua kelompok, yaitu Uli Lima dan Uli Siwa. Kelompok Uli Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate dan beranggotakan Ternate, Obi, Bacan, Seram, dan Ambon. Adapun kelompok Uli Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore dan beranggotakan pulau-pulau Makayan, Jailolo, Halmahera, dan pulau-pulau di dekat Papua. 

Kedua persekutuan itu sering kali terlibat perselisihan. Ketika Portugis datang ke Maluku, Ternate segera bersekutu dengan bangsa Portugis pada tahun 1512. Demikian juga ketika Spanyol, yang juga sedang bermusuhan dengan Portugis datang ke Maluku pada tahun 1521, maka segera bersekutu dengan Tidore.

istana ternate
Istana Ternate via unonews.id

Kerajaan Ternate, dengan ibu kotanya di Sampalu, pada akhir abad ke-15 berubah menjadi kerajaan Islam (kesultanan). Beberapa sumber menyebutkan bahwa tokoh yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Ternate ialah Sunan Giri dari Gresik. Raja Ternate pertama yang beragama Islam ialah Sultan Marhum (1465-1485). Raja-raja berikutnya ialah Zainal Abidin, Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. 

Sementara di Tidore, menurut berita Portugis, agama Islam masuk sekitar tahun 1471. Penyebaran agama Islam di Tidore dilakukan oleh para pedagang Islam dari Gresik, Jawa Timur.

Setelah sepuluh tahun berada di Maluku, Portugis mendapatkan izin untuk membangun Benteng Santo Paolo dengan alasan untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore yang dibantu Spanyol. Namun, Portugis kemudian melakukan monopoli perdagangan, ikut campur masalah dalam negeri Ternate, dan menyebarkan agama Katolik. Akibatnya, rakyat Ternate pun jadi membenci Portugis. 

Dengan tuduhan yang dicari-cari, gubernur Portugis di Maluku de Mesquite menangkap Sultan Hairun sehingga membangkitkan kemarahan rakyat Ternate. Benteng Portugis pun diserbu. Sultan Hairun kemudian dilepaskan dan diadakan perundingan. Keesokan harinya, 28 Februari 1570, ketika Sultan Hairun berkunjung ke benteng Portugis untuk menghadhri pesta peresmian perjanjian, ia dibunuh oleh kaki tangan Portugis. 

Kematian Sultan Hairun menyebabkan kemarahan rakyat Ternate. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun), rakyat menyerang dan mengepung Benteng Santo Paolo selama lima tahun. Akhirnya pada tahun 1575, Portugis menyerah dan diusir dari Ternate. Pada tahun 1578, Portugis menduduki Timor Timur. 

Sultan Baabullah berhasil meluaskan wilayahnya sampai antara Sulawesi dan Papua, serta pulau-pulau di antara Mindanao (Filipina Selatan) sampai Bima di Nusa Tenggara. Wilayahnya mencapai sekitar 72 pulau. la wafat pada tahun 1853 dan digantikan putranya, Sahid Berkat. 

Oleh karena rakyat Maluku sangat membenci Portugis, maka kedatangan Belanda di Maluku pada tahun 1605 disambut dengan baik. Dengan mudah Belanda mendapat izin untuk mendirikan pangkalan di Ambon Ternate, Tidore, dan Halmahera. Akan tetapi, pada masa berikutnya Belanda melaksanakan aturan-aturan monopoli yang lebih berat daripada Portugis sehingga muncullah perlawanan rakyat terhadap Belanda dalam kurun 1635-1743. Namun, perlawanan itu dapat dipatahkan. 

istana tidore
Istana Tidore via wikipedia.org

Sementara di Tidore, Sultan Jamaluddin (1753-1779) naik tahta dengan mewarisi utang sebesar 50.000 ringgit. Karena tidak mampu membayar, ia dipaksa untuk menyerahkan Pulau Seram bagian timur kepada Belanda. Hal itu ditentang oleh Kaicil Badrus Zaman dan Kaicil Nuku. Belanda segera menangkap Sultan Jamaluddin dan Kaicil Badrus Zaman. Pimpinan perlawanan rakyat Tidore kemudian digantikan oleh Kaicil Nuku, yang dinobatkan sebagai Sultan Tidore (1780-1805). 

Kerajaan Tidore meraih puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Pada masa itu, wilayah kekuasaan Tidore meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, dan sebagian Papua. Bahkan di bawah kepemimpinannya, Sultan Nuku berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda pun kalah dan akhirnya terusir dari Tidore dan Ternate. Setelah mangkat, ia digantikan adiknya, Sultan Zainal Abidin (1805-1810).

Selengkapnya
Sejarah Singkat Kerajaan Gowa Tallo (Kesultanan Makassar)

Sejarah Singkat Kerajaan Gowa Tallo (Kesultanan Makassar)

Kesultanan Makassar (atau juga biasa disebut kerajaan Gowa Tallo) adalah salah satu Kesultanan atau Kerajaan bercorak Islam yang terletak di Sulawesi Selatan. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan Islam terbesar di Sulawesi Selatan ini merupakan gabungan dari dua kerajaan yang berdiri pada sekitar abad ke 16. 

Pada awalnya, di Sulawesi Selatan berdiri beberapa kerajaan, seperti Gowa, Tallo, Luwu, Bone, dan Soppeng. Kerajaan Soppeng, Wajo, dan Bone bergabung menjadi satu dengan nama Tellum Pacceu. Demikian juga Kerajaan Gowa dan Tallo bergabung menjadi satu dengan nama Kerajaan Makassar. Bersatunya dua kerajaan (Gowa dan Tallo) yang sebelumnya berselisih ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi Kallonna. 

Dengan lokasi strategis dan potensi alam yang melimpah, Kerajaan Gowa Tallo menjadi salah satu kekuatan maritim yang dominan. Kerajaan ini mampu berkembang menjadi pusat perdagangan di kawasan timur nusantara. Hal ini pun kemudian menjadi daya tarik bagi para pedagang, baik domestik maupun pedagang asing, termasuk para saudagar muslim untuk berniaga ke wilayah ini. 

istana kerajaan Gowa Tallo
via wikipedia.org

Kerajaan Gowa Tallo menjadi kerajaan Islam karena dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Datuk Sulaiman dari Minangkabau. Setelah menganut Islam, raja Gowa, Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin. Dan raja Tallo, Kraeng Mantoaya bergelar Sultan Abdullah, dengan julukan Awalul Islam. Gowa-Tallo berkembang menjadi kesultanan yang maju karena letaknya yang strategis di tengah lalu lintas pelayaran antara Malaka dan Maluku. 

Sultan Alauddin memerintah Makassar pada 1591-1639. Pada masa pemerintahannya, pertumbuhan Islam di Gowa semakin pesat, bahkan semua rakyat akhirnya berhasil diislamkan. Selain itu, Sultan Alauddin juga berhasil mengembangkan pelayaran dan perdagangan sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Saat Belanda datang, ia juga dikenal sebagai sultan yang sangat menentang penjajahan. Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Said (1639-1653). 
Pada masa pemerintahan Muhammad Said, Makassar maju pesat sebagai bandar transit. Posisinya yang strategis juga menjadikan wilayah kerajaan ini sebagai salah satu jalur pelayaran dan pusat perdagangan terpenting di Nusantara dalam sejarah. Sultan Muhammad Said juga pernah mengirimkan pasukan ke Maluku untuk membantu rakyat Maluku yang sedang berperang melawan Belanda. Pengganti Muhammad Said ialah putranya, yakni Sultan Hasanuddin (1653-1669). 

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Makassar mencapai masa kejayaannya. la juga memperluas wilayah kekuasaannya di Nusa Tenggara seperti Sumbawa dan sebagian Flores. Dengan demikian, kegiatan perdagangan melalui Laut Flores harus singgah di Makassar. Hal itu ditentang oleh Belanda karena hubungan Ambon dan Batavia yang telah dikuasai oleh Belanda terhalang oleh kekuasaan Makassar. 

Ketegangan pun terjadi antara kerajaan Makassar dengan pihak Belanda. Demi menghadapi Belanda, Sultan Hasanuddin terjun langsung memimpin perjuangan melawan segala bentuk penjajahan. Keberanian Sultan Hasanuddin memporak-porandakan pasukan Belanda mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Oleh karena keberaniannya itulah, Belanda kemudian memberikan julukan De Haantjes van Het Osten yang berarti: "Ayam Jantan dari Timur" kepada Sultan Hasanuddin. 

Sultan Hasanuddin
via tribunnews

Guna menguasai Makassar, Belanda kemudian melakukan politik devide et impera. Kesempatan itu datang ketika pada tahun 1660, Raja Soppeng-Bone bernama Aru Palaka melakukan pemberontakan pada Makassar. Karena merasa terdesak, Aru Palaka meminta bantuan VOC. Pasukan VOC yang dipimpin oleh Cornelis Speelman menyerang Makassar dari laut, sedangkan Aru Palaka menyerang dari darat. Pasukan Makassar pun bertahan untuk mempertahankan Benteng Barombong dan Istana Sombopu. 

Pada akhirnya, Sultan Hasanuddin akhirnya dapat dikalahkan dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Di antara isi dari perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Kompeni Dagang Belanda (VOC) memperoleh hak monopoli dagang di Makassar. 

2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makassar. 

3. Makassar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya, seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makassar. 

4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Selengkapnya
Menengok Sejarah Hadirnya Stasiun-Stasiun Televisi di Indonesia

Menengok Sejarah Hadirnya Stasiun-Stasiun Televisi di Indonesia

nonton tivi
via solopos.com. 

Sebelum hadirnya youtube, televisi pernah menjadi satu-satunya hiburan tiada tanding bagi masyarakat Indonesia selama puluhan tahun lamanya. Menurut sejarahnya, keberadaan siaran televisi di Indonesia sendiri dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962 dengan diresmikannya stasiun televisi milik pemerintah, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). 

Dilansir dari wikipedia, pendirian TVRI sebenarnya mulai dirintis sejak tahun 1961, yaitu ketika pemerintah Indonesia merumuskan untuk memasukan proyek massa televisi ke dalam proyek Asian Games IV. Pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan kemudian mengeluarkan surat keputusan Menpen tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). 

Selanjutnya pada tanggal 23 Oktober 1961, ketika berada di Wina, Presiden Soekarno mengirimkan teleks agar Menteri Penerangan, Maladi menyiapkan proyek televisi sebagai berikut:
  1. 17 Agustus 1962, TVRI mengadakan siaran percobaan pada HUT RI ke-17. 
  2. 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya. 
  3. 20 Oktober keluar Kepres tentang pembentukan yayasan TVRI dengan pimpinan umum Presiden RI. 

Pada waktu itu, siaran TVRI jangkauannya masih terbatas, yaitu hanya meliputi kawasan Jakarta dan sekitarnya dengan kualitas gambar yang bisa dikatakan masih buruk. Selain itu, jumlah pemilik televisi pada saat itu juga masih terbatas sekali. Terkadang orang harus berdesak-desakkan menonton di rumah kepala desa, tetangga yang memiliki televisi atau televisi umum yang disediakan pemerintah. 

Setelah diluncurkannya SKSD Palapa pada tahun 1976, siaran televisi mulai mengalami perkembangan penting. Perpaduan antara berbagai teknologi baru, teknologi komunikasi satelit, dan terjadinya proses alih teknologi memungkinkan TVRI dapat menjangkau wilayah-wilayah di Indonesia dengan kualitas gambar yang bersih dan jelas. Pada saat yang bersamaan, pemilik televisi pun mengalami peningkatan. 

Berdasarkan data pada tahun 1969, diperkirakan terdapat 65.000 unit pesawat televisi dan pada tahun 1984 terus meningkat hingga mencapai angka tujuh juta pemilik televisi. Dalam berkembangan teknologi pertelevisian, sampai pertengahan tahun 1980-an televisi masih berwarna hitam putih. Namun, setelah itu mulai berkembang era teknologi televisi berwarna yang mulai dimiliki oleh masyarakat Indonesia. 

Seperti halnya RRI (Radio Republik Indonesia), pada pertengahan tahun 1980-an, TVRI bukan hanya sekedar media informasi, namun telah berkembang menjadi sebuah industri hiburan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, TVRI mulai tersaingi dengan kemunculan stasiun televisi swasta yang yang bukan hanya menawarkan teknologi alternatif, namun juga acara alternatif. 

Menengok Sejarah Hadirnya Stasiun-Stasiun Televisi di Indonesia
diedit dari istockphoto

Sejak masa peralihan pada tahun 1980-1990-an, pemerintah telah menerbitkan regulasi bagi industri pertelevisian yang kemudian mendorong lahirnya beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia. Perkembangan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia diawali dengan mengudaranya Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tanggal 24 Agustus 1989. 

Setelah mengudaranya RCTI tersebut, maka menyusul kemudian muncul industri stasiun televisi-televisi swasta lainnya antara lain yaitu Surya Citra Televisi (SCTV) pada tahun 1990, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada tahun 1991, Andalas Televisi (ANTV) pada tahun 1993, Indosiar pada tahun 1995, Metro TV pada tahun 2000, Trans TV pada tahun 2001, dan TV One pada tahun 2008. 
Setelah Orde Reformasi, kemunculan industri televisi swasta memang semakin tidak terbendung sebagai dampak dari kebebasan pers yang melanda Indonesia sejak reformasi tahun 1998. Bukan hanya stasiun televisi swasta yang dapat mengudara secara nasional, namun di banyak daerah mulai bermunculan stasiun televisi swasta lokal, terutama setelah memasuki tahun 2000.

Kemunculan berbagai stasiun televisi swasta itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilhat dari dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran pada tanggal 28 Desember 2002. Pada kalimat kedua pada pendahuluan Undang-Undang tersebut berbunyi ”... kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara.” Dengan dikeluarkannya undang-undang ini, tersirat kesan bahwa pemerintah memberi kebebasan kepada para penyelenggara bisnis siaran televisi dalam menayangkan berbagai macam siaran. 

Meskipun begitu, mesti dipahami pula bahwa undang-undang tersebut juga mensyaratkan agar media massa mempunyai keberpihakan kepada moral bahkan nilai-nilai agama. Sebagaimana terdapat dalam pendahuluan ”... menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral dan tata susila ... ”, hal ini berarti bahwa media massa seperti televisi, selain memiliki kebebasan juga harus memperhatikan nilai-nilai agama, moral, keadilan, dan tata susila dalam tayangan acaranya. Lebih jauh lagi, Pasal 5 undang-undang penyiaran itu juga memuat larangan terhadap isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan dan tindak asusila. 

Di samping aspek hiburan, dalam perkembangannya stasiun televisi swasta juga menyajikan siaran berita yang banyak mendapatkan perhatian pemirsa. Kondisi ini tentu telah memunculkan persaingan yang semakin besar dalam industri pertelevisian di dalam negeri. Apalagi stasiun televisi swasta telah menggunakan teknologi stasiun pemancar yang khusus dibangun di wilayah-wilayah Indonesia. Kondisi ini memungkinkan masyarakat Indonesia dapat menangkap siaran televisi swasta di rumah-rumah. Namun, di beberapa wilayah ada juga yang masih menggunakan parabola untuk menangkap siaran televisi swasta. Hal ini disebabkan belum ada atau tidak baiknya daya tangkap terhadap jaringan transmisi.

Teknologi yang dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisi swasta tentu saja telah membawa pengaruh bagi masyarakat yang lebih memilih format acara yang disajikan oleh stasiun televisi swasta, dibandingkan sajian acara TVRI. Di samping begitu terbatas pada bidang teknologi, ketergantungan politis pada pemerintah pun menjadi faktor tidak berkembangnya TVRI dari tahun ke tahun. Ketergantungan politis ini pula yang menyebabkan TVRI tidak dapat menyaingi laju perkembangan industri siaran televisi swasta.

Selengkapnya
Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi di Indonesia

Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi di Indonesia

Secara geografis, Indonesia merupakan negara maritim yang dipisahkan oleh beribu-ribu pulau. Kondisi ini tentu menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan penyebaran informasi bagi kepentingan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Meskipun teknologi komunikasi seperti telepon dan telegraf telah berkembang sejak masa kolonial, namun otomatisasi sambungan telepon lokal baru mulai dirintis pada tahun 1953. Sedangkan sambungan jarak jauh baru dilakukan pada tahun 1963. 

Sementara itu, hubungan ke luar negeri masih sangat tergantung pada radio telepon sampai tahun 1960-an. Oleh sebab itu, sistem komunikasi yang secara efektif dan efisien mampu menghubungkan dan menyebarkan informasi ke seluruh wilayah Indonesia maupun ke seluruh dunia belum dapat dilakukan secara maksimal. 

pesawat telepon
via pixabay

Dunia telekomunikasi Indonesia mengalami perubahan yang penting sejak akhir tahun 1960-an. Pembangunan jaringan telekomunikasi Nusantara yang telah dilakukan sebelumnya semakin diperluas. Jaringan gelombang mikro lintas Sumatra diselesaikan pada tahun 1975 dan jaringan gelombang mikro Indonesia Timur dapat diselesaikan pada tahun 1978.

Pada saat yang sama, muncul gagasan tentang perlunya penggunaan jaringan telekomunikasi melalui satelit, terutama untuk kepentingan hubungan dengan luar negeri. Sebagai realisasinya, Indonesia sepakat menjalin kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi internasional ITT yang kemudian mendirikan PT. Indonesian Satellite (Indosat) pada tahun 1967. 

Sampai dengan awal tahun 1970-an, hubungan telekomunikasi dalam negeri masih menghadapi berbagai macam kendala. Keberhasilan penggunaan jaringan satelit untuk hubungan luar negeri mendorong munculnya gagasan untuk memanfaatkan teknologi yang sama bagi kepentingan luar negeri. Dari berbagai pilihan yang ada, sistem komunikasi yang memanfaatkan teknologi satelit dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pada tanggal 15 Februari 1975, Indonesia akhirnya menandatangani pengadaan dua satelit, yaitu satu stasiun pengendali utama dan 40 stasiun bumi. Sebagai langkah persiapan untuk menjalankan rencana tersebut, maka pemerintah Indonesia mulai membangun sumber daya manusia dan fisik sejak tahun 1974. Beberapa orang Indonesia pun akhirnya dikirim ke luar negeri untuk mempelajari sistem komunikasi modern. Hal ini dilakukan sebagai upaya menerapkan proses alih teknologi komunikasi di Indonesia. 

Sebagai langkah selanjutnya, kemudian dibangun pusat pengendalian satelit di Cibinong Jawa Barat, yang diikuti oleh pembangunan beberapa stasiun bumi lainnya. Para pakar teknologi komunikasi Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri, bekerja sama mengoperasikan teknologi komunikasi modern yang kemudian diberi nama Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. 

Pada tanggal 8 Juli 1976, Satelit Palapa generasi pertama diluncurkan dari Cape Caneveral Florida, Amerika Serikat. Setelah berhasil mengorbit, satelit Palapa mulai berfungsi sebagai media komunikasi yang dapat menjangkau sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa negara sekitarnya pada tanggal 16 Agustus 1976. Pada waktu itu, Indonesia tercatat sebagai negara keempat yang memiliki sistem komunikasi satelit domestik setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

ilustrasi satelit
via tirto.id

Pengaruh eksistensi SKSD Palapa sangat terasa dalam bidang sistem komunikasi jaringan telepon. Satelit Palapa telah memungkinkan Indonesia membangun lebih banyak jaringan telepon nasional dan internasional secara otomatis melalui jaringan Sentral Telepon Otomat (STO). Sebelum adanya SKSD Palapa tersebut, jaringan telepon Indonesia memiliki jangkauan dan jumlah satuan sambungan yang sangat terbatas. Namun setelah beroperasinya SKSD Palapa, jumlah sambungan jaringan telepon semakin bertambah pesat. 
Sebagai contoh, sampai pertengahan tahun 1997, tercatat tidak kurang 780 kota di Indonesia telah masuk dalam jaringan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Selain itu, Indonesia juga telah masuk dalam Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang dapat menghubungkan Indonesia dengan lebih dari 200 negara di dunia. Semakin banyaknya jaringan telepon umum dan rumah tangga dengan daya jangkau wilayah yang luas meliputi kota-kota di Indonesia menjadi salah satu bukti pesatnya perkembangan teknologi pesawat telepon. 

Dalam perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia, bukan hanya luasnya jaringan telepon yang menjadi tolok ukur keberhasilan industri telekomunikasi. Akan tetapi, keberhasilan juga ditunjukkan dari mulai berkembangnya provider (penyedia) jaringan telepon seluler pada tahun 1990-an. Jaringan telepon seluler terus mengalami peningkatan, seiring penggunaan telepon nirkabel yang semakin banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. 

Di samping itu, perkembangan teknologi komputer yang dipadukan sebagai media komunikasi dan informasi melalui jaringan internet makin memperluas penggunaan satelit dalam pengembangan sistem komunikasi dan informasi. Keberadaan internet menjadikan komunikasi menjadi lebih efisien dan cepat tanpa harus menghabiskan banyak waktu dan biaya. Misalnya, dengan adanya internet, pengiriman surat, dokumen, dan informasi tidak lagi melalui pos atau faksimili, melainkan dapat menggunakan fasilitas e-mail (electronic mail) atau surat elektronik. Perkembangan jaringan internet ini telah memungkinkan penduduk Indonesia dapat mengakses informasi dan berkomunikasi, baik secara nasional maupun internasional dengan cepat dan murah.

Selengkapnya