Tari Piring, Kesenian Tradisional Asal Minangkabau Yang Memukau

Tari Piring, Kesenian Tradisional Asal Minangkabau Yang Memukau

Pernah mendengar namanya tari piring?. Ya, selain sebagai alat atau wadah untuk makan, bagi warga Sumatera Barat, piring juga bisa menjadi bagian dari khazanah kebudayaan tanah Minang lewat kesenian tari piring. Tari piring atau dalam bahasa Minang disebut "tari piriang" adalah tarian tradisional khas Minangkabau yang menampilkan atraksi menggunakan piring. Tari piring juga termasuk salah satu tarian populer di Indonesia dan kerap ditampilkan dalam berbagai ajang promosi pariwisata dan kebudayaan.

tari piring 1
via informazone.com

Sejarah Tari Piring


Tarian asal Solok, Sumatera Barat ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12, yakni ketika masyarakat Minangkabau masih menyembah dewa-dewa. Menurut sejarahnya, tari piring merupakan gambaran dari kegembiraan masyarakat Minangkabau saat memasuki musim panen. Sebagai bentuk syukur atas hasil panen yang melimpah, mereka kemudian mempersembahkan tarian ini kepada dewa-dewa agar senantiasa diberi kesejahteraan serta mendapatkan perlindungan dari segala marabahaya. 

Mereka menggunakan piring untuk membawa sesaji ke hadapan para dewa sembari menari dan meliuk-liuk. Tarian ini berkembang hingga zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit meski dengan orientasi yang berbeda. Setelah agama Islam masuk ke Sumatera Barat, tarian tidak ditinggalkan. Tari piring tetap dipertahankan meski tujuannya hanya sebagai hiburan semata. Kini, tari piring juga masih sering ditampilkan misalnya saat acara panen raya, pengangkatan penghulu, acara khitanan, pesta pernikahan, penyambutan tamu agung, dan lain sebagainya. 

Gerakan Tari Piring


Dengan segala pesonanya, tari piring menyajikan gerakan-gerakan tari dan atraksi memukau yang diambil dari langkah dalam silat Minangkabau atau Silek. Tarian ini umumnya dibawakan oleh sejumlah penari baik laki-laki maupun perempuan yang jumlahnya selalu ganjil antara 3 sampai 7 orang. Para penari biasanya mengenakan pakaian berwarna cerah dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan serta menggunakan penutup kepala.

Gerakan tari piring pada umumnya adalah meletakkan dua piring di atas dua telapak tangan. Dengan gerakan yang begitu cepat dan berpola, kedua piring tersebut kemudian diayunkan ke depan dan belakang. Dengan luwesnya, para penari bergerak cepat tanpa satu piring pun terlepas dari cengkeraman tangan mereka. Dua cincin dan dentingan piring adalah sebuah selingan bunyi pada saat jari penari diketukkan ke bagian bawah piring.
Ada sekitar 20 gerakan dalam tarian ini yang menggambarkan proses pertanian dari bercocok tanam hingga panen. Gerakan-gerakan tersebut di antaranya yaitu gerak pasambahan, gerak singajuo lalai, gerak mencangkul, gerak menyiang, gerak membuang sampah, gerak menyemai, gerak memagar, mencabut benih, bertanam, melepas lelah, mengantar juadah, menyabit padi, mengambil padi, manggampo padi, menganginkan padi, mengirik padi, menumbuk padi, gotong royong, menampih padi, dan menginjak pecahan kaca. 

tari piring 2
via steemit.com

Dari gerakan-gerakan tersebut, salah satu yang menarik perhatian penonton dan selalu ditunggu-tunggu kemunculannya adalah atraksi menggunakan pecahan piring. Pada akhir pertunjukan tari, piring-piring yang dibawa para penari biasanya akan dilemparkan ke lantai hingga pecah. Selanjutnya, salah seorang atau beberapa orang penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring tersebut. Selain atraksi pecahan piring, ada juga pertunjukan menelan api sebagai variasi dari paket tarian ini. 

Sedangkan untuk musik pengiringnya, tarian ini biasanya diiringi oleh kombinasi alat musik talempong dan saluang. Tempo alunan musik awalnya lembut dan teratur, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi lebih cepat. Seiring kemajuan zaman, pertunjukan tari piring juga kemudian diiringi musik dari alat-alat musik modern seperti keyboard.

Demikianlah sekilas tentang tari piring. Meski kini ditampilkan hanya sebatas hiburan, tari piring masih cukup populer dan hampir tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan resmi masyarakat Minangkabau. Acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan masyarakat seperti penyambutan tamu agung, pembukaan upacara adat, pagelaran, atau acara perkawinan warga juga biasa menampilkan tari piring untuk lebih memeriahkan suasana.

Selengkapnya
Teknik-Teknik Berlatih Peran dalam Drama

Teknik-Teknik Berlatih Peran dalam Drama

contoh drama
ilustrasi via amanat.id 

Pada artikel sebelumnya, kita telah belajar memahami unsur-unsur dalam drama seperti alur cerita, penokohan, perwatakan, dan latar ceritanya. Setelah memahami hal-hal tersebut, selanjutnya yaitu kita mesti mengetahui pula teknik-teknik berlatih mementaskan drama. Bagi anda yang hendak bermain drama atau menjadi seorang aktor film, pemahaman tentang teknik-teknik dalam peran sangat penting agar suatu pertunjukan drama dapat berjalan sukses seperti yang diharapkan.

Namun sebelum itu, agar lebih matang, setiap pelakon mesti melakukan pembedahan kembali atas isi teks drama yang akan dipentaskan secara bersama-sama. Tujuannya yaitu agar semua calon pemain betul-betul memahami isi naskah yang akan dimainkan mulai dari alur cerita, penokohan, dan sebagainya. Selain itu, setiap pemain juga mesti kembali membaca dan memahami secara keseluruhan naskah sehingga dapat mengenal masing-masing peran. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka tahap berikutnya yaitu mengetahui teknik-teknik berlatih drama. 

Salah satu cara menghidupkan dialog drama adalah pengekspresiannya melalui gerak dan mimik para tokoh pemain. Pengekspresian itu tentu saja harus sesuai dengan karakter tokoh yang anda mainkan. Oleh karena itu, pemahaman atas karakter tokoh sifatnya wajib. Contohnya, jika anda hendak memerankan tokoh seorang suami yang sedang memiliki masalah, maka anda juga harus memahami betul suasana jiwa tokoh tersebut. Selain itu, anda juga harus meresapi bagaimana tokoh itu berbicara, berjalan, dan perilaku-perilaku lainnya. 

Berikut ini merupakan hal-hal yang harus anda cermati pada saat berlatih menyampaikan dialog drama:
  1. Penjiwaan terhadap karakter tokoh yang diperankan. Hal ini bisa anda lakukan dengan meresapi gerak-gerik, emosi, dan sikap tokoh itu dengan cermat. 
  2. Penuturan tokoh harus diekspresikan dengan gerak-gerik dan mimik yang menggambarkan karakter tokoh yang dimainkan. Dalam hal inilah diperlukan kemampuan untuk meniru tingkah laku orang lain. 
Seorang pemain peran yang baik adalah orang yang dapat menirukan tokoh yang diperankannya dengan wajar dan apa adanya. Untuk menirukan tingkah laku orang lain, anda harus mengamati orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Anda pun perlu mengamati cara berpakaian, cara bicara, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya dari tokoh yang diperankan. Oleh karenanya tidak heran jika seorang pelaku peran biasanya melakukan riset cukup lama sebelum akhirnya berhasil dengan baik memainkan karakter yang diperankan. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam pembuatan film-film berskala besar. 

Sebagai gambaran misalnya anda akan memerankan karakter tokoh seorang kiyai, maka anda perlu memperhatikan gerak-gerik sosok tersebut dalam kehidupan nyata. Atau mungkin anda akan menirukan tokoh orang gila, maka anda pun perlu memahami tokoh itu dalam kenyataan yang sesungguhnya. Cobalah perhatikan bagaimana keseharian orang tersebut, bagaimana eskpresi wajahnya, gerak-geriknya, dan ucapannya. Dengan memperhatikan kehidupan manusia sehari-hari secara langsung, hal itu akan banyak membantu anda dalam memainkan suatu peran. 

Untuk mendukung hal tersebut, ada beberapa teknik penghayatan yang dapat kita lakukan dalam melatih kemampuan menghayati suatu peran, antara lain sebagai berikut:
  • Konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran dan perhatian pada suatu objek. Misalnya pengonsentrasian pada sosok teman, dengan cara ini kita diharapkan dapat memahami objek itu secara lebih mendetail.
  • Imajinasi, dengan menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi. Misalnya dengan memejamkan mata, kemudian membayangkan bahwa diri anda sedang berada di sebuah pesawat yang mesinnya rusak atau dalam situasi-situasi yang lain. 
  • Tindakan fisik, yakni dengan cara melakukan latihan-latihan konkret yang mungkin dilakukan oleh seorang tokoh, misalnya duduk, berdiri, berjalan, menyemir sepatu, dan tindakan-tindakan konkret lainnya. 
Di luar teknik-teknik tersebut, terdapat beberapa latihan lainnya yang harus diperhatikan seorang pemain drama agar penampilannya dapat optimal. Latihan-latihan tersebut biasanya berkenaan dengan persiapan fisik, antara lain sebagai berikut:
  1. Olah tubuh, misalnya dengan memutar pinggul, memutar bahu, meregangkan lengan, melakukan senam mulut, atau pun mengerut-ngerutkan jidat. 
  2. Olah suara/ vokal, yakni berupa latihan yang berkaitan dengan pelafalan, intonasi, atau tempo dalam pengucapan bunyi bahasa, kata, atau kalimat. 
  3. Olah rasa, seperti penjabaran di atas yaitu latihan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi dan imajinasi.
  4. Olah ruang, yaitu kemampuan untuk mengetahui kebutuhan ruang gerak dari fragmen atau adegan. Misalnya agar tidak membelakangi penonton sehingga mereka bisa melihat ekspresi dan gerakan tubuh pemain dengan jelas.


*Sumber: Menyampaikan Dialog Disertai Gerak-Gerik dan Mimik yang Sesuai, oleh Engkos Kosasih.

Selengkapnya
Memahami Unsur-Unsur Penting dalam Drama

Memahami Unsur-Unsur Penting dalam Drama

pentas drama
ilustrasi pertunjukan drama 

Drama merupakan karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda layaknya lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan isi ceritanya, drama merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata, atau menurut istilah Aristoteles, drama merupakan peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur aktivitas nyata.

Secara umum, suatu drama biasanya meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

Tema

 
Pengertian tema dalam drama merupakan ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama. Sebagai salah satu unsur intrinsik drama, tema juga bisa dikatakan sebagai gagasan pokok dari keseluruhan isi cerita dalam drama. Tema akan menuntun jalan cerita dari awal sampai akhir sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita drama tersebut.

Alur atau Plot


Seperti juga bentuk-bentuk sastra lainnya, sebuah cerita drama harus bergerak dari suatu permulaan, melalui suatu bagian tengah, menuju bagian akhir. Dalam drama, bagian-bagian alur ini dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi (denouement).

1. Eksposisi suatu cerita menentukan aksi dalam waktu dan tempat, memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi suatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita tersebut, dan adakalanya membayangkan resolusi yang akan dibuat dalam cerita itu.

2. Komplikasi atau bagian tengah cerita, mengembangkan konflik. Sang pahlawan atau pelaku utama menemukan rintangan-rintangan antara dia dan tujuannya, atau dia mengalami aneka kesalahpahaman dalam perjuangan untuk menanggulangi rintangan-rintangan tersebut.

3. Resolusi atau denouement hendaklah muncul secara logis dari apa-apa yang telah mendahuluinya di dalam komplikasi. Titik batas yang memisahkan komplikasi dan resolusi biasanya disebut klimaks (turning point). Pada klimaks inilah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. Kepuasan para penonton terhadap suatu cerita tergantung pada sesuai-tidaknya perubahan itu dengan yang mereka harapkan. 

Baca juga: Membuat Naskah untuk Pementasan Drama atau Sandiwara

Penokohan


Dalam suatu pementasan drama, para tokoh atau pelaku drama biasanya terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu atau figuran. Pada intinya, tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Tokoh idaman (the type character). Tokoh ini berperan sebagai pahlawan dengan karakternya yang gagah, berkeadilan, atau berwatak baik (terpuji).
  2. Tokoh gagal atau tokoh badut (the foil). Tokoh ini mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain. Kehadiran tokoh ini juga berfungsi untuk menegaskan tokoh lain itu.
  3. Tokoh statis (the static character), tokoh ini memiliki peran yang tetap sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga akhir cerita.
  4. Tokoh yang berkembang, tokoh ini mengalami perkembangan selama cerita itu berlangsung. Misalnya, tokoh A yang pada awal cerita sangat setia, secara cepat berkembang dan berubah menjadi tidak setia atau menjadi orang yang berkhianat pada akhir cerita.

Latar


Latar adalah keterangan mengenai ruang dan waktu. Penjelasan latar dalam drama dapat disisipkan pengarang pada pertunjukan. Petunjuk tersebut lazim disebut dengan kramagung. Dalam pementasannya, latar dapat dinyatakan dalam tata panggung ataupun tata cahaya. Selain itu, latar juga dapat dinyatakan melalui percakapan para tokoh di dalamnya.

Bahasa


Bahasa tidak hanya media komunikasi antartokoh. Dalam drama, bahasa juga bisa menggambarkan karakter tokoh, latar, ataupun peristiwa yang sedang terjadi. Bahasa digunakan melalui kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam percakapan cerita drama.

Amanat Drama


Sebagai sebuah karya sastra, suatu drama juga hendaknya mengandung pesan yang disampaikan pengarang kepada penonton. Pesan inilah yang biasa disebut dengan amanat drama. Amanat drama atau pesan tersebut dapat disampaikan melalui peran para tokoh dalam cerita drama.

Perlengkapan


Pertunjukan drama pastinya membutuhkan segala persiapan dan kelengkapan untuk mendukung terselenggaranya drama agar dapat berjalan dengan baik. Apabila drama itu dipentaskan, sejumlah fasilitas diperlukan sebagai pelengkap cerita. Beberapa di antaranya yaitu seperti fasilitas panggung, kostum, pencahayaan, sistem akustik, dan sebagainya.

Selengkapnya
Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

kalender jawa
via kompas.com 

Kalender Jawa (Penanggalan Jawa) adalah sistem penanggalan yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (Raja Mataram Islam) yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645 M. Kalender ini memakai dua siklus hari yaitu siklus mingguan (saptawara) yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi/manis). Keistimewaan penanggalan ini yaitu merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Islam, Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Keberadaan kalender Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan Agung, Raja Mataram terbesar yang memiliki gelar lengkap Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Di bawah pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaannya. Berbagai aspek seni budaya berkembang dengan pesat baik seni tari, seni pahat, seni suara dan seni sastra. Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa juga turut berkembang pesat, salah satunya yaitu dengan terciptanya kalender Jawa. 

Pada masa itu, sistem penanggalan ini digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai wilayah pecahannya yang mendapat pengaruh Mataram. Sang Raja Mataram, Sultan Agung, memang dikenal sebagai seorang raja yang berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, beliau menghendaki adanya sistem penanggalan tersendiri bagi orang Jawa yang dihasilkan dari perpaduan antara kebudayaan asli jawa, kebudayaan Hindu/ Budha (India), dan kebudayaan Islam. 

Sebelum tahun 1633 Masehi, Kesultanan Mataram menggunakan Kalender Saka yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh syamsiah), yang merupakan perpaduan perhitungan kalender jawa dengan kalender Hindu. Sementara saat agama Islam telah semakin berkembang di Jawa, masyarakat pesantren biasa menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada peredaran bulan (tarikh Qomariyah). 

Sultan Agung bermaksud memadukan tradisi masyarakat kejawen yang masih menggunakan Kalender Saka dengan tradisi pesantren yang sudah menggunakan Kalender Hijriah. Oleh karena itulah sejak tahun 1633 M (1555 Saka) Sultan Agung merubah kalender Saka menjadi kalender Hijriah yang dipadukan dengan tradisi-tradisi Jawa. Perubahan sistem kalender ini juga dimaksudkan agar hari-hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri dan Idul Adha yang biasa dirayakan di keraton Mataram (biasa disebut Grebeg) dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sesuai dengan ketentuan dalam kalender Hijriah. 

Pada waktu itu, kalender Saka sendiri sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu kemudian diteruskan dalam kalender Hijriah (Islam) dengan angka tahun 1555, meskipun dasar perhitungan keduanya berbeda. Saat itu, perubahan kalender di jawa ini terjadi dan mulai diberlakukan pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, dan bersamaan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. 

Ide besar Sultan Agung ini didukung oleh para Ulama dan abdi dalem keraton, khususnya para tokoh pakar yang menguasai ilmu falak atau ilmu perbintangan. Kalender ini kemudian juga diberlakukan di seluruh wilayah Kesultanan Mataram meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Blambangan). 

Sistem kalender baru ini kemudian disebut juga dengan Kalender Sultan Agung atau Anno Javanico. Adapun sekarang, kalender (penanggalan) ini lebih dikenal sebagai kalender Jawa. 

Nama-Nama Bulan dalam Kalender (Penanggalan) Jawa


Nama-nama bulan dalam kalender Jawa sebagian diambil (serapan) dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab dan sebagian lagi menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta dan Melayu. 

No.  Nama Bulan Jumlah hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud atau Rabingul awal 30
Bakda Mulud atau Rabingulakir 29
Jumadilawal 30
Jumadilakir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10  Sawal 29
11  Séla (Dulkangidah, Apit) 30
12  Besar (Dulkahijjah) 29/30


Selengkapnya
Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa

Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa

Orang Indonesia memang dikenal banyak memegang teguh kepada hal-hal yang berbau mitos, mistis, dan cenderung bersifat supranatural. Meski kini zaman sudah semakin modern, kepercayaan tentang hal-hal semacam ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari masyarakat Indonesia. Salah satu yang banyak dipercayai dan ditakuti keberadaannya oleh banyak orang yaitu terkait keberadaan hantu. 

hantu medi
ilustrasi via pixabay

Istilah hantu, atau orang jawa menyebutnya medi, memedi, dhemit, atau lelembut sebetulnya merujuk pada pengertian yang sama, yaitu makhluk tak kasat mata yang menampakkan diri (dhemit kang ngaton). Merujuk dari situs tanya jawab quora, kata memedi mungkin berasal dari akar kata dalam bahasa jawa 'wedi' yang artinya takut, sehingga memedi bisa diartikan "yang menakut-nakuti". Adapun dhemit atau dhedemit mengandung arti 'yang misterius, tidak kelihatan, yang bisa tiba-tiba hilang atau muncul'. Sedangkan lelembut artinya sama dengan 'makhluk halus', berasal dari akar kata 'lembut' yang artinya halus. 

Beberapa tahun lalu, di tayangan televisi kita pernah menjadi tren ketika beberapa stasiun tv berlomba-lomba menayangkan acara bertema hantu atau setan di televisi. Tidak hanya berwujud cerita atau sinetron, tapi berupa liputan langsung seperti acara Dunia lain, Gentayangan, Percaya Nggak Percaya dan lain sebagainya. Entah apa yang menjadikan media elektronik kita saat itu ramai-ramai membuat tayangan seperti itu. 

Acara-acara serupa memang kini mulai jarang ditemui di televisi. Namun sebagai gantinya, tayangan-tayangan bertema hantu justru kini biasa dijumpai di youtube. Seiring mudahnya orang membuat channelnya sendiri di layanan video ini, banyak orang yang mencari uang di dalamnya dengan membuat video-video penampakan hantu, entah itu real atau hanya dusta semata. Bahkan tidak jarang, 'hantu-hantu' tersebut adakalanya hanya dijadikan sebagai bahan lawakan untuk menarik perhatian orang agar menonton video-video tersebut. 

Berbicara tentang hantu, memedi atau semacamnya, dalam kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa roh, jin, setan, dan raksasa umumnya dianggap jahat, dan orang jawa menyebutnya memedi. Setan juga biasa disebut dhemit, kalau berwujud raksasa disebut denawa atau buto. Masyarakat mengenal lebih banyak roh jahat ketimbang roh suci, walaupun dalam hal ini masih menjadi kontroversi.

Ahli kebudayaan asal Belanda, Van Hien mengumpulkan 87 sebutan bagi roh dan 17 jenis setan, yang satu persatu diterangkan menurut wujud, tempat, kegemaran, dan sifat umumnya sebagaimana gambaran dari masyarakat. Koentjaraningrat sendiri merasakan kesulitan ketika menggolongkan jenis roh dan setan yang dipercaya oleh manusia, sehingga Budayawan ini kemudian membagi menurut sifat umumnya seperti setan darat, setan bisu, setan iblis, dan juga setan laki-laki buruk rupa. Adapun wewe digambarkan sebagai setan perempuan dengan rupa sangat buruk. 

Sebaliknya, ada juga setan-setan perempuan cantik kinyis-kinyis, contohnya jenis kuntilanak, biasanya muncul di jalan-jalan sepi untuk menggoda atau memikat laki-laki yang lewat. Kalau Sundel bolong, sifatnya hampir sama dengan kuntilanak yaitu berwujud hantu cantik dengan punggung bolong (berlubang). 

Masih ada lagi jenis setan mirip anak kecil atau cebol, yaitu tuyul dan setan gundul, biasanya berwujud bocah nakal. Lainnya lagi yang lebih seram seperti hantu banaspati yang bisa menyemburkan api. Kalau setan usus mempunyai ciri perut berlobang sehingga isi perut keluar semua.

Juga ada jenis setan setengah manusia setengah hewan, antara lain peri perempuan cantik berkaki kuda, atau Nyai Blorong perempuan cantik dimana badan atas berwujud manusia tapi badan bagian bawah berwujud ular. Ada juga Ki blorong, jenis setan ular laki-laki.

Orang jawa juga mengenal Jrangkong yaitu setan berwujud rangka manusia, thetekan atau setan yang tulang-belulangnya seperti hendak copot sehingga bunyi ketika berjalan, perempuan seklebatan bayangan putih, dan jenis kemamang atau lampor seperti api terbang dimana orang-orang yang tidak tahu biasanya menganggapnya gejala alam. Atau ada juga genderuwo yaitu hantu bertubuh besar, kulit berwarna hitam kemerahan dan tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuhnya. 

Hasil penelitian Koentjaraningrat tersebut memang tidak bisa disebut barang baru lagi. Malahan penemuan dan klasifikasi dari Kreemer dan Van Hien, usianya hampir lebih dari satu abad lalu. Ahli kebudayaan asal Belanda itu sampai sekarang buku-bukunya masih dirujuk untuk membandingkan hasil penelitian budayawan kita terkait hal ini dengan penambahan di sana-sini untuk disempurnakan.

Walaupun begitu, kepercayaan jika jenis memedi (hantu) bisa merasuk dalam raga manusia sehingga menjadikan kesurupan sebagaimana dijumpai pada masyarakat kita sepertinya memang tidak bisa dikikis. Beberapa orang percaya jika ada orang kesurupan jin/ hantu yang bisa menyembuhkan adalah seorang dukun atau paranormal.

Adapun hantu seperti tuyul, Nyi Blorong, dan Ki Blorong biasanya dipercaya bisa membantu mencari pesugihan. Namun sebagai gantinya, hantu atau setan-setan tersebut akan meminta tumbal dari orang-orang yang memuja dan dibantu mengumpulkan harta dunia tersebut.

Hingga kini, jika ada orang mati dengan cara tidak sewajarnya, santer kerap kita mendengar ia akan menjadi hantu berwujud pocongan, kuntilanak, dan lain-lain. Maka tidak mengherankan, khususnya di wilayah pedesaan, orang-orang takut keluar malam setelah maghrib jika salah satu warganya ada yang meninggal dengan tidak wajar.


*Artikel di atas dikutip/ diterjemahkan dari tulisan Ir. Agung Sujadi dalam majalah Panjebar Semangat (18/2004, 1 Mei 2004) dengan beberapa perubahan dan penambahan yang disesuaikan.

Selengkapnya
Indahnya Tari Merak, Tari Kreasi Baru Asal Jawa Barat

Indahnya Tari Merak, Tari Kreasi Baru Asal Jawa Barat

Anda pastinya tahu burung merak, burung yang terkenal cantik ini memang banyak memberikan inspirasi bagi terciptanya berbagai hasil kreasi manusia, salah satunya yaitu seni tari. Masyarakat Jawa Barat tentu mengenal tari merak, salah satu jenis tari modern yang isinya juga merupakan gambaran dari tingkah laku kehidupan sang burung merak. Tidak hanya di tingkat lokal, tarian ini juga semakin dikenal masyarakat luas seiring ditampilkannya di berbagai event baik tingkat lokal maupun nasional.
 
tari merak
via indonesiakaya.com

Sejarah Tari Merak


Tari merak bukanlah jenis tarian klasik tradisional, melainkan tari kreasi baru (kontemporer) atau tari modern yang diciptakan oleh seorang seniman asal Bumi Pasundan bernama Raden Tjetjep Soemantri pada sekitar tahun 1950 an. Meski demikian, karena keindahan gerakannya, tarian ini telah menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat dan telah dikenal luas lewat berbagai event, baik tingkat nasional maupun internasional yang menampilkan kesenian tarian ini.
 
Terinspirasi dari kehidupan burung merak, Raden Tjetjep Soemantri yang juga merupakan seorang koreografer menciptakan gerakan-gerakan tari ini hingga akhirnya terciptalah nama tari merak. Pada dasarnya, gerakan dalam tari merak merupakan implementasi dari tingkah laku keseharian burung merak, terutama tingkah laku burung merak jantan ketika hendak memikat betinanya. Burung merak jantan biasanya memperlihatkan keindahan bulu ekornya untuk menarik perhatian burung merak betina. Hal ini juga terlihat sebagaimana tampak dalam gerakan tari merak. 

Dalam perkembangannya, tari merak telah mengalami beberapa perubahan atau penambahan koreografi dari gerakan aslinya. Tarian ini kini juga sering ditampilkan secara berpasang-pasangan sehingga terlihat enerjik dan semakin menarik. Masing-masing penari berperan sebagai burung merak jantan dan burung merak betina yang dengan gemulai menggerakan tubuhnya layaknya tingkah laku burung merak. Keberadaan musik pengiring gending macan ucul juga semakin melengkapi indahnya pertunjukan tarian ini. 

Kostum dan Aksesoris Tari Merak


Kostum atau busana yang digunakan dalam tari merak umumnya memiliki motif seperti burung merak, yakni berwarna biru, hijau dan hitam. Selain itu, kostum juga dilengkapi dengan berbagai aksesoris lainnya seperti sepasang sayap yang bisa dikembangkan dan hiasan mahkota di bagian kepala. Sebagai gambarannya, properti atau aksesoris yang digunakan dalam tari merak dapat dirinci sebagai berikut:

Mahkota (Siger) 

Mahkota (siger) terdiri dari berbagai aksesoris berupa pernak-pernik dan payet-payet dengan warna beragam yang terlihat glamour saat terkena sorotan lampu. 

Sesuping

Sesuping adalah aksesoris untuk hiasan telinga seperti halnya dijumpai pada kostum wayang orang. 

Garuda Mungkur

Garuda mungkur adalah aksesoris untuk hiasan sanggul yang dipasang pada bagian belakang rambut penari merak jantan.

Apok

Apok merupakan aksesoris berupa kain memanjang yang dipakai melingkar untuk menutupi bagian leher hingga dada penari. 
Penutup Dada

Aksesoris ini merupakan kain yang digunakan untuk menutupi bagian dada layaknya kemben. Kain ini dilingkarkan ke bagian tubuh penari dari bagian dada hingga ke bawah perut.

Sayap

Berbeda dengan selendang, sayap yang dipakaikan pada penari merak dibentuk mirip seperti sayap burung merak yang dapat dikembangkan dengan corak warna-warni yang sangat indah. 

Sabuk

Sabuk merupakan kain yang berfungsi sebagai ikat pinggang yakni untuk mengencangkan busana yang dipakai penari. 

Selain yang disebut di atas, aksesoris-aksesoris lainnya dalam tari merak yaitu sampur, kilat bahu, gelang dan rok.

Pementasan Tari Merak


tari merak 2
via blogkulo.com

Dalam setiap pementasannya, tari merak selalu dapat menarik perhatian yang menyaksikannya karena keunikan, keindahan dan keluwesan tarian yang ditampilkan. Tari merak biasa ditampilkan oleh tiga penari atau lebih yang menari secara berkelompok. Masing-masing penari berperan sebagai burung merak jantan dan betina yang menari sesuai dengan iringan musik gending yang menyertainya. Gerakan burung merak yang anggun dan mempesona dapat terlihat dari gerakan para penari yang menari dengan penuh keanggunan dan keceriaan. 

Bagi warga Jawa Barat, Tari ini sering dipentaskan saat acara hajatan pernikahan yakni untuk menyambut pengantin pria atau sebagai hiburan untuk para tamu yang hadir dalam acara pernikahan. Selain itu, tari merak juga sering ditampilkan pada saat penyambutan tamu-tamu penting yang datang berkunjung. Bukan itu saja, kini tari merak juga sering ditampilkan dalam berbagai event dan festival baik tingkat nasional maupun internasional sehingga tarian ini juga semakin dikenal di mata dunia internasional. 

Selengkapnya
Melestarikan Kesenian Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Melestarikan Kesenian Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Kebudayaan jawa yang adiluhung mulai sukar ditemui di zaman yang seperti sekarang ini. Kemajuan zaman hampir-hampir tidak bisa lagi dikendalikan. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) setiap tahun juga semakin berkembang. Di mana saja kini sudah ada piranti yang disebut internet, termasuk di desa-desa internet juga sudah menjadi barang lumrah.

Ironisnya, para generasi muda malahan lebih suka belajar budaya asing yang katanya lebih tren dan gaul. Sedangkan budaya bangsa yang adiluhung malah dijauhi dan disingkiri. Anak remaja zaman sekarang seakan tidak peduli terhadap warisan luhur yang semakin memprihatinkan. Budaya-budaya yang harusnya dipelajari oleh mereka malah tidak dijamah sama sekali. Sementara di sisi lain banyak turis asing justru sangat menyukai terhadap budaya jawa.

pagelaran wayang

Budaya jawa khususnya wayang kulit semakin menyusut penggemarnya. Keadaan yang seperti ini tentu sangat miris dan membuat prihatin. Wayang kulit yang bisa menjadi tuntunan dan tontonan harusnya bisa menarik perhatian para kaum muda, jangan sampai dianggap kuno dan membosankan. Jika generasi muda sudah tidak mau nguri-uri budayanya sendiri, lantas siapa yang bakal mengembangkan budaya tersebut?

Pertanyaan tersebut rasa-rasanya seperti menggugah para penggiat budaya supaya ikut mendukung kebudayaan jawa agar tetap bisa lestari. Untuk menyemarakkan dan mengembangkan kebudayaan jawa, terutawa wayang purwa memang tidak gampang. Semua harus bekerja sama saling bahu membahu mendukung hal ini supaya bisa terlaksana.

Wayang kulit adalah salah satu sarana untuk pembelajaran. Banyak hal penting dan bermanfaat yang bisa didapatkan ketika menonton pagelaran wayang kulit. Contoh saja perihal pengetahuan tentang wayang, karakter-karakternya, bahasa yang digunakan, ajaran budi pekerti luhur dan masih banyak lagi lainnya. Tidak sedikit faedah yang bisa dipetik dari kesenian wayang kulit.

pandawa lima

Wayang juga bisa sebagai sarana tuntunan, maksudnya bahwa wayang digelar tidak hanya sebagai hiburan, tapi di dalamnya juga terkandung pendidikan atau pengajaran dan tuntunan luhur. Cerita wayang banyak terkandung pengajaran dan nasehat luhur yang penting bagi kehidupan manusia. Maka dengan adanya pagelaran wayang tersebut pengajaran-pengajaran atau tuntunan dalang dapat menyentuh perhatian pemirsanya. 

Maka para sesepuh, para penggiat budaya, dan para generasi muda yang masih peduli terhadap budaya jawa khususnya wayang kulit mesti bersama-sama nguri-uri wayang dengan cara menggelar rutin wayang purwa dengan harapan wayang purwa dapat terus lestari. Di beberapa kota di Jawa yang kental dengan budaya jawanya, pegelaran wayang kulit masih sesekali rutin diselenggarakan. Seperti halnya di kota Solo, sering kali dalang-dalang dari berbagai daerah tua, muda, semua berkumpul untuk memainkan lakon wayang sebagai sarana agar kesenian wayang kulit tetap lestari. 

Selain mengadakan pagelaran wayang, upaya untuk terus melestarikan budaya wayang kulit juga bisa dilakukan dengan cara menceritakan kisah dan mengenalkan seputar wayang kepada siswa-siswa sekolah. Dengan cara tersebut maka anak/siswa itu dapat mengenal wayang sejak dini atau mulai saat masih kecil. Cara lainnya yang bisa digunakan yaitu dengan mengadakan festival dalang cilik. Dengan cara tersebut maka wayang kulit bakal bisa tetap lestari. 

Bagi sebagian orang, wayang adalah seni yang indah dan elok. Meski keadaan zaman semakin maju, budaya asing juga sudah merasuki budaya kita, jangan sampai sekali-kali kita tidak peduli terhadap budaya milik bangsa sendiri. Wayang yang sudah diakui UNESCO bisa menjadi cara yang ampuh untuk menyemarakkan kembali budaya tersebut di segenap penjuru Nusantara bahkan hingga mancanegara. 

Selengkapnya
Kitab-Kitab Sastra Sejarah Pada Masa Kerajaan Islam Nusantara

Kitab-Kitab Sastra Sejarah Pada Masa Kerajaan Islam Nusantara

Pada zaman Kerajaan-kerajaan Islam berdiri di bumi Nusantara, bidang kesusastraan berkembang terutama di daerah-daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Kebanyakan kitab-kitab sastra pada masa ini merupakan gubahan baru sehingga naskah yang ada kebanyakan juga merupakan naskah yang tidak sezaman sehingga hasil kesusastraan pada zaman ini tidak dapat diurutkan secara kronologis menurut tahun pembuatannya. 

kitab sastra sejarah islam nusantara
via islamindonesia.id

Sesuai dengan zamannya, maka hasil-hasil kesusastraan pada masa ini banyak mendapat pengaruh dari Persia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya hikayat-hikayat yang mendapat pengaruh dari Persia, seperti cerita Bayan Budiman dan cerita 1001 malam. 

Hikayat merupakan karya sastra yang isinya beraneka ragam. Bisa dikatakan bahwa apa saja bisa digubah menjadi hikayat, karena pada hakikatnya hikayat itu merupakan cerita dongeng belaka. Banyak hal bersifat supranatural ditemui dalam hikayat. Meskipun begitu, sering kali pula tokoh utama dalam hikayat tersebut merupakan tokoh sejarah. 

Ada pula hikayat yang memang dimaksudkan sebagai sejarah tradisional. Di masyarakat Melayu, kisah semacam ini dikenal sebagai sejarah, silasilah (silsilah) dan tambo, seperti misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Silisilah Perak, dan lain sebagainya.

1. Hikayat Raja-Raja Pasai


Melihat kandungan isinya, kitab hikayat ini dapat digolongkan sebagai babad karena kitab ini dimaksudkan sebagai kitab sejarah tradisional. Isi pokok kitab ini berisikan tentang riwayat Kerajaan Pasai sejak didirikan oleh Malik Ash Shaleh hingga ditaklukannya oleh Kerajaan Majapahit. Tidak terdapat angka tahun di dalamnya. Keseluruhan kisahnya diuraikan layaknya cerita dongeng sehingga antara fakta dan imajinasi pengarangnya sulit dibedakan. 

Kisahnya diawali dengan anak perempuan yang dilahirkan dari sebatang bambu. Setelah dewasa, anak ini menikah dengan seorang putra bangsawan yang waktu kecil diasuh oleh seekor gajah. Bagian yang mengisahkan raja-raja Pasai pun lebih berupa cerita roman daripada sejarah. 

Tentang penyebab penyerangan oleh Majapahit, dikisahkan bahwa seorang putri Majapahit, Raden Galuh Gumarancang jatuh cinta kepada Tun Abdul Jalil putra Raja Pasai. Ia datang sendiri ke Pasai untuk menjemput kekasihnya. Raja Pasai tidak menyetujui perkawinan itu. Raja kemudian memerintahkan untuk membunuh putranya dan membuang mayatnya ke laut. Ketika sang Putri mengetahui hal itu, ia pun menenggelamkan diri bersama perahunya untuk bersatu dengan sang Pangeran. Hal ini membuat kemarahan Raja Majapahit sehingga ia mengirimkan armadanya ke Pasai untuk menghukum Raja Pasai. 

2. Sejarah Melayu (Sulalat us Salatin) 


Kitab ini ditulis oleh bendahara Tun Muhamad, Patih Kerajaan Johor, atas perintah dari Raja Abdullah, adik dari Sultan Alaudin Riayat Syah III. Kitab ini benar-benar dimaksudkan sebagai sejarah. Meskipun di dalamnya banyak ditemukan kisah-kisah supranatural, tetapi secara garis besar merupakan uraian peristiwa yang benar-benar terjadi. Penulisannya dimulai sejak tahun 1612 hingga tahun 1615.

Cerita diawali dari riwayat Iskandar Dzulkarnain, ketika seorang keturunannya tiba di bukit Seguntang dekat Palembang dan menjadi Raja. Kerajaan ini kemudian pindah ke Singapura terus pindah ke Malaka. Selanjutnya diceritakan Kerajaan Malaka sejak berdirinya sampai ketika jatuh ke tangan Portugis. Di dalamnya juga diutarakan tentang raja-raja Kerajaan Malaka, keadaan negara dan rakyatnya, serta adat istiadatnya. Pada bagian terakhir kitab ini dibentangkan nasib dan usaha raja-raja Malaka untuk menegakkan kembali kerajaan yang lama di Johor. 

3. Bustan us-Salatin


Kitab ini dikarang oleh Nurudin ar-Raniri atas perintah dari Sultan Iskandar II pada tahun 1638 Masehi. Selain berisi tentang ajaran-ajaran keagamaan dan kesusilaan, kitab ini juga berisi tentang sejarah yang dalam banyak hal dapat dipercaya. 

kitab bustanus salatin
via eramuslim.com

Bagian pertama kitab ini menguraikan tentang penciptaan bumi dan langit, tentang Nur Muhammad, Lauh al-Mahfudz, Qalam, Malaikat, dan Sidrat ul-Muntaha. Kemudian dilanjutkan dengan kisah para Nabi dimulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad, cerita tentang raja-raja Mesir pada zaman Iskandar Agung, riwayat Nabi Muhammad SAW dan Khulafa ur-Rasyidin, sejarah Islam pada zaman bani Umayyah, dan bani Abbasiyyah, sejarah raja-raja Islam di Delhi, sejarah raja-raja Malaka dan Pahang, serta sejarah raja-raja Aceh. 

Bagian terakhir dalam kitab ini menguraikan tentang raja-raja yang adil, pegawai yang cakap, raja-raja yang tawakkal, orang-orang yang shaleh, orang-orang yang beramal mulia, dan para pahlawan. 

4. Babad Tanah Jawa


Kitab ini menguraikan sejarah Pulau Jawa yang dimulai dari Nabi Adam sampai dengan tahun 1647 kalender Jawa (sama dengan 1722 Masehi). Dikisahkan bahwa Nabi Adam mempunyai anak yaitu Nabi Sis, Sis mempunyai anak Nurcahya, Nurcahya mempunyai anak Nurasa, Nurasa mempunyai anak Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang mempunyai anak Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Tunggal mempunyai anak Batara Guru. Batara Guru adalah raja yang bertahta di Suralaya dan mempunyai 5 anak, di antaranya yaitu Batara Wisnu yang menjadi raja pertama di pulau Jawa dengan gelar Prabu Set. 

Kisah permulaan ini tentunya sangat sulit untuk diterima sebagai kisah sejarah. Begitu pula kisah-kisah selanjutnya yang menguraikan raja-raja dan kerajaannya, seperti Pajajaran dan Majapahit. Mulai dari Kerajaan Demak sampai mendekati abad ke 18 semakin banyak kisah sejarahnya. Akan tetapi, secara keseluruhan lebih berupa cerita dongeng daripada kisah sejarah yang sebenarnya. Walaupun demikian, kitab ini banyak menyebutkan tentang angka-angka tahun yang memungkinkan untuk dicocokkan dengan sumber-sumber lain. 

5. Hikayat Hasanuddin


Hikayat Hasanuddin juga disebut dengan Daftar Sejarah Cirebon dan Kitab Silsilah Segala Maulana di Tanah Jawa. Kitab ini merupakan saduran dari kitab sejarah Banten Rante-rente. Isinya mengisahkan tentang para Wali di Jawa serta para keturunan mereka. Di antara para wali tersebut yang paling terkenal adalah Pangeran Ampel Denta (Sunan Ampel) dan Sunan Gunung Jati. Di dalam kitab ini juga diceritakan tentang raja-raja Banten sejak Hasanuddin sampai dengan Sultan Abdul Mufakhir. Juga dimuat kisah dan silsilah Sunan Gunung Jati di Cirebon. 

6. Babad Giyanti


Kitab ini dikarang oleh Yasadipura. Babad Giyanti mengisahkan pecahnya perang kerajaan Mataram yang berlangsung pada tahun 1755 dan tahun 1757. Konflik ini diakhiri dengan pecahnya kerajaan Mataram menjadi Surakarta di bawah pemerintahan Paku Buwono III, Yogyakarta dipimpin oleh Hamengku Buwono I, dan Mangkunegaraan yang diperintah oleh Mangkunegoro I. Secara keseluruhan uraian kitab ini merupakan kisah sejarah, walaupun perlu dikritisi adanya tambahan-tambahan oleh pengarangnya sendiri. (disadur dari buku Sejarah, oleh Prof. Dr. M. Habib Mustopo dkk.) 

Selengkapnya