Makna dan Kandungan Surah Al Mujadilah Ayat 11

Makna dan Kandungan Surah Al Mujadilah Ayat 11

Al Mujadalah ayat 11

Dalam pembahasan tentang keutamaan orang berilmu atau anjuran untuk menuntut ilmu, ayat berikut ini seringkali disinggung dalam ceramah-ceramah atau berbagai kajian keilmuan. Selain keutamaan orang-orang yang berilmu, ayat ini juga menerangkan tentang adab atau tata krama bagi setiap muslim kepada sesamanya ketika menghadiri majelis-majelis ilmu atau pengajian yang diridhai Allah SWT. 


يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ  ۖ  وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ  ۚ  وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah, 11)

Terjemahan Tafsir Jalalain

"(Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah (dalam majelis) yaitu majelis tempat Nabi SAW berada, dan majelis zikir sehingga orang-orang yang datang kepada kalian dapat tempat duduk. Menurut suatu qiraat, lafal al-majaalis dibaca al-majlis dalam bentuk mufrad (maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian) di surga nanti. 

(Dan apabila dikatakan, Berdirilah kalian) untuk melakukan sholat dan hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan (maka berdirilah) menurut qiraat lainnya kedua-duanya dibaca fansyuzuu dengan memakai harakat dhammah pada huruf syinnya (niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti. (Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan)."

Sebab Turunnya (Asbabun Nuzul) Surah Mujadilah Ayat 11

Menurut asbabunnuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan majelis Rasulullah pada hari jum'at yang bertempat di serambi masjid Nabawi. Pada waktu itu, datanglah sejumlah sahabat ahli badar yang biasanya diberi tempat khusus oleh Rasulullah SAW. Ketika para sahabat ahli badar ini datang dan mengucap salam, mereka yang lebih dulu datang menjawab salam tetapi tidak memberi tempat duduk untuk para sahabat ahli badar ini. 

Melihat hal itu, Rasulullah pun memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk bangkit dan memberi tempat duduk untuk para sahabat ahli badar tersebut. Orang-orang munafik yang mengetahui peristiwa ini pun menuduh Rasulullah telah berbuat tidak adil. Rasulullah lantas menjelaskan bahwa mereka yang berlapang-lapang dalam majlis dan bangkit untuk memberi tempat duduk bagi ahli badar maka akan mendapat berkah dari Allah SWT. Allah pun kemudian menurunkan surah Al Mujadilah ayat 11 ini.

Kesimpulan Ayat

Dari surah Al-Mujadilah 11 di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil di antaranya yaitu sebagai berikut:

a. Suruhan untuk memberikan kelapangan kepada orang lain dalam majelis ilmu, majelis taim, majelis dzikir, dan segala kajian majelis yang sifatnya bertujuan untuk beribadah atau ketaatan kepada Allah dan RasulNya. 

b. Apabila disuruh bangun untuk melakukan hal-hal baik dan diridhai Allah, maka patuhi dan penuhilah suruhan tersebut dengan segera dan dengan cara sebaik-baiknya. 

c. Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat tingginya, dan Allah SWT mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan atas orang-orang beriman tetapi tidak berilmu pengetahuan beberapa derajat tingginya. Ringkasnya, Allah SWT meninggikan derajat orang-orang beriman, teristimewa lagi orang-orang beriman lagi berilmu pengetahuan.

Kandungan Makna Ayat

1. Isi kandungan surah Al-Mujadilah 11 di atas antara lain berkaitan dengan adab atau tata krama yang harus diterapkan dalam majelis-majelis kajian yang baik dan diridhai Allah SWT. Misalnya majelis ta'lim, majelis dzikir, majelis ilmu pengetahuan dan teknologi, majelis shalat jum'at berjamaah, dan lain sebagainya. 

2. Adab atau tata krama yang dimaksud yaitu memberikan kelapangan kepada orang-orang yang akan mengunjungi dan berada dalam majelis-majelis tersebut dengan cara seperti: mempersilahkan orang lain yang datang belakangan untuk duduk di samping kita sekiranya masih kosong, menciptakan suasana nyaman, mewujudkan rasa persaudaraan, saling menghormati dan saling menyayangi, serta tidak boleh menyuruh orang lain yang lebih dulu menempati tempat duduknya untuk pindah ke tempat lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara'. 

3. Mukmin laki-laki/ perempuan apabila diperintah Allah dan RasulNya untuk bangun melaksanakan hal-hal baik yang diridhaiNya seperti shalat, menuntut ilmu, berjuang di jalan Allah, dan membiasakan diri dengan akhlak terpuji, maka hendaknya perintah tersebut segera dilaksanakan dengan niat ikhlas dan sesuai dengan ketentuan syara'. 

4. Ilmu pengetahuan mempunyai banyak keutamaan, salah satunya yaitu karena perbuatan ibadah yang tidak dikerjakan sesuai dengan ilmu tentang ibadah tersebut, tentu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Selain itu, ilmu juga merupakan salah satu jalan untuk menuju surgaNya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًاإِلَى الجَنَّةِ

"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" (HR. Muslim).

Selengkapnya
Jamuan Makan Saat Kematian Seseorang, Bagaimana Hukumnya?

Jamuan Makan Saat Kematian Seseorang, Bagaimana Hukumnya?

ilustrasi
ilustrasi via suara.com 

Lumrahnya berlaku di masyarakat pedesaan, biasanya dijumpai pada saat kematian seseorang maka keluarga si mayit akan memberikan jamuan makan-makan sederhana baik itu sebelum si mayit diberangkatkan ke kubur ataupun sesudah selesai dikubur. Hal ini biasanya juga akan berlanjut dengan acara selametan untuk mendoakan mayit. Di masa kini, persoalan ini sering menimbulkan pembicaraan ramai di tengah-tengah masyarakat Islam antara yang pro dan yang kontra, antara yang setuju dan yang menentang. Apakah tradisi tersebut diperbolehkan dalam Islam?.

Sebelum menjawabnya, alangkah lebih baik bilamana diteliti terlebih dahulu tentang latar belakang yang menyebabkan timbulnya persoalan tersebut. Berikut uraiannya.

Kalau memang benar bahwa harta atau uang yang dipergunakan untuk membuat jamuan makanan itu berasal dari harta atau uang yang dipaksa-paksakan, baik yang diperoleh dari usaha berhutang atau bahkan sampai berani menggunakan harta hak milik anak yatim, maka jelas hal ini dilarang oleh agama. Begitu pula jika makanan-makanan tersebut dibuat untuk tujuan makan mewah layaknya acara pesta, maka hal itu juga dilarang dan sangat tidak sepantasnya untuk dilakukan.

Kejadian yang seperti inilah yang sering dilihat oleh para sahabat Nabi pada masa lalu, sehingga di kalangan mereka (para sahabat) mengeluarkan pernyataan sebagaimana kata sahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajalli.

كنا نعد الإجتماع الى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة

"Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah si mayit dikubur, itu termasuk hukum meratapi mayit (artinya dilarang)" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Akan tetapi jika jamuan makanan yang dibuat dan disuguhkan oleh keluarga si mayit itu adalah berasal dari harta atau uang hak milik pribadi salah seorang keluarganya (anak atau saudara si mayit) yang dengan ikhlas dikeluarkan untuk bershadaqah semampunya, maka ini dibenarkan oleh agama. Karena hal ini jelas merupakan usaha yang termasuk amal baik anak kepada orang tua atau amal baik yang dikeluarkan oleh salah seorang saudara untuk saudaranya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

"Apabila telah mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan Nabi sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas jelas memberi pengertian bahwa tindak perbuatan si anak mendoakan kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia adalah dibenarkan oleh ajaran Islam. Tidak ada salahnya juga jika dalam acara mendoakan tersebut juga dibantu oleh para tamu yang diundang dan kemudian si anak tersebut mengeluarkan makanan sederhana untuk menghormati mereka. Bukankah dalam Islam kita juga dianjurkan untuk memuliakan tamu?. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits Nabi yang shahih ini, jelas sekali dikatakan bahwa orang yang memuliakan tamu itu diperintahkan oleh Nabi. Dengan demikian, maka Islam membenarkan setiap pemeluknya untuk melakukan bentuk amalan yang bertujuan memuliakan tamu, sebagaimana pula yang dikerjakan oleh para keluarga si mayit, yakni dalam membuat makanan untuk disuguhkan kepada para tamu secara bersama-sama atau berkumpul.


Termasuk juga tentang adanya sekedar makan-makan di rumah keluarga si mayit dimana makanan-makanan itu dibuat dengan bahan atau justru makanan itu berasal dari para tetangga yang diberikan kepada keluarga si mayit, kemudian dikeluarkan untuk menjamu para tamu yang hadir. Tradisi jamuan makan dari makanan-makanan yang sebenarnya berasal dari para tetangga dan handai taulan ini juga dibenarkan oleh agama Islam. Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

قال عبد الله بن جعفر: لما جاء نعي جعفر حين قتل قال النبي صلى الله عليه وسلم إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم ما يشغلهم

"Berkata Abdullah bin Ja'far: 'Ketika tersiar berita terbunuhnya Ja' far, maka kemudian Nabi bersabda: 'Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja' far, sebab mereka sedang ditimpa perkara yang menyusahkan'". (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, Syafi'i, dan Thabrani)

Hadits di atas dapat diambil pengertian bahwa apabila terjadi seorang meninggal dunia, maka bagi para tetangganya dianjurkan untuk memberikan makanan-makanan kepada keluarga si mayit yang ditinggalkan. Artinya perbuatan tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

Begitu juga, sama sekali tidak ada larangan bahwa makanan yang dari tetangga tersebut tidak boleh dikeluarkan oleh keluarga si mayit guna menyuguh para tamu yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa makanan dari tetangga adalah boleh disuguhkan kepada para tamu itu, malahan bisa jadi tetangga tersebut memperoleh pahala ganda karena di samping makanannya diberikan kepada keluarga mayit karena sedang ditimpa kesusahan juga makanannya itu kemudian untuk menghormati para tamu.

Imam Syafi'i dalam kitabnya, "Al-Umm" juga menyebutkan:

قال الشافعي: ويستحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما مايشبعهم وإن ذالك سنة

"Imam Syafi'i berkata: Dan disunnahkan bagi tetangga atau kerabat agar membuat makanan untuk ahli mayit pada hari terjadi kematian dan malamnya, makanan yang mengenyangkan mereka, karena itu adalah sunnah (maksudnya amalan Nabi)". (Al- Umm I/247).

Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya berkumpul makan-makan di rumah keluarga si mayit sebagaimana yang sering terjadi, pada dasarnya adalah dibenarkan oleh ajaran Islam selama masih dalam batas norma yang diperbolehkan, karena Nabi sendiri telah jelas menganjurkan praktek amalan semacam itu. Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Ringkasan Materi Fiqih Munakahat

Ringkasan Materi Fiqih Munakahat

Bagi mahasiswa jurusan Ahwal al Syakhsiyyah (Hukum Perdata Islam), fiqih Munakahat merupakan salah satu materi yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswanya. Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan, sehingga fiqih munakahat bisa diartikan sebagai bidang kajian ilmu yang mempelajari tentang perkawinan dalam agama Islam mulai dari dasar hukum, tujuan, rukun, kewajiban suami & istri, dan sebagainya.

fiqih munakahat
via twitter.com

Pengertian Nikah


Dalam istilah syariat, nikah berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.

Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah Rasul. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda, 'akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah dari golonganku" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum Nikah


Menurut sebagian besar Ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, atau haram.

1. Sunnah


Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, jika di antara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah ia menikah karena menikah itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan), dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya". (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Wajib


Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.

3. Makruh


Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.

4. Haram


Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, hukum nikah adalah haram.

Tujuan Pernikahan


Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Adapun secara terperinci, tujuan pernikahan dapat dikemukakan sebagai berikut:
  • Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang (lihat surah ar-Ruum, 21). 
  • Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah).
  • Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridhai Allah.
  • Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat.
  • Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.

Rukun Nikah


Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam, yaitu:

1. Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/ terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.

2. Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

3. Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya. Dari Aisyah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya" (HR. Imam yang empat kecuali An-Nasai, dan disahkan oleh Abu Awamah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Adapun wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
  • Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan (ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, dan seterusnya).
  • Wali Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam (KUA) yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak bisa memenuhi tugasnya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
  • Beragama Islam. 
  • Laki-laki. 
  • Baligh dan berakal. 
  • Merdeka atau bukan hamba sahaya. 
  • Bersifat adil. 
  • Tidak sedang ihram haji atau umrah. 

4. Ada dua orang saksi. Dalam pernikahan juga diperlukan dua orang saksi dengan syarat beragama Islam, laki-laki, baligh (dewasa), berakal sehat, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.

5. Ada akad nikah, yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita) sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. (lihat surah An-Nisa, 4)

Selesai akad nikah, maka diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunnah muakkad. Rasulullah SAW bersabda, "Adakanlah walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing". (HR. Bukhari & Muslim). 

Adapun menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada udzur (halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya" (HR. Muslim). 

Muhrim


Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fiqih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu:

1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
  • Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
  • Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
  • Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
  • Saudara perempuan dari bapak.
  • Saudara perempuan dari ibu.
  • Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
  • Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
  • Ibu yang menyusui.
  • Saudara perempuan sesusuan.

3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
  • Ibu dari istri (mertua). 
  • Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain/ sebelumnya), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
  • Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum.
  • Menantu (istri dari anak laki-laki) baik sudah dicerai atau belum.

4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, atau terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya. 

Untuk dasar hukum tentang wanita-wanita yang haram dinikahi seperti tersebut di atas, silahkan baca firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 23.

Kewajiban Suami dan Istri


Agar tujuan pernikahan tercapai, suami-istri harus melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah semata. Rasulullah SAW bersabda, "Suami adalah penanggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan" (HR. Bukhari & Muslim). Secara umum, kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban Suami


a. Memberikan nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (lihat surah At-Talaq, 7).

b. Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak agar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.

c. Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (ma'ruf). Misalnya sopan dan hormat kepada istri serta keluarganya, menyayangi istri dan anak-anak dengan niat ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh ridhaNya.

d. Memelihara istri dan anak-anak dari bencana, baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi.

e. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

2. Kewajiban Istri


a. Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun suruhan suami yang bertentangan dengan Islam tidak wajib ditaati.

b. Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.

c. Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya.

d. Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hermat, cermat, dan bijaksana.

e. Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya.

f. Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

Perceraian


Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Salah satu sebab perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim dari pihak suami dan pihak istri.

Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena dapat menimbulkan akibat-akibat yang negatif, terutama apabila suami dan istri yang bercerai itu sudah mempunyai anak. Rasulullah SAW bersabda, "Perbuatan yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin perceraian lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan, baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT. Adapun hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu', li'an, ila', dan zihar.

a. Talak


Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah SAW dalam haditsnya. Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, maka talak dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
  • Talak Sunni: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
  • Talak Bid'i:  yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.

Sedangkan dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak juga dibagi menjadi dua, yaitu:
  • Talak Raj'i: yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa iddah. Juga masih dapat menikah kembali setelah habis masa iddahnya. 
  • Talak Ba'in: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. 

Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. Sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. Dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. Maksud dari secara wajar di sini adalah jika nikah seseorang dengan mantan istri orang lain itu dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil), maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. 

Dalam pernikahan di Indonesia, selesai akad nikah biasanya suami mengucapkan ta'lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, "Bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau". Ta'lik talak ini hukumnya sah dan dibenarkan syara'. 

b. Fasakh


Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan. Akibat perceraian dengan fasakh, maka suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Namun, kalau ia ingin kembali sebagai suami-istri karena syarat telah terpenuhi, harus melalui akad nikah baru. Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak, artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain. 

c. Khulu'


Menurut istilah bahasa, khulu' berarti tanggal. Dalam ilmu fiqih, khulu' adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua. 

Khulu' diperkenankan dalam Islam dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan-tindakan suami yang tidak wajar (umum). Allah SWT berfirman yang artinya, "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". (QS. Al Baqarah, 229).

Akibat perceraian dengan cara khulu', maka suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa iddah. Akan tetapi, kalau bekas suami-istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru. Berbeda dengan fasakh, khulu' dapat mempengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba'in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa iddahnya. 

d. Li'an


Li'an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina) dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, "Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku apabila tuduhanku itu dusta". Apabila suami sudah menjatuhkan li'an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. 

Agar istri terlepas dari hukum rajam karena merasa tidak berzina, maka ia (istri) harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada kali kelimanya dia mengucapkan, "Laknat Allah akan menimpa diriku apabila tuduhan tersebut benar"

Sumpah suami-istri seperti di atas secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali untuk selama-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak bekas suaminya. Dalil Al Qur'an yang menjelaskan tentang li'an dapat dibaca dalam surah An-Nur, 6 - 10.

e. Ila'


Ila' berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Akan tetapi, jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. (lihat surah Al Baqarah, 226 dan 227).

f. Zhihar


Zhihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, "Punggungmu sama dengan punggung ibuku". Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar. Penjelasan Al Qur'an tentang zhihar dapat dijumpai dalam surah Al-Mujadilah 1 - 6.

Iddah


Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan iddah antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang dikandungnya berarti anak suami yang baru saja bercerai dengannya. Bagi suami yang mempunyai hak rujuk, masa iddah merupakan masa untuk berpikir ulang, apakah ia akan kembali (rujuk) pada istrinya atau mau meneruskan perceraiannya. Lama dari masa iddah adalah sebagai berikut:

1. Iddah karena Suami Wafat


a. Bagi istri yang tidak sedang hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 234.

b. Bagi istri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 4.

2. Iddah karena talak, fasakh dan khulu'


a. Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa iddah. Ketentuan ini berdasarkan pada surah Al-Ahzab ayat 49.

b. Bagi istri yang sudah campur, maka masa iddahnya adalah:
  • Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa iddahnya ialah tiga kali suci. Ketentuan ini berdasar pada surah Al Baqarah ayat 228.
  • Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misal karena usia tua (menopause) masa iddahnya ialah tiga bulan ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.
  • Bagi istri yang sedang mengandung, masa iddahnya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya. Ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.

Rujuk


Rujuk berarti kembali, dalam hal ini yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih berada dalam masa iddah raj'iyyah (lihat surah Al Baqarah, 228).

Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi dalam beberapa hal, hukum rujuk bisa berubah seperti berikut ini.

1. Sunnah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.

2. Wajib, misalnya bagi suami yang mentalak salah seorang istrinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.

3. Makruh, apabila meneruskan perceraian dinilai lebih bermanfaat daripada rujuk.

4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada empat macam, yaitu sebagai berikut:

1. Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa iddah raj'iyyah.

2. Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.

3. Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 2.

4. Ada sighat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa iddah raj'iyyah, "Saya rujuk kepada engkau!".

Demikian sekilas ringkasan tentang fiqih munakahat. Untuk penjabaran lebih lanjut bisa anda pelajari melalui berbagai kitab/buku kajian fiqih yang membahas tentang hal ini. Semoga bermanfaat. 

Selengkapnya
Makna dan Kandungan Surah Al Kafirun

Makna dan Kandungan Surah Al Kafirun

Surah Al Kafirun merupakan surat ke 109 dalam Al Qur'an yang termasuk dalam golongan surah Makkiyah atau surat yang diturunkan di Makkah, sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Al Kafirun artinya orang-orang kafir. Surah ini dinamakan Al Kafirun karena tema pokoknya menjelaskan tentang perilaku Rasulullah SAW dan umat Islam terhadap orang-orang kafir dalam menyikapi perbedaan keyakinan. 

surah al kafirun

Surah Al Kafirun dan Terjemahannya


قُلْ يٰٓأَيُّهَا الْكٰفِرُونَ

"Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir!"

لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,"

وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

"dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,"

وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ

"dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,"

وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

"dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah."

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Sebab Turunnya (Asbabun Nuzul) Surah Al Kafirun


Beberapa tokoh kaum kafir (musyrikin) Makkah seperti Al Walid bin Al Mughirah, Al Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Nabi Muhammad SAW dan menawarkan kompromi yang menyangkut pelaksanaan peribadahan. Mereka mengusulkan agar Nabi dan umat Islam mengikuti kepercayaan mereka, dan sebaliknya mereka pun akan mengikuti agama Islam. Mereka berkata:

"Wahai Muhammad, bagaimana jika kami menyembah Tuhanmu selama setahun dan kamu juga menyembah Tuhan kami selama setahun. Jika agamamu benar, kami mendapat keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu, dan jika agama kami yang benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan".

Mendengar usul kaum kafir tersebut, Rasulullah SAW dengan tegas menjawab, "Aku berlindung kepada Allah agar tidak tergolong orang-orang yang bersikap dan berperilaku syirik atau menyekutukan Allah".

Untuk mempertegas penolakan Rasulullah SAW tersebut, Allah SWT kemudian menurunkan Surah Al Kafirun. Setelah Nabi menerima surah Al Kafirun ini, beliau kemudian mendatangi tokoh-tokoh kaum kafir (musyrikin) Mekah yang waktu itu sedang berkumpul di Masjidil Haram. Di hadapan mereka, Rasulullah lalu membacakan surah Al Kafirun dari ayat pertama hingga ayat terakhir dengan mantap dan lantang, sehingga mereka pun menyadari bahwa usul mereka untuk berkompromi dalam keimanan dan ibadah agama ditolak oleh Rasulullah SAW dan umat Islam. 

Kandungan Surah Al Kafirun

  • Penegasan bahwa Tuhan yang disembah (ma'bud) oleh Rasulullah SAW dan umat Islam berbeda dengan ma'bud orang-orang kafir (kaum musyrikin) yang mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Demikian juga cara peribadahan Rasulullah SAW dan umat Islam yang hanya berdasarkan keikhlasan dan ketulusan hati, dan bersih dari sikap perilaku syirik terhadap Allah SWT, berbeda dengan cara peribadahan orang-orang kafir (musyrikin). 
  • Penolakan dari Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap kaum kafir untuk mencampuradukkan keimanan dan peribadahan yang diajarkan Islam dengan keimanan dan peribadahan yang diajarkan agama kaum kafir yang mengandung kemusyrikan. 
  • Rasulullah dan umat Islam juga menolak ajakan kaum musyrikin untuk tukar menukar pengalaman dalam keimanan dan peribadahan atau untuk keluar dari agama Islam dan menganut agama mereka dengan tegas dan bijaksana. 
  • Dalam menyikapi perbedaan keimanan dan peribadahan itu, umat Islam dan kaum kafir hendaknya menjunjung tinggi toleransi, bebas menjalankan ajaran agama yang dianutnya dan tidak boleh saling mengganggu. Bahkan Islam juga melarang memaksa orang lain untuk menganut sesuatu agama (lihat surah Al Baqarah, 256).

Pelajaran dari Kandungan Surah Al Kafirun


Dengan memahami surah Al Kafirun di atas, setiap Muslim/ Muslimah hendaknya selalu berusaha secara sungguh-sungguh agar selama hidup di alam dunia ini senantiasa meyakini akan kebenaran agama Islam yang dianutnya dan mengamalkan seluruh ajarannya dengan bertaqwa kepada Allah SWT. 

Walaupun antara umat Islam dengan umat lain (non muslim) tidak ada kompromi dalam hal keimanan dan peribadahan, namun dalam pergaulan hidup bermasyarakat antara umat Islam dan umat lain hendaknya saling menghormati dan menghargai serta bekerja sama dalam urusan dunia demi terwujudnya keamanan, ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. 
Kebebasan memilih agama merupakan Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam piagam PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia yang biasa disebut "The Universal Declaration of Human Rights" pasal 18. Juga tercantum dalam Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia pasal 10. Tertuang juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab III pasal 22. 

Selain itu, ajaran Islam yang melarang penganutnya memaksa orang lain untuk masuk Islam hendaknya dapat memberikan dorongan kepada umat Islam untuk bersikap toleran terhadap umat-umat beragama lain dalam kehidupan bersama sehingga kerukunan hidup antarumat beragama dapat terwujud.

Selengkapnya
Tentang Hadits Nabi Menggadaikan Baju Perangnya Kepada Seorang Yahudi

Tentang Hadits Nabi Menggadaikan Baju Perangnya Kepada Seorang Yahudi

Ada sebuah hadits yang mungkin bagi sebagian orang yang baru mempelajari agama Islam terasa sangat janggal jika dilihat secara sepintas. Hadits tersebut intinya menyebutkan bahwa saat Rasulullah SAW wafat, baju besi perang milik Nabi masih tergadaikan kepada seorang Yahudi untuk makan keluarga beliau. Berikut ini redaksi haditsnya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari Aisyah RA berkata: "Ketika Rasulullah SAW wafat, baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi seharga tiga puluh sha' gandum". (HR. Muttafaqun 'Alaih).

Bagi orang yang sudah lama mempelajari ilmu hadits dan banyak membaca sejarah perjalanan hidup Nabi, mungkin merasa tidak ada yang salah dalam hadits di atas. Namun bagi mereka yang baru saja menekuni agama Islam, dan seolah sudah banyak tahu tentang Islam hingga bangga disebut ustadz, mungkin akan lantas memvonis hadits tersebut sebagai hadits maudhu' (palsu), hadits yang dibuat-buat, atau hadits yang janggal, aneh dan tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin Rasulullah yang pada akhir hayatnya telah berhasil menaklukan beberapa wilayah, menjadi pemimpin Semenanjung Arab, dan mendapatkan harta rampasan perang, bisa-bisanya beliau butuh bantuan seorang Yahudi untuk meminjam uang dengan menggadaikan baju perangnya untuk menghidupi keluarganya. Bahkan kabarnya saat beliau meninggal baju perang miliknya tersebut masih berada dalam pegadaian.

Nabi Muhammad SAW wafat ketika itu harta rampasan perang dan hasil bumi negara-negara yang berhasil ditaklukkan diambil dari berbagai tempat. Nabi dan penduduk Muslim yang miskin mendapat bagian dari harta tersebut. Rasul mendapat bagian seperlima sesuai dengan hukum Al-Qur'an. Selain itu, bukankah Allah SWT juga telah memberi kecukupan kepada Rasulnya sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

"Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan". (QS. Ad-Duha, Ayat 5 - 8) 

Lantas apa yang membuat beliau sampai menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi?. Apakah ini hanyalah salah satu tuduhan palsu di antara kebohongan-kebohongan Yahudi yang dimasukkan dalam buku-buku hadits. Benarkah demikian?. 

Perlu diketahui bahwa meskipun bagi sebagian orang hadits tersebut tampak janggal, hadits di atas merupakan hadits yang disepakati keshahihannya. Tidak ada seorang pun Ulama yang mengingkari hadits ini. Walaupun ada yang mengingkarinya, alasannya tidak kuat, dan para pakar fiqih telah mengambil hukum-hukum dari hadits tersebut, di antaranya yaitu:
  • Boleh bertransaksi kepada non-muslim, apalagi Ahlul Kitab.
  • Boleh bertransaksi kepada orang yang hartanya terdapat syubhat atau tercampur harta haram, seperti orang Yahudi.
  • Boleh menggadaikan pada waktu seseorang sedang mukim, karena Al Qur'an menyebutkan penggadaian pada waktu sedang dalam perjalanan.
  • Adanya sebagian orang Yahudi yang tinggal di Madinah, dan hukum-hukum lain.

persaudaraan
ilustrasi persaudaraan

Jika dicermati lagi, hadits di atas juga sebenarnya memberikan gambaran kepada kita bahwa Umat Islam pada masa Nabi hidup rukun dan harmonis berdampingan dengan umat lain yang berbeda keyakinan di Kota Madinah. Bahkan sebagaimana dicontohkan Nabi, umat Islam saat itu juga saling tolong-menolong dengan umat lain dalam hal muamalah sehari-hari, bukan dalam masalah akidah dan ibadah. 

Intinya, persaudaraan itu bukan hanya dalam tataran ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat islam) saja. Namun lebih dari itu, Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar berbelas kasih mengagungkan sikap kerahmatannya pada tataran ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia).

Adapun mengenai perekonomian keluarga Nabi, memang beliau mempunyai hak mendapatkan seperlima harta rampasan perang, namun beliau mendistribusikan semuanya untuk kepentingan umat, beliau tidak membutuhkan pengkhususan seperti itu. Beliau juga pernah bersabda:

"Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung uhud, aku tidak ingin lewat dari tiga hari, meski masih tersisa dari harta tersebut sedikit pun, kecuali sedikit yang aku simpan untuk membayar hutang"

Beliau mendermakan harta miliknya dengan sangat ringan dan senantiasa memberi bantuan kepada yang membutuhkan seperti halnya orang yang tidak takut pada kemiskinan.

Maka tidak ada salahnya jika suatu hari beliau kehabisan gandum untuk membuat roti, ketika di Madinah negara yang tumbuhan utamanya adalah kurma dan bukan tanaman pangan, dan tidak ada yang menyimpan gandum kecuali Yahudi ini. Maka Rasul pun kemudian meminjam darinya tiga puluh sha' untuk istri-istri beliau. Ketika orang Yahudi tersebut meminta jaminan, maka digadaikanlah baju perangnya, dan ini terjadi pada hari-hari terakhir beliau, hingga akhirnya beliau wafat dan baju perang tersebut masih berada di tangan Yahudi tersebut. 

Tampaknya tidak ada yang aneh dan tidak ada yang bertentangan dengan akal atau logika dalam hadits tersebut.

Adapun firman Allah SWT yang menyebutkan: "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan". (QS. Ad-Duha, Ayat 8), ayat ini termasuk yang turun saat beliau baru diangkat menjadi Rasul dan awal-awal sejarah turunnya Al-Qur'an, di mana pada hari-hari sulit beliau mengikat batu di perutnya untuk menahan rasa lapar yang sangat. Di lain waktu beliau dan para sahabat juga makan dedaunan seperti terjadi pada hari pemboikotan yang terkenal dalam sejarah Nabi.

Oleh karenanya, teliti lagi kebenarannya sebelum kita mudah mengatakan suatu hadits dikatakan palsu hanya berdasar pada penilaian kita semata. Jika memang kita tidak mempunyai keahlian dalam hal ini, janganlah berani untuk menafsiri sendiri sesuka hati. Tanyalah kepada para pakar yang telah mendalami dan mempelajarinya, yakni para Ulama mumpuni yang mengumpulkan antara Al-Qur'an dengan hadits dan hadits dengan fiqh. Demikian. Wallahu A'lam

Selengkapnya