Mencintai Seseorang Karena Allah

Mencintai Seseorang Karena Allah

Cinta itu adalah ketika timbul perasaan aneh di sekujur tubuhmu baik ketika kau melihatnya, mendengarnya, ataupun ketika kau merasakan kehadirannya di dekatmu. Adakalanya kau selalu ingin dekat dengannya. Namun yakinlah, bahwa jarak yang jauh terkadang justru mampu mendekatkan hati kalian. Begitu juga sebaliknya, kedekatan tanpa ikatan pernikahan seringkali justru merenggangkan hati kalian.

Mencintai Seseorang Karena Allah
ilustrasi via pixabay

Cinta itu tumbuh secara tak terduga. Terkadang kau berpikir bahwa kau lebih baik mencintai orang tersebut. Namun ketika hatimu menolaknya, kau tak akan mampu berbuat apa-apa. Biarlah perlahan-lahan hatimu bersama dengan masa yang akan menghapusnya dari pikiranmu. Namun ketika hatimu membenarkan, kau justru akan dibuat kebingungan karenanya. Kau justru akan berpikir ulang sebelum kau benar-benar yakin bahwa dialah cintamu yang sebenarnya.

Cinta karena Allah adalah ketika kau mengerti, tak hanya kelebihan dari orang itu yang kau lihat, namun juga memahami dan menerima kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Sungguh pun kau baru boleh mengatakan bahwa "aku mencintainya" setelah kau benar-benar mengenalinya dengan sebenar-benarnya, yaitu baik dan buruknya.

Cinta karena Allah itu tidak akan pernah sebatas pada penampilan dan kecantikan. Adakalanya kau akan lebih mencintai sebongkah arang hitam daripada sebutir berlian yang berkilauan. Karena sesungguhnya kau sadar bahwa kau membutuhkan sebuah kehangatan yang mampu mengusir rasa dingin dari jiwamu. Lebih daripada sekedar keindahan yang ternyata membuatmu membeku dan kedinginan.

Cinta karena Allah itu tidak akan tumbuh dari kecantikan seseorang. Namun kecantikan seseorang justru akan tampak ketika kau mencintainya. Adalah bagaimana kau bisa mencintainya karena akhlak dan agamanya, bukan pada rupa, harta, ataupun nasabnya. Karena dengan inilah kau bisa menepis kefakiran, kehinaan, ketidak-bahagiaaan, dan kemudian menggantinya dengan kemuliaan yang diridhai oleh Allah SWT.


Cinta karena Allah akan membuatmu merasa tidak perlu memiliki meskipun dalam hatimu kau sangat ingin untuk memilikinya. Adalah bagaimana kau bisa ikhlas ketika dia ternyata lebih mencintai orang lain dan bahkan kau pun bisa berdoa agar mereka bisa berbahagia.

Cinta karena Allah tidak akan menggiringmu pada jurang kemaksiatan. Ketika kau melihat dia dan mencintainya, maka hal itu akan membuatmu semakin berbenah diri, dan kau pun menjadi mampu melihat kekurangan-kekurangan dirimu untuk kemudian berusaha untuk memperbaikinya.

Cinta karena Allah tidak akan membuatmu berpikir sempit, justru kau akan berpikir lebih jauh ke depan, lebih matang, lebih dewasa, dan ke arah yang lebih serius. Kau tidak akan berpikir dan membayangkan apabila kalian sudah pacaran, namun kau sudah berpikir ke arah pernikahan. Karena kau sadar bahwa ia jauh lebih kokoh, suci, berarti dan bermakna di hadapan Allah daripada sekedar pacaran.

Cinta karena Allah terkadang tidak tumbuh dengan sendirinya. Kita seperti layaknya diberi biji untuk ditanam. Lalu ia tergantung pada bagaimana kita merawatnya. Jika kita baik, maka baik pulalah perasaan itu, begitu juga sebaliknya. Terkadang pula bisa jadi ia tumbuh dengan sendirinya. Ada saat dimana kau terkadang ingin membunuh saja perasaan tersebut namun entah mengapa kau tak berdaya. Karena sebenarnya bukanlah kita yang menumbuhkan perasaan cinta tersebut. Namun Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lah yang berkehendak atas segala perasaan itu.

Cinta karena Allah bukanlah tentang bagaimana kalian saling memandang, namun bagaimana tentang kalian melihat ke arah yang sama, dan berjalan ke arah yang sama. Kalian sadar bahwa kalian tidak akan mampu menghadapi perjalanan tersebut sendirian, melainkan kau butuh seseorang untuk berjalan di sisimu, untuk saling membantu, saling meringankan, dan saling mengarahkan dalam perjalanan menggapai Ridha-Nya.

Cinta karena Allah tidaklah selalu membutuhkan beragam kesamaan diantara kalian. Namun yang terpenting adalah kesamaan prinsip dan tujuan dalam menjalani hidup ini. Dan dalam dirimu kau pun ingin agar kau merasa layak untuk mencintai dan dicintai olehnya.

Selengkapnya
Kemuliaan Nama-Nama Lain Rasulullah Muhammad SAW

Kemuliaan Nama-Nama Lain Rasulullah Muhammad SAW

Kaum Muslimin meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah sosok manusia yang sempurna. Beliau bukan hanya seorang rasul, seorang nabi, makhluk pilihan dan penerima wahyu. Lebih dari itu, beliau juga seorang yang sempurna, dengan sekian keutamaan yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Rasulullah SAW adalah suri tauladan yang baik dalam berbagai hal. Termasuk dalam perbuatan atau akhlak. Sebagai umatnya, sudah seharusnya bagi kita untuk selalu berusaha meneladani akhlak beliau.

kaligrafi Muhammad SAW
via imuzaki.com

Telah dimaklumi bahwa nama Muhammad bagi Rasulullah SAW bukanlah sekedar nama yang tidak memiliki makna. Menurut para Ulama, nama-nama para nabi, bukan hanya sekedar nama yang tidak bermakna, bahkan arti nama-nama itu pada hakekatnya merupakan sifat terpuji yang melekat kepada mereka. Begitu pula dengan nama yang tersemat sebagai nama Rasulullah SAW. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya 'Jalaul Afham fi Fadhlis Shalah was Salam 'ala Khairil Anam' menjelaskan:

“Pasal (Bagian) ketiga tentang makna nama Nabi SAW

Dalam hadits Jubair bin Muth’im RA, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Akulah Muhammad, akulah Ahmad, dan akulah al-Mahi yakni Allah menghapus kekufuran denganku.” Rasulullah SAW menyebutkan nama-nama ini sebagai penjelasan keutamaan yang menjadi keistimewaannya dan menunjuk pada makna-makna nama-nama ini. Andaikan nama-nama tersebut hanya sekedar nama yang tidak bermakna, tentu nama-nama itu tidak menunjukkan pujian pada beliau. Oleh karena ini, Hassan bin Tsabit RA pernah berkata:

Allah telah mengambilkan nama Muhammad dari nama-Nya untuk mengagungkannya. Tuhan penguasa ‘Arsy bernama Mahmud (Dzat Yang terpuji) dan nabi ini bernama Muhammad (nabi yang selalu terpuji). Andaikan nama-nama nabi hanyalah sekedar nama yang tidak bermakna, tentu tidak akan menjadi pujian bagi beliau.” (Ibn al-Qayyim, Jala’ al Afham fi al-Shalah 'ala Khairil Anam, hal. 96).

Selain nama Muhammad, Rasulullah SAW juga memiliki nama-nama lain yang merupakan pujian bagi pribadi beliau. Nama-nama tersebut biasa kita temukan dalam syair-syair shalawat yang menyertakan nama-nama lain beliau tersebut. Terkait hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang lain 'Zad al Ma’ad' memberikan uraian sangat bagus tentang nama-nama Nabi SAW. Syaikh Ibnu Qayyim menyebutkan:

“Pasal (Bagian) penjelasan nama-nama Nabi SAW

Semua nama-nama beliau adalah sifat-sifat terpuji bagi beliau, bukan sekedar nama yang tiada arti. Bahkan nama-nama beliau terambil dari sifat-sifat terpuji dan kesempurnaan yang melekat pada beliau. Di antara nama-nama beliau adalah Muhammad - dan nama ini yang paling populer -, (selanjutnya) Ahmad, al-Mutawakkil (yang berserah diri kepada Allah), al-Maahi (penghapus kekufuran), al-Haasyir (penghimpun umat manusia), al-Aaqib, al-Muqaffa, nabi pembawa taubat, nabi pembawa rahmat, nabi pembawa panji peperangan, al-Faatih (pembuka segala yang tertutup), al-Amiin (yang dipercaya), al-Syaahid (yang menjadi saksi), al-Mubasysyir, al-Basyiir (pembawa berita gembira), al-Nadziir (pembawa peringatan), al-Qaasim (yang membagi-bagikan), al-Dhahuuk (selalu tersenyum), al-Qattaal, Abdullah, al-Siraajulmuniir (lampu yang menerangi), pemimpin anak cucu Adam, pemegang panji yang terpuji, pemilik derajat terpuji dan nama-nama yang lain.

Karena apabila nama-nama beliau adalah sifat-sifat yang terpuji, maka dari setiap sifat terpuji, beliau pasti memiliki nama. Dan apabila setiap sifat terpuji beliau dijadikan nama, maka nama beliau akan melampaui dua ratus nama seperti al-Shaadiq (yang jujur), al-Mashduuq (yang dipercaya), al-Ra’uuf al-Rahiim dan lain-lainnya. Dalam konteks ini sebagian ulama yaitu al-Hafizh Abu al-Khaththab bin Dihyah mengatakan, bahwa Allah memiliki seribu Nama, dan Nabi SAW juga memiliki seribu nama. Dan maksud nama-nama tersebut adalah sifat-sifat terpuji beliau.” (Ibn alQayyim, Zad al-Ma’ad (1/84).

Sedangkan berkaitan dengan nama Thaha dan Yasin, dalam hal ini kita mengikuti hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih dan Abu Nu’aim dalam Dalail al-Nubuwwah, bahwa Thaha dan Yasin adalah juga nama beliau. Disamping itu banyak pula Ulama salaf yang berpendapat bahwa Thaha dan Yasin adalah memang nama beliau.

Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin al-Hanafiyyah, al-Hasan al-Bashri, Ikrimah, Mujahid, al-Zajjaj, Qatadah, al-Dhahhak dan lain-lain. Pendapat ini kemudian diikuti oleh kalangan ahli hadits seperti al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dalam al-Syifa, al-Hafizh Ibn Sayyidinnas, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’, Ibn al Qayyim dalam Zaad al Ma’ad dan lain-lain.

Selengkapnya
Bidadari-Bidadari Surga dan Keutamaan Wanita Shalihah

Bidadari-Bidadari Surga dan Keutamaan Wanita Shalihah

Di dalam Al Qur'an, istilah Huurun 'Iin biasa diterjemahkan sebagai bidadari yang bermata jeli. Bidadari adalah pasangan bagi muslim beriman para penghuni surga kelak. Para bidadari digambarkan selalu perawan, dengan umur sebaya yang diciptakan langsung tanpa proses kelahiran, dan digambarkan bahwa payudara mereka padat dan fisik mereka seperti gadis remaja.

Bidadari-bidadari surga memiliki kulit putih, bening, bersih dan lembut yang sempurna, diibaratkan seperti telur yang tersimpan dengan baik, dan diibaratkan pula para bidadari itu seperti permata yakut dan mutiara. Dijelaskan pula bahwa para bidadari itu sangat sopan, selalu menundukkan pandangannya, dan mereka tidak pernah disentuh oleh bangsa manusia atau jin.

ilustrasi bidadari
sekedar ilustrasi

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya 'Raudhatul Muhibbin' (Taman Para Pecinta) menyebutkan bahwa para bidadari adalah pelayan-pelayan surga yang dikatakan di dalam Al Qur'an bahwa kecantikan dan budi pekerti mereka tidak terbanding dengan segala kecantikan di dunia ini kecuali wanita-wanita shalihah yang senantiasa mentaati perintah Allah dan RasulNya. 

Bidadari surga adalah makhluk yang sangat dirindukan oleh orang-orang yang beriman. Allah SWT menganugerahkan sifat-sifat terindah kepada para bidadari surga dan memberi mereka perhiasan-perhiasan terbaik. 

Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ummu Salamah RA, salah seorang istri Rasulullah SAW. la berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai firman Allah: 

وَحُورٌ عِينٌ

"Dan (di dalam surga itu) ada bidadari yang bermata jeli." (QS. Al-Waaqi'ah: 22)

Beliau lalu bersabda, 'huur berarti bidadari yang kulitnya putih. Sedangkan yang disebut mata jeli atau indah (‘iin) berarti matanya lebar (besar). Dan rambutnya berkilau indah seperti sayap burung nasar.' 

Aku (Ummu Salamah RA) kemudian bertanya lagi tentang makna ayat:

كَأَمْثٰلِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ

"Laksana mutiara yang tersimpan baik." (QS. Al-Waaqi'ah: 23) 

Beliau pun bersabda, 'Maksudnya, bersihnya mereka seperti bersihnya mutiara yang berada dalam cangkangnya, yang belum pernah tersentuh tangan manusia.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, beritahu pula aku tentang makna firman Allah:

فِيهِنَّ خَيْرٰتٌ حِسَانٌ

"Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik dan jelita." (QS. Ar-Rahman: 70)

Beliau bersabda, 'Akhlaknya baik (khairat) dan wajahnya cantik.' 

Aku pun bertanya lagi, 'Terangkan pula tentang firman Allah:

كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَّكْنُونٌ

"seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik." (QS. As-Saffat: 49)

Beliau bersabda, 'Kelembutan kulit mereka seperti lembutnya kulit telur bagian dalam yang kamu lihat, yang tertutup oleh cangkang telur.' 

Aku bertanya lagi, 'Terangkan pula tentang firman Allah:

عُرُبًا أَتْرَابًا

"yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya," (QS. Al-Waqi'ah: 37)

Beliau bersabda, 'Mereka adalah para wanita yang telah wafat di dunia dalam keadaan tua renta, matanya sudah rabun dan beruban rambutnya. Setelah itu Allah SWT kembali menciptakan mereka, dan menjadikan mereka perawan lagi. 'Uruban artinya penuh cinta dan kasih sayang. Sedangkan atraban bermakna mereka lahir dalam satu waktu (usia mereka semua sama).' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, mana yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari? 

Beliau menjawab, 'Wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari, seperti kelebihan apa yang tampak dari apa yang tidak tampak.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, mengapa demikian?' 

Beliau bersabda, 'karena shalat mereka, puasa mereka, dan ibadah mereka karena Allah SWT. 
 
Allah memberi cahaya di wajah mereka. Mereka mengenakan sutra di tubuhnya. Warna kulit mereka putih, pakaian mereka hijau, perhiasan mereka kuning, sanggul mereka dari mutiara, dan sisir mereka adalah emas. Mereka mengatakan: 

'kami adalah perempuan-perempuan abadi yang takkan mati. Kami adalah perempuan-perempuan bahagia yang takkan pernah miskin. Kami adalah perempuan-perempuan penduduk tetap yang takkan pindah selamanya. Ketahuilah, kami adalah perempuan-perempuan yang ridha dan takkan marah selamanya. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami menjadi miliknya.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang menikah dua kali, tiga kali, dan empat kali, kemudian ia wafat dan masuk surga. Sedangkan para suami itu juga masuk surga bersamanya. Lalu, pria mana yang akan menjadi suaminya di surga kelak?' 

Beliau menjawab, 'Hai Ummu Salamah, nanti dia akan memilih, mana yang paling baik akhlaknya. Wanita itu nanti akan berkata, "Ya Tuhan, laki-laki itu paling baik akhlaknya kepadaku di antara lainnya saat hidup bersama di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya". Maka wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat.' (HR. Ath-Thabrani) 

Selengkapnya
Makna Proklamasi Kemerdekaan dan Upaya Mengisi Kemerdekaan Pada Masa Kini

Makna Proklamasi Kemerdekaan dan Upaya Mengisi Kemerdekaan Pada Masa Kini

Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan panjang dan tidak kenal lelah yang telah berhasil diraih oleh para pejuang pendahulu kita. Dengan semangat perjuangan yang membara, mereka dengan tulus ikhlas mengorbankan jiwa raga serta harta untuk memperoleh kemerdekaan yang direbut oleh bangsa asing. 

Banyak di antara para pejuang yang gugur di medan laga dalam perang untuk mewujudkan kemerdekaan, sehingga mereka tidak bisa menikmati alam kemerdekaan hasil perjuangan mereka. Meski begitu, mereka bangga dan bersyukur karena kita sebagai generasi penerus bisa menikmati kemerdekaan dan bebas dari belenggu penjajahan.

bendera merah putih
via merdeka.com

Pada dasarnya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karenanya kemerdekaan juga harus diperjuangkan dan dimiliki oleh setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Semangat heroik dan patriotik yang ditunjukkan oleh para pejuang kita pada dasarnya juga didasarkan pada kesadaran tersebut, dimana hal itu juga sejalan dengan nilai-nilai luhur tentang persamaan derajat, harkat, dan martabat, serta hak dan kewajiban sesama umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Semangat heroik dan patriotik para pejuang kita untuk memperoleh kemerdekaan juga tumbuh dan berkembang dengan adanya perasaan nasib dan sepenanggungan, yaitu sama-sama mengalami penderitaan akibat dari adanya penjajahan oleh bangsa asing. Oleh karenanya, masing-masing elemen bangsa kemudian bersatu demi berjuang bersama untuk meraih kemerdekaan. 

Proklamasi kemerdekaan adalah puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan sejak berabad-abad lamanya. Pada akhirnya, harapan untuk merdeka itu terwujud dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Istilah proklamasi berasal dari bahasa Yunani "proclamatio" yang berarti pengumuman kepada seluruh rakyat, sehingga proklamasi kemerdekaan bisa diartikan sebagai pengumuman kepada seluruh rakyat tentang adanya kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia, proklamasi juga berarti memberikan inspirasi, bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan serta bersama-sama memperjuangkan tercapainya cita-cita nasional bangsa Indonesia.

Selain itu, proklamasi kemerdekaan juga menjadi sarana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kemerdekaan maka bangsa Indonesia memiliki kedaulatan untuk membangun kepribadian bangsa dan negara yang bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila.

Sebagai warga negara Indonesia yang terlahir di tanah air Indonesia, kita harus menyadari besar jasa para pahlawan pendiri negara ini. Sudah selayaknya kita mensyukuri kemerdekaan ini dan berterima kasih atas perjuangan para pahlawan pendiri bangsa.

Selain meneladani nilai-nilai perjuangan mereka, kita juga wajib menghargai jasa-jasa mereka dengan cara terus berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan kelestarian bangsa dan negara Indonesia. Penghargaan terhadap para pejuang bangsa dapat kita tunjukkan dengan berbagai upaya untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan berbagai aktivitas yang mengarah kepada tercapainya tujuan nasional dalam tata aturan bernegara yang sesuai dengan hukum dasar negara, seperti:

1. Selalu setia mempertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa seluruh wilayah negara.

2. Rela berkorban untuk membela tanah air dari serangan musuh.

3. Giat belajar, bekerja keras, dan berkarya nyata untuk membangun bangsa dan negara.

4. Memupuk rasa toleransi terhadap perbedaan dengan berpegang pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

5. Menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan antar suku bangsa dalam pembangunan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

6. Membangun negara dengan memanfaatkan sumber daya alam sebijak-bijaknya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

7. Menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Selengkapnya
Apakah Maksudnya Keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah Itu?

Apakah Maksudnya Keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah Itu?

Islam adalah agama yang menempatkan keluarga pada posisi yang sangat penting dan strategis dalam membina pribadi dan masyarakat. Baik-buruk kepribadian seseorang sangat tergantung pada pembinaannya dalam keluarga. Jika instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina dengan baik dan benar, mustahil mengharapkan terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang diidamkan. 

pengantin muslim
ilustrasi via istockphoto

Pembinaan keluarga ditujukan untuk mewujudkan keluarga sakinah yang dihiasi jalinan cinta-kasih (mawaddah wa rahmah) antar semua anggota keluarganya. Jalinan cinta kasih atas dasar agama merupakan sumber utama kebahagiaan keluarga sehingga memungkinkan setiap anggota keluarga mengembangkan kepribadiannya secara baik dan utuh. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً  ۚ  إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."

Sakinah


Penggunaan istilah sakinah diambil dari ayat di atas (litaskunuu ilaihaa) yang berarti Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Istilah sakinah memiliki akar kata yang sama dengan sakanun yang berarti tempat tinggal. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga, tempat berlabuh setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih di antara sesama anggotanya. 

Sebuah keluarga sakinah direkatkan dengan tali rohani berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah SWT. Apabila cinta memudar dan mawaddah pun lenyap, masih ada rahmat. Jika ini pun tidak tersisa, masih ada amanah. Selama pasangan itu beragama, amanahnya akan terpelihara, karena Allah SWT memerintahkan dalam QS. An-Nisa’ ayat 19 berikut:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًا  ۖ  وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَنْ يَأْتِينَ بِفٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ  ۚ  وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  ۚ  فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya". 

Mawaddah


Mawaddah biasa diartikan dengan rasa cinta. Mawaddah juga bisa bermakna “kelapangan dan kekosongan”. Maksudnya adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Orang yang saling mencintai terkadang hatinya kesal sehingga cintanya pudar, bahkan putus. Oleh karena itu, orang yang dalam hatinya bersemai mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin yang mungkin dimiliki pasangannya. 

Dengan kata lain, mawaddah adalah cinta yang tidak mengharapkan pasangannya sebagai sosok yang sempurna, tetapi memahami ketidaksempurnaan pasangannya dengan sempurna. Cinta yang mawaddah adalah “cinta plus”, yaitu cinta yang terlihat wujudnya pada perlakuan.

Rahmah


Sedangkan rahmah biasanya diartikan dengan rahmat atau kasih sayang. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Oleh karena itu, suami dan istri akan bersungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala hal yang menggangu dan mengeruhkannya. 

Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani, dan siap melindungi yang dicintai. Rahmah menghasilkan kesabaran, kemurahan, dan kerendahan hati. Oleh karena itu, keluarga yang dihiasi dengan rahmah akan jauh dari sifat cemburu buta, mencari keuntungan sendiri, pemarah, apalagi pendendam. 

Al-Qur’an menggarisbawahi pentingnya mawaddah dan rahmah dalam jalinan keluarga karena betapapun hebatnya seseorang pasti memiliki kelemahan. Betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian sehingga harus berusaha untuk saling melengkapi. Dengan kata lain, suami dan istri harus dapat menjadi “diri” pasangannya. Dalam arti, masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan pasangannya. Masing-masing juga harus mampu memenuhi kebutuhan pasangannya. 

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 187:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُن

"Mereka itu (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka ....

Ayat ini tidak saja mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian (kebutuhan primer), tetapi juga berarti bahwa suami-istri masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan, harus dapat berfungsi “menutupi kekurangan pasangannya” sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. 

Amanah Allah


Di samping itu, pernikahan adalah amanah sebagaimana digarisbawahi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kalian menerima istri berdasar amanah Allah”. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaan bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanah itu. 

Istri adalah amanah bagi suami, demikian juga sebaliknya. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami ataupun istri tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, melainkan juga amanat dari Allah SWT karena serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah. 

Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suaminya. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih kecil dari pembelaan saudara-saudara kandungnya. Keyakinan inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizd (perjanjian yang amat kuat) (QS. An Nisa’: 21). 

Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada setiap orang agar dalam memilih pasangan yang menjadi prioritas adalah yang taat beragama. Perbedaan agama menyebabkan ikatan perkawinan jadi rapuh. Perbedaan agama juga tidak mengekalkan perkawinan hingga hari akhirat, seperti sabda Rasulullah SAW:

Biasanya, seorang wanita dikawini karena empat faktor: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, pilihlah yang memiliki agama, (Karena kalau tidak) tanganmu akan berlumuran tanah (kehidupan miskin atau sengsara).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ciri-Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah


Secara lebih terperinci, ciri-ciri keluarga sakinah mawaddah wa rahmah antara lain sebagai berikut: 

1. Semua anggota keluarga, suami dan istri serta anak-anaknya, dihiasi dengan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan kata lain, nilai-nilai agama diimplementasikan dengan baik dalam pergaulan rumah tangga. 

2. Hubungan suami-istri dibangun atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dengan pemakainya (QS. Al Baqarah: 187). Suami berfungsi sebagai pakaian bagi istri, demikian pula sebaliknya. Dengan fungsi pakaian ada tiga, yaitu menutup aurat, melindungi diri dari panas dingin, dan perhiasan. 

3. Suami dan istri secara ikhlas menunaikan kewajiban masing-masing dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT. Suami menjaga hak istri dan istri pun menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia, dan di antara keduanya terjalin kerja sama untuk mencapai kebaikan di dunia melalui ikatan rumah tangga. 

4. Rezeki yang selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Suami menafkahi keluarganya dengan rezeki yang halal. Ia menjaga anak dan istrinya agar tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta yang haram. 

5. Terjalin komunikasi aktif (musyawarah) antar anggota keluarga. Musyawarah bukan untuk mencari kemenangan, melainkan untuk mencari yang terbaik. Di sini masing-masing dituntut untuk mengetahui secara benar kebutuhan dirinya serta memiliki keterampilan untuk menyampaikannya dengan baik. Masing-masing pihak juga dituntut untuk menjadi pendengar aktif sehingga tidak segera memberi penilaian baik atau buruk terhadap gagasan yang disampaikan. 

6. Ungkapan-ungkapan mesra antara suami dan istri. Rasulullah Saw. sering memanggil istri-istrinya dengan ungkapan mesra, misalnya panggilan humairah (pipi yang kemerah-merahan). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya bila seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan mesra, kata sayang misalnya. Demikian juga sebaliknya. 

Demikianlah. Setiap muslim yang berkeluarga pastinya menginginkan agar kehidupan rumah tangganya menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Sebab hal itulah yang menjadi tujuan dari pernikahan, di mana hal itu merupakan nikmat yang Allah berikan kepada kita untuk dapat membina keluarga bahagia yang diridhai Allah SWT. 


*Tulisan di atas dinukil dari buku Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam, LPPMP UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA.

Selengkapnya