7 Kearifan Lokal Bidang Pertanian di Indonesia

7 Kearifan Lokal Bidang Pertanian di Indonesia

Indonesia memang kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Beberapa bentuk kearifan lokal juga ikut berperan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Salah satunya yaitu kearifan lokal dalam bidang pertanian.
 
lahan pertanian
via istockphoto

Ada banyak bentuk kearifan lokal dalam bidang pertanian yang bisa ditemui pada sejumlah wilayah di seluruh penjuru Nusantara. Sebagai tambahan wawasan kita, berikut ini beberapa contoh kearifan lokal dalam bidang pertanian yang ada di Indonesia. 

1. Subak di Bali


Subak adalah suatu organisasi masyarakat adat yang mengelola irigasi untuk sistem pengairan. Subak memiliki karakteristik sosio-agraris-religius yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan ajaran Hindu Bali yang menekankan pada keseimbangan dan keharmonisan antar manusia, alam, dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sistem pengairan ramah lingkungan seperti ini juga terdapat di daerah lain seperti Dharma Tirta di Jawa Tengah, Mitracai di Jawa Barat, dan Tolai di Sulawesi Tengah. 

2. Nyabuk Gunung


Nyabuk gunung dapat dikatakan memberi sabuk pada gunung. Pengertian nyabuk gunung pada dasarnya adalah sistem pertanian dengan membuat teras sawah mengikuti kontur gunung (contour planting). Sistem pertanian ini dilakukan di lahan pertanian atau perkebunan di lereng-lereng perkebunan. Wilayah yang menggunakan sistem nyabuk gunung contohnya adalah petani di lereng gunung Sindoro dan Sumbing. Di Jawa Barat juga terdapat sistem pertanian serupa yang disebut ngais gunung, sedangkan di Bali disebut sengkedan. 

3. Pranoto Mongso


Pranoto mongso (penentuan musim) merupakan waktu musim yang digunakan oleh para petani sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Pranoto mongso mengikuti tanda-tanda alam berdasarkan mongso (musim) dalam bercocok tanam. Petani akan memulai pertanian dengan menggunakan hitungan kalender Jawa dan melihat tanda-tanda alam. Oleh karena itu, tanah tidak jenuh dan memberi waktu kepada tanah untuk mengumpulkan unsur hara. Melalui perhitungan pranoto mongso, alam dapat menjaga keseimbangannya. 

4. Tradisi Bondang di Asahan


Dalam bahasa Melayu, Bondang dapat berarti lahan. Bondang adalah kegiatan pertanian masyarakat desa Silo Lama di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Tradisi Bondang adalah suatu konsep pertanian yang bersandar pada kearifan lokal dimana petani diajarkan cara bertani tanpa menggunakan bahan-bahan kimia untuk pupuk maupun pestisida yang dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan kerusakan lingkungan. Selain itu, para petani juga tidak tergoda untuk menggunakan kemajuan teknologi pertanian sehingga keseimbangan alam dan lingkungan betul-betul terjaga.

5. Tradisi Masyarakat Undau Mau di Kalimantan Barat


Kearifan lokal pada masyarakat Undau Mau tercermin dalam penataan ruang pemukiman, klasifikasi hutan, dan pemanfaatannya. Aturan adat pada masyarakat Undau Mau mengharuskan kegiatan membuka hutan (rimbo) harus seizin dari ketua adat. Keberadaan hutan bagi mereka adalah penopang kehidupan. Dalam mengolah lahan pertanian, masyarakat di sana mengenal sistem bera. Sistem ini ramah lingkungan karena lahan pertanian yang telah terpakai dibiarkan hingga mencapai kurang lebih 7-10 tahun. Hal ini bertujuan agar tanah menjadi subur kembali. 

6. Mattudang-Tudangeng di Soppeng


Mattudang-Tudangeng adalah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Soppeng Sulawesi Selatan dalam sektor pertanian. Sebelum masuk musim tanam, masyarakat Soppeng akan menggelar acara Mattudang-Tudangeng (Musyawarah) untuk mempersiapkan segala sesuatu terkait budidaya yang akan dilakukan. Biasanya acara tersebut juga dirangkaikan dengan acara syukuran/hajatan lewat pembacaan kitab Barzanji atas hasil yang dicapai musim tanam sebelumnya. Bentuk dan model musyawarah, hajatan/syukuran di tiap daerah di Soppeng biasanya dibingkai sesuai budaya dan adat setempat.

7. Kebekolo di Ende, NTT


Lahan pertanian di NTT umumnya berada di wilayah bergunung dengan lereng >30% sehingga berisiko terhadap erosi dan longsor. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, masyarakat Ende memiliki kearifan lokal untuk menahan longsor yang disebut Kebekolo. Masyarakat Ende menyusun barisan kayu atau ranting yang disusun atau ditumpuk memotong lereng gunung. Tumpukan kayu/ranting ini berfungsi untuk menahan tanah yang tergerus aliran permukaan (erosi). Model konservasi ini juga dapat ditemukan di beberapa daerah lainnya di NTT seperti Blepeng di Sikka dan Brepe di Flores Timur.

Selengkapnya
Jenis-Jenis Budaya Tradisional di Indonesia

Jenis-Jenis Budaya Tradisional di Indonesia

Budaya adalah daya dari budi berupa cipta, rasa, dan karsa yang terbentuk dari berbagai unsur-unsur yang saling terkait seperti bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Adapun Budaya tradisional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keanekaragaman suku di Indonesia yang dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, dan adat pada masa lalu. 

budaya tradisional
ilustrasi via suarakutim.com

Budaya tradisional di Indonesia sangatlah beragam. Keragaman ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku-suku yang mendiami beberapa wilayah di Indonesia. Keberadaan suku-suku tersebut yang jumlahnya mencapai kurang lebih 1.200 suku tentu menunjukkan potensi kekayaan budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Secara umum, kekayaan budaya tradisional di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

Bahasa Tradisional


Bahasa tradisional atau dikenal juga dengan sebutan bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan di suatu daerah dan menjadi ciri khas masyarakat di daerah tersebut. Contohnya bahasa Jawa yang digunakan oleh suku Jawa, bahasa Sunda oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat, bahasa Melayu oleh sebagian masyarakat sekitar Riau dan sebagainya.

Kesenian Tradisional


Kesenian tradisional adalah kesenian yang berasal dari suatu daerah dan dilestarikan secara turun temurun sebagai bagian dari tradisi masyarakat yang memiliki nilai filosofi tinggi. Contohnya seperti kesenian Reog dari Ponorogo Jawa Timur, Ondel-ondel dari DKI Jakarta, kesenian Bambu gila dari Maluku, kesenian Wayang kulit dari Jawa dan lain sebagainya.

Lagu Tradisional


Lagu tradisional atau dikenal juga dengan sebutan lagu daerah merupakan nyanyian atau lagu yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Contohnya seperti lagu Apuse dari Papua, lagu Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan Selatan, lagu Rasa Sayange dari Maluku dan sebagainya. 

Tarian Tradisional


Tarian tradisional merupakan tarian khas dari daerah tertentu yang memiliki arti penting karena fungsinya sebagai sebuah penghormatan dan memiliki nilai tersendiri. Contohnya seperti tari Kecak dari Bali, tari Saman dari Aceh, tari Serimpi dari Yogyakarta, tari Pakarena dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.

Alat Musik Tradisional


Alat musik tradisional merupakan alat musik dari suatu daerah yang digunakan untuk membawakan lagu daerah atau mengiringi kesenian daerah. Contohnya seperti alat musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur, Tifa dari Maluku juga Papua, Angklung dari Sunda (Jawa Barat), Saluang dari Minangkabau (Sumatera Barat) dan sebagainya. 

Pakaian Tradisional


Pakaian tradisional merupakan pakaian atau busana khas dari suatu daerah yang berbeda dengan daerah lainnya. Contohnya seperti Baju Kurung dari Melayu (Sumatera), Ulos dari Sumatera Utara, Beskap dari Jawa, Pesa'an dari Madura, Baju Cele dari Ambon, Maluku dan sebagainya. 

Senjata Tradisional


Senjata Tradisional merupakan senjata khas dari daerah tertentu yang umumnya berasal dari tradisi para leluhur yang dahulu menggunakannya. Contohnya seperti Rencong dari Aceh, Parang Sawalaku dari Maluku, Mandau dari Kalimantan, Pedang Bara sangihe dari Sulawesi Utara dan sebagainya. 

Rumah Tradisional


Rumah Tradisional atau sering juga disebut rumah adat adalah bangunan rumah dengan ciri khas tertentu yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Contohnya seperti rumah adat Joglo dari Jawa, rumah Adat Bolon dari Batak Sumatera Utara, rumah adat Tongkonan dari Sulawesi dan sebagainya. 

Permainan dan Olahraga Tradisional


Permainan atau Olahraga Tradisional merupakan permainan atau olahraga khas yang berkembang dari daerah tertentu. Contohnya seperti Sepak Takraw dari Sulawesi, Karapan Sapi dari Madura, Gobak Sodor dari Jawa Tengah, Bola Keranjang (tipak rege) dari Aceh dan sebagainya.

Makanan Tradisional


Makanan Tradisional merupakan makanan atau kuliner khas dari suatu daerah tertentu yang berkembang dan dilestarikan sebagai kekayaan daerah tersebut. Contohnya seperti Ayam Betutu dari Bali, Ayam Taliwang dari Lombok, Ilabulo dari Gorontalo, Papeda dari Papua, dan lain sebagainya.

Selengkapnya
9 Daerah Wisata Budaya Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia

9 Daerah Wisata Budaya Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia

Selain keindahan alamnya, Indonesia juga kaya akan budaya lokal yang memiliki potensi dalam meningkatkan bidang pariwisata, salah satunya yaitu lewat pengembangan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif sebagai potensi wisata budaya tradisional bersumber dari seni budaya dan tradisi serta kearifan lokal masyarakat adat setempat. Oleh karenanya, ekonomi kreatif ini cukup berperan dalam mempromosikan sekaligus melestarikan budaya-budaya tradisional yang ada di Indonesia.

Wisata ekonomi kreatif dengan menampilkan budaya tradisional juga dapat menambah perekonomian masyarakat di samping menjaga kelestariannya. Dicuplik dari tulisan K. Wardiyatmoko, berikut ini beberapa daerah wisata budaya dalam pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. 

1. Kampung Laweyan di Solo, Jawa Tengah


batik Laweyan
via 1001indonesia.net

Sejak abad ke 14, daerah Laweyan di Solo sudah dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan pakaian. Industri batik di Laweyan konon mulai berkembang pada masa kerajaan Islam Pajang (1568-1586). Hingga saat ini, Laweyan juga masih terkenal sebagai kampung batik. Terdapat banyak pengrajin batik berskala kecil sampai menengah yang memproduksi beraneka macam kerajinan batik seperti kemeja, selendang, dan sarung.

2. Kebudayaan Batak di Tapanuli


budaya Tapanuli
via ANTARA FOTO/Nugroho Gumay

Masyarakat etnis Batak di Tapanuli, Sumatera Utara telah berhasil mengembangkan potensi budaya tradisional mereka menjadi ekonomi kreatif lewat kesenian tari tor-tor, rumah adat bolon, dan kerajinan kain ulos. Usaha kerajinan kain tenun ulos terbukti dapat meningkatkan pendapatan warga serta memperbaiki tingkat ekonomi penduduk khususnya masyarakat Tapanuli.

3. Kerajinan Suku Dayak di Kalimantan


kerajinan Dayak
via bobo.grid.id

Suku Dayak di Kalimantan memiliki hasil kerajinan tangan unik serta corak yang khas. Kerajinan tangan suku Dayak antara lain berupa tas dari anyaman rotan, kain tenun dari serat daun doyo, serta kerajinan manik-manik. Aneka kerajinan dari hasil budaya tradisional ini dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi kreatif sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat suku Dayak.

4. Tradisi Suku Toraja di Sulawesi Selatan


Rambu Solo Toraja
via sulselsatu.com

Suku Toraja telah dikenal luas akan keunikan budaya dan tradisinya seperti ritual pemakaman, rumah adat tongkonan, dan ukiran kayunya. Hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi kreatif sekaligus untuk meningkatkan potensi perekonomian penduduknya. Upacara pemakaman adat (Rambu Solo') yang berlangsung selama berhari-hari juga selalu mampu menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang berkunjung.

5. Desa Ubud di Bali


kerajinan Ubud
via balikami.com

Ubud adalah desa adat sekaligus destinasi wisata di kabupaten Gianyar, Bali yang dikenal sebagai pusat tarian dan kerajinan tradisional. Pertunjukan seni sendratari kecak dan pameran lukisan serta pameran ukiran merupakan pertunjukan yang selalu digelar setiap harinya di museum dan galeri di desa Ubud. Selain itu, kuliner khas Ubud seperti bebek bengil juga merupakan kekayaan tradisional yang dapat menjadi potensi pengembangan ekonomi kreatif bagi masyarakatnya.

6. Kampung Sade di Nusa Tenggara Barat


kain kampung sade
via kate.id

Kampung adat Sade di Lombok, NTB merupakan perkampungan suku Sasak dengan jumlah penduduk sekitar 700 jiwa. Kampung ini memiliki kebudayaan tradisional yang masih sangat dijaga kelestariannya. Di antara hasil kebudayaan tersebut misalnya yaitu kerajinan tenun ikat dan tenun songket khas suku Sasak. Hasil-hasil kerajinan tersebut juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi kreatif sekaligus untuk meningkatkan perekonomian penduduknya.

7. Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur


kampung Bena
via nttonlinenow.com

Kampung Bena adalah salah satu perkampungan megalitikum yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini memiliki kekhasan tersendiri yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Kampung adat Bena didesain berbentuk perahu dan juga dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan. Selain keunikan tersebut, kampung ini juga memiliki kerajinan tenun ikat yang dapat menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi kreatif di daerah tersebut. 

8. Pulau Morotai di Maluku Utara


pulau Morotai
via indonesia-heritage.net

Pulau Morotai di Maluku Utara memang terkenal dengan budaya tradisionalnya berupa tradisi adat (Hao Gumi) dan tarian tradisional seperti tarian cakalele, tide-tide, dan salumbe. Kekayaan tersebut merupakan budaya tradisional yang melengkapi keindahan bahari dari pulau Morotai. Selain itu, terdapat pula peninggalan sejarah Perang Dunia II seperti benteng, mobil tanker, dan museum bawah laut yang dapat menjadi nilai potensi wisata untuk pengembangan ekonomi kreatif di Pulau Morotai. 

9. Raja Ampat di Papua


festival Raja Ampat
via kompas.com

Selain terkenal akan potensi wisata alamnya, Raja Ampat juga kaya akan wisata budaya tradisional yang berpotensi untuk pengembangan ekonomi kreatif. Hal itu bisa dilihat mulai dari usaha kreatif rumahan seperti aneka barang kerajinan dan ukiran hingga penyelenggaraan festival Raja Ampat yang diadakan setiap tahunnya. Selain itu, pengembangan desa wisata juga terus dilakukan seperti di desa Yenwaupnor, Arborek, Yenbuba, Sawinggrai, dan Sawandarek di Distrik Meos Mansar Kabupaten Raja Ampat.

Selengkapnya
Tari Lilin, Kesenian Asal Sumatera Barat Yang Anggun

Tari Lilin, Kesenian Asal Sumatera Barat Yang Anggun

Selain tari piring, masih banyak kesenian unik Sumatera barat lainnya, salah satunya yaitu tari lilin. Tari lilin adalah seni tari tradisional asal Minangkabau yang biasa dimainkan saat malam hari dengan membawa lilin sebagai properti utamanya. Dahulu, tarian ini biasa ditampilkan di lingkungan istana atau pada saat acara-acara adat. Namun kini, tarian ini juga sering muncul dalam pertunjukan kesenian dan panggung-panggung hiburan. Seiring kepopulerannya, tarian ini juga telah menjadi salah satu ikon dari Sumatera Barat, khususnya masyarakat Minang. 

tari lilin

Asal Usul Sejarah Tari Lilin


Menurut asal usulnya, tari lilin muncul berdasarkan cerita rakyat masyarakat Sumatera Barat. Konon pada zaman dahulu, tersebutlah seorang gadis yang ditinggalkan oleh tunangannya untuk pergi berniaga. Pada suatu ketika, sang gadis dibuat kebingungan ketika cincin pertunangannya dengan sang kekasih hilang tiada diketahui dimana keberadaanya. Sang gadis pun berusaha mencari cincin tersebut hingga sampai larut malam. Karena gelap, ia pun menggunakan nyala api lilin yang ditaruh di atas piring kecil untuk menerangi pencarian cincin hilang tersebut. 

Sang gadis berusaha keras untuk dapat menemukan cincin berharga tersebut. Namun sayangnya, cincin yang dicari itu tiada juga ketemu. Ia pun kemudian berkeliling mengitari pekarangan rumahnya berharap apa yang dicarinya itu lekas ditemukan. Saat pencarian itu, kadang ia harus membungkuk untuk menerangi tanah. Kadang juga ia terlihat seperti sedang menengadah berdoa, atau bergerak meliuk-liuk dengan lilin tetap berada di tangannya. Gerakan-gerakan indah dari sang gadis saat mencari cincinnya inilah yang kemudian mengilhami terciptanya tari lilin. 

Tarian ini kemudian mulai dikembangkan dan dipelajari oleh gadis-gadis desa kala itu. Seiring waktu, tarian ini semakin populer dan biasa ditampilkan pada saat acara-acara adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan karunia yang didapat. Karena keanggunannya, tari lilin juga kemudian ditampilkan di lingkungan istana. Dalam perkembangannya, tarian ini juga menjadi bagian dari pertunjukan kesenian dan juga hiburan. Tari lilin seringkali diselipkan sebagai penampilan selingan pada saat prosesi acara penyambutan tamu setelah penampilan tari pasambahan.

Gerakan, Kostum, dan Musik Pengiring


Tari lilin biasanya ditampilkan oleh sejumlah penari wanita atau berpasangan (pria dan wanita). Para penari akan menari sambil membawa lilin menyala pada piring kecil yang dipegang pada kedua telapak tangan mereka. Dalam pertunjukannya, para penari tersebut akan melakukan gerakan memutar piring berisi lilin namun piring tetap berada diatas telapak tangan dan lilin tetap menyala. Gerakan ini cukup sulit karena mereka harus hati-hati agar piring tidak jatuh dan lilin tidak padam. Tarian ini juga biasanya diiringi dengan musik khas Melayu Sumatera. 

tari lilin 2
via encyclopedia.jakarta-tourism.go.id

Gerakan-gerakan dalam tari lilin cenderung lemah lembut namun juga atraktif. Dengan kelihaiannya, para penari akan memainkan lilinnya dengan cara memutar atau membolak-balik piring diikuti gerakan meliuk-liuk dari sang penari. Gerakan lemah lembut untuk menjaga agar lilin tidak padam, sementara gerakan membolak-balik piring dan meliuk-liuk menunjukkan skill atraktif dari masing-masing penarinya. Tentunya butuh kerja keras dan latihan khusus untuk dapat membawakan tarian anggun ini. 
Gerakan dalam tari piring biasanya didominasi oleh gerakan seperti mengayunkan tangan, gerakan seperti berdoa, gerakan meliuk, dan gerakan memutar badan. Selain itu, ada juga beberapa gerakan tangan yang dilakukan dalam posisi duduk. Gerakan-gerakan ini memerlukan konsentrasi penuh agar tarian ini dapat berjalan lancar. Kesemuanya ini menciptakan harmoni gerakan yang indah berpadu dengan keanggunan para penari yang meliuk-liuk dalam kilauan cahaya nyala lilin.

Sedangkan untuk busana dalam tari lilin, biasanya setiap penari mengenakan pakaian khas asal Minangkabau yakni baju yang disebut baju batabue, hiasan kepala yang disebut tangkuluak, bawahan yang disebut dengan lambak, salempang dan perhiasan berupa dukuah atau kalung, galang atau gelang dan cincin. Sementara untuk musik pengiringnya yaitu menggunakan alunan musik khas Melayu Sumatra dengan beberapa tambahan alat musik seperti accordeon, biola, gong, gitar, kenong, gendang, bonang, saxophone, dan tok-tok.

Selengkapnya
Kompaknya Tari Saman Asal Gayo, Aceh

Kompaknya Tari Saman Asal Gayo, Aceh

Dengan segala keistimewaannya, wilayah Aceh memiliki beragam kekayaan budaya yang menjadi ciri khasnya. Salah satunya yaitu kesenian tari Saman asal suku Gayo yang mendiami dataran tinggi Gayo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 24 November 2011, Tari yang populer dengan nama tarian seribu tangan (a thousand hand dance) ini juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representasi Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intagible Elements of World Curtular Heritage).

tari saman
Tari Saman via goodnewsfromindonesia.id

Asal Usul Sejarah Tari Saman


Tari Saman adalah kesenian tari asal suku Gayo yang dibawakan oleh sejumlah penari laki-laki. Dahulu, tarian ini diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman pada abad ke 14 M. Syekh Saman menggunakan tari Saman sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Gayo. Konon nama tarian ini juga diambil dari nama Sang Syekh Saman sebagai tokoh penciptanya. 

Sebelum tercipta tari Saman, masyarakat Gayo telah mengenal Pok-ane, yakni sebuah kesenian yang mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan tangan ke paha sambil bernyanyi riang. Syekh Saman kemudian memasukkan unsur-unsur Islam di dalam kesenian tersebut hingga terciptalah tari Saman. Sebagai media dakwah, tari saman mulanya hanya dipertontonkan saat peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Namun seiring waktu, tari saman juga biasa ditampilkan saat acara-acara adat atau peristiwa penting. 

Gerakan Tari Saman


Tari Saman dibawakan oleh sejumlah penari pria berpakaian khas suku Gayo dengan bilangan ganjil minimal tujuh orang. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin atau kerap disebut syekh yang akan mengarahkan gerakan-gerakan tari. Pemimpin atau syekh ini berperan penting dalam menjaga harmonisasi gerakan diantara para penarinya. Selain menjadi koreografer, syeikh ini juga bertugas menyanyikan syair lagu Saman yang biasanya dilantunkan menggunakan bahasa Gayo. 

Tari Saman memiliki dua unsur utama dalam gerakannya yaitu tepuk dada dan tepuk tangan. Dalam bahasa Gayo, gerakan-gerakan ini disebut dengan nama gerak guncang, kirep, lingang dan surang-saring. Konsentrasi dan kekompakan menjadi kunci utama dalam tarian ini. Keseragaman formasi dan ketepatan waktu merupakan suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, sehingga para penari harus memiliki konsentrasi yang tinggi. Tidak heran para penari harus sering-sering berlatih agar bisa menampilkan tarian ini dengan baik. 

Berbeda dengan kesenian tari lainnya, tari saman biasanya tidak memerlukan iringan berupa alat musik. Tarian ini hanya menyajikan keindahan gerakan tangan serta meriahnya tepuk tangan para penari sembari memukul dada dan pangkal paha dengan gerakan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tari saman menggunakan pola lantai vertikal, horizontal, diagonal dan garis melengkung. Jika dicermati, gerakan dalam tari saman mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan.

Antara Tari Saman dan Tari Ratoh Jaroe


Sering kali banyak orang salah kaprah tentang tari saman dengan tari asal Aceh lainnya yaitu Ratoh Jaroe. Meski sepintas hampir sama, antara tari saman dan tari ratoh jaroe adalah dua tarian berbeda. Dan meski sama-sama dibawakan dalam posisi duduk, ada perbedaan mendasar dari kedua tarian ini. Salah satunya yaitu bisa dilihat dari penarinya. Tari saman dibawakan oleh pria dengan jumlah ganjil minimal tujuh orang, sedangkan tari ratoh Jaroe dibawakan oleh penari wanita dengan jumlah genap. Jadi, tarian yang selama ini biasa disebut sebagai tari saman namun dibawakan oleh para penari wanita, besar kemungkinan adalah tari Ratoh Jaroe, bukan tari saman. 

tari ratoh jaroe
Tari Ratoh Jaroe via kumparan.com

Selain itu, perbedaan lainnya di antara kedua tarian ini yaitu tari saman dipandu oleh seorang penangkat yang duduk paling tengah di dalam formasi penari. Sedangkan Tari Ratoh Jaroe dikendalikan oleh seorang pelantun syair yang duduk di luar formasi penari. Ratoh Jaroe juga diiringi dengan gendang rapai, sementara tarian saman hanya diiringi dengan nyanyian yang berasal dari mulut penari alias tidak diiringi dengan musik apapun. Dan meski sama-sama berasal dari provinsi Aceh, tari Saman menggunakan syair dalam bahasa Gayo, sedangkan tari Ratoh Jaroe menggunakan syair dalam bahasa Aceh. (Diolah dari berbagai sumber)

Selengkapnya
Karya-Karya Sastra Pada Masa Mataram Islam

Karya-Karya Sastra Pada Masa Mataram Islam

Selain usaha untuk memperjuangkan kejayaan kerajaan, raja-raja Mataram Islam juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa ini, berkembang kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam. Salah satu yang cukup populer bahkan masih dilestarikan hingga saat ini yaitu upacara Grebeg. Selain itu, bidang lain termasuk seni dan kesusastraan juga turut dikembangkan pada masa kejayaan Mataram Islam ini. 

buku sastra lama
ilustrasi

Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Selanjutnya, raja kedua Mas Jolang yang bergelar Panembahan Seda ing Krapyak juga berjasa dengan usahanya menyusun sejarah negeri Demak. Pada masa pemerintahan Mas Jolang juga ditulis beberapa kitab suluk seperti Suluk Wujil (1607) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada abdi raja Majapahit bernama Wujil dan Serat Nitisruti (1612) yang digubah oleh Pangeran Karanggayam.

Pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Agung, bidang kebudayaan juga meraih kejayaannya. Ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri ikut andil dengan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab Filsafat kehidupan dan kenegaraan. Ia juga menulis kitab Surya Alam berisi undang-undang pada masa Kerajaan Mataram yang merupakan hasil dari perpaduan budaya Islam dengan adat Jawa. 

Sedangkan kitab serat Nitipraja yang digubah Sultan Agung pada tahun 1641 berisi tentang ajaran moral agar tatanan masyarakat dan negara dapat berjalan harmonis. Kitab-kitab lain yang ditulis pada masa ini yaitu serat Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata. Kitab-kitab tersebut berisi tentang cara membangun negara yang baik, ajaran tentang kepemimpinan, dan ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang baik.

Dalam bidang tulisan, Sultan Agung tetap mempertahankan tulisan jawa dan tidak digantikan dengan tulisan Arab, sehingga dalam penulisan babad misalnya dilakukan dengan tulisan jawa. Meski begitu, sering juga ditemukan istilah-istilah Islam dengan gaya Jawa seperti kata sarak (syara'), syarengat (syariah), pekih (fiqih), kadis (hadits), Ngusman (Utsman), Kasan (Hasan), Kusen (Husein), dan lain sebagainya. Selain itu, Sultan Agung juga menaruh minat terhadap pengembangan bahasa Jawa di antaranya yaitu memerintahkan untuk menyusun tataran (unggah-ungguhing) bahasa ngoko-krama. Unggah-ungguhing basa ini dikembangkan oleh pujangga keraton. 

Pada masa Paku Buwono II, terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan besar Jawa pada saat itu. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. Selain itu, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu seperti Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan kitab Dewa Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia juga menerjemahkan Taj as-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajussalatin dan Anbiya. Yasadipura I juga menulis kitab sejarah seperti Serat Cebolek dan Babad Giyanti. 

Setelah Yasadipura I wafat, putranya yaitu Yasadipura II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pujangga utama Kasunanan Surakarta. Yasadipura II juga sangat berjasa dalam kepustakaan Jawa. Beberapa Karya gubahan Yasadipura II di antaranya yaitu Serat Wicara Keras, Kitab Darmasonya Sekar Macapat dan Jarwa, kitab Arjunasastra, Panitisastra, Serat Wicara Keras, Serat Centini, Serat Dewaruci Jarwa dan Sekar Macapat, Serat Sasana Sunu, dan lain-lain.

Setelah kerajaan Mataram pecah (baca: Sejarah Pecahnya Kerajaan Mataram Islam), Paku Buwono III yang menjadi Raja di Kasunanan Surakarta juga sangat aktif mengembangkan sastra dan budaya. Suasana pemerintahan yang kembali kondusif akibat terjadinya proses Palihan Negari (pembagian negara) membuat laju perkembangan sastra Jawa juga semakin pesat. Selain mengatur negara, Paku Buwono III juga dikenal produktif dalam menulis. Di antara karya-karyanya yaitu Serat Wiwaha Jarwa, Suluk Bayan Maot, Suluk Sasmitaning Cipta, dan Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat.

Selanjutnya, Pakubuwono IV yang berkuasa pada tahun 1788 - 1820 pun demikian adanya. Mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan dari sang ayah, ia juga sangat produktif dan kreatif dalam dunia pena. Di antara karya-karya sastranya yaitu Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sarana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni.

Pujangga besar lainnya datang dari Kadipaten Mangkunegaran yaitu Adipati Mangkunegara IV yang hidup pada tahun 1811 - 1881 M. Tokoh ini juga memiliki banyak karya dalam bidang sastra di antaranya seperti Serat Wedhatama, Serat Warayagnya, Serat Wirawiyata, Serat Sriyatna, Serat Nayakawara, Serat Paliatma, Serat Paliwara, Serat Palimarma, Serat Salokatama, Serat Darmalaksita, Serat Tripama, dan Serat Yogatama.

Pujangga terakhir yaitu Ronggowarsito, sastrawan istana Surakarta yang sangat masyhur, bahkan mendapat gelar kehormatan sebagai pujangga penutup. Cucu dari Yasadipura II ini juga memiliki darah kapujanggan tulen yang sangat mahir dalam dunia sastra. Ada sekitar 50 lebih judul karyanya, di antaranya yaitu Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Supanalaya, Serat Pamoring Kawula Gusti, Wheda Raga, Wheda Jatmoko, Serat Jaka Lodhang, Suluk Suksma Lelana, dan lain-lain. (Baca: Biografi Ronggowarsito, Pujangga Besar Tanah Jawa).
 
Selengkapnya
Tari Piring, Kesenian Tradisional Asal Minangkabau Yang Memukau

Tari Piring, Kesenian Tradisional Asal Minangkabau Yang Memukau

Pernah mendengar namanya tari piring?. Ya, selain sebagai alat atau wadah untuk makan, bagi warga Sumatera Barat, piring juga bisa menjadi bagian dari khazanah kebudayaan tanah Minang lewat kesenian tari piring. Tari piring atau dalam bahasa Minang disebut "tari piriang" adalah tarian tradisional khas Minangkabau yang menampilkan atraksi menggunakan piring. Tari piring juga termasuk salah satu tarian populer di Indonesia dan kerap ditampilkan dalam berbagai ajang promosi pariwisata dan kebudayaan.

tari piring 1
via informazone.com

Sejarah Tari Piring


Tarian asal Solok, Sumatera Barat ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12, yakni ketika masyarakat Minangkabau masih menyembah dewa-dewa. Menurut sejarahnya, tari piring merupakan gambaran dari kegembiraan masyarakat Minangkabau saat memasuki musim panen. Sebagai bentuk syukur atas hasil panen yang melimpah, mereka kemudian mempersembahkan tarian ini kepada dewa-dewa agar senantiasa diberi kesejahteraan serta mendapatkan perlindungan dari segala marabahaya. 

Mereka menggunakan piring untuk membawa sesaji ke hadapan para dewa sembari menari dan meliuk-liuk. Tarian ini berkembang hingga zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit meski dengan orientasi yang berbeda. Setelah agama Islam masuk ke Sumatera Barat, tarian tidak ditinggalkan. Tari piring tetap dipertahankan meski tujuannya hanya sebagai hiburan semata. Kini, tari piring juga masih sering ditampilkan misalnya saat acara panen raya, pengangkatan penghulu, acara khitanan, pesta pernikahan, penyambutan tamu agung, dan lain sebagainya. 

Gerakan Tari Piring


Dengan segala pesonanya, tari piring menyajikan gerakan-gerakan tari dan atraksi memukau yang diambil dari langkah dalam silat Minangkabau atau Silek. Tarian ini umumnya dibawakan oleh sejumlah penari baik laki-laki maupun perempuan yang jumlahnya selalu ganjil antara 3 sampai 7 orang. Para penari biasanya mengenakan pakaian berwarna cerah dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan serta menggunakan penutup kepala.

Gerakan tari piring pada umumnya adalah meletakkan dua piring di atas dua telapak tangan. Dengan gerakan yang begitu cepat dan berpola, kedua piring tersebut kemudian diayunkan ke depan dan belakang. Dengan luwesnya, para penari bergerak cepat tanpa satu piring pun terlepas dari cengkeraman tangan mereka. Dua cincin dan dentingan piring adalah sebuah selingan bunyi pada saat jari penari diketukkan ke bagian bawah piring.
Ada sekitar 20 gerakan dalam tarian ini yang menggambarkan proses pertanian dari bercocok tanam hingga panen. Gerakan-gerakan tersebut di antaranya yaitu gerak pasambahan, gerak singajuo lalai, gerak mencangkul, gerak menyiang, gerak membuang sampah, gerak menyemai, gerak memagar, mencabut benih, bertanam, melepas lelah, mengantar juadah, menyabit padi, mengambil padi, manggampo padi, menganginkan padi, mengirik padi, menumbuk padi, gotong royong, menampih padi, dan menginjak pecahan kaca. 

tari piring 2
via steemit.com

Dari gerakan-gerakan tersebut, salah satu yang menarik perhatian penonton dan selalu ditunggu-tunggu kemunculannya adalah atraksi menggunakan pecahan piring. Pada akhir pertunjukan tari, piring-piring yang dibawa para penari biasanya akan dilemparkan ke lantai hingga pecah. Selanjutnya, salah seorang atau beberapa orang penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring tersebut. Selain atraksi pecahan piring, ada juga pertunjukan menelan api sebagai variasi dari paket tarian ini. 

Sedangkan untuk musik pengiringnya, tarian ini biasanya diiringi oleh kombinasi alat musik talempong dan saluang. Tempo alunan musik awalnya lembut dan teratur, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi lebih cepat. Seiring kemajuan zaman, pertunjukan tari piring juga kemudian diiringi musik dari alat-alat musik modern seperti keyboard.

Demikianlah sekilas tentang tari piring. Meski kini ditampilkan hanya sebatas hiburan, tari piring masih cukup populer dan hampir tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan resmi masyarakat Minangkabau. Acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan masyarakat seperti penyambutan tamu agung, pembukaan upacara adat, pagelaran, atau acara perkawinan warga juga biasa menampilkan tari piring untuk lebih memeriahkan suasana.

Selengkapnya
Teknik-Teknik Berlatih Peran dalam Drama

Teknik-Teknik Berlatih Peran dalam Drama

contoh drama
ilustrasi via amanat.id 

Pada artikel sebelumnya, kita telah belajar memahami unsur-unsur dalam drama seperti alur cerita, penokohan, perwatakan, dan latar ceritanya. Setelah memahami hal-hal tersebut, selanjutnya yaitu kita mesti mengetahui pula teknik-teknik berlatih mementaskan drama. Bagi anda yang hendak bermain drama atau menjadi seorang aktor film, pemahaman tentang teknik-teknik dalam peran sangat penting agar suatu pertunjukan drama dapat berjalan sukses seperti yang diharapkan.

Namun sebelum itu, agar lebih matang, setiap pelakon mesti melakukan pembedahan kembali atas isi teks drama yang akan dipentaskan secara bersama-sama. Tujuannya yaitu agar semua calon pemain betul-betul memahami isi naskah yang akan dimainkan mulai dari alur cerita, penokohan, dan sebagainya. Selain itu, setiap pemain juga mesti kembali membaca dan memahami secara keseluruhan naskah sehingga dapat mengenal masing-masing peran. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka tahap berikutnya yaitu mengetahui teknik-teknik berlatih drama. 

Salah satu cara menghidupkan dialog drama adalah pengekspresiannya melalui gerak dan mimik para tokoh pemain. Pengekspresian itu tentu saja harus sesuai dengan karakter tokoh yang anda mainkan. Oleh karena itu, pemahaman atas karakter tokoh sifatnya wajib. Contohnya, jika anda hendak memerankan tokoh seorang suami yang sedang memiliki masalah, maka anda juga harus memahami betul suasana jiwa tokoh tersebut. Selain itu, anda juga harus meresapi bagaimana tokoh itu berbicara, berjalan, dan perilaku-perilaku lainnya. 

Berikut ini merupakan hal-hal yang harus anda cermati pada saat berlatih menyampaikan dialog drama:
  1. Penjiwaan terhadap karakter tokoh yang diperankan. Hal ini bisa anda lakukan dengan meresapi gerak-gerik, emosi, dan sikap tokoh itu dengan cermat. 
  2. Penuturan tokoh harus diekspresikan dengan gerak-gerik dan mimik yang menggambarkan karakter tokoh yang dimainkan. Dalam hal inilah diperlukan kemampuan untuk meniru tingkah laku orang lain. 
Seorang pemain peran yang baik adalah orang yang dapat menirukan tokoh yang diperankannya dengan wajar dan apa adanya. Untuk menirukan tingkah laku orang lain, anda harus mengamati orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Anda pun perlu mengamati cara berpakaian, cara bicara, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya dari tokoh yang diperankan. Oleh karenanya tidak heran jika seorang pelaku peran biasanya melakukan riset cukup lama sebelum akhirnya berhasil dengan baik memainkan karakter yang diperankan. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam pembuatan film-film berskala besar. 

Sebagai gambaran misalnya anda akan memerankan karakter tokoh seorang kiyai, maka anda perlu memperhatikan gerak-gerik sosok tersebut dalam kehidupan nyata. Atau mungkin anda akan menirukan tokoh orang gila, maka anda pun perlu memahami tokoh itu dalam kenyataan yang sesungguhnya. Cobalah perhatikan bagaimana keseharian orang tersebut, bagaimana eskpresi wajahnya, gerak-geriknya, dan ucapannya. Dengan memperhatikan kehidupan manusia sehari-hari secara langsung, hal itu akan banyak membantu anda dalam memainkan suatu peran. 

Untuk mendukung hal tersebut, ada beberapa teknik penghayatan yang dapat kita lakukan dalam melatih kemampuan menghayati suatu peran, antara lain sebagai berikut:
  • Konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran dan perhatian pada suatu objek. Misalnya pengonsentrasian pada sosok teman, dengan cara ini kita diharapkan dapat memahami objek itu secara lebih mendetail.
  • Imajinasi, dengan menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau mungkin terjadi. Misalnya dengan memejamkan mata, kemudian membayangkan bahwa diri anda sedang berada di sebuah pesawat yang mesinnya rusak atau dalam situasi-situasi yang lain. 
  • Tindakan fisik, yakni dengan cara melakukan latihan-latihan konkret yang mungkin dilakukan oleh seorang tokoh, misalnya duduk, berdiri, berjalan, menyemir sepatu, dan tindakan-tindakan konkret lainnya. 
Di luar teknik-teknik tersebut, terdapat beberapa latihan lainnya yang harus diperhatikan seorang pemain drama agar penampilannya dapat optimal. Latihan-latihan tersebut biasanya berkenaan dengan persiapan fisik, antara lain sebagai berikut:
  1. Olah tubuh, misalnya dengan memutar pinggul, memutar bahu, meregangkan lengan, melakukan senam mulut, atau pun mengerut-ngerutkan jidat. 
  2. Olah suara/ vokal, yakni berupa latihan yang berkaitan dengan pelafalan, intonasi, atau tempo dalam pengucapan bunyi bahasa, kata, atau kalimat. 
  3. Olah rasa, seperti penjabaran di atas yaitu latihan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi dan imajinasi.
  4. Olah ruang, yaitu kemampuan untuk mengetahui kebutuhan ruang gerak dari fragmen atau adegan. Misalnya agar tidak membelakangi penonton sehingga mereka bisa melihat ekspresi dan gerakan tubuh pemain dengan jelas.


*Sumber: Menyampaikan Dialog Disertai Gerak-Gerik dan Mimik yang Sesuai, oleh Engkos Kosasih.

Selengkapnya
Memahami Unsur-Unsur Penting dalam Drama

Memahami Unsur-Unsur Penting dalam Drama

pentas drama
ilustrasi pertunjukan drama 

Drama merupakan karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda layaknya lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan isi ceritanya, drama merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata, atau menurut istilah Aristoteles, drama merupakan peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur aktivitas nyata.

Secara umum, suatu drama biasanya meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

Tema

 
Pengertian tema dalam drama merupakan ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama. Sebagai salah satu unsur intrinsik drama, tema juga bisa dikatakan sebagai gagasan pokok dari keseluruhan isi cerita dalam drama. Tema akan menuntun jalan cerita dari awal sampai akhir sehingga penonton dapat menangkap maksud dari cerita drama tersebut.

Alur atau Plot


Seperti juga bentuk-bentuk sastra lainnya, sebuah cerita drama harus bergerak dari suatu permulaan, melalui suatu bagian tengah, menuju bagian akhir. Dalam drama, bagian-bagian alur ini dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi (denouement).

1. Eksposisi suatu cerita menentukan aksi dalam waktu dan tempat, memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi suatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita tersebut, dan adakalanya membayangkan resolusi yang akan dibuat dalam cerita itu.

2. Komplikasi atau bagian tengah cerita, mengembangkan konflik. Sang pahlawan atau pelaku utama menemukan rintangan-rintangan antara dia dan tujuannya, atau dia mengalami aneka kesalahpahaman dalam perjuangan untuk menanggulangi rintangan-rintangan tersebut.

3. Resolusi atau denouement hendaklah muncul secara logis dari apa-apa yang telah mendahuluinya di dalam komplikasi. Titik batas yang memisahkan komplikasi dan resolusi biasanya disebut klimaks (turning point). Pada klimaks inilah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. Kepuasan para penonton terhadap suatu cerita tergantung pada sesuai-tidaknya perubahan itu dengan yang mereka harapkan. 

Baca juga: Membuat Naskah untuk Pementasan Drama atau Sandiwara

Penokohan


Dalam suatu pementasan drama, para tokoh atau pelaku drama biasanya terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu atau figuran. Pada intinya, tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Tokoh idaman (the type character). Tokoh ini berperan sebagai pahlawan dengan karakternya yang gagah, berkeadilan, atau berwatak baik (terpuji).
  2. Tokoh gagal atau tokoh badut (the foil). Tokoh ini mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain. Kehadiran tokoh ini juga berfungsi untuk menegaskan tokoh lain itu.
  3. Tokoh statis (the static character), tokoh ini memiliki peran yang tetap sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga akhir cerita.
  4. Tokoh yang berkembang, tokoh ini mengalami perkembangan selama cerita itu berlangsung. Misalnya, tokoh A yang pada awal cerita sangat setia, secara cepat berkembang dan berubah menjadi tidak setia atau menjadi orang yang berkhianat pada akhir cerita.

Latar


Latar adalah keterangan mengenai ruang dan waktu. Penjelasan latar dalam drama dapat disisipkan pengarang pada pertunjukan. Petunjuk tersebut lazim disebut dengan kramagung. Dalam pementasannya, latar dapat dinyatakan dalam tata panggung ataupun tata cahaya. Selain itu, latar juga dapat dinyatakan melalui percakapan para tokoh di dalamnya.

Bahasa


Bahasa tidak hanya media komunikasi antartokoh. Dalam drama, bahasa juga bisa menggambarkan karakter tokoh, latar, ataupun peristiwa yang sedang terjadi. Bahasa digunakan melalui kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam percakapan cerita drama.

Amanat Drama


Sebagai sebuah karya sastra, suatu drama juga hendaknya mengandung pesan yang disampaikan pengarang kepada penonton. Pesan inilah yang biasa disebut dengan amanat drama. Amanat drama atau pesan tersebut dapat disampaikan melalui peran para tokoh dalam cerita drama.

Perlengkapan


Pertunjukan drama pastinya membutuhkan segala persiapan dan kelengkapan untuk mendukung terselenggaranya drama agar dapat berjalan dengan baik. Apabila drama itu dipentaskan, sejumlah fasilitas diperlukan sebagai pelengkap cerita. Beberapa di antaranya yaitu seperti fasilitas panggung, kostum, pencahayaan, sistem akustik, dan sebagainya.

Selengkapnya
Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

Awal Mula Penggunaan Kalender Jawa

kalender jawa
via kompas.com 

Kalender Jawa (Penanggalan Jawa) adalah sistem penanggalan yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (Raja Mataram Islam) yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645 M. Kalender ini memakai dua siklus hari yaitu siklus mingguan (saptawara) yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi/manis). Keistimewaan penanggalan ini yaitu merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Islam, Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Keberadaan kalender Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan Agung, Raja Mataram terbesar yang memiliki gelar lengkap Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Di bawah pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaannya. Berbagai aspek seni budaya berkembang dengan pesat baik seni tari, seni pahat, seni suara dan seni sastra. Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa juga turut berkembang pesat, salah satunya yaitu dengan terciptanya kalender Jawa. 

Pada masa itu, sistem penanggalan ini digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai wilayah pecahannya yang mendapat pengaruh Mataram. Sang Raja Mataram, Sultan Agung, memang dikenal sebagai seorang raja yang berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, beliau menghendaki adanya sistem penanggalan tersendiri bagi orang Jawa yang dihasilkan dari perpaduan antara kebudayaan asli jawa, kebudayaan Hindu/ Budha (India), dan kebudayaan Islam. 

Sebelum tahun 1633 Masehi, Kesultanan Mataram menggunakan Kalender Saka yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh syamsiah), yang merupakan perpaduan perhitungan kalender jawa dengan kalender Hindu. Sementara saat agama Islam telah semakin berkembang di Jawa, masyarakat pesantren biasa menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada peredaran bulan (tarikh Qomariyah). 

Sultan Agung bermaksud memadukan tradisi masyarakat kejawen yang masih menggunakan Kalender Saka dengan tradisi pesantren yang sudah menggunakan Kalender Hijriah. Oleh karena itulah sejak tahun 1633 M (1555 Saka) Sultan Agung merubah kalender Saka menjadi kalender Hijriah yang dipadukan dengan tradisi-tradisi Jawa. Perubahan sistem kalender ini juga dimaksudkan agar hari-hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri dan Idul Adha yang biasa dirayakan di keraton Mataram (biasa disebut Grebeg) dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sesuai dengan ketentuan dalam kalender Hijriah. 

Pada waktu itu, kalender Saka sendiri sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu kemudian diteruskan dalam kalender Hijriah (Islam) dengan angka tahun 1555, meskipun dasar perhitungan keduanya berbeda. Saat itu, perubahan kalender di jawa ini terjadi dan mulai diberlakukan pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, dan bersamaan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. 

Ide besar Sultan Agung ini didukung oleh para Ulama dan abdi dalem keraton, khususnya para tokoh pakar yang menguasai ilmu falak atau ilmu perbintangan. Kalender ini kemudian juga diberlakukan di seluruh wilayah Kesultanan Mataram meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Blambangan). 

Sistem kalender baru ini kemudian disebut juga dengan Kalender Sultan Agung atau Anno Javanico. Adapun sekarang, kalender (penanggalan) ini lebih dikenal sebagai kalender Jawa. 

Nama-Nama Bulan dalam Kalender (Penanggalan) Jawa


Nama-nama bulan dalam kalender Jawa sebagian diambil (serapan) dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab dan sebagian lagi menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta dan Melayu. 

No.  Nama Bulan Jumlah hari
Sura 30
Sapar 29
Mulud atau Rabingul awal 30
Bakda Mulud atau Rabingulakir 29
Jumadilawal 30
Jumadilakir 29
Rejeb 30
Ruwah (Arwah, Saban) 29
Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10  Sawal 29
11  Séla (Dulkangidah, Apit) 30
12  Besar (Dulkahijjah) 29/30


Selengkapnya
Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa

Memedi (Hantu) dalam Kebudayaan Jawa

Orang Indonesia memang dikenal banyak memegang teguh kepada hal-hal yang berbau mitos, mistis, dan cenderung bersifat supranatural. Meski kini zaman sudah semakin modern, kepercayaan tentang hal-hal semacam ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari masyarakat Indonesia. Salah satu yang banyak dipercayai dan ditakuti keberadaannya oleh banyak orang yaitu terkait keberadaan hantu. 

hantu medi
ilustrasi via pixabay

Istilah hantu, atau orang jawa menyebutnya medi, memedi, dhemit, atau lelembut sebetulnya merujuk pada pengertian yang sama, yaitu makhluk tak kasat mata yang menampakkan diri (dhemit kang ngaton). Merujuk dari situs tanya jawab quora, kata memedi mungkin berasal dari akar kata dalam bahasa jawa 'wedi' yang artinya takut, sehingga memedi bisa diartikan "yang menakut-nakuti". Adapun dhemit atau dhedemit mengandung arti 'yang misterius, tidak kelihatan, yang bisa tiba-tiba hilang atau muncul'. Sedangkan lelembut artinya sama dengan 'makhluk halus', berasal dari akar kata 'lembut' yang artinya halus. 

Beberapa tahun lalu, di tayangan televisi kita pernah menjadi tren ketika beberapa stasiun tv berlomba-lomba menayangkan acara bertema hantu atau setan di televisi. Tidak hanya berwujud cerita atau sinetron, tapi berupa liputan langsung seperti acara Dunia lain, Gentayangan, Percaya Nggak Percaya dan lain sebagainya. Entah apa yang menjadikan media elektronik kita saat itu ramai-ramai membuat tayangan seperti itu. 

Acara-acara serupa memang kini mulai jarang ditemui di televisi. Namun sebagai gantinya, tayangan-tayangan bertema hantu justru kini biasa dijumpai di youtube. Seiring mudahnya orang membuat channelnya sendiri di layanan video ini, banyak orang yang mencari uang di dalamnya dengan membuat video-video penampakan hantu, entah itu real atau hanya dusta semata. Bahkan tidak jarang, 'hantu-hantu' tersebut adakalanya hanya dijadikan sebagai bahan lawakan untuk menarik perhatian orang agar menonton video-video tersebut. 

Berbicara tentang hantu, memedi atau semacamnya, dalam kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa roh, jin, setan, dan raksasa umumnya dianggap jahat, dan orang jawa menyebutnya memedi. Setan juga biasa disebut dhemit, kalau berwujud raksasa disebut denawa atau buto. Masyarakat mengenal lebih banyak roh jahat ketimbang roh suci, walaupun dalam hal ini masih menjadi kontroversi.

Ahli kebudayaan asal Belanda, Van Hien mengumpulkan 87 sebutan bagi roh dan 17 jenis setan, yang satu persatu diterangkan menurut wujud, tempat, kegemaran, dan sifat umumnya sebagaimana gambaran dari masyarakat. Koentjaraningrat sendiri merasakan kesulitan ketika menggolongkan jenis roh dan setan yang dipercaya oleh manusia, sehingga Budayawan ini kemudian membagi menurut sifat umumnya seperti setan darat, setan bisu, setan iblis, dan juga setan laki-laki buruk rupa. Adapun wewe digambarkan sebagai setan perempuan dengan rupa sangat buruk. 

Sebaliknya, ada juga setan-setan perempuan cantik kinyis-kinyis, contohnya jenis kuntilanak, biasanya muncul di jalan-jalan sepi untuk menggoda atau memikat laki-laki yang lewat. Kalau Sundel bolong, sifatnya hampir sama dengan kuntilanak yaitu berwujud hantu cantik dengan punggung bolong (berlubang). 

Masih ada lagi jenis setan mirip anak kecil atau cebol, yaitu tuyul dan setan gundul, biasanya berwujud bocah nakal. Lainnya lagi yang lebih seram seperti hantu banaspati yang bisa menyemburkan api. Kalau setan usus mempunyai ciri perut berlobang sehingga isi perut keluar semua.

Juga ada jenis setan setengah manusia setengah hewan, antara lain peri perempuan cantik berkaki kuda, atau Nyai Blorong perempuan cantik dimana badan atas berwujud manusia tapi badan bagian bawah berwujud ular. Ada juga Ki blorong, jenis setan ular laki-laki.

Orang jawa juga mengenal Jrangkong yaitu setan berwujud rangka manusia, thetekan atau setan yang tulang-belulangnya seperti hendak copot sehingga bunyi ketika berjalan, perempuan seklebatan bayangan putih, dan jenis kemamang atau lampor seperti api terbang dimana orang-orang yang tidak tahu biasanya menganggapnya gejala alam. Atau ada juga genderuwo yaitu hantu bertubuh besar, kulit berwarna hitam kemerahan dan tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuhnya. 

Hasil penelitian Koentjaraningrat tersebut memang tidak bisa disebut barang baru lagi. Malahan penemuan dan klasifikasi dari Kreemer dan Van Hien, usianya hampir lebih dari satu abad lalu. Ahli kebudayaan asal Belanda itu sampai sekarang buku-bukunya masih dirujuk untuk membandingkan hasil penelitian budayawan kita terkait hal ini dengan penambahan di sana-sini untuk disempurnakan.

Walaupun begitu, kepercayaan jika jenis memedi (hantu) bisa merasuk dalam raga manusia sehingga menjadikan kesurupan sebagaimana dijumpai pada masyarakat kita sepertinya memang tidak bisa dikikis. Beberapa orang percaya jika ada orang kesurupan jin/ hantu yang bisa menyembuhkan adalah seorang dukun atau paranormal.

Adapun hantu seperti tuyul, Nyi Blorong, dan Ki Blorong biasanya dipercaya bisa membantu mencari pesugihan. Namun sebagai gantinya, hantu atau setan-setan tersebut akan meminta tumbal dari orang-orang yang memuja dan dibantu mengumpulkan harta dunia tersebut.

Hingga kini, jika ada orang mati dengan cara tidak sewajarnya, santer kerap kita mendengar ia akan menjadi hantu berwujud pocongan, kuntilanak, dan lain-lain. Maka tidak mengherankan, khususnya di wilayah pedesaan, orang-orang takut keluar malam setelah maghrib jika salah satu warganya ada yang meninggal dengan tidak wajar.


*Artikel di atas dikutip/ diterjemahkan dari tulisan Ir. Agung Sujadi dalam majalah Panjebar Semangat (18/2004, 1 Mei 2004) dengan beberapa perubahan dan penambahan yang disesuaikan.

Selengkapnya
Indahnya Tari Merak, Tari Kreasi Baru Asal Jawa Barat

Indahnya Tari Merak, Tari Kreasi Baru Asal Jawa Barat

Anda pastinya tahu burung merak, burung yang terkenal cantik ini memang banyak memberikan inspirasi bagi terciptanya berbagai hasil kreasi manusia, salah satunya yaitu seni tari. Masyarakat Jawa Barat tentu mengenal tari merak, salah satu jenis tari modern yang isinya juga merupakan gambaran dari tingkah laku kehidupan sang burung merak. Tidak hanya di tingkat lokal, tarian ini juga semakin dikenal masyarakat luas seiring ditampilkannya di berbagai event baik tingkat lokal maupun nasional.
 
tari merak
via indonesiakaya.com

Sejarah Tari Merak


Tari merak bukanlah jenis tarian klasik tradisional, melainkan tari kreasi baru (kontemporer) atau tari modern yang diciptakan oleh seorang seniman asal Bumi Pasundan bernama Raden Tjetjep Soemantri pada sekitar tahun 1950 an. Meski demikian, karena keindahan gerakannya, tarian ini telah menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat dan telah dikenal luas lewat berbagai event, baik tingkat nasional maupun internasional yang menampilkan kesenian tarian ini.
 
Terinspirasi dari kehidupan burung merak, Raden Tjetjep Soemantri yang juga merupakan seorang koreografer menciptakan gerakan-gerakan tari ini hingga akhirnya terciptalah nama tari merak. Pada dasarnya, gerakan dalam tari merak merupakan implementasi dari tingkah laku keseharian burung merak, terutama tingkah laku burung merak jantan ketika hendak memikat betinanya. Burung merak jantan biasanya memperlihatkan keindahan bulu ekornya untuk menarik perhatian burung merak betina. Hal ini juga terlihat sebagaimana tampak dalam gerakan tari merak. 

Dalam perkembangannya, tari merak telah mengalami beberapa perubahan atau penambahan koreografi dari gerakan aslinya. Tarian ini kini juga sering ditampilkan secara berpasang-pasangan sehingga terlihat enerjik dan semakin menarik. Masing-masing penari berperan sebagai burung merak jantan dan burung merak betina yang dengan gemulai menggerakan tubuhnya layaknya tingkah laku burung merak. Keberadaan musik pengiring gending macan ucul juga semakin melengkapi indahnya pertunjukan tarian ini. 

Kostum dan Aksesoris Tari Merak


Kostum atau busana yang digunakan dalam tari merak umumnya memiliki motif seperti burung merak, yakni berwarna biru, hijau dan hitam. Selain itu, kostum juga dilengkapi dengan berbagai aksesoris lainnya seperti sepasang sayap yang bisa dikembangkan dan hiasan mahkota di bagian kepala. Sebagai gambarannya, properti atau aksesoris yang digunakan dalam tari merak dapat dirinci sebagai berikut:

Mahkota (Siger) 

Mahkota (siger) terdiri dari berbagai aksesoris berupa pernak-pernik dan payet-payet dengan warna beragam yang terlihat glamour saat terkena sorotan lampu. 

Sesuping

Sesuping adalah aksesoris untuk hiasan telinga seperti halnya dijumpai pada kostum wayang orang. 

Garuda Mungkur

Garuda mungkur adalah aksesoris untuk hiasan sanggul yang dipasang pada bagian belakang rambut penari merak jantan.

Apok

Apok merupakan aksesoris berupa kain memanjang yang dipakai melingkar untuk menutupi bagian leher hingga dada penari. 
Penutup Dada

Aksesoris ini merupakan kain yang digunakan untuk menutupi bagian dada layaknya kemben. Kain ini dilingkarkan ke bagian tubuh penari dari bagian dada hingga ke bawah perut.

Sayap

Berbeda dengan selendang, sayap yang dipakaikan pada penari merak dibentuk mirip seperti sayap burung merak yang dapat dikembangkan dengan corak warna-warni yang sangat indah. 

Sabuk

Sabuk merupakan kain yang berfungsi sebagai ikat pinggang yakni untuk mengencangkan busana yang dipakai penari. 

Selain yang disebut di atas, aksesoris-aksesoris lainnya dalam tari merak yaitu sampur, kilat bahu, gelang dan rok.

Pementasan Tari Merak


tari merak 2
via blogkulo.com

Dalam setiap pementasannya, tari merak selalu dapat menarik perhatian yang menyaksikannya karena keunikan, keindahan dan keluwesan tarian yang ditampilkan. Tari merak biasa ditampilkan oleh tiga penari atau lebih yang menari secara berkelompok. Masing-masing penari berperan sebagai burung merak jantan dan betina yang menari sesuai dengan iringan musik gending yang menyertainya. Gerakan burung merak yang anggun dan mempesona dapat terlihat dari gerakan para penari yang menari dengan penuh keanggunan dan keceriaan. 

Bagi warga Jawa Barat, Tari ini sering dipentaskan saat acara hajatan pernikahan yakni untuk menyambut pengantin pria atau sebagai hiburan untuk para tamu yang hadir dalam acara pernikahan. Selain itu, tari merak juga sering ditampilkan pada saat penyambutan tamu-tamu penting yang datang berkunjung. Bukan itu saja, kini tari merak juga sering ditampilkan dalam berbagai event dan festival baik tingkat nasional maupun internasional sehingga tarian ini juga semakin dikenal di mata dunia internasional. 

Selengkapnya
Melestarikan Kesenian Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Melestarikan Kesenian Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Kebudayaan jawa yang adiluhung mulai sukar ditemui di zaman yang seperti sekarang ini. Kemajuan zaman hampir-hampir tidak bisa lagi dikendalikan. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) setiap tahun juga semakin berkembang. Di mana saja kini sudah ada piranti yang disebut internet, termasuk di desa-desa internet juga sudah menjadi barang lumrah.

Ironisnya, para generasi muda malahan lebih suka belajar budaya asing yang katanya lebih tren dan gaul. Sedangkan budaya bangsa yang adiluhung malah dijauhi dan disingkiri. Anak remaja zaman sekarang seakan tidak peduli terhadap warisan luhur yang semakin memprihatinkan. Budaya-budaya yang harusnya dipelajari oleh mereka malah tidak dijamah sama sekali. Sementara di sisi lain banyak turis asing justru sangat menyukai terhadap budaya jawa.

pagelaran wayang

Budaya jawa khususnya wayang kulit semakin menyusut penggemarnya. Keadaan yang seperti ini tentu sangat miris dan membuat prihatin. Wayang kulit yang bisa menjadi tuntunan dan tontonan harusnya bisa menarik perhatian para kaum muda, jangan sampai dianggap kuno dan membosankan. Jika generasi muda sudah tidak mau nguri-uri budayanya sendiri, lantas siapa yang bakal mengembangkan budaya tersebut?

Pertanyaan tersebut rasa-rasanya seperti menggugah para penggiat budaya supaya ikut mendukung kebudayaan jawa agar tetap bisa lestari. Untuk menyemarakkan dan mengembangkan kebudayaan jawa, terutawa wayang purwa memang tidak gampang. Semua harus bekerja sama saling bahu membahu mendukung hal ini supaya bisa terlaksana.

Wayang kulit adalah salah satu sarana untuk pembelajaran. Banyak hal penting dan bermanfaat yang bisa didapatkan ketika menonton pagelaran wayang kulit. Contoh saja perihal pengetahuan tentang wayang, karakter-karakternya, bahasa yang digunakan, ajaran budi pekerti luhur dan masih banyak lagi lainnya. Tidak sedikit faedah yang bisa dipetik dari kesenian wayang kulit.

pandawa lima

Wayang juga bisa sebagai sarana tuntunan, maksudnya bahwa wayang digelar tidak hanya sebagai hiburan, tapi di dalamnya juga terkandung pendidikan atau pengajaran dan tuntunan luhur. Cerita wayang banyak terkandung pengajaran dan nasehat luhur yang penting bagi kehidupan manusia. Maka dengan adanya pagelaran wayang tersebut pengajaran-pengajaran atau tuntunan dalang dapat menyentuh perhatian pemirsanya. 

Maka para sesepuh, para penggiat budaya, dan para generasi muda yang masih peduli terhadap budaya jawa khususnya wayang kulit mesti bersama-sama nguri-uri wayang dengan cara menggelar rutin wayang purwa dengan harapan wayang purwa dapat terus lestari. Di beberapa kota di Jawa yang kental dengan budaya jawanya, pegelaran wayang kulit masih sesekali rutin diselenggarakan. Seperti halnya di kota Solo, sering kali dalang-dalang dari berbagai daerah tua, muda, semua berkumpul untuk memainkan lakon wayang sebagai sarana agar kesenian wayang kulit tetap lestari. 

Selain mengadakan pagelaran wayang, upaya untuk terus melestarikan budaya wayang kulit juga bisa dilakukan dengan cara menceritakan kisah dan mengenalkan seputar wayang kepada siswa-siswa sekolah. Dengan cara tersebut maka anak/siswa itu dapat mengenal wayang sejak dini atau mulai saat masih kecil. Cara lainnya yang bisa digunakan yaitu dengan mengadakan festival dalang cilik. Dengan cara tersebut maka wayang kulit bakal bisa tetap lestari. 

Bagi sebagian orang, wayang adalah seni yang indah dan elok. Meski keadaan zaman semakin maju, budaya asing juga sudah merasuki budaya kita, jangan sampai sekali-kali kita tidak peduli terhadap budaya milik bangsa sendiri. Wayang yang sudah diakui UNESCO bisa menjadi cara yang ampuh untuk menyemarakkan kembali budaya tersebut di segenap penjuru Nusantara bahkan hingga mancanegara. 

Selengkapnya