Langkah-langkah untuk Membimbing Nafsu

Langkah-langkah untuk Membimbing Nafsu

Ilustrasi bimbing nafsu

Kita tahu bahwa salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah dibekalinya kita dengan akal dan juga nafsu. Akal memang selalu mengajak kepada kebaikan, tetapi nafsu sering kali berpotensi menjerumuskan kita kepada keburukan. Antara nafsu di satu pihak dan akal di pihak yang lain, terjadi saling tarik menarik dalam mempengaruhi dan menguasai jiwa seseorang. Nafsu yang mendapat dorongan syetan mendorong kita berbuat kejahatan, sedangkan sebaliknya, akal mengajak bertaqwa.

Dalam mengarungi kehidupan sehari-hari, kita diberi kebebasan untuk menentukan pilihan apakah mengikuti dorongan nafsu atau menuruti akalnya. Sebenarnya selain akal, Allah juga menganugerahkan kepada kita instrumen lain untuk bisa didayagunakan sebagai alat untuk membimbing nafsu agar manusia tetap berada dalam fitrahnya. Instrumen itu adalah hati (qalb) dan mata hati (bashirah). 

Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, hati (qalb) mempunyai dua pengertian. Pertama, hati ialah segumpal daging berbentuk bulat panjang yang terletak di dada sebelah kiri. Ia mempunyai tugas khusus yang di dalamnya terdapat rongga-rongga tempat darah hitam, dan menjadi sumber tempat penyimpanan ruh (nyawa). Sedangkan pengertian kedua, hati ialah sesuatu yang lembut, bersifat ketuhanan dan rohaniah yang ada hubungannya dengan hati dalam arti jasmaniah di atas. Hati ini dapat menangkap isyarat-isyarat dan ajaran (perintah dan larangan) dan mengenal Allah Rabbul 'Alamiin. Hati bisa menjadi alat efektif untuk membimbing nafsu, kalau pemiliknya bersih, ikhlas dan selalu berdzikir kepada Allah. Hati juga menjadi tolak ukur dan petunjuk ke arah baik dan benarnya tingkah laku kita.

Sedangkan mata hati (bashirah) adalah cahaya hati yang bisa melihat hakikat segala sesuatu. Ia tidak tertipu dengan tampilan luar dan bisa melihat hakikat kebaikan atau keburukan dibaliknya. Menurut Ibnul Qayyim al-Jawziah, bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti halnya pandangan mata. Bashirah ini juga dapat menangkap isyarat-isyarat ghaib. Terdapat hubungan erat antara akal, hati (qalb) dan mata hati (bashirah) dalam memahami suatu fenomena dan keadaan. 

Dengan akal, hati dan mata hati untuk membimbing nafsu, kita juga tetap memerlukan kesadaran, kesabaran dan upaya terus menerus dalam memelihara iman agar kita bisa mencegah dominasi nafsu terhadap diri kita. Oleh karenanya kita disarankan untuk menempuh langkah-langkah berikut ini:

1. Pelajari, pahami dan berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan ajaran agama dan tuntunan-tuntunan hidup sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

2. Tingkatkan keikhlasan beribadah secara konsisten (istiqamah), dan berusaha memperbaiki akhlaq, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.

3. Berniat secara sungguh-sungguh untuk mengalahkan hawa nafsu, antara lain dengan cara membiasakan hidup wajar, tidak berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, tidak membesar-besarkan orientasi hidup duniawi dan memperbanyak dzikir kepada Allah.

4. Jangan melakukan sesuatu sebelum kita benar-benar yakin bahwa hal itu benar, baik, bermanfaat dan tidak membahayakan. Jika terjadi pertentangan batin, berpihaklah selalu kepada kata hati walaupun mungkin terasa berat. Kita pasti bisa berbuat seperti itu jika kita mau.

5. Gunakanlah pertimbangan-pertimbangan qalbun salim dan akal sehat sebelum melakukan sesuatu pekerjaan. Dengan kata lain, kita harus menyadari bahwa tindakan emosional selalu berakibat tidak menyenangkan.

6. Pertajam indera keenam (bashirah) untuk melihat kebenaran Ilahiah yang hakiki.

7. Kembangkan kemampuan menahan diri/nafsu, tidak emosional dalam melakukan suatu tindakan. Hilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita miliki. Tidak mesti drastis, tapi bisa secara bertahap.

8. Jauhkan diri kita dari pengaruh dan dominasi syetan. Kita mengetahui bahwa sebagaimana yang diberitahukan Allah dalam firmanNya, syetan tidak pernah berhenti berusaha menyesatkan dan menyelewengkan kehidupan manusia. Mereka bahkan memproklamirkan diri sebagai musuh seluruh anak Adam. Maka dengan berbagai cara, mereka selalu menggoda, membujuk dan mengiming-imingi kita agar menyimpang, melakukan kesalahan, kezaliman, kemudharatan dan kerusakan. Oleh karenanya, kita mesti tekadkan dalam diri kita untuk senantiasa memerangi syetan, jangan sampai kita jatuh dalam bujuk rayunya.

9. Jangan berlebihan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempertinggi emosi dan merangsang syahwat bahimiyah dan biologis. 

10. Biasakan berpuasa sunnah, karena puasa itu bisa menangkal keberingasan dan keliaran nafsu.

Demikianlah langkah-langkah yang perlu kita jalankan untuk dapat membimbing nafsu kita agar dapat kita kendalikan sesuai tuntunan dari Allah. Jika nafsu dapat kita didik dengan baik, maka ia akan menjadi nafsu muthmainnah, jiwa yang tenang, yang mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. 


''Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari perolehan ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu', dari nafsu yang tidak pernah kenal puas, dan dari permohonan doa yang tidak dikabulkan'' (HR. Muslim) 

''Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kemungkaran-kemungkaran dan jahatnya akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu'' (HR. Tirmidzi) 

''Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjuk dan lindungi aku dari keburukan nafsu/jiwaku'' (HR. Tirmidzi) 





Dikutip dari tulisan Alm. Drs. H. M. Ihsan Hadisaputra, dalam buku Penyejuk Hati Penjernih Pikiran, semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunan kepadanya. 
Selengkapnya
Tiga jalan dalam kandungan Surat Al Fatihah

Tiga jalan dalam kandungan Surat Al Fatihah

Pertigaan jalan

Surat Al Fatihah merupakan surat pertama yang kita temui dalam mushaf Al Qur'an. Surat Al Fatihah yang menjadi pembuka dalam Al Qur'an juga merupakan surat yang paling sering kita baca, sehingga semua umat Islam pasti hafal dengan surat ini. Kita juga selalu membaca surat ini dalam setiap rakaat shalat kita, karena membaca Al Fatihah menjadi salah satu rukun shalat yang tidak boleh kita tinggalkan.

Jika kita fahami, dalam ayat terakhir dari surat Al Fatihah ini, Allah menjelaskan mengenai 3 jalan yang dilewati oleh 3 golongan manusia. Dalam ayat yang sebelumnya diawali dengan ayat doa (Tunjukilah kami jalan yang lurus) ini, Allah seakan memberi pilihan kepada kita mengenai jalan mana yang mesti kita pilih dengan benar agar tidak salah melangkah dalam hidup ini.

Tiga jalan yang menjadi kandungan dalam surat Al Fatihah ini disebutkan dalam ayat berikut ini: 

صِرٰطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّينَ

"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al-Fatihah ayat 7)

Jika dijabarkan, tiga jalan yang disebutkan dalam ayat tersebut ialah:

1. Jalan Orang-Orang yang telah Diberi Nikmat

Sebenarnya jalan pertama ini adalah penjelasan dari arti jalan yang menjadi permintaan dari ayat sebelumnya (jalan yang lurus). Jalan ini adalah ''jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka''. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir) menyebutkan bahwa kelompok ini telah dijelaskan oleh Allah dengan lebih mendalam dalam Surat an-Nisa ayat 69-70. Allah berfirman:

"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh (shalihin). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.'' (QS. an-Nisa, 69-70).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan kelompok yang disebutkan dalam surat Al Fatihah tersebut dengan ayat ini, karena di ayat ini ada kalimat penghubung yang sama seperti halnya yang ada dalam surat Al Fatihah. Kalimat yang dimaksud adalah ''yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat''.

Mereka yang telah diberi nikmat adalah para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh. Mereka adalah para pendahulu kita yang juga pernah menjalani hidup di bumi ini. Imam Ibnu Katsir juga menambahkan bahwa kelompok ini adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Untuk bisa mengikuti jalan yang mereka tempuh, maka kita mesti melihat sejarah hidup mereka dan mengikuti keteladanan yang mereka contohkan.

2. Jalan Orang-Orang yang Dimurkai Allah

Banyak Ulama ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kelompok orang yang dimurkai Allah ini adalah kaum Yahudi. Mereka juga merupakan simbol dari kelompok orang yang diberi anugrah ilmu tetapi tidak mau mengamalkan, sehingga akhirnya mereka mendapat murka dari Allah SWT. 

Sejarah mencatat bahwa saat Nabi telah berada di Madinah, orang-orang Yahudi di sana juga mengetahui dan meyakini dari kitab suci mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang telah dijanjikan dan tersebut dalam kitab suci mereka sebagai Nabi akhir zaman yang mesti diimani dan diikuti. Namun meskipun begitu, karena kedengkiannya, mereka justru menentang dan memusuhi Nabi. Allah sebutkan dalam firmanNya:

"Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar. Sangatlah buruk (perbuatan) mereka menjual dirinya dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karuniaNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya. Karena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan. Dan kepada orang-orang kafir (ditimpakan) azab yang menghinakan." (QS. Al-Baqarah, 89-90)

Ka'ab bin Asad, seorang pemimpin Yahudi Bani Quraidzah saat berdialog dengan kaumnya kala dikepung oleh 3.000 pasukan muslimin berkata: "Demi Allah, sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa dia adalah Rasul yang diutus dan dialah yang sesungguhnya yang kalian jumpai dalam kitab kalian....". 

Begitulah kaum Yahudi, mereka mengetahui kenabian Muhammad SAW, tetapi mereka tetap kufur dan menentang beliau. Maka benarlah bahwa kaum Yahudi telah diberi anugrah ilmu kebenaran di depan mata mereka, tetapi mereka justru tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Inilah yang disebut oleh Surat al-Fatihah sebagai golongan kelompok yang dimurkai.

3. Jalan Orang-Orang yang Sesat

Jalan ketiga ini, menurut penafsiran sebagian Ulama tafsir adalah jalan yang dilalui oleh kaum Nasrani. Mereka dianggap sesat karena memang 'tidak mempunyai ilmu', atau tidak bisa menerima kebenaran. Jika diibaratkan mereka ini seperti orang yang hendak berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak punya petunjuk tentang tempat yang hendak dituju, maka pastilah dia akan tersesat di jalan. 

Kelompok ketiga ini tidak punya ilmu, meskipun mereka beramal. Mereka ini mengikuti para pemimpin agama mereka tanpa menggunakan ilmu. Akhirnya yang terjadi adalah mereka mudah untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sekehendak hati mereka. Allah berfirman:

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. at-Taubah, 31)

Mengenai kalimat ''Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah'', Rasulullah menjelaskan bahwa meski mereka tidak menyembah rahib-rahib itu, tetapi dengan para rahib itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka itulah maksud peribadatan kepada para rahib itu (HR. Tirmidzi dan Baihaqi). 

Hal ini juga berarti bahwa mereka menjadikan pemimpin agama mereka menjadi perwakilan tuhan atau dengan kata lain boleh membuat syariat sendiri. Jika seperti ini, maka sesatlah jalan  yang mereka ambil. Begitulah jalan orang-orang yang sesat.

Itulah ketiga jalan yang terkandung dalam surat Al Fatihah. Allah menyebutkan tiga jalan dari tiga golongan manusia ini dalam firmanNya agar menjadi pelajaran bagi setiap pembacanya. Kita sebagai umat di masa kini hendaknya bisa merenungi dan menentukan jalan mana dari ketiga jalan diatas yang akan kita pilih dalam menjalani perjalanan hidup ini. 

Maka seperti halnya permohonan dari ayat sebelumnya (Tunjukilah kami jalan yang lurus), mari kita berdoa semoga kita diberi petunjuk untuk bisa mengikuti jalan dari golongan pertama yang disebutkan dari ketiga jalan diatas, yaitu jalan dari golongan para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh (shalihin). 

Pilihan kita untuk mengikuti jalan mereka (golongan pertama) adalah juga perintah bagi kita agar merenungi sejarah hidup dan meneladani laku hidup mereka. Sehingga nantinya kita juga bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka rasakan. Wallaahu A'lam bisshawab.
 
Selengkapnya
Alun-alun, Keberadaan dan Filosofinya

Alun-alun, Keberadaan dan Filosofinya

Alun alun Kebumen

Jika kita cermati, hampir tiap kota di setiap sudut pulau jawa memiliki konsep tata ruang yang hampir sama dalam penataan pusat kotanya. Masjid dan balaikota yang menghadap alun-alun adalah salah satu ciri khasnya. Keberadaan alun-alun di tiap pusat kota seolah-olah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di pulau Jawa. Banyak yang mengatakan bahwa konsep alun-alun pertama kali dicetuskan di kota Demak pada masa kerajaan Demak atas prakarsa dari Sunan Kalijaga. Bahkan lanskap keraton atau balaikota beserta beringin dan masjid Agung yang mengelilingi alun-alun juga konon merupakan rancangan dari Sunan Kalijaga.

Mengutip dari wikipedia, alun-alun (ejaan lama aloen-aloen atau aloon-aloon) adalah lapangan rumput terbuka yang luas dan dikelilingi oleh jalan raya serta dapat digunakan untuk beragam kegiatan masyarakat. Pada umumnya lapangan berbentuk bidang persegi dengan rerumputan yang disusun rapi dan dikelilingi oleh jalan raya di tengah kota. Dalam tata letaknya, biasanya alun-alun dikelilingi oleh beberapa tempat seperti pusat pemerintahan, pasar, masjid agung, 2 pohon beringin di tengah alun-alun, dan sebagian terdapat pendopo agung. 

Sejarah Alun-Alun


Masa Kerajaan Majapahit


Merunut sejarahnya, sebenarnya alun-alun sudah ditemukan semenjak era kerajaan-kerajaan di masa lampau. Sejak zaman kerajaan Majapahit, alun-alun merupakan bagian dari komplek Keraton. Pada masa itu, alun-alun biasa digunakan sebagai tempat upacara keagamaan yang sakral, termasuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Selain itu, alun-alun juga digunakan sebagai tempat berlatih perang bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara, penyampaian titah raja kepada rakyat, serta sebagai pusat perdagangan dan pesta hiburan bagi rakyat.

Mpu Prapanca dalam Negarakretagama menyebutkan bahwa di sebelah utara dari komplek Kraton Majapahit terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat, yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun yang disebut Waguntur. Dari keterangan Prapanca ini menggambarkan bahwa keberadaan alun-alun memiliki peran penting sebagai bagian dari pusat kota. Kedua alun-alun di zaman Majapahit ini mempunyai fungsi yang agak berbeda. Lapangan (alun-alun) Bubat lebih bersifat profan, sedangkan fungsi alun-alun Waguntur lebih sakral.

Di alun-alun Bubat, setiap tahun sekali diselenggarakan pesta rakyat pada bulan caitra (Maret/April). Raja juga ikut menghadiri pesta rakyat ini pada 3-4 hari terakhir penyelenggaraan acara ini. Sedangkan lapangan (alun-alun) Waguntur, yang letaknya di dalam pura raja Majapahit, biasa digunakan untuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan (alun-alun) Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah timur dari lapangan Waguntur.

Masa Kerajaan Islam


Pada masa kerajaan Islam, fungsi alun-alun tidak jauh berbeda sebagaimana era sebelumnya. Alun-alun pada masa ini juga berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi. Hanya saja rancangan tata letak dan bangunan di sekelilingnya yang mengalami perubahan, seperti adanya masjid sebagai tempat beribadah umat Islam. Maka tidak menutup kemungkinan benarlah bahwa Sunan Kalijaga memiliki andil besar dalam pengaturan tata letak alun-alun kota dan bangunan di sekelilingnya. Dan rancangan inilah yang kemudian menjadi patokan bagi penataan alun-alun di beberapa kota di Jawa.

Model yang masih bisa kita lihat dari penggambaran alun-alun di masa ini adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta, bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun lor (utara) dan kidul (selatan). Pada masa itu, alun-alun lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja, sedangkan alun-alun kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun kidul juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.

Alun-alun lor Yogyakarta berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300×265 meter. Di tengahnya terdapat dua pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi dengan pasir halus, sedang dua pohon beringin ditengahnya dikelilingi oleh pagar segi empat. Sedang di sebelah barat alun-alun terdapat masjid sebagai tempat beribadah bagi Umat Islam.

Pada zaman Mataram, alun-alun juga bisa digunakan oleh rakyat biasa untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau menyelesaikan suatu perselisihan. Dahulu pada zaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) juga diadakan pertunjukan ‘Sodoran’ di alun-alun. selain pertunjukan Sodoran, kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Selain itu, ada juga pertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan) secara beramai-ramai yang dinamakan 'rampog macan'. Jadi, selain melambangkan kesakralan, alun-alun pada masa ini telah bertambah luas artinya. 

Masa Kolonial Belanda


Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda ikut memberi warna baru dalam tata kelola alun-alun. Sistem pemerintahan kolonial membagi jawa menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh seorang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasai secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Di pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk fisik. Wujudnya adalah rumah Bupati dengan pendoponya, dan keberadaan alun-alun di depannya. Alun-alun biasanya ditumbuhi oleh dua atau kadang-kadang satu pohon beringin. Rumah Bupati ini terletak disebelah selatan alun-alun, sementara di sebelah barat terdapat masjid Agung. Sedangkan di sebelah utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati adalah kantor Asisten Residen Belanda.

Pada masa ini, di sekitar alun-alun juga dibangun pasar, stasiun bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Model alun-alun seperti ini kemudian berkembang menjadi semacam identitas kota-kota di Jawa pada masa itu. Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial juga berubah menjadi lebih 'merakyat', meski sebenarnya pendirian bangunan-bangunan ini juga dimaksudkan untuk lebih memudahkan kepentingan kolonial Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun dan kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi). 

Masa Kemerdekaan - Sekarang


Pada masa kemerdekaan hingga sekarang, fungsi simbolis dan kesakralan alun-alun memang mulai luntur. Meskipun begitu, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada zaman modern ini, alun-alun telah mengalami perluasan fungsi. Selain sebagai pusat kegiatan sosial budaya masyarakat, alun-alun juga menjadi tempat untuk kegiatan ekonomi dan politik. Kini banyak pemerintah kota yang merevitalisasi alun-alunnya agar sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Namun hendaknya, revitalisasi alun-alun ini tidak sampai merusak fungsi dan hakekat keberadaan alun-alun. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi para pemangku kekuasaan agar lebih peduli terhadap alun-alun sebagai warisan budaya yang mesti dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Filosofi Alun-Alun


Alun-alun merupakan gambaran suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam semadi. Dalam melakukan semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa biasanya penuh dengan godaan-godaan, yang tercermin dari luasnya alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madep kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. (K.P.H. Brotodiningrat, 1978:20)

Alun-alun berasal dari kata alun gelombang. Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh di sekeliling alun-alun. Angin ini ibarat berbagai aliran yang membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, pengetahuan, kepercayaan dan sebagainya. Sedangkan beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos. (KRT. Puspodiningrat, 1984:2)

Alun-alun merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus. Orang Jawa menyebut pohon beringin dengan Wringin. ''Wri'' berasal dari kata ''wruh'' yang berarti mengetahui, melihat, sedangkan ''Ngin'' berarti memikirkan, tindakan penjagaan masa depan. Kedua kata ini melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana. Dengan demikian pohon beringin melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya, tetapi menjadi tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).


Baca juga: Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Alun-alun
http://www.wacana.co/2009/03/alun-alun-sebagai-identitas-kota-jawa-dulu-dan-sekarang/
Selengkapnya
Islamnya Raja Habasyah (Ethiopia) dan Asal Mula Shalat Ghaib

Islamnya Raja Habasyah (Ethiopia) dan Asal Mula Shalat Ghaib

Hijrah ke Habasyah

Sebelum peristiwa hijrahnya umat Islam ke Madinah, Umat Islam juga pernah diperintahkan untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia), bahkan sampai dua kali. Namun saat hijrah kali pertama, di sana mereka hanya bertahan selama 3 bulan sebelum akhirnya kembali pulang ke Makkah. Pada masa tahun ketujuh kenabian, Umat Islam kembali diperintahkan hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Mereka yang ikut hijrah pada saat itu berjumlah 73 laki-laki dan 11 perempuan. Termasuk di dalam rombongan ini adalah Ja'far bin Abi Thalib, saudara dari Ali bin Abi Thalib.

Di Habasyah, mereka diterima dengan baik oleh Raja Najasy, penguasa Habasyah saat itu. Raja Najasy adalah seorang pengikut agama Nasrani yang taat. Saat orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa umat Islam mendapat perlindungan dari raja Najasy, mereka mengirimkan dua orang utusan untuk menemui Raja Najasy dengan membawa beberapa hadiah. Menurut riwayat dua orang ini adalah Amr bin Ash dan 'Imarah bin Walid. Saat bertemu Raja Najasy, dua utusan ini berkata kepada raja:

"Wahai Sang Raja! Telah masuk ke negara anda beberapa remaja bodoh dari kaum kami. Mereka telah meninggalkan agama kaumnya, membuat agama baru yang kami dan anda tidak mengetahuinya. Para pembesar kaum kami dari putra-putra paman dan keluarga mereka telah mengutus kami kepada anda dalam perkara mereka, agar supaya anda mengembalikan mereka kepada keluarganya (di Makkah)".

Mendengar permintaan dua utusan ini, Raja Najasy menjawab:

"Saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian sebelum saya memanggil dan menanyai mereka".

Setelah rombongan kaum Muslim di hadirkan, Sang Raja kemudian bertanya kepada mereka (kaum Muslim) perihal perkara mereka. Ja'far bin Abi Thalib kemudian maju dan menjawab:

"Wahai Sang Raja! Kami sebelumnya adalah ahli jahiliyyah yang menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat keji, memutus persaudaraan, berlaku buruk kepada tetangga, dan yang kuat menindas yang lemah, hingga akhirnya Allah mengutus seorang Rasul kepada kami dari kaum kami sendiri. Kami mengenal nasab dan kejujurannya, amanahnya, dan ifahnya (terhindar dari melakukan maksiat). Dia (Rasul) mengajak kami untuk mengEsakan Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun. Dia juga mengajak kami untuk meninggalkan berhala-berhala yang sebelumnya kami sembah. Dia juga memerintahkan kami untuk jujur dalam berucap, menyambung tali silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan menjaga dari tertumpahnya darah. Dia juga melarang kami dari perbuatan keji, perkataan dusta dan memakan harta anak yatim. Dia memerintahkan kami untuk menjalankan shalat, berpuasa, membayar zakat dan beribadah haji. Maka kami percaya, beriman kepadanya dan membenarkannya"

Mendengar jawaban Ja'far bin Abi Thalib tentang hakikat ajaran Islam, Raja Najasy kemudian menolak untuk menyerahkan kaum muslim kembali kepada kaum kafir Quraisy. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ja'far bin Abi Thalib juga sempat membacakan awal surat Maryam kepada Raja Najasy. Mendengar penolakan Raja Najasy, dua utusan kaum Quraisy akhirnya pulang sia-sia dengan membawa kegagalan. 

Raja Najasy beserta para pendeta dan para rahib yang menyertainya pun akhirnya memutuskan untuk masuk Islam pada waktu itu. Atas dasar peristiwa ini, Allah turunkan firmanNya:

"Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani. Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri." (QS. Al-Ma'idah Ayat 82).

Saat Raja Najasy wafat, Malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah akan kewafatannya, Rasul pun kemudian melakukan shalat jenazah atasnya. Inilah asal mula pertama kalinya dilaksanakan shalat jenazah ghaib. Dalam tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443 juga disebutkan bahwa telah tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim: Ada seorang Najasyi meninggal, Rasulullah pun segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: "Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal dunia, maka shalatlah kalian untuknya". Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya.


Sumber: 
Khulashah Nur al-Yaqiin juz 1 hlm 34-35.
https://www.nu.or.id/post/read/8397/shalat-ghaib
Selengkapnya
Makna Sangkan Paraning Dumadi

Makna Sangkan Paraning Dumadi

Tulisan sangkan paraning dumadi

Pernahkah anda mendengar istilah sangkan paraning dumadi?. Bagi kita yang hidup di jawa mungkin sering mendengar istilah ini, tetapi hanya mendengar belum tentu memahami makna dari falsafah jawa ini. Jika dijabarkan sangkan berarti asal muasal, paran berarti tujuan, dan dumadi artinya menjadi. Jadi dapat dipahami bahwa yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang asal muasal dan tujuan hidup seorang manusia. Pemahaman ini juga menegaskan mengenai "Dari mana manusia berasal dan kemana ia akan kembali."

Sebagai manusia yang beragama, kita diajari bahwa kita dapat mengenal tentang hakikat Tuhan sebagai sesuatu yang nyata dengan mengetahui siapa sebenarnya diri kita (hakikat manusia). Dengan pemahaman mengenai diri (hakikat manusia), maka akan didapatkan pemahaman mengenai hakikat Tuhan. Dalam prosesnya, dengan kita mengenal Tuhan, maka pada akhirnya kita akan sampai pada penghayatan dari mana asal hidup manusia itu, dan akan kemana hidup itu akhirnya pergi (kembali kepada Tuhan). 

Menurut Ranggawarsito, manusia berasal dari nur (cahaya) Tuhan yang ghaib, yang terkurung oleh badan wadag yang tersusun atas empat anasir (air, api, tanah, angin). Setelah meninggal, badan wadag tidak akan dapat bersatu kembali kepada Tuhan apabila semasa hidup di dunia ini tidak dibekali dengan pengetahuan akan Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan inilah yang merupakan sangkan paran (asal mula) hidup manusia. 

Kita tahu bahwa dunia ini bukanlah tempat yang kekal. Kita hidup di dunia ini tidak selamanya, alias hanya sementara saja. Maka sudah seharusnya kita di dunia selalu ingat akan tujuan akhir hidup kita, yakni kembali bersatu dengan Tuhan. Kesatuan ini dapat dicapai melalui perjalanan spiritual. Dengan senantiasa melakukan kontak dengan Tuhan melalui laku spiritual, maka akan tercapailah kesempurnaan hidup. Dan pada saatnya nanti kita meninggalkan dunia ini, kita pun dapat bersatu dengan zat Tuhan secara hakiki.

Dengan mengetahui ngelmu sangkan paran ini, semoga dalam menjalani kehidupan yang singkat ini kita bisa mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan yang dapat membawa kita pulang 'dumadi' kembali kepada Tuhan dengan selamat. Dalam istilah Islam, ngelmu Sangkan Paraning Dumadi ini tampaknya identik dengan filosofi 'Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Roji'uun', yang artinya sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya lah kami kembali.
Selengkapnya
Biografi Mbah Soleh Darat Semarang

Biografi Mbah Soleh Darat Semarang

Potret Mbah Soleh Darat

Mungkin banyak yang kurang familiar dengan tokoh ini, tapi bagi mereka yang mengkaji sejarah Ulama-Ulama besar yang mempunyai andil besar dalam metode pembelajaran keilmuan-keilmuan Islam dalam dunia pesantren di Indonesia, semestinya kita mengenal tokoh ini. Beliau adalah Syekh Sholeh Darat As Samarany, atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Soleh Darat. Beliau termasuk gurunya para Ulama Indonesia sebagaimana halnya Mbah Nawawi Banten atau Mbah Kholil Bangkalan. Bahkan konon termasuk diantara muridnya adalah RA. Kartini, tokoh emansipasi wanita dalam sejarah Indonesia.

Mbah Soleh Darat bernama lengkap Al-'Alim Al-'Allamah Asy-Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani al-Jawi asy-Syafi'i. Sebutan 'Darat' pada akhir nama beliau disebabkan beliau tinggal di daerah yang bernama Darat, suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat pelancong dari luar Jawa. Ayah beliau adalah Kyai Umar, seorang Ulama yang juga merupakan salah seorang pejuang yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dalam perang jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.

Mbah Soleh Darat dilahirkan di desa Kedung Cemlung, Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1235 H/1820 M, dan wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M. Masa hidup beliau sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura. Bahkan ketiganya juga pernah menimba ilmu bersama ketika di Makkah, bersama Ulama besar lain seperti Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fathani dan Syekh Amrullah dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Pendidikan Beliau


Pada masa kecilnya beliau belajar langsung kepada ayahnya, Kyai Umar tentang dasar-dasar ilmu keIslaman. Ayahnya sangat berharap agar Soleh Darat kelak menjadi Ulama yang berpengetahuan sekaligus berpengalaman, karena pengetahuan tanpa adanya pengalaman adalah kaku, begitupun sebaliknya berpengalaman tanpa pengetahuan yang cukup adalah ibarat tumbuhan yang hidup di tanah yang gersang, karenanya seseorang yang berpengalaman dan berpengetahuan banyaklah yang diperlukan oleh masyarakat Islam di sepanjang zaman. 

Selain berguru kepada ayahnya, beliau juga pernah berguru kepada Kyai Haji Syahid, seorang Ulama besar di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Perjalanannya dalam pencarian ilmu juga membawa beliau berguru kepada beberapa Ulama, diantaranya Kyai Haji Muhammad Saleh Asnawi Kudus, Kyai Haji Ishaq Damaran, Kyai Haji Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), Kyai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Kyai Haji Abdul Ghani Bima. Untuk menambah pengalamannya, ayahnya juga pernah mengajak Soleh Darat pergi merantau ke Singapura selama beberapa tahun. 

Beberapa tahun kemudian, bersama ayahnya, beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mendalami berbagai ilmu keislaman. Di sana, beliau berguru kepada beberapa Ulama Makkah pada masa itu, diantaranya Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri dan lain-lain. 

Setelah beberapa tahun berkelana mencari ilmu, karena kealiman dan keluasan ilmunya, akhirnya Mbah Soleh Darat mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Makkah. Banyak dari muridnya yang berasal dari Tanah Jawa dan Melayu berguru kepada beliau di sana. Setelah menetap di Makkah selama beberapa tahun untuk belajar dan mengajar, Mbah Soleh Darat akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman di Semarang untuk menyebarkan ilmunya, berkhidmat kepada masyarakat di tanah airnya sendiri.

Mendirikan Pesantren


Pada masa itu, Ulama dari tanah Melayu mempunyai tradisi bahwa ketika pulang dari belajar di Makkah maka ia harus mendirikan pesantren untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmunya. Begitu pula dengan Mbah Soleh Darat, begitu beliau sampai di kampung halaman, beliau mendirikan pondok pesantren di pesisir kota Semarang. Sejak itulah beliau kemudian dipanggil dengan sebutan Kyai Soleh Darat Semarang. Dengan kealimannya, banyak murid yang kemudian datang berguru kepadanya, sehingga nama beliau pun akhirnya semakin dikenal di seantero Jawa.

Murid-Muridnya


Mbah Soleh Darat mempunyai banyak murid, di antara murid beliau yang menjadi Ulama tersohor adalah: 

1. KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama)
2. Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madzhab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits).
3. KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)
4. KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang).
5. KH. Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo)
6. KH. Sya’ban (Ulama Ahli Falak di Semarang)
7. KH. Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watucongol Muntilan, Magelang).
8. Raden Ajeng Kartini, tokoh wanita pejuang emansipasi wanita di Indonesia.

Karya-Karya Mbah Soleh Darat


Mbah Soleh Darat cukup produktif dalam menghasilkan karya-karya. Diantara karya-karya beliau adalah:

1. Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-Awam, kandungannya berisi tentang ilmu syari’at untuk orang awam.
2. Al-Hakim, kandungannya tentang ilmu tasawuf, merupakan petikan-petikan penting dari kitab Hikam karya Syekh Ibnu Atho’ilah As-Sakandari.
3. Kitab Munjiyat, kandungannya tentang ilmu tasawuf, merupakan petikan penting dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali.
4. Kitab Batha’if At-Thaharah, kandungannya berisi tentang hukum bersuci.
5. Kitab Faidhir Rahman, merupakan terjemahan dari tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Kitab ini merupakan terjemahan dari tafsir Al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Jawa di dunia Melayu. Menurut riwayat, satu naskah kitab tafsir tersebut pernah dihadiahkan kepada RA. Kartini ketika menikah dengan RM. Joyodiningrat (Bupati Rembang).
6. Kitab Manasik Al-Hajj, kandungannya berisi tentang tata cara ibadah haji.
7. Kitab Ash-Shalah, kandungannya berisi tentang tata cara sholat.
8. Terjemahan Sabil Al-‘Abid ‘Ala Jauharah At-Tauhid, kandungannya tentang aqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah, mengikuti pegangan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. 
9. Mursyid Al-Wajiz, membahas tentang tasawuf dan akhlak.
10. Minhaj Al-Atqiya’, membahas tentang tasawuf dan akhlak.
11. Kitab Hadits Al-Mi’raj, membahas tentang perjalanan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kitab ini sama kandungannya dengan Kifayah Al-Muhtaj karya Syekh Daud Bin Abdullah Al-Fathani. 
12. Kitab Asrar As-Shalah, membahas tentang rahasia-rahasia shalat.

Hampir semua karya Mbah Soleh Darat ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan aksara Arab pegon, hanya sebagian kecil yang ditulis dalam bahasa Arab. Banyak orang berpendapat bahwa beliau adalah orang yang paling berjasa dalam menghidupkan dan menyebarluaskan tulisan pegon yang kemudian dipakai dalam dakwah-dakwah dan pengajaran di pesantren-pesantren di Jawa.

Selengkapnya
Mistisisme Masyarakat Jawa

Mistisisme Masyarakat Jawa

Orang jawa

Sebagaimana yang kita ketahui, masyarakat jawa sebelum masuknya agama Islam, bahkan sebelum masuknya ajaran Hindu dan Budha sekalipun, adalah masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam suasana mistik. Mistik bagi masyarakat jawa dianggap sebagai sikap hidup, pola pikir dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak literatur mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat jawa saat itu bertumpu pada penyembahan terhadap roh-roh leluhur (animisme) dan kekuatan magis dari benda-benda (dinamisme). 

Kepercayaan animisme dan dinamisme ini bahkan telah dianut masyarakat jawa sejak zaman pra-sejarah. Dasar pemikiran ajaran animisme dinamisme yaitu adanya kepercayaan tentang kekuatan atau energi yang mendiami benda-benda keramat dan adanya roh-roh halus (termasuk arwah leluhur) yang menempati alam sekeliling mereka. Selain itu, mereka juga mempercayai bahwa manusia (khususnya bagi orang-orang tertentu) mampu mengadakan kontak langsung dengan alam arwah atau dunia gaib. Orang - orang dengan kemampuan ini bahkan mampu mengendalikan alam arwah tersebut dan menggunakan kekuatan gaib untuk kepentingan duniawi dan spiritual mereka. 

Bentuk kontak dengan roh atau alam gaib bagi masyarakat jawa diekspresikan dengan adanya upacara-upacara ritual pemujaan terhadap sesuatu yang dianggap sakral (keramat). Upacara ritual tersebut diwujudkan dengan adanya perlengkapan upacara yang berupa sesaji, pembacaan mantra-mantra dan menggunakan mediator yakni seorang dukun atau orang-orang yang dianggap memiliki tingkat kemampuan spiritual tertentu. 

Kepercayaan masyarakat jawa semakin berkembang dengan masuknya orang-orang Melayu purba sekitar tahun 3000 SM dari pegunungan Cina selatan melalui Vietnam, serta kedatangan orang-orang Melayu yang sudah memiliki peradaban agak tinggi yang memiliki kepercayaan akan kuasa roh-roh dalam kehidupan manusia, semakin memberi warna bagi kepercayaan masyarakat jawa saat itu. Terlebih dengan masyarakat jawa yang memiliki watak lembah manah membuat kepercayaan baru yang masuk menjadi mudah diadopsi dan diserap oleh mereka.

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan masyarakat jawa kemudian banyak dipengaruhi budaya agama Hindu diikuti ajaran Budha yang dibawa oleh bangsa India. Dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha yang juga membawa ajaran esoterik dan mengajarkan mistik, maka terjadilah pergumulan dengan ajaran mistik jawa yang sudah mapan, sehingga terjadilah proses saling mempengaruhi antara mistik Hindu Budha dan mistik jawa yang sama-sama menjadi sikap dan falsafah hidup. Hal ini tentunya semakin menyuburkan khazanah mistis masyarakat jawa. 

Hal ini terjadi pula saat agama Islam masuk ke tanah jawa. Terlebih penyebaran agama Islam yang saat itu banyak dimotori oleh kaum sufi, yang bentuk praktek keagamaannya cenderung menekankan aspek batin (esoterik), semakin melengkapi dan memperkaya dimensi spiritual, khazanah pemikiran dan pola hidup masyarakat jawa. Sufisme sebagai mistisisme Islam mendapat apresiasi dari masyarakat yang luar biasa, karena memang pada dasarnya masyarakat jawa sudah akrab dengan dunia mistis. Dari perpaduan kepercayaan inilah kemudian muncul istilah yang disebut Islam Kejawen. 

Pergumulan mistik Islam (tasawuf) dengan mistik jawa tampak terlihat jelas dari perkembangan sikap hidup keagamaan orang jawa. Munculnya aliran-aliran kebatinan merupakan wujud pengolahan jawa atas mistik Islam. Mistik yang merupakan salah satu sikap hidup orang jawa sejak dari mereka hanya mengenal ajaran animisme dinamisme, hingga masuknya ajaran Hindu Budha, telah diperkaya dengan warna lain, yaitu mistik Islam. Intinya bahwa semua agama yang masuk ke tanah jawa diterima dan diolah secara 'jawa', sehingga dalam beberapa aspek ajarannya juga telah mengalami jawanisasi.

Pengaruh Islam terhadap mistik jawa terlihat dalam partisipasinya dengan sikap hidup orang jawa. Sikap hidup orang jawa yang selalu ditekankan pada hidup batin, pada kenyataannya juga senada dengan ajaran tasawuf Islam seperti sikap rila, narimo, legowo, waspodo, eling dan seterusnya. Ajaran jawa tersebut identik dengan ajaran Islam seperti ridha, qanaah, tawakkal, sabar dan dzikir. Salah satu ritus mistik orang jawa adalah slametan. Slametan merupakan nilai yang sakral bagi masyarakat jawa. Ritual ini dilakukan sejak menyambut kelahiran seorang bayi, khitanan, pernikahan sampai pada kematian. Slametan yang pada masa sebelum Islam banyak menggunakan tradisi mistis seperti berbagai macam sesaji, setelah Islam datang diubah dengan pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur'an yang dipanjatkan oleh seorang Kyai atau pemuka agama.

Selain slametan ada juga nyadran. Adat ini biasa dilakukan pada bulan Ruwah (Jawa) atau Sya'ban (Islam) dengan cara berziarah mengadakan tabur bunga di kubur, kemudian selanjutnya melakukan mandi suci untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Sebelum datangnya Islam, pada masa dahulu upacara adat ini dilakukan dengan pemanggilan roh-roh halus, meminta berkah dan restu pada arwah. Ketika Islam datang, pola hidup mistik yang ada di adat tersebut diubah, upacara ziarah dan tabur bunga tetap dijalankan, tetapi disertai dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dan pembacaan doa yang dilakukan dengan cara Islami. Sementara pemanggilan roh dan permohonan doa pada roh dihilangkan, diganti dengan doa yang diarahkan hanya pada Allah SWT. 

Ajaran Islam yang memperkenalkan konsep tentang Tuhan dan ketuhananNya melalui ajaran tasawufnya, telah diadopsi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat jawa. Tasawuf (mistik Islam) yang mengajarkan bagaimana konsep tentang manusia, Tuhan dan alam, serta bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan (melalui jalan mistik) juga banyak digunakan dalam praktek mistik jawa, oleh aliran-aliran kebatinan. Pandangan hidup, falsafah, kearifan dan kebijaksanaan dalam Islam juga banyak diadopsi masyarakat jawa. Islam tidak hanya sekedar diterima oleh masyarakat jawa sebagai sebuah agama, tetapi juga menjadi penyubur khazanah mistik bagi masyarakat jawa. 
Selengkapnya
Touring Kebumen-Pangandaran-Cidaun-Ciwidey-Bandung

Touring Kebumen-Pangandaran-Cidaun-Ciwidey-Bandung


Beberapa waktu yang lalu, saya dan paman saya Mulyo Wiarto melakukan perjalanan jauh menyusuri sebagian wilayah Jawa Tengah - Jawa Barat menggunakan sepeda motor. Pada awalnya kami berniat berangkat pada pagi hari, namun karena di tempat kami hujan deras maka akhirnya kami urungkan menunggu hujan reda. 

Menjelang siang, hujan mulai berhenti, kami pun memutuskan untuk berangkat memulai perjalanan kami. Sekitar pukul 11 siang kami berangkat berboncengan menggunakan sepeda motor dari rumah kami di Kebumen, Jawa Tengah. Dalam perjalanan kami juga sempat singgah di Gunung Srandil (Adipala, Cilacap) untuk berziarah ke makam Syekh Makhfud dan shalat dhuhur. 

Dari gunung Srandil perjalanan kami lanjutkan dan kembali berhenti di Kesugihan, Cilacap. Di sana kami berziarah ke makam Simbah Badawi Hanafi, Romo Kyai Mustholih, dan Romo Chasbullah Badawi sekeluarga. Beliau-beliau ini adalah pengasuh PonPes Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap, dimana saya pernah mondok disana. Setelah berziarah di Kesugihan, perjalanan berlanjut menuju arah Pengandaran. Sampai wilayah Pengandaran kami mengambil rute melewati jalur selatan jawa barat. 

Saya tidak begitu faham dengan daerah-daerah yang kami lalui di jalur ini. Ada Cijulang, Cipatujah dan tempat lain yang baru pertama kali saya melewatinya. Jalanan aspal di jalur ini masih bagus dan jarang ada yang rusak sehingga nyaman buat perjalanan. Hanya saja jalur ini sangat sepi sehingga kadang timbul perasaan was-was ketika melewati hutan yang gelap dan sepi tanpa ada pemukiman. 

Selain melewati hutan, dalam perjalanan ini kami juga sesekali melewati jalanan di pinggir pantai pesisir selatan. Kami juga jarang sekali menjumpai kendaraan sepeda motor yang melintasi jalan ini, hanya kendaraan-kendaraan besar seperti truk yang agak sering kami jumpai. Dalam guyuran rintik hujan, akhirnya kami sampai wilayah Cidaun, Cianjur pada pukul 11 malam.

Ponpes di Cidaun

Di Cidaun kami silaturahim dan bermalam di pondok pesantren milik keluarga alm Bpk. Suparman dan Ibu Satinem. Pagi harinya, kami sempatkan keliling bangunan pondok dan jalan-jalan pagi sembari menikmati indahnya pemandangan alam. Dari jalanan depan pondok pesantren ini, kami juga bisa melihat indahnya pantai selatan dari kejauhan. 

Setelah beramah tamah dengan keluarga besar pondok, pukul 9 pagi, masih dalam guyuran hujan, perjalanan kami lanjutkan kembali ke utara menyusuri rute Cidaun-Ciwidey-Soreang-Bandung. Jalur ini kabarnya jalur baru sehingga masih jarang yang melintas. Rute jalur ini jalanan tidak begitu lebar dan ada yang belum beraspal sehingga kami mesti waspada. Kami juga sering menjumpai tikungan yang tajam sehingga kadang mobil dari lawan arah tidak kelihatan. 

Meskipun begitu, dalam perjalanan berkelok-kelok menyusuri bukit menuju kota Bandung ini, kami banyak disuguhi pemandangan alam yang indah menawan seperti hijaunya perbukitan, tebing-tebing tinggi dan curug-curug atau air terjun di tepi jalan yang banyak dijumpai di jalur ini. 

Semakin tinggi berjalan kami juga sempat menembus kabut yang semakin tebal disertai rintik hujan yang turun. Setelah melewati areal perkebunan teh yang hijau, jalur mulai agak menurun hingga kami sampai di wilayah Ciwidey, berlanjut Soreang dan akhirnya sampai di Bandung pada pukul 12 siang.

Di Bandung, kami bersilaturahim ke rumah saudara dan menginap semalam di sana. Setelah rasa capek lelah hilang, pagi harinya kamipun kembali pulang ke kampung halaman dan sempat singgah di Ciamis, Purbalingga, hingga akhirnya sampai kembali di kota Kebumen tercinta. 

Banyak pengalaman yang kami dapat dari perjalanan ini. Dari perjalanan yang selalu diiringi guyuran hujan hingga tubuh menggigil di perjalanan karena kedinginan, alhamdulillah perjalanan lancar tanpa ada hambatan sampai bisa kembali ke rumah. Hanya sayangnya, selain gambar Ponpes di Cidaun, kami tidak punya gambar lain sebagai dokumentasi perjalanan kami.

Curug di pinggir jalan
gambar via http://cidaun-ciwidey.blogspot.com/2016/03/menikmati-perjalanan-rute-bandung.html

Pemandangan alam 1
gambar via http://cidaun-ciwidey.blogspot.com/2016/03/menikmati-perjalanan-rute-bandung.html
Pemandangan alam 2
gambar via http://cidaun-ciwidey.blogspot.com/2016/03/menikmati-perjalanan-rute-bandung.html

Selengkapnya