Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Islam

Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Islam


Sebagai makhluk sosial, manusia pasti butuh bantuan dari individu lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin besar kebutuhan manusia terhadap manfaat suatu benda atau jasa, maka semakin besar pula ia tidak bisa mengelak dari keikutcampuran atau kerjasama dengan manusia lainnya. 

Ilustrasi sewa rumah
ilustrasi

Muamalah sebagai bagian dari hukum Islam juga telah mengatur berkaitan dengan hak, kewajiban, dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya yaitu melalui akad (transaksi) ijarah. Apakah ijarah itu? 

Pengertian Ijarah


Menurut asal katanya, istilah ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah, sewa, jasa, atau imbalan. Dalam prakteknya, dapat dikatakan bahwa ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti sewa-menyewa, kontrak, dan jasa perhotelan. 

Sementara menurut para Ulama madzhab Syafi'i, definisi dari ijarah adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah, dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

Dasar Hukum Ijarah


Ulama Fiqih berpendapat bahwa dasar hukum diperbolehkannya transaksi ijarah berasal dari Al Qur'an dan Hadits. Ayat-ayat Al Qur'an yang dijadikan sebagai dasar hukum ijarah di antaranya adalah QS. Az Zukhruf ayat 32, QS. Ath-Thalaq ayat 6, dan QS. Al Qashash ayat 26 (silahkan bisa anda baca sendiri). 

Sementara hadits yang dijadikan sebagai dasar hukum ijarah salah satunya yaitu hadits dan Ibnu Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya". (HR. Abu Ya'la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tirmidzi)

Macam-macam Ijarah


Dilihat dari segi objeknya, Para Ulama membagi akad (transaksi) ijarah menjadi dua macam, yaitu:

1. Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, dan semacamnya. Apabila manfaat itu termasuk manfaat yang diperbolehkan syara' untuk dipergunakan, maka Ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan sebagai objek sewa menyewa.

2. Ijarah yang bersifat pekerjaan, yaitu dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ulama fiqih membolehkan ijarah yang berupa pekerjaan apabila jenis pekerjaannya jelas. Misalnya pembantu rumah tangga, buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain semacamnya.

Rukun dan Syarat Ijarah


Sebagai sebuah transaksi, ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi beberapa rukun dan syaratnya, sebagaimana berlaku secara umum dalam akad (transaksi) lainnya.

Menurut jumhur Ulama, Rukun Ijarah itu ada empat, yaitu:
  1. Orang yang berakad atau bertransaksi, meliputi pihak penyewa (musta'jir) dan yang menyewakan (mu'jir).
  2. Upah/imbalan (ujrah)
  3. Manfaat (manfaat barang atau orang yang dipekerjakan) 
  4. Sighat ijab kabul. 
Sedangkan syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:

1. Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah baligh dan berakal sehat. Adapun transaksi anak kecil dan orang gila tidak sah.

2. Kedua belah pihak tersebut bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa. Dalilnya lihat Al Qur'an Surah An Nisa ayat 29.

3. Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa. Demikian juga jika objek ijarah adalah pekerjaan, pekerjaan itu harus jelas ketentuannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.

4. Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Ulama fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya menyewakan rumah yang masih dihuni penyewa lain, dan semacamnya. 

5. Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara'. Oleh karenanya, sewa menyewa dalam masalah maksiat haram hukumnya, misalnya menyewa seseorang untuk memb*n*h orang lain (pemb*nuh bayaran) dan semacamnya. 

6. Hal yang disewakan tidak merupakan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa orang untuk menggantikan penyewa shalat atau mengerjakan soal-soal ujian. Maka sewa-menyewa seperti ini tidak sah. 

7. Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, mobil, aneka busana, atau hewan tunggangan. Menyewakan sesuatu yang tidak lazim disewakan seperti menyewakan sebatang pohon untuk menjemur kain cucian tidak dibolehkan, karena sebatang pohon manfaatnya bukan untuk menjemur pakaian. 

8. Upah/imbalan dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta. Ulama fiqih sepakat bahwa memberi upah kerja atau uang sewa tidak boleh menggunakan sesuatu yang dilarang syara' seperti mengunakan khamr dan babi. 

Sifat Akad/ Transaksi Ijarah


Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan. Karena bersifat mengikat, kematian salah satu pihak baik yang menyewakan atau pihak penyewa juga tidak membatalkan ijarah. Manfaat dari sewa menyewa termasuk harta (al maal) yang bisa diwariskan. 

Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji


Ijarah yang berupa pekerjaan, apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan akad/transaksi antara yang mempekerjakan dengan yang dipekerjakan. Orang yang dipekerjakan mengerjakan suatu pekerjaan sesuai dengan ketentuan dari yang mempekerjakan, sedangkan yang mempekerjakan memberikan upah kerja kepada yang dipekerjakan sesuai dengan perjanjian. 

Ilustrasi pekerja
ilustrasi pekerja

Ulama fiqih sepakat bahwa apabila objek dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi. Misalnya jika piring-piring yang sedang dicuci pembantu rumah tangga pecah bukan karena lalai atau disengaja, maka pembantu tidak dapat dituntut ganti rugi. Namun jika kerusakan diakibatkan oleh kelalaian atau kesengajaan si pekerja, maka ia wajib menggantinya. 

Begitu pula penjual jasa untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, apabila melakukan suatu kesalahan sehingga sepatu orang yang diperbaikinya atau pakaian yang sedang dijahitnya mengalami kerusakan, maka menurut Imam Abu Hanifah, Ulama madzhab Hambali dan Syafi'i, apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian tukang sepatu atau tukang jahit, ia tidak dapat dituntut untuk membayar ganti rugi. 

Berakhirnya Akad Ijarah


Ulama fiqih sepakat bahwa transaksi ijarah akan berakhir apabila terjadi dua hal berikut:

1. Objek ijarah hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang, dan semacamnya. 

2. Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah. Jika yang disewakan itu sebuah rumah, maka setelah habis masa sewanya, rumah itu dikembalikan oleh penyewa kepada pemiliknya. Sedangkan apabila yang disewa berupa jasa seseorang, maka yang memberikan jasanya (pekerja) berhak menerima upah kerja. 

Selengkapnya
Beberapa Ketentuan Jual Beli dalam Islam

Beberapa Ketentuan Jual Beli dalam Islam

Pengertian, Dasar Hukum dan Hukum Jual Beli


Pada dasarnya, jual beli merupakan sarana tolong menolong bagi sesama manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tercapainya masalahat-maslahat dalam hidup. Menurut bahasa, Jual beli (al bai') adalah saling menukar, atau mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu.

Sedangkan menurut istilah, arti jual beli yaitu pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara yang diperbolehkan. Atau bisa juga dipahami bahwa jual beli yaitu menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad).

Intinya, jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual sebagai pihak yang menyerahkan/menjual barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar/membeli barang. 

Jual beli 1

Sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, jual beli dalam Islam juga mempunyai dasar-dasar hukum kuat yang berasal dari Al Qur'an maupun Al Hadits. Ayat-ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang jual beli antara lain yaitu Surah Al Baqarah ayat 198 dan 275 serta Surah An Nisa ayat 29. Sedangkan hadits-hadits Nabi yang mengatur tentang jual beli ada banyak jumlahnya tergantung pada inti pembahasan atau penjabaran dalam jual beli tersebut.

Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits tersebut, maka hukum jual beli pada dasarnya adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Rukun dan Syarat Jual Beli


Yang dimaksud dengan rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara' (hukum Islam).

a. Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli)


Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:

  1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
  2. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik buruk), maka diperbolehkan melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti permen, kue, jajan, dan kerupuk.
  3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan (membelanjakan) hartanya karena kurang sempurna akalnya/terbelakang mental, tidak sah jual belinya. Harta milik orang tersebut diurus oleh walinya yang baligh dan berakal sehat serta jujur. (lihat QS. An Nisa: 5)

b. Sighat atau Ucapan Ijab dan Kabul


Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

c. Barang yang diperjualbelikan


Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan syara'. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:

  1. Barang yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang halal. 
  2. Barang itu ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. 
  3. Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain, misalnya di gudang, dan penjual bersedia mengambilnya bila transaksi jual beli berlangsung. 
  4. Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Tidak sah jual beli kecuali pada suatu yang dimiliki" (HR. Abu Daud dan At Tirmizi). 
  5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, kadarnya, maupun sifat-sifatnya. Sesuatu yang belum diketahui zat, bentuk, dan kadarnya dianggap tidak sah. Misalnya memperjualbelikan buah-buahan yang putiknya saja belum tampak di pohon (sistem ijon). Rasulullah SAW bersabda: "Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sehingga nyata keadaan patutnya" (HR. Al Bukhari dan Muslim). 

d. Nilai Tukar Barang yang dijual 


Pada masa Rasulullah SAW, harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang terbuat dari perak (dirham). Sedangkan pada zaman modern sekarang ini berupa uang kertas atau koin. 

Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:

  1. Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya. 
  2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek atau kartu kredit. Jika harga barang dibayar dengan cara utang atau kredit, waktu pembayaran harus jelas. 
  3. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau al muqayyadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang), maka nilai tukarnya tidak boleh dengan barang haram misalnya dengan babi atau khamar. 

Khiyar


Khiyar adalah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang. Hukum Islam membolehkan hak khiyar agar tidak terjadi penyesalan bagi penjual maupun pembeli, antara lain disebabkan merasa tertipu.

Bila terjadi penyesalan dalam jual beli, baik kepada penjual atau pembeli, maka hukumnya sunnah untuk membatalkan jual beli dengan cara pembeli menyerahkan barang yang dibelinya kepada penjual dengan ikhlas. Sedangkan penjual menyerahkan uang (nilai tukar barang yang dibeli) kepada pembeli dengan ikhlas pula. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang rela mencabut jual beli terhadap saudaranya, maka Allah pun akan mencabut kerugiannya di hari Kiamat". (HR. Thabrani). 

Jual beli 2

Secara umum, khiyar dikategorikan ke dalam tiga macam, yaitu:

  1. Khiyar majlis, yaitu hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi jual-beli antara melanjutkan atau membatalkan transaksi selama masih berada dalam majlis akad (seperti di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau bisa dikatakan bahwa khiyar majlis adalah kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih berada di tempat jual beli. Artinya, jika kedua belah pihak telah terpisah dari majlis, maka hilanglah hak khiyar sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi.
  2. Khiyar syarat, yaitu hak untuk memilih yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.  Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah dilanjutkan atau tidak.
  3. Khiyar 'aib, yaitu hak untuk memilih antara meneruskan atau membatalkan akad jual beli jika ditemukan kecacatan (aib) pada barang yang diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan tersebut pada saat akad berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan kerusakan dan harganya. Namun perlu diingat bahwa kecacatan tersebut murni dari pihak penjual (cacat bawaan) dan bukan karena kelalaian atau kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya.

Macam-Macam Jual Beli


Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang. 

1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang, yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya (lihat penjelasan di atas). 

2. Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil), yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam). 

Contoh jual beli jenis ini seperti:

  • Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi. 
  • Jual beli air mani hewan ternak. Sahabat Ibnu Umar menjelaskan: "Rasulullah SAW telah melarang menjual mani hewan" (HR. Bukhari). 
  • Jual beli anak hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir). Hadits dari Ibnu Umar menyebutkan: "Rasulullah SAW telah melarang menjual anak (hewan) yang masih berada dalam perut induknya" (HR. Bukhari dan Muslim). 
  • Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan, misalnya mengurangi timbangan (takaran) dan memalsukan kualitas barang yang dijual. 

3. Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid). Ada beberapa contoh jual beli yang hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab tertentu misalnya:

  • Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain. 
  • Mempersulit peredaran barang. 
  • Merugikan kepentingan umum. 

Jual beli 3

Contoh jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid):

  1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi. Jual beli seperti ini dilarang karena akan merugikan para pedagang dari desa, dan juga menyebabkan naiknya harga pasar. Rasulullah SAW bersabda yang artinya "Janganlah kamu mencegat orang-orang yang berkendaraan (membawa dagangannya) sebelum mereka tiba di pasar dan mengetahui harga pasar". (HR. Bukhari dan Muslim).
  2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital atau kebutuhan pokok. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan menimbun barang kecuali orang yang salah atau durhaka" (HR. Muslim). 
  3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat. Allah SWT berfirman: "... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..." (QS. Al-Ma'idah: 2). 
  4. Menawar suatu barang dengan maksud hanya untuk mempengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual. Jual beli seperti ini disebut najsyi. Hadits dari Ibnu Umar menyebutkan: "Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara najsyi" (HR. Bukhari dan Muslim). 
  5. Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran. Rasulullah SAW melarang jual beli seperti ini, karena akan merugikan kepentingan umum. 

Itulah beberapa ketentuan mendasar dalam jual beli menurut Islam. Pada dasarnya, kajian fiqih Islam selalu dapat berkembang menyesuaikan zaman dan kemaslahatan manusia, sehingga beberapa ketentuan dalam transaksi jual beli menurut Islam pun dapat mengalami perkembangan seiring zaman serba modern seperti sekarang ini. Demikian. Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Asas-Asas Transaksi dalam Ekonomi Islam

Asas-Asas Transaksi dalam Ekonomi Islam


Sebagai makhluk sosial, manusia mesti berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Agar segala kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik, manusia pun mesti melakukan kegiatan ekonomi melalui aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.

Akibat dari kegiatan-kegiatan ini, maka harta yang dimilikinya pun juga dapat bertambah atau pun berkurang sesuai dengan transaksi yang dilakukannya. Sebagai jalan hidup, Islam telah mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain saat melakukan transaksi ekonomi ini, seperti misalnya lewat transaksi jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, perserikatan di bidang pertanian dan perdagangan, dan transaksi-transaksi lainnya. Dalam Islam, aturan ini biasa disebut dengan istilah Muamalah. 

Wanita ekonomi Islam

Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik. Jadi bisa dikatakan bahwa muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia, termasuk kegiatan ekonomi, sehingga dalam usaha untuk meraih kemakmuran tersebut ada beberapa prinsip dasar yang mesti dipatuhi oleh setiap manusia (muslim).

Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3 halaman 246 dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ekonomi dalam Islam ada beberapa asas-asas yang telah ditetapkan oleh syara' yaitu:

1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara', seperti misalnya memperdagangkan barang haram. Intinya, pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

. . يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji ... " (QS. Al-Ma'idah: 1)

2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun. 

3. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan. Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوٓا أَمْوٰلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبٰطِلِ إِلَّآ أَنْ تَكُونَ تِجٰرَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ  ۚ  وَلَا تَقْتُلُوٓا أَنْفُسَكُمْ  ۚ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa': 29)

4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi mesti dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga kita dapat terhindar dari segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan. Hadits Rasulullah SAW menyebutkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Dari Abu Hurairah berkata: "Rasullullah SAW melarang jual beli dengan hashah (melempar batu/kerikil) dan jual beli dengan cara menipu". (HR.Muslim)

Bagi yang merasa tertipu atau dicurangi, Islam memberikan hak khiyar, yaitu kebebasan untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi tersebut. 

5. Adat kebiasaan atau 'urf yang tidak menyimpang dari syara' boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah, menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka, pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa apabila terjadi kerusakan untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tetapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya. 

Kerjasama

Itulah asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam. Jika semua dilaksanakan, maka insya Allah tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh keridhaan Allah akan terwujud. Rasulullah SAW bersabda:

 العبادة عشرة اجزاء تسعة منها فى طلب الحلال

"Ibadah itu terdiri dari sepuluh bagian, sembilan bagian daripadanya terdapat pada mencari rezeki yang halal". (HR. As Suyuthi)


Selengkapnya
Bahaya Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim

Bahaya Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim


Dalam konteks akidah, penyebutan kafir terhadap non muslim memang sudah sewajarnya, meski hal itu tidak harus ditampakkan secara gamblang lewat panggilan kepada mereka yang tidak seiman dengan kita. Namun apa jadinya jika sebutan kafir justru dialamatkan kepada sesama umat muslim hanya karena suatu perbedaan pendapat?. 

Hal ini yang perlu kita garis bawahi. Mengapa?, karena ada konsekuensi besar ketika seseorang dengan mudahnya mengatakan kafir kepada saudaranya sesama muslim.

Ilustrasi panggil kafir
ilustrasi

Manusia memang tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa. Maka sikap yang semestinya diambil dan dimiliki oleh umat Islam terhadap sesamanya apabila terbukti melakukan perbuatan salah, yang lebih baik dan bijaksana adalah untuk berhati-hati tidak perlu lekas-lekas menghukumi "si fulan itu kafir". 

Akan tetapi cukuplah dengan dihukumi sebagai seorang pendusta, penyeleweng, pendurhaka dan lain sebagainya. Perintahkan ia untuk segera bertobat dan perbaiki perbuatannya. Sedangkan jika hal itu hanya karena masalah perbedaan pendapat, yang mana hal itu sudah menjadi keniscayaan yang kadang tidak bisa dihindari, maka yang terbaik adalah menghargai adanya perbedaan itu selama hal itu berdasar pada kebenaran. 

Masalah "kafir" adalah masalah besar bagi manusia di alam ini, terutama dalam rangka menentukan nasib baik hidup di dunia maupun di alam akhirat kelak. Oleh karena itu bagi orang yang alim lagi arif bijaksana maka akan mengatakan, "Janganlah sekali-kali mudah memainkan lidah sehingga setiap saat dengan mudah mengatakan 'kufur' atau 'si fulan kafir'". 

Terkait dengan hal ini, Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda dari riwayat Ibnu Umar:

إذاقال الرجل لأخيه ياكافر فقد باءبها أحدهما فإن كان كماقال وإلا رجعت عليه  

"Apabila seorang lelaki berkata kepada saudaranya (sesama muslim) 'Hai Kafir', maka sesungguhnya dia telah menetapkan dengan ucapannya itu salah seorang daripadanya menjadi kafir, kalau seandainya itu benar. Akan tetapi jika tidak benar maka kafir itu sendiri menjadi kembali kepada yang mengucapkannya" (HR. Muslim) 

Kesimpulan hadits di atas menyatakan bahwa pada hakikatnya menuduh seorang muslim dengan mengatakan "kafir" adalah merupakan suatu sikap dan ucapan yang sangat berat resikonya (akibatnya), sebab apabila tuduhan itu tidak benar, maka akan menjadi berbalik sasarannya kepada diri yang menuduh. 

Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak perlu terburu-buru ikut kepada para pengikut faham yang dengan mudahnya selalu melemparkan tuduhan sedikit-sedikit "musyrik" atau "kafir" atas tindak perbuatan seorang muslim yang kebetulan tidak sesuai dengan paham mereka. 

Demikianlah uraian singkat yang semestinya dipahami oleh umat Islam agar tidak terpeleset jatuh ke dalam jurang pendapat yang sesat dan menyesatkan, sehingga ikut-ikutan sedikit-sedikit ikhwannya divonis sebagai orang musyrik atau kafir, hanya karena sebab tindak amalan yang dikerjakan tidak sejalan dengan fahamnya. Wallaahu A'lam

Selengkapnya
Praktek Tawassul dan Hakikatnya

Praktek Tawassul dan Hakikatnya

Ilustrasi berdoa dengan tawasul

Tawassul atau Wasilah artinya ialah "Mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah". Perihal tawassul ini mulai heboh dan ramai diperbincangkan setelah adanya fatwa dari golongan umat Islam yang melarang praktek tawasul ini. Mereka bahkan berpendapat bahwa orang yang bertawasul atau wasilah dalam berdoa adalah syirik atau kafir. 

Mereka mengeluarkan pendapat demikian dengan beralasan untuk meluruskan akidah umat dan untuk menyelesaikan persoalan khilafiyah demi persatuan umat. Tetapi dalam praktek kenyataan, mereka justru malah sengaja membuka lebar pintu pertentangan dan perpecahan umat Islam sendiri. Mereka menuduh amalan bertawasul atau berwasilah sama sekali tidak dijumpai manthuq hukumnya di dalam Al Qur'an maupun Al Hadits, karena itu ditolak oleh Islam.

Di antara mereka juga ada yang biasanya mengutip dalil-dalil yang dipaksa-paksa diletakkan bukan pada tempatnya, seperti firman Allah berikut ini:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَ لَا يَضُرُّكَ ۚ  فَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ

"Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allah sebab jika engkau lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim." (QS. Yunus, 106)

Padahal ayat di atas sebenarnya diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah sebagai Nash terhadap segala perbuatan orang-orang musyrik yang secara terus menerus menyembah berhala. Jadi dalil ayat ini bukan ditujukan kepada orang-orang mukmin yang bertawassul. 

Menyamakan (mengqiyaskan) perbuatan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan perbuatan orang-orang musyrik sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas sama sekali tidak tepat dan tidak benar. Karena baik Al Qur'an ataupun Al Hadits sebenarnya telah jelas memberikan keterangan tentang diizinkannya orang yang berdoa dengan tawasul atau wasilah. Allah SWT telah berfirman:

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْۤا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّـكُمْ تُفْلِحُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah, 35)

Jika firman Allah tersebut dipahami benar-benar, maka semestinya timbul pengertian bahwa di samping Allah memerintahkan kepada sekalian orang mukmin untuk bertaqwa, Allah juga memerintahkan mereka untuk berwasilah mencari jalan yang dapat mendekatkan diri kepadaNya. 

Maksud dan pengertian firman Allah tersebut ternyata pernah dikerjakan oleh Nabi, para sahabatnya dan para Ulama. Selayaknya tindak perbuatan Nabi itu dianut oleh umat Islam sampai sekarang ini. Seperti halnya orang-orang yang hadir dalam acara selametan, tahlilan, haul atau istighotsah pada umumnya, mereka berdoa dengan tawasul atau wasilah yakni memohon kepada Allah lantaran pribadi yang sudah jelas identitas dan kebaikannya, bukan semata-mata meminta kepada mayit tersebut. Praktek semacam ini, yakni bertawassul dalam berdoa adalah selaras dengan tindakan Nabi.

Tawassul atau Wasilah sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi adalah boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup maupun sudah wafat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi bahwa Anas bin Malik berkata:

وقد دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عند إرادة دفن فاطمة بنت أسد أم علي بن أبي طالب كرم الله وجهه فدخل لحدها واضطجع فيه وقال : ألله الذي يحيي ويميت وهو حي لايموت إغفر لأم فاطمة بنت أسد ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي وإنك أرحم الراحمين

"Rasulullah telah berdoa ketika hendak meletakkan jenazah Fathimah binti Asad, ibunya Ali bin Abi Thalib Karramallaahu Wajhah. Maka kemudian Rasulullah memasukkan ke liang kuburnya dengan membaringkan Fathimah seraya berdoa: 'Allah lah yang membuat hidup dan mati. Dia lah yang hidup, tidak mati. Semoga Engkau memberi ampun kepada ibuku, Fathimah binti Asad dan semoga Engkau luaskan tempatnya dengan hak NabiMu dan segenap Nabi yang lain sebelumku. Sungguh Engkau adalah Dzat yang lebih memberikan belas kasihan kepada mayit'" (HR. Ath Thabrani dalam kitab Ausath dan Al Kabir, juga Ibnu Hibban dan Hakim)

Di dalam kitab risalah 'Addurratus Saniyyah firraddi 'alal Wahabiyah' pada halaman 13, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan telah menerangkan masalah tawasul atau wasilah secara panjang lebar dengan mengemukakan sebuah hadits yang menceritakan bahwa di masa pemerintahan Umar bin Khattab banyak umat Islam yang menderita bencana musim kekeringan karena kemarau panjang, sehingga mereka banyak tertimpa kerusakan. Kemudian ada salah seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Harits datang ke kubur Nabi. Setelah sampai di kuburannya berkatalah Bilal kepada Nabi:

يارسول الله : إستسق لأمتك فإنهم هلكوا فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم فى المنام وأخبره أنهم يسقون

"Wahai Rasulullah, saya datang untuk berharap agar engkau (Nabi) memintakan hujan kepada Allah untuk umatmu, karena mereka hancur sebab lama sekali tidak ada hujan. Suatu ketika akhirnya Bilal bermimpi didatangi oleh Nabi, dan diberi kabar kalau umatnya sudah diberi hujan" (HR. Baihaqi dan Ibnu Hibban dengan riwayat yang shahih)

Di dalam hadits yang lain juga diriwayatkan bahwa sahabat Umar bin Khattab pernah berdoa dengan tawassul sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:

أن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه إذاقحطوا إستسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : أللهم إناكنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا فيسقون

"Bahwasanya Umar bin Khattab apabila terjadi musim kemarau, maka ia meminta hujan (wasilah) kepada Abbas bin Abdul Muthallib, maka Umar berkata: 'Ya Allah, bahwasanya kami telah bertawasul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka telah Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawasul kepada Engkau dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan itu'. Maka diturunkanlah hujan kepada mereka. (HR. Bukhari)

Hadits-hadits di atas telah jelas memberikan pengertian:

1. Bahwa Nabi sendiri pernah mengerjakan berdoa dengan tawasul, baik dengan dirinya sendiri (yang masih hidup) dan para Nabi yang sebelumnya (sudah wafat).

2. Praktek Tawasul yang dilakukan oleh Nabi menunjukan bahwa bertawasul itu boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup atau dengan orang yang sudah meninggal.

3. Bahwa sahabat Umar bin Khattab, salah seorang di antara sahabat Nabi yang utama juga pernah berdoa dengan bertawasul untuk memohon ke hadhirat Allah agar diturunkan hujan di waktu rakyatnya sedang ditimpa kekeringan karena musim kemarau yang panjang. Dan dengan doa tawasul itu, ternyata Allah langsung menurunkan hujan.

4. Saat Nabi masih hidup, suatu ketika Umar juga berdoa dengan tawassul, tetapi tindakan dan perbuatan Umar ini tidak disanggah oleh Nabi. Artinya tindakan ini dibenarkan.

5. Bahwa bukan hanya kepada Nabi saja Umar bertawasul, melainkan ia juga bertawassul dengan paman Nabi yaitu Abbas. Ini merupakan suatu bukti nyata bahwa bertawasul boleh dilakukan dengan orang yang lebih rendah atau lebih tinggi.

6. Sama sekali tidak salah jika umat Islam ini mengikuti jejak Nabi dan Umar bin Khattab selaku sahabat yang utama. Apalagi Nabi juga telah menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak para sahabat "Khulafaur Rasyidin" secara konsekuen.

7. Sahabat Bilal bin Harits juga pernah berdoa dengan tawasul kepada Nabi yang pada waktu itu Nabi sendiri sudah wafat. Meskipun demikian ternyata hujan yang diminta Bilal kepada Allah dengan tawasul tersebut telah diturunkan oleh Allah, sebagaimana yang dimintakan oleh Umar.

8. Satu hal yang perlu dimengerti sesungguhnya baik Umar maupun Bilal bukannya meminta hujan kepada Nabi atau Abbas, akan tetapi diri Nabi dan Abbas hanyalah sebagai orang yang dijadikan jalan atau lantaran (wasilah). Jadi hakikat permohonan hujan yang dilakukan oleh Umar maupun Bilal itu semata-mata hanya ditujukan kepada Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas segalanya, lain tidak.

Kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan di atas bahwa sebenarnya berdoa dengan tawassul baik dengan para Nabi, para sahabat, para Wali dan para Ulama sebagaimana yang sering terjadi di tengah-tengah praktek ziarah kubur dan upacara-upacara lain seperti peringatan haul adalah jelas diizinkan oleh Islam, karena hal ini telah jelas pula ada tuntunan langsung dari Al Qur'an maupun Al Hadits serta beberapa bimbingan dari para Alim Ulama. Dan tawassul ini boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal.

Hakikat Bertawasul 


Perlu ditekankan kembali bahwa mereka yang berdoa dengan tawassul kepada para Wali dan Ulama sama sekali tidak mempunyai kepercayaan sedikitpun bahwa para Wali dan Ulama tersebut mempunyai kekuasaan mutlak yang berdiri sendiri terlepas dari kekuasaan yang ada pada Dzat Allah, melainkan para Wali dan para Ulama hanyalah sebagai sebab atau perantara, sedang yang menjadi tujuan pokok dari permohonannya itu adalah Allah saja. 

Dengan kata lain, hanya kepada Allah saja doa itu ditujukan. Jelas dan tegas bahwa apapun yang terjadi di dalam berdoa kepada Allah baik yang dilakukan secara langsung atau dengan tawasul sebagaimana yang menjadi tradisi kaum Nahdiyyin adalah tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Allah dan RasulNya. 

Mereka yang bertawassul pada hakikatnya adalah bukan menyekutukan Allah dengan yang lain. Mereka ini percaya penuh bahwa hanya Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu, lain itu tidak. Oleh karena itu doa yang dipanjatkan hanya kepada Allah pula ditujukan. 

Tidak terdapat sedikitpun i'tiqad yang terselip di dalam kalbu mereka bahwa selain Allah dapat memberikan sesuatu karena kekuasaan yang dimiliki, terlepas sama sekali dengan kekuasaan Allah. Mereka bertawasul dengan Nabi, Wali, dan Ulama adalah sebagai sebab yang dapat mendekatkan doanya dikabulkan oleh Allah. Sehingga dari sini menjadi jelas hakikat yang tampak dalam bertawasul sama sekali tidak terdapat unsur syirik. 

Oleh karenanya sangat disayangkan jika masih ada sementara orang yang belum mengetahui duduk persoalannya lantas menuduh bahwa orang-orang yang berdoa dengan tawasul adalah syirik atau kufur, dengan anggapan bahwa bagaimanapun mereka pasti kemasukan unsur syirik yang menyebabkan dapat menjadikan dirinya termasuk musyrik dan kafir. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, praktek berdoa dengan bertawasul ini sendiri pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. 

Artinya, jika mereka menuduh praktik tawasul ini perbuatan syirik, maka otomatis mereka juga menuduh praktik tawassul yang dijalankan oleh Nabi, para sahabat, dan para Ulama salafuna sholih juga perbuatan syirik dan kelak akan masuk neraka. Na'udzubillahi min dzaalik.

Intinya, jika ada yang tidak setuju dengan pendapat mengenai tawasul ini, maka hendaknya kita harus tetap saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing tanpa harus saling mencaci maki, olok mengolok, apalagi sampai saling mengkafirkan antar sesama umat Islam. Dalam perbedaan tetap kita wujudkan persatuan Islam yang benar-benar menjadi ajaran yang rahmatan lil 'alamiin (membawa rahmat bagi seluruh alam). Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Tentang Kandungan Maksud Ayat Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm, 39)

Tentang Kandungan Maksud Ayat Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm, 39)

Surat An Najm 38-39

Menurut kalangan umat Islam yang menolak sampainya kiriman pahala dari orang lain, mereka biasanya mengutip ayat Al Qur'an di atas. Allah berfirman: 

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى 

"dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya" (QS. An-Najm, 39)

Dari pemahaman ayat tersebut, mereka berpendapat bahwa "manusia pada dasarnya tidak dapat memperoleh pahala amal orang lain yang dikirimkan". Mereka juga menegaskan bahwa walau bagaimana pun manusia tidak akan dapat memperoleh hadiah pahala amal orang lain yang dikirimkan. 

Namun sayangnya, jika ditelusuri menggunakan kaidah keilmuan para Ulama, khususnya dalam kajian ilmu tafsir dan Asbabunnuzul, maksud pemahaman dari ayat yang mereka jadikan landasan itu tampaknya mengalami kekeliruan. Mengapa demikian? Berikut uraiannya:

Jika ditelusuri, tampak jika pemahaman ayat (An Najm, 39) tersebut telah dipotong dari ayat sebelumnya. Padahal seharusnya untuk memahami maksud ayat tersebut mesti dimulai dari ayat sebelumnya (mulai dari ayat 36). Dengan adanya pemotongan maksud ayat ini, maka seakan khitab Allah yang ada pada bagian muka (ayat 36, 37, 38) menjadi terbuang atau tidak dipakai, padahal sebetulnya rangkaian ayat tersebut masih berkaitan dan harusnya dipahami demikian. Oleh karenanya ketika ayat tersebut dipahami sepotong, akibatnya maksud keseluruhan ayat menjadi berkurang bahkan membawa kekeliruan. Yang betul untuk memahami maksud ayat tersebut seharusnya adalah:

اَمْ لَمْ  يُنَبَّأْ بِمَا فِيْ صُحُفِ مُوْسٰى  وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ    اَ لَّا تَزِرُ  وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى  وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى 

"Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab suci yang diturunkan kepada) Musa?, Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya," (QS. An Najm, ayat 36, 37, 38, 39)

Imam Khozin dalam kitab tafsirnya "Al Khozin" berpendapat bahwa ketentuan dalam ayat 36 sampai dengan ayat 39 surat An Najm tersebut adalah berlaku khusus untuk kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim. Dalam kitabnya Imam Khozin menyebutkan:

كان ذالك لقوم إبراهيم وموسى فأما هذه الأمة ماسعوا وماسعى لهم غيرهم  

"Bahwa yang demikian itu (manusia tidak dapat menanggung dosa orang lain dan ia hanya memperoleh apa yang diusahakan sendiri) adalah berlaku untuk kaumnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Adapun bagi ummat ini (umat Muhammad SAW) maka mereka dapat memperoleh pahala amal usahanya sendiri dan usahanya orang lain". (Al Khozin, 322)

Sementara menurut pendapat Ibnu Hazm dalam kitabnya "An Nasikh wal Mansukh", ketentuan ayat tersebut telah dinasakh (dihapus/ diganti) hukumnya dengan Surat Ath Thur ayat 21 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ  اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَـقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَاۤ  اَلَـتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ ۗ  كُلُّ امْرِیءٍۢ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. At-Thur, 21)

Dari pemahaman Surat At Thur ayat 21 di atas, berarti menurut Ibnu Hazm juga sama halnya seperti yang diutarakan oleh Imam Khozin di atas, artinya bagi umat Islam (umat Muhammad SAW), mereka dapat memperoleh pahala amal usahanya sendiri dan usahanya orang lain, atau dengan kata lain bahwa pahala amal seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. (lebih jelasnya baca: Hukum Berkirim Pahala untuk Mayit, Apakah sampai?

Selain pendapat kedua Imam di atas, saya nukilkan juga pendapat dari salah seorang Sahabat Nabi, ahli Tafsir kenamaan yang pernah didoakan langsung oleh Nabi, yakni Ibnu Abbas RA. Saat menafsirkan surat An Najm ayat 39 Ibnu Abbas berkata:

وهذا منسوخ الحكم في هذه الشريعة أي وإنماهو في صحف موسى وإبراهيم عليهما السلام بقوله : "الحقنا بهم ذريتهم .." فأدخل الأبناء في الجنة بصلاح الأباء 

"Dibatalkan  hukumnya dalam syariat ini, semestinya masih tetap ada di dalam kitabnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim AS (maksudnya khusus buat kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim). Ayat "Wa an laisa lil insaani ilaa ma sa'aa" ini telah diganti hukumnya dengan ayat "Wa alhaqna bihim Dzurriyyatahum". Maka dimasukkan si anak ke dalam surga dengan kebaikan amal bapaknya". (Tafsir Al Jamal /236)

Dari keterangan di atas semakin jelas bahwa seorang sahabat Nabi ahli Tafsir yang sudah kenamaan  berpendirian bahwa ayat yang terjemahannya " dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya" telah dibatalkan hukumnya oleh surat At Thur ayat 21. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa menurut maksud ayat 21 surat At Thur, maka "sebenarnya manusia akan dapat memperoleh apa yang ia usahakan sendiri dan juga yang diusahakan oleh orang lain".

Imam As Shawi dalam kitab tafsirnya juga berpendapat bahwa "orang yang mempercayai sesungguhnya manusia tidak dapat memperoleh atau mengambil manfaat (intifa') kecuali dengan amal yang ia usahakan sendiri (seperti makna dalam potongan surat An Najm, 39)" adalah pendapat yang batal (Ash Shawy IV/ 111-112).

Dari uraian di atas, menjadi jelas persoalannya bahwa menurut kalangan jumhur ahli tafsir, mereka berpendirian bahwa manusia pada hakikatnya dapat memperoleh manfaat dari amal yang ia usahakan sendiri dan yang diusahakan oleh orang lain. Artinya, orang yang mendapat kiriman hadiah pahala itu juga akan mendapatkan manfaatnya. 

Kalau pun masih ada yang tidak setuju dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, atau dengan kata lain maksud surat An Najm 39 tersebut dianggap masih berlaku (ketentuan hukumnya), maka sebagai jalan tengah, Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqih kontemporer dari Mesir menjelaskan, "Menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan surat An Najm ayat 39, karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya. (Al Fiqh - Al Wadlih, juz 1 hal. 449). Wallaahu A'lam.

Selengkapnya
Hukum Berkirim Pahala Untuk Mayit, Apakah Sampai?

Hukum Berkirim Pahala Untuk Mayit, Apakah Sampai?


Setiap tindakan ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim akan mendapat hadiah (ganjaran) pahala dari Allah SWT. Seseorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dapat memperoleh pahala amalnya itu, orang yang bershadaqah kepada fakir miskin dapat memperoleh pahalanya, orang yang memberi pertolongan kepada orang lain juga dapat memperoleh pahala amal pertolongannya itu, demikian seterusnya. Sekecil apapun amal kebajikan yang kita lakukan, akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Dalam firmanNya disebutkan:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗ  

"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah, 7)

Dalam ayat di atas dinyatakan dengan tegas bahwa seseorang yang mengerjakan suatu kebaikan sedikit saja, meskipun beratnya sekecil debu, maka baginya memperoleh pahala dari Allah SWT. Tidak hanya itu saja, akan tetapi seseorang juga dapat memperoleh pahala amal yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya pahala amal yang dikirimkan kepada kedua orang tuanya, sanak saudaranya dan lain-lain. 

Apakah seseorang dapat memperoleh pahala amal orang lain? 


Baca Al Qur'an hadiah untuk mayit

Di kalangan Nahdiyyin, sudah menjadi tradisi untuk mengirimkan pahala kepada orang yang telah meninggal melalui bacaan-bacaan ayat suci Al Qur'an, tahlil, doa-doa dan amalan ibadah lainnya. Menurut ajaran Islam, amalan seperti ini adalah diizinkan, karena dengan bacaan-bacaan tersebut, si mayit (orang yang telah meninggal) akan memperoleh pahalanya. Artinya, si mayit itu akan memperoleh faedah dan manfaat serta akan diangkat derajatnya di akhirat kelak. 

Hal ini tidak berarti bahwa manusia ketika hidup harus selalu menunggu-nunggu atau mengharapkan saja akan datangnya pemberian pahala dari orang lain, akan tetapi ia masih berada di dalam lingkaran beban dan tanggung jawab melaksanakan segala perintah Allah dan Rasulnya. Jika tanggungan (taklif) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka ia akan memperoleh pahala amalnya itu. 

Mengenai persoalan pemberian hadiah pahala ini hendaknya kita renungkan firman Allah berikut ini:

وَالَّذِيْنَ  اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَـقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَاۤ  اَلَـتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ ۗ 

"Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami (Allah) menghubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada akan mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka". (QS. At Thur, 21)

Menurut pengertian makna ayat ini, anak cucu (yang beriman) akan ditinggikan derajatnya oleh Allah lantaran derajat yang dimiliki orang tua mereka yakni orang tua yang beriman. Dan Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama menjadi satu berada di dalam surga. Hal ini disebabkan karena akibat pahala amal-amal kebaikan yang diperoleh orang tua-orang tua mereka dan bermanfaat pula bagi cucu-cucu mereka itu. 

Kalangan Mufassirin (ahli tafsir) pada umumnya sepakat bahwa amal seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Pendapat ini dicetuskan dengan suatu ikatan apabila keduanya sama-sama mukmin, maksudnya orang yang menghadiahkan pahala mukmin dan yang dihadiahi juga mukmin, orang tua-orang tua dan anak cucu keduanya juga sama-sama mukmin. Sedang jika salah satu di antara keduanya ada yang kafir, maka tidak dapat bermanfaat pahala tersebut. 

Dalam tafsir At Thabari juz 27 hlm 13 - 15, Imam At Tabari menjelaskan secara panjang mengenai masalah ini dengan menyampaikan dasar-dasar hadits Nabi, beliau berpendapat bahwa seorang anak dapat memperoleh syafaat pahala amal orang tuanya, meskipun amal yang dimiliki oleh anak tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki orang tuanya, karena itu si anak ini berakibat menjadi terangkat derajatnya sesuai dengan derajat orang tuanya. Imam As Shawi dalam kitab tafsirnya juga berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya dapat memperoleh manfaat doa orang lain, dan ia dapat mengambil manfaat doa yang dari orang lain tersebut. 

Jika diteliti dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya banyak dijumpai hadits yang menerangkan secara jelas bahwa pahala amal baik seseorang yang masih hidup dapat sampai kepada yang sudah mati. Di antaranya adalah hadits berikut ini:

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من مات وعليه صوم صام عنه وليه

"Dari Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia sedang ia berhutang puasa, maka walinya boleh menggantikan puasanya itu". (HR. Muslim)

Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang ia mempunyai tanggungan (hutang) puasa, maka puasanya boleh digantikan (dikerjakan) oleh walinya (ahli warisnya). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, hal ini sunnah hukumnya bagi wali untuk membayar hutang puasa si mayit. Jadi kalau demikian amal puasa wali (ahli waris) itu dapat dikirimkan pahalanya kepada mayit dan bermanfaat baginya.

Imam Tirmidzi dalam kitabnya "Shahih Tirmidzi" juga menyebutkan sebuah hadits:

عن ابن عباس أن رجلا قال يا رسول الله إن أمي قد توفيت أينفعها شيء إن تصدقت به عنها قال نعم، قال فإن لي مخرافا فأشهدك أني قد تصدقت عنها

"Dari Ibnu Abbas ia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Ibuku telah meninggal dunia, adakah manfaatnya kalau aku bershadaqah untuk ibuku? Rasulullah menjawab:" Ya" (dapat bermanfaat). Kemudian orang tersebut berkata: aku mempunyai sebuah kebun dan aku meminta kesaksianmu bahwa kebun tersebut telah aku sedekahkan (waqafkan) untuk ibuku". (HR. Tirmidzi)

Pokok isi dari hadits di atas ini menunjukan bahwasanya Rasulullah membenarkan dengan perkataan "ya" terhadap pertanyaan seorang laki-laki yang ibunya telah meninggal dunia, dan ia berhajat mendermakan kebun yang pahalanya dihadiahkan kepada ibunya orang tersebut. Artinya, bahwa si ibu yang sudah meninggal dunia itu dapat memperoleh manfaat dan mengambilnya dari pahala amal sedekahnya (waqaf) kebun yang diusahakan anaknya itu.

Adapun mengenai berkirim doa, dalam sebuah hadits disebutkan:

عن معقال ابن يسار قال النبي صلى الله عليه وسلم إقرءوا يس على موتاكم
  
"Dari Mi'qal bin Yasar, Nabi SAW bersabda: "Bacakanlah Surat Yasin atas orang-orangmu yang sudah meninggal dunia (mati)". (HR. Abu Daud)

Berdasarkan hadits tersebut, maka dapat dipahami bahwa Nabi memerintahkan agar orang-orang yang sudah mati supaya dibacakan Surat Yaasin. Hal ini berarti bahwa menurut Nabi, amal bacaan Surat Yaasin dapat dihadiahkan pahalanya kepada yang sudah mati dan bermanfaat baginya. Di dalam hadits tersebut secara tegas juga dinyatakan dengan kalimat "mautaakum" artinya orang-orang yang telah mati, bukan terbatas kepada orang yang akan mati saja.

Dalam kitab Al Mizanul Kubra disebutkan bahwa pada dasarnya para imam madzhab bersepakat pendapat bahwa pahala amal bacaan itu dapat sampai kepada si mayit dan bermanfaat baginya. Hanya saja menurut Imam Abu Hanifah, beliau menghukumi makruh dalam arti bahwa amalan tersebut makruh dikerjakan. Dalam Al Mizanul Kubra disebutkan:

وأجمعوا على أن الإستغفار والدعاء والصدقة والحج والعتق تنفع الميت ويصل إليه ثوابه وقرأة القرأن مستحبة وكرهها أبو حنيفة

"Dan sepakat para imam madzhab bahwa istighfar, doa, shadaqah, haji, dan memerdekakan budak itu dapat bermanfaat kepada mayit dan dapat sampai pahala amal itu kepadanya, dan demikian juga halnya amalan membaca Al Qur'an di kuburan adalah sunnah hukumnya, akan tetapi Abu Hanifah menghukumi makruh". (Al Mizanul Kubra I/90).

Imam Ahmad bin Hambal bahkan tampak lebih menegaskan pendapatnya tentang persoalan hadiah pahala Al Qur'an yang dikirimkan kepada mayit, sebagaimana kata beliau:

إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والإخلاص والمعوذتين واجعلوا ثواب ذالك لأهل المقابر فإنه يصل إليهم

"Apabila kamu sekalian telah memasuki kuburan-kuburan, maka bacalah Fatihahnya Kitab (surat Al Fatihah), surat Al Ikhlas, surat Al Mu'awwidzatain (Al Falaq dan An Nas) dan kirimkanlah pahala bacaan tersebut kepada para ahli kubur, sesungguhnya pahala itu tadi akan sampai kepada mereka". (Hasyiyah I'anatut Thalibin I/1341)

Keterangan ini memberikan penjelasan bahwa pahala bacaan Al Qur'an orang yang masih hidup pada hakikatnya dapat sampai kepada ahli kubur (mayit). Oleh sebab itu, Imam Ahmad juga pernah berkata:

ثواب القرأة يصل إلى الميت ويحصل نفعه 

"Pahala bacaan Al Qur'an itu dapat sampai kepada mayit dan dapat pula memberikan manfaat baginya". (Al Mizanul Kubra I/91)

Sementara menurut Imam Syafi'i, ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan pahala tersebut tidak dapat sampai kepada mayit, sedangkan pendapat yang kedua pahala dapat sampai kepada mayit. Namun menurut qaul yang kuat, sebagaimana yang masyhur dikalangan para ashab (pengikut Imam Syafi'i), pendapat kedualah yang diterima, artinya pahala amal dapat sampai kepada mayit. Mengenai hal ini, dalam kitab I'anatut Thalibin disebutkan:

قوله "لأ يصل ثوابها" ضعيف وقوله "وقال بعض أصحابنا يصل" معتمد

"Pendapat yang mengatakan bahwa tidak dapat sampai pahala bacaan kepada mayit adalah dhoif, dan fatwa sebagian besar dari kalangan shahabat Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sampai pahala tersebut kepada mayit adalah yang kuat". (I'anatut Thalibin III/221)

Dalam kitab Al Adzkar juga disebutkan:

قال الشافعي والأصحاب يستحب أن يقرأ شيئا من القرأن قالوا فإن ختم القرأن كله كان حسنا

"Berkata Imam Syafi'i dan para sahabatnya: "Disunnahkan hukumnya membaca sedikit saja dari Al Qur'an di hadapan mayit. Dan berkata mereka sahabat Imam Syafi'i: Jika telah dapat khatam semuanya itu adalah baik sekali". (Al Adzkar 147)

Jadi kongkritnya, menurut pendapat Imam Syafi'i dan sebagian besar para sahabatnya, mengirimkan pahala bacaan Al Qur'an dan bacaan-bacaan yang lain adalah dapat sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya, beliau juga menegaskan bahwa amalan semacam itu hukumnya sunnah. Oleh karenanya, di kalangan para Ulama masyhur pendapat bahwa sebaiknya sesudah bacaan doa itu selesai maka hendaknya ditambah perkataan di dalam doa sebagaimana berikut:

.... اللهم أوصل ثواب ما قرأناه إلى فلان

(Allahumma aushil tsawaaba ma qara'naahu ila....) 
"Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan (Al Qur'an) yang kami baca ini kepada si mayit fulan......"

Demikianlah, bahwa pada hakikatnya Allah dan Rasulnya beserta sebagian besar para jumhur Ulama telah membenarkan praktek menghadiahkan pahala suatu amal kebaikan kepada mayit, seperti pahala amal puasa, shadaqah, bacaan Al Qur'an dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, selayaknya apabila amalan semacam ini senantiasa berjalan dan berkembang terus di kalangan umat Islam di bawah bimbingan para Alim Ulama. Memang ada sebagian dari saudara kita yang tidak sefaham dengan penuturan di atas. Namun mesti berbeda pendapat, hendaknya tetap saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Janganlah sampai terjadi saling olok-mengolok apalagi sampai berani mengkafirkan sesama saudaranya yang Muslim. Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Pengertian Barokah dan Penjelasannya

Pengertian Barokah dan Penjelasannya

Barokallah


Bagi yang masih bingung, istilah barokah, berkah, atau berkat sebetulnya adalah sama. Ketiga istilah ini berasal dari bahasa arab yang berarti bergerak, tumbuh, bertambah dan bahagia (kamus Al Muhith, juz 3). Jadi, barokah bisa diartikan sesuatu atau apa saja yang tumbuh, bergerak, dan memberikan kebahagiaan bagi yang mendapatkannya. Pengertian barokah ini kemudian berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam sehingga menjadi istilah yang seringkali terdengar.

Pengertian Barokah


Imam Al Khozin berpendapat bahwa pengertian barokah atau berkah yaitu suatu kebaikan Tuhan yang diletakan pada sesuatu. Maksud daripada kebaikan Tuhan ini adalah apa saja yang diletakan oleh Allah pada sesuatu, baik itu pada diri Nabi, badannya, bajunya, atau pada diri para Wali, Ulama, orang-orang shaleh dan sebagainya. 

Barokah juga bisa kita temui pada ayat-ayat suci seperti dalam surat Yasin, surat Al Ikhlas dan lain-lain. Begitu juga barokah ada yang diletakan pada nasi, air, buah kurma, dan seterusnya. Singkatnya, kebaikan Tuhan yang berupa barokah itu banyak sekali, letaknya sesuai dengan yang dikehendaki dan disayangi. Namun perlu diingat bahwa sesuatu yang memiliki barokah adalah adalah sesuatu yang bisa menambah ketaatan kita kepada Allah.

Hakikat Keberadaan Barokah


Bagi orang yang selalu mengandalkan rasionalitas akalnya, sulit untuk bisa menemukan dan merasakan adanya barokah. Sebenarnya, untuk memahami keberadaan barokah, kita bisa menggunakan analogi yang mudah. Sebagai contoh, kita percaya dengan apa yang disebut vitamin dalam ilmu kesehatan. 

Kita percaya bahwa vitamin A terletak dalam tumbuh-tumbuhan hijau, vitamin B terletak dalam ragi dan susu, vitamin C terletak pada buah jeruk, dan seterusnya. Kita juga percaya dengan kegunaan dari masing-masing vitamin tesebut. Saat kita ditanya bagaimana bentuk vitamin itu, apakah dapat dilihat atau bagaimanakah warnanya, sebagian besar dari kita paling-paling hanya bisa menjawab bahwa vitamin itu ada dengan tanda-tandanya. 

Begitu pula dengan keberadaan barokah. Sulit bagi kita untuk dapat menunjukan atau memperlihatkan secara nyata bentuk atau rupa dari barokah, akan tetapi dengan melihat tanda-tanda yang ada maka yakinlah bahwa barokah itu ''Ada".

Sesuatu yang mempunyai barokah tanda-tandanya yaitu setiap barang atau harta yang membuat hati senang pemiliknya, keluarganya hidup bahagia, atau rukun dan ramah dengan tetangga. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi dapat menumbuhkan kebahagiaan dan menambah ketaatan kepada Allah maka ada barokah di sana. 

Begitu juga dengan makanan dan minuman yang barokah adalah yang menjadikan sehat, nikmat, dan segar. Dengan memperoleh nikmat seperti ini maka sudah selayaknya dijadikan sebagai sarana untuk bersyukur dengan menambah ketaatan kepada Allah SWT.

Dalil-Dalil Adanya Barokah


Adanya barokah atas sesuatu di dunia ini telah jelas sekali keterangannya baik di dalam Al Qur'an maupun Hadits. Allah dengan tegas menjabarkan tentang kebenaran adanya barokah atau berkah, baik itu yang ada pada air, tumbuh-tumbuhan, benda-benda padat seperti batu dan lain-lain. Diantara dalilnya dalam surat Al A'raf ayat 96 Allah berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ  مِّنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا  كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."(QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Barokah dari langit yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah melalui hujan, yakni hujan yang membawa manfaat, kenikmatan, dan kebahagiaan bagi makhluk di bumi, terutama manusia yang beriman dan bertaqwa. Hujan yang membawa barokah ini bukan hujan yang membawa bencana dan kerusakan bagi manusia. 

Demikian pula halnya dengan barokah dari bumi maksudnya adalah melalui tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang halal dimakan, dapat menjadikan badan sehat, tidak mengganggu ketenangan jiwa, sehingga manusia merasa puas dan bahagia atas nikmat yang diberikan oleh Allah lewat barokah tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan tersebut. 

Pada ayat lain, Allah juga menjelaskan secara nyata tentang adanya tempat atau benda yang mendapat barokah, yakni:


اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ  لَـلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَ

"Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam."(QS. Ali 'Imran, 96)

Menurut ayat ini, Allah telah memberikan barokah pada suatu benda yaitu berupa tempat ibadah, yakni Ka' bah (Baitullah). Jadi benar kiranya apabila orang-orang yang pergi haji dengan berharap pula kepada barokahnya Ka'bah sebagai rumah Allah. 

Masih banyak sebenarnya ayat-ayat yang menyatakan adanya barokah, demikian juga tidak sedikit hadits Nabi yang menerangkan tentang adanya barokah. Di antaranya hadits yang diceritakan dari Abu Hurairah, ia berkata:

''Orang-orang Madinah jika sudah memetik hasil panen, maka petikan yang pertama akan dihaturkan kepada Nabi. Pada saat Nabi menerimanya, beliau kemudian berdoa: Ya Allah, berkahilah buah-buahan kami, berkahilah negeri kami, berkahilah takaran kami, dan berkahilah gantang kami''.

Dalam hadits lain juga disebutkan:

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "Sungguh engkau telah melihatku bersama Nabi, saat itu waktu ashar tiba, sedangkan air tidak ada untuk berwudhu, kecuali lebihan air sedikit. Maka air yang sedikit itu kemudian dimasukan ke dalam ember dan dibawa kepada Nabi. Nabi kemudian memasukan tangannya ke dalam ember tersebut dan merenggangkan jari-jemarinya. Selanjutnya Nabi berkata kepada para sahabat: ''Hai orang-orang yang akan berwudhu, kemarilah, ini berkah dari Allah. Aku melihat (kata Jabir) air mengucur di antara jari jemari Rasul, maka berwudhulah orang-orang yang ada di situ dan juga meminum airnya. Aku pun tidak peduli, saya penuhi perutku dengan air itu, maka aku tahu betul bahwa air itu barokah. Aku (Salim bin Ja'di) bertanya kepada Jabir, berapa jumlah orang saat itu, jawabnya: 1400 orang (HR. Bukhari). 

Kedua hadits di atas dengan jelas menyatakan bahwa barokah yang diberikan Allah bisa jadi terletak pada makanan, minuman (air), buah-buahan dan lain sebagainya. Artinya, semua makanan dan minuman atau air yang membawa kebaikan, kebahagiaan, kepuasan, kenikmatan, dalam kehidupan seseorang, dan tidak menimbulkan malapetaka, kesengsaraan, mengganggu rohani dan jasmani, dan lain-lain, maka di dalamnya ada barokah. 

Tempat-Tempat yang Mendapat Barokah


Semua tempat ibadah dan yang dianggap suci menurut pandangan agama adalah mempunyai barokah. Hal ini dikarenakan saat berada di tempat-tempat itu, kita akan merasa tenang dan bahagia, dan jiwa terasa dekat dan selalu ingat kepada Allah. Tempat-tempat tersebut misalnya masjid, mushala, madrasah, majlis ta'lim, majlis dzikir, termasuk makam para Nabi, makam para Wali, orang-orang shaleh, para Ulama dan lain-lain.


Selengkapnya
Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Tradisi Peringatan Haul di Masyarakat

Sekitar sebulan yang lalu, keluarga besar saya baru saja memperingati haul simbah buyut saya. Para kerabat, saudara dan tetangga diundang untuk menghadiri acara haul yang diisi doa bersama, pembacaan yasin tahlil dan sebagainya. Pada haul kali ini memang diadakan lebih sederhana dibanding tahun-tahun sebelumnya. Biasanya acara haul ini diawali dengan ziarah ke makam yang dihauli dan diakhiri dengan doa bersama dan ceramah agama oleh seorang Kyai.

Tradisi haul memang sudah biasa diperingati oleh masyarakat Jawa. Bahkan di pesantren-pesantren berbasis NU, tradisi haul ini selalu diadakan setiap tahunnya. Hal ini  juga untuk mengenang para pendahulu (biasanya para pendiri pesantren yang telah wafat) yang berjuang dalam menyiarkan islam lewat pesantren. Tradisi haul di pesantren yang pernah saya rasakan bahkan terasa lebih berkesan karena diisi berbagai macam kegiatan dan biasanya berlangsung berhari-hari. 

Pada masa kini memang diakui islam di Jawa, bahkan di Indonesia semakin beragam. Berbagai aliran Islam muncul dan berkembang baik di kota maupun di desa. Pandangan mereka tentang tradisi haul ini juga bermacam-macam. Mereka yang tidak sependapat bahkan menolak tradisi ini juga banyak. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan berani mencap kafir kepada saudara mereka sesama Islam yang melaksanakan tradisi haul ini.

Menurut pengertiannya, haul merupakan salah satu bentuk upacara peringatan atas wafatnya seseorang yang telah dikenal sebagai pemuka agama Islam, baik itu Wali, Ulama, atau orang Islam yang mempunyai jasa besar terhadap masyarakat. Kata haul berasal dari bahasa Arab yang artinya satu tahun atau genap setahun. Maka pada umumnya upacara haul diselenggarakan bertepatan dengan hari wafat orang yang dihauli. Istilah haul juga sering dipergunakan dalam kegiatan urusan zakat, yakni zakat suatu barang harus dikeluarkan apabila telah mencapai genap setahun atau haul.

Menanggapi kalangan Islam yang menolak tradisi haul, sebenarnya kita harus berfikir jernih. Kita harus menghindari berfikiran saklek. Sumber utama dalam menggali ajaran Islam adalah Al Qur'an dan Hadits, maka untuk menggalinya dibutuhkan peralatan dan perlengkapan tertentu yaitu pengetahuan ilmu-ilmu penting yang sudah disepakati oleh para Ulama seperti ilmu Qowa'id, Balaghah, ilmu Tafsir, ilmu Musthalah Hadits dan sebagainya. Penggalian dari Al Qur'an dan Hadits tidak boleh hanya dari penafsiran akal semata. Artinya kita tidak boleh mengartikan dan menyimpulkan hukum yang terkandung di dalamnya dengan tuntunan kemauan semata.

Kembali ke masalah peringatan haul, Al Qur'an memang tidak menyebut secara langsung istilah haul. Namun, jika kita mampu menggalinya lebih dalam dengan ilmu-ilmu di atas, sebenarnya Al Qur'an telah memberikan petunjuknya. Berdasarkan kepada mafhum (pengertian yang dapat dipaham) dari manthuq (bunyi lafadz) suatu ayat, kita bisa memahaminya. Dalam surat Adz Dzariyat ayat 55, Allah menyebutkan:

"Dan tetaplah memberi peringatan, karena peringatan itu dapat bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."

Mafhum ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah kepada kita untuk tetap selalu memberi peringatan kepada sesamanya. Oleh karena itu semua peringatan yang membawa kebaikan adalah memang diharuskan, karena akan bermanfaat bagi diri kita dalam kerangka mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. 

Tradisi haul melalui serangkaian acara seperti ziarah kubur, pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an, shalawat Nabi, doa yasin tahlil dan lain sebagainya adalah termasuk salah satu bentuk peringatan yang baik, karena di dalamnya terdapat amalan-amalan ibadah yang membawa kebaikan dan manfaat bagi kita yang hidup di dunia ini. Terlebih, amalan-amalan ini bahkan juga telah dianjurkan oleh Islam baik lewat Al Qur'an maupun Hadits Nabi. Jadi, tradisi peringatan haul, selama tidak menyimpang dari tatanan dan aturan serta tuntunan syara' yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasulnya, maka jelas ini adalah tradisi yang baik, dan sudah selayaknya dilestarikan. 

Demikianlah yang perlu diketahui oleh kita semua, sehingga nantinya kita tidak mudah termakan oleh paham-paham atau pendapat yang mencoba menghilangkan dan menganggap sesat tradisi ini. Tradisi ini layak dilestarikan, karena sudah jelas landasannya juga bersumber dari ajaran Islam.

Selengkapnya
Emansipasi Wanita dalam Islam

Emansipasi Wanita dalam Islam

Ilustasi wanita

Di era modern ini, pembahasan mengenai emansipasi wanita selalu menjadi topik pembicaraan yang banyak dikupas oleh kalangan para akademis Muslim. Penyetaraan hak dalam berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai solusi untuk mengangkat derajat kaum wanita yang katanya selama ini "termarjinalkan" oleh kuasa kaum pria. Tetapi bagaimanakah sebenarnya emansipasi wanita dalam pandangan Islam?

Terciptanya laki-laki dan perempuan merupakan kuasa dan kebijaksanaan Allah. Kebijaksanaan Allah sebagai Sang Maha Mengatur ini tidak mungkin salah dan tersalahkan. KebijaksanaanNya ini juga tidak mungkin terkalahkan oleh siapa pun, di mana pun dan sampai kapan pun. Allah Maha Tahu untuk apa manusia, baik laki-laki atau pun perempuan diciptakanNya dan Allah Maha Tahu pula bagaimana mengatur kedua jenis manusia ini.

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan dibekali persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Masing-masing diciptakan sedemikian rupa sehingga keduanya dapat bekerja sama di dalam kebedaan dan kesamaannya untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah di bumi Allah, sebagai makhluk yang paling besar peranannya memelihara kehidupan di muka bumi.

Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa Islam bersikap tidak adil antara perlakuan kepada laki-laki dan perempuan. Mereka memandang bahwa peran kaum perempuan sangat dibatasi dalam kehidupan ini. Anggapan seperti ini sebetulnya menunjukan masih dangkalnya pemahaman kita terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam secara keseluruhan. Selain itu pandangan seperti ini juga agaknya banyak dipengaruhi oleh kurangnya pengertian terhadap hak-hak perempuan dalam Islam, karena lebih banyak orang berbicara tentang kewajiban-kewajiban perempuan saja.

Padahal sebenarnya, Islam juga memberikan peranan bagi kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang cukup luas. Bukan saja di dalam urusan biologis dan alamiah semata, tetapi di dalam bidang-bidang lain, perempuan juga punya peranan sebagaimana kaum laki-laki punya peranan.

Hanya saja memang ada perbedaan besar kecilnya peranan di dalam suatu bidang tertentu, sesuai dengan sifat-sifat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Adakalanya di suatu bidang perempuan punya peranan lebih besar dan adakalanya di bidang lain laki-laki punya peranan lebih besar. Kecilnya peranan pada bidang tertentu bukan berarti kelemahan secara keseluruhan, karena pada bidang yang lain mungkin perannya justru lebih besar.

Sebagai contoh kita umpamakan dalam kehidupan berkeluarga. Peranan laki-laki di dalam bidang pencarian nafkah memang lebih besar, tetapi peranan perempuan di dalam bidang pendidikan anak serta pemeliharaannya juga lebih besar. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan punya peranan yang sama-sama besar di dalam memelihara kesejahteraan keluarga dan rumah tangga. Dalam rumah tangga, laki-laki sebagai suami merupakan orang pertama sedangkan perempuan atau istri adalah orang kedua. Suami memikul beban tanggung jawab sepenuhnya ke luar, sedangkan istri mengurus tanggung jawab ke dalam. Inilah garis besarnya.

Secara keseluruhan, peranan perempuan dan laki-laki di dalam semua bidang kehidupan adalah sama besar. Adanya perbedaan besar-kecilnya peranan ini sesuai dengan perbedaan sifat dan keadaan masing-masing, tegasnya yakni sesuai dengan kebijaksanaan Allah Yang Maha Kuasa. Tidak ada satu pun segi bidang kehidupan manusia yang tidak memerlukan peranan perempuan, baik langsung atau tidak langsung, karena memang sekian banyak segi bidang kehidupan manusia itu satu sama lain selalu ada hubungannya, tidak ada yang secara mutlak berdiri sendiri.

Dalam menilai peranan dan hasil karya perempuan, sering kali kita terpengaruh oleh "gemerlapnya" lahir, atau apa yang tampak mencolok saja. Umpamanya: Seorang perempuan tokoh organisasi, pandai berpidato, sibuk ke sana kemari, dinilai lebih tinggi prestasi dan peranannya daripada seorang ibu yang tidak banyak keluar rumah, tetapi tekun memelihara rumah-tangga, mendidik putra-putrinya sehingga berhasil menjadi manusia-manusia yang baik, yang berguna untuk masyarakat, negara dan agama.

Penilaian ini belum tentu tepat dan belum tentu benar. Pernahkah kita renungkan "Berapa nilai sukses mendidik seorang anak menjadi orang baik? dan berapa pula nilai sukses menyelenggarakan suatu pertemuan atau rapat dengan baik?". Banyak perempuan yang disibukkan dengan aktivitas di luar rumah, tetapi kehidupan rumah tangganya justru terbengkalai dan anak-anak tidak terurus selayaknya. Kiranya kita masih perlu beberapa kali berpikir dan mempertimbangkan pilihan mana yang sebenarnya lebih penting.

Memang aktivitas di luar rumah, menjadi wanita karir, aktivis organisasi dan sebagainya juga penting, tetapi itu semua juga harus berjalan dengan seimbang. Kegiatan di luar rumah tangga oleh seorang istri sudah pasti tidak akan sebebas yang bisa dilakukan oleh seorang suami. Hal ini tidak dapat dianggap sebagai suatu ketidakadilan. Bahkan sebaliknya menyamaratakan kesempatan bergerak di luar rumah tangga bagi suami dan istri secara umum, justru akan merusak ketertiban hidup kemanusiaan, karena hal ini bertentangan dengan sifat-aifat dan kepentingan hidup manusia yang telah ditetapkan, dicipta dan diatur oleh Allah Yang Maha Bijaksana.

Islam tidak pernah mengekang peran dan kebebasan berekspresi kaum wanita. Banyak peran dan tugas yang bisa digarap oleh perempuan, mulai dari bidang politik, pendidikan, sosial dan sebagainya sampai kepada perdagangan. Semuanya tidak dilarang oleh Islam, bahkan adakalanya dianjurkan. Seperti misalnya di dalam mencari ilmu adalah sama wajibnya atas laki-laki dan perempuan. Bahkan istri-istri Nabi pernah mendapat tugas ambil bagian di dalam bidang pertahanan negara secara langsung ikut ke medan perang. Istri-istri Nabi juga naik kuda, naik unta, belajar, memanah dan sebagainya.

Hanya saja di dalam segala kegiatan ini harus tetap dipelihara kesopanan dan hukum-hukum agama di dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang akan banyak dialami di dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah tangga. Kesimpulannya, Islam membuka pintu bagi perempuan untuk beraktivitas di berbagai bidang, dengan syarat atas persetujuan suami dan terpeliharanya kepentingan hidup berumah tangga dalam arti sebenarnya.

Akhirnya, perlu ditegaskan kembali bahwa emansipasi bukanlah berarti kesamaan mutlak di dalam segala hal, tetapi hakikat emansipasi menurut Islam haruslah berarti:

1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban yang sesuai dengan sifat, bakat, minat dan kepentingan masing-masing dan sekaligus kepentingan bersama,

2. Bukan "mempertemukan peranan" atau "mencampuradukannya" sampai masing-masing menjadi "setengah laki-laki" dan "setengah perempuan" atau "laki-laki semua" dan "perempuan semua",

3. Pemeliharaan eksistensinya masing-masing secara terhormat.

Islam adalah agama yang membawa kemaslahatan bagi umatnya. Islam mengatur dan memberikan masing-masing peranan kepada laki-laki dan perempuan untuk kemaslahatan bersama di kehidupan ini. Islam memberikan kedudukan, peranan, hak, kewajiban dan peraturan kepada perempuan untuk dapat menjadi "perempuan sejati", demikian pula kepada laki-laki, supaya dapat menjadi "laki-laki sejati". Peranan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tidak kalah pentingnya dengan peranan laki-laki. Masing-masing memiliki peran yang saling mengisi dan diatur untuk kemaslahatan bersama menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.



Disarikan dari Fikih Perempuan Praktis, karya KH. Abdul Muchith Muzadi.
Selengkapnya