Ramadhan dan Transformasi Kesalehan Sosial

Ramadhan dan Transformasi Kesalehan Sosial

Ramadhan kembali menyapa, dan umat Islam pun kembali merayakannya meski dengan kesederhanaan karena adanya wabah pandemi ini. Ramadhan, bulan yang dimaknai penuh rahmat, barokah, sekaligus waktu berintrospeksi diri bagi umat yang menjalankan. Selama sebulan penuh, ganjaran atas perbuatan baik dilipatgandakan, umat yang bersedekah dimuliakan, dan derajat amalan dari ajaran agama ditinggikan. 

Inilah Ramadhan, bulan yang diyakini penuh maghfirah, bulan pengampunan atas dosa, salah, khilaf, serta perbuatan masa lampau yang tidak sesuai dengan rukun dan tuntunan. 

buka puasa bersama
pic. via wikipedia

Berbagai kejadian serasa menyesakkan kesadaran kita sebagai insan yang memiliki banyak kelebihan. Singularisme seolah-olah menjadi mindset sikap bagi sebagian orang. Tak hanya bagi mereka yang memiliki otoritas dalam birokrasi, tetapi juga menggejala di masyarakat. 

Kita melihat berita di media massa maupun elektronik tentang aparat penegak hukum yang patgulipat dengan terdakwa untuk mengatur tinggi-rendahnya vonis di pengadilan. Atau bahkan makin sering terjadi dimana penegak hukum tertangkap tangan kasus suap yang dilakukannya. Padahal semestinya di tangan merekalah hukum ditegakkan. Bukannya malah belepotan dalam genggaman pelaku hukum itu sendiri. 

Atau kasus lain misalnya saat terjadi pembongkaran lahan berdasarkan vonis yang telah ditetapkan, acapkali kita dikejutkan pula dengan terjadinya kericuhan sehingga tidak jarang berakibat akan jatuhnya korban. 

Sikap mengedepankan egoisme jelas hanya menguntungkan kelompok atau golongan sendiri dan merugikan kelompok lain. Di tengah perbedaan masyarakat, pluralisme seringkali menjadi tawaran jalan tengah. Namun kenyataanya, alih-alih menjadi solusi, justru intoleransi yang terjadi. Berbagai diskusi dan pemutaran film yang dipersepsikan sebagai "kiri" dan suara minoritas dianggap sebagai kegiatan yang melanggar norma. Pembubaran pun sering disertai dengan kekerasan atau ancaman. 

Karena itulah, di tengah aneka peristiwa yang menitikkan air mata, nilai-nilai altruisme sebagai lawan dari keegoisan seharusnya dikedepankan. (Mengutip dari wikipedia, altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini juga sering digambarkan sebagai aturan emas etika).

Prularisme sebagai realitas memang tidak bisa disangkal. Ada kesediaan individu untuk menghormati individu lain. Sangatlah eman-eman jikalau energi kita disia-siakan dengan mempertajam konflik dan bentrok antar kelompok masyarakat. Jangan ada peperangan di antara kita, sebab perang senyatanya adalah melawan hawa dan nafsu. Yakni pengendalian diri akan perilaku iri, dengki, dan sirik. 

Dalam perspektif kebhinekaan, perbedaan menjadi kekayaan guna mewujudkan nilai kebersamaan. Kebersamaan dalam konteks agama adalah makna sejati. Hidup saling mengasihi, mencintai sesama, dan menebar rasa empati. Puasa menjadi refleksi kesediaan umat untuk berbagi dengan sesama dan menciptakan ketenangan. Bukan hanya berperilaku dan ritual, melainkan wujud transformasi dari kesalehan sosial. Selamat menjalankan puasa Ramadhan.

Artikel di atas dikutip dengan sedikit perubahan dari Koran Suara Merdeka edisi 8 Juni 2016. Isinya yang menarik dan menggelitik membuat saya ingin membagikannya di artikel ini.

Selengkapnya
Pentingnya Peran Orang Tua dalam Hidup Anak

Pentingnya Peran Orang Tua dalam Hidup Anak


Memang sudah menjadi keharusan bagi seorang anak untuk patuh dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Meski begitu, bagi para orang tua juga mesti menerapkan pola asuh yang benar untuk membentuk karakter anak agar menjadi seperti yang diharapkan.

Sering kali ada anggapan di antara sebagian orang tua bahwa tugas mereka hanyalah merawat dan membesarkan anak termasuk membiayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi jika mampu. Mereka menganggap bahwa pendidikan cukup hanya dilakukan di lingkungan sekolah sehingga pendidikan dalam keluarga justru sering kali diabaikan. Padahal hal terpenting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak justru sebetulnya diawali dari pendidikan di dalam lingkup keluarga.

Pendidikan anak dimulai dari didikan orang tua, sehingga perhatian dan peran orang tua bagi perkembangan anak juga harus diutamakan untuk bekal hidup sang anak nantinya. Sudah merupakan kewajiban bagi para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif di dalam keluarga, sehingga sedapat mungkin orang tua harus bisa memancing anak untuk dapat mengeluarkan potensinya, kecerdasan dan rasa percaya dirinya.

Tidak hanya itu saja, orang tua juga mesti memahami tahap perkembangan anak serta kebutuhan pengembangan potensi kecerdasan anak dari setiap tahap yang dilalui. Artinya, orang tua tetap memiliki tanggung jawab utama terhadap masa depan anak-anak mereka, sedangkan sekolah hanya merupakan lembaga yang membantu proses tersebut. Intinya, peran aktif orang tua sangat diperlukan bagi keberhasilan anak-anak dalam hidupnya.

Bercengkerama dengan orang tua
ilustrasi via pixabay

Orang tua merupakan suri tauladan serta sekolah pertama bagi anak-anaknya. Terlebih bagi para ibu, mereka adalah garda terdepan dalam pembentukan karakter, watak, dan kepribadian seorang anak. Bukan hanya ibu, peran seorang ayah juga cukup penting dalam kontribusinya membentuk kepribadian dan karakter anak.

Oleh karenanya, bagi para orang tua hendaknya sesibuk apapun harus memiliki atau menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Hal ini bisa diterapkan misalnya dengan makan malam bersama, menonton televisi bersama, atau pun sekedar mengobrol ringan sembari bersantai meluangkan waktu bercengkerama bersama anak-anak tercinta.

Semua itu dilakukan untuk menumbuhkan rasa cinta dan perdamaian di dalam lingkungan keluarga, atau bahkan juga di lingkungan masyarakat. Selain daripada itu, para orang tua juga harus bisa menjadi suri tauladan bagi putra-putrinya dengan membekali mereka dengan ilmu agama dan menanamkan akhlak yang baik sejak dini.

Hal ini sangat penting karena keluarga haruslah mempunyai pondasi agama yang kuat sebagai proteksi terhadap hal-hal negatif seperti kekerasan yang berasal dari pihak tidak terduga. Sementara pendidikan akhlak menjadi hal mendasar yang berkontribusi besar dalam membentuk sikap, moral dan tingkah laku anak. Dengan pengetahuan agama yang cukup serta penanaman akhlak yang baik, sebuah keluarga akan dapat hidup dengan damai dan juga harmonis. 

Saat anak menginjak remaja, atau bahkan sudah "berumur", pada umumnya perhatian orang tua akan semakin memudar. Hal ini mungkin terjadi karena mereka menganggap anak sudah dapat hidup mandiri sehingga sudah tidak lagi membutuhkan perhatian atau bantuan mereka.

Anggapan orang tua yang seperti ini menurut saya tidaklah tepat. Seorang anak dikatakan sudah mandiri atau pun dewasa tidak bisa dipastikan berdasarkan umur. Usia tidak bisa menjamin seseorang dikatakan dewasa meskipun bisa jadi pada umumnya orang-orang sebayanya sudah menjadi dewasa. Bahkan seorang anak yang dikatakan sudah dewasa dan mandiri sekalipun adakalanya masih butuh akan dukungan dan masukan dari kedua orang tuanya.

Maka selagi anda para orang tua yang masih mampu, dukungan, bimbingan, kehadiran, dan perhatian anda masih sangat dibutuhkan terutama di kala anak-anak anda mendapat masalah yang tidak bisa mereka hadapi sendiri. 

Saat anak mendapatkan kendala dalam hidupnya, tentu akan sangat baik apabila ia dapat mencurahkan dan mendapatkan masukkan, saran, dan nasehat dari orang tuanya sendiri ketimbang dari teman-temannya.

Jika orang tua senantiasa memberikan perhatiannya kepada putra-putrinya, sepatutnya berusaha melibatkan diri dalam hidup anak, misalnya dengan mendengarkan apa yang ingin ia bicarakan, memotivasi aktivitas sehari-harinya, dan membantu anak ketika ia sedang mendapatkan masalah dalam hidupnya, maka ketika sang anak mengetahui hal ini di masa depan nanti, ia akan siap pula untuk memberikan yang terbaik bagi kedua orang tuanya.

Ia akan siap untuk mendampingi dan memperhatikan kebutuhan masa senja orang tuanya seperti halnya orang tua telah melakukan semua itu kepadanya.

Keluarga harmonis
ilustrasi via pixabay

Sejatinya, setiap anggota keluarga mesti mengerti akan perannya masing-masing. Untuk menciptakan kehangatan dan keharmonisan dalam keluarga, maka dibutuhkan komunikasi intens antar anggota keluarga yang terjalin baik. Orang tua dituntut lebih peka terhadap psikologis anak ketika sedang mengalami permasalahan dalam hidupnya.

Terlebih lagi, perlu diketahui pula bahwa meski terlahir dari rahim ibu yang sama, setiap anak memiliki watak dan karakter yang berbeda sehingga penanganan masalah pada masing-masing anak juga bisa berbeda. Pada saat-saat seperti inilah, bantuan, dukungan, serta saran dan masukan dari orang tua benar-benar sangat dibutuhkan oleh anak. 

Sebagai anak, selain mendapatkan pengayoman dari orang tua, mereka juga ingin dianggap sebagai teman dan diajak berdialog seputar kehidupan sehari-hari mereka. Orang tua juga tidak perlu over protective, karena pada kondisi tertentu mereka hanya perlu diawasi bukan dibatasi. Kebebasan juga perlu diberikan kepada mereka, salah satunya yaitu dengan memberikan kepercayaan kepada sang anak.

Dengan diberi kepercayaan, maka anak justru akan merasa nyaman dan dapat belajar menjadi semakin bijak dalam bertindak. Meski demikian, orang tua tetaplah dituntut untuk harus bisa menjadi tempat bersandar dan berbagi keluh kesah bagi putra-putrinya. Jika orang tua mampu menunjukkan kepada anak betapa mereka sangat mencintai dan menyayanginya, maka hal ini akan menciptakan suatu kebiasaan intim seumur hidup yang memberikan manfaat bagi orang tua. 

Selengkapnya
Menumbuhkan Ketulusan dalam Kehidupan Sehari-hari

Menumbuhkan Ketulusan dalam Kehidupan Sehari-hari


Ketulusan adalah hal yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan jika kita belum menyelami dalamnya arti kehidupan yang sebenarnya.

Ketulusan bisa diartikan melaksanakan kegiatan dengan penuh kejujuran, kesungguhan, berterus terang, tidak dendam, tidak pura-pura, tidak terpaksa, dan hati bersih.

Ketulusan muncul dari dalam lubuk hati yang terdalam, sehingga ia mampu memberikan makna terdalam dalam menyingkap suatu kebenaran yang nyata. Ia jualah yang sanggup memberikan warna terindah di dalam setiap tingkah laku dan tutur kata kita.

Hati setiap manusia itu berbeda, sehingga pemahaman akan sebuah ketulusan itu bisa dimaknai lain oleh orang yang menerimanya. Kita saat memberi mungkin bisa merasakannya, namun kita tidak bisa memastikan perasaan orang lain apakah ketulusan ataukah hanya kebohongan yang dia berikan kepada kita.

Meski demikian, kita mesti yakin bahwa dalam hidup ini, pasti ada orang yang benar-benar tulus terhadap kita. Maka seyogyanya bagi kita untuk selalu memberikan ketulusan kepada siapa pun orang-orang di sekitar kita. 

Ketulusan membantu

Ketulusan bisa kita wujudkan setiap melaksanakan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Ketulusan bisa ditujukan kepada keluarga, kekasih, atau orang-orang yang kita sayangi. Jika mereka mampu merasakan ketulusan yang kita berikan, pastinya mereka juga mempunyai ketulusan yang luar biasa untuk diberikan kepada kita.

Bahkan tidak hanya kepada orang yang kita kenal, ketulusan hati juga mesti kita wujudkan saat membantu orang-orang yang terkena kemalangan, musibah, atau siapa saja yang membutuhkan pertolongan tanpa pandang bulu apakah kita mengenalnya atau tidak. 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat memberikan ketulusan di lingkungan keluarga misalnya dengan mematuhi segala nasihat orang tua, membantu kesibukan orang tua, merawat mereka dikala sakit, menyapu lantai yang kotor atau mencuci piring dengan tanpa mengharap imbalan dari orang tua.

Ketulusan di lingkungan sekolah misalnya dengan membantu membawakan barang bawaan guru, menolong teman yang mengalami masalah atau kesusahan, mentraktir teman yang tidak membawa uang saku, mengantarkan pulang teman yang sakit, dan lain sebagainya. 

tulus suci

Di lingkungan masyarakat, ketulusan dapat kita wujudkan misalnya dengan membantu tetangga yang sedang mengalami kesusahan, mengunjungi saudara, kerabat atau tetangga yang sakit, dan lain sebagainya. Sikap-sikap yang dilandasi ketulusan ini pastilah akan mendapat balasan setimpal kelak di suatu hari nanti.

Kita tidak tahu nasib yang akan menimpa dalam hidup ini. Ada saatnya kita memberi, namun bisa jadi ada saatnya suatu hari nanti kita butuh menerima bantuan. Keajaiban dari ketulusan yang pernah kita lakukan inilah yang akan menggerakan orang lain untuk datang dengan tulus dan ikhlas hati memberikan pertolongan kepada kita. 

Ada banyak manfaat dan nilai positif yang akan didapat andaikata manusia mau saling memberi kepada sesamanya dengan dilandasi ketulusan.

Manusia adalah makhluk lemah dengan hati rapuh dan mudah sekali berubah. Ketulusanlah yang akan mampu saling menguatkan di antara mereka jika mereka menginginkan keharmonisan di dalam hidup. Di antara manfaat yang bisa kita rasakan adalah ketulusan berperan besar dalam membina kerukunan hidup antar sesama manusia, mewujudkan sikap saling pengertian, dan menciptakan masyarakat yang aman, damai, dan tentram. 

Tulus berteman

Agar bisa terwujud hal-hal yang demikian, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah hindari melaksanakan kegiatan dengan rasa terpaksa atau pura-pura.

Bersikap ikhlas dan penuh kerelaan hati dalam setiap aktivitas dan bersosialisasi dengan sesama manusia. Biasakan melaksanakan kegiatan dengan penuh kejujuran, berterus terang, bersungguh-sungguh, tidak dendam, tidak terpaksa, dan tidak pura-pura.

Itulah di antara hal yang merupakan perwujudan dari ketulusan. Kehidupan bersama akan menjadi indah manakala ketulusan menjadi tiang kokoh di dalamnya.

Selengkapnya
Pentingnya Muhasabah (Introspeksi diri) Untuk Menyiasati Nafsu

Pentingnya Muhasabah (Introspeksi diri) Untuk Menyiasati Nafsu


Seringkali kita dianjurkan oleh para Ulama untuk selalu bermuhasabah (introspeksi diri) agar bisa menjadi hamba Allah yang semakin baik ke depannya. Introspeksi diri memang penting, bahkan sebuah hadits atau maqalah yang cukup terkenal mengatakan bahwa siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung, siapa yang hari ini keadaannya sama dengan kemarin maka dia rugi, dan siapa yang keadaan hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia celaka. Salah satu faedah penting dari introspeksi diri adalah untuk melawan dan menyiasati nafsu ammarah atas hati orang Mukmin agar tidak selalu memperturutkan kemauan-kemauannya. 

Introspeksi diri

Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang pandai ialah orang yang mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah (dengan angan-angan kosong)". (HR. Ahmad). Dalam haditsnya yang lain beliau juga bersabda, "Hisablah dirimu sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum ditimbang (di hadapan Allah). Sebab lebih ringan bagimu, jika kamu mau menghisab diri pada hari ini, daripada menunggu nanti diperhitungan pada hari penghisaban dan penimbangan, yaitu pada hari pertemuan besar antara para makhluk dengan Tuhan mereka". (HR. Ahmad dari Umar bin Khattab RA).

Hasan al Bashri pernah berkata, "Setiap mukmin adalah pemimpin bagi dirinya, dia menghisab nafsunya karena Allah. Dan penghisaban pada hari Kiamat itu hanya diringankan bagi golongan yang mau menghisab nafsunya di dunia, dan penghisaban kelak akan berat bagi mereka yang melakukan perbuatannya tanpa penghisaban (perhitungan) terhadap dirinya sendiri". 

Bagi seorang Mukmin, apabila dia mendapati sesuatu yang dia senang dan kagum padanya, maka dia katakan, "Demi Allah, aku senang terhadapmu, dan aku sangat membutuhkanmu, tetapi Allah tidak memberiku jalan bagiku untuk menggapaimu, memang teramat jauh jarak antara kita". Namun apabila dia lalai dan melakukan sesuatu yang tidak terpuji, maka dia segera introspeksi diri sendiri dan berkata, "Sungguh aku tidak menginginkan ini! Mengapa aku melakukan ini? Demi Allah, aku tidak akan mengulanginya lagi". Malik bin Dinar pernah berkata, "Semoga Allah merahmati hambaNya yang mau menegur dirinya sendiri dan berkata, 'Bukankah kamu yang melakukan ini? Bukankah kamu yang melakukan itu?. Kemudian mencelanya, berusaha menguasai dan mengalahkannya lalu mewajibkannya agar mengikuti Kitabullah. Maka jadilah dia sebagai pembimbing bagi nafsunya". 

Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan bagi seorang Mukmin yang kuat imannya kepada Allah dan hari Akhir agar tidak alpa terhadap perhitungan nafsunya dan mempersempit peluang ke arahnya. Setiap helaan nafas dalam kehidupan adalah butiran-butiran mutiara, yang setiap butirnya mampu menebus satu istana idaman yang kenikmatannya kekal dan abadi. Membiarkan nafas-nafas itu hilang atau menyalahgunakan di jalan yang sesat adalah kerugian yang besar. Hanya orang yang tidak berakal saja yang membiarkan mutiara-mutiara itu hilang begitu saja. Kerugian besar ini akan dirasakannya kelak di hari ditampakkannya segala kesalahan dan penyelewengan manusia. Allah SWT berfirman:

"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala amal kebajikannya di hadapannya, begitu juga kejahatan yang pernah dikerjakannya, dia ingin sekiranya antara dirinya dan hari itu ada masa yang jauh". (QS. Ali Imran, 30).

Ada dua cara untuk mengadakan penghisaban (introspeksi) terhadap nafsu, yaitu:

1. Mengevaluasi diri sebelum beramal

Ketika pertama kali bermaksud untuk memulai tindakan, hendaknya seseorang berhenti untuk berpikir terlebih dahulu, dan jangan tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum jelas baginya bahwa keputusannya itu tidak berdampak negafif. Hasan Al Bashri berkata, "Semoga Allah merahmati hambaNya yang mau berpikir sejenak ketika dia mau melakukan perbuatan, jika memang perbuatan itu karena Allah, maka dia teruskan, dan jika karena selainNya, maka dia batalkan".

Ada sebagian Ulama Salaf yang merinci masalah ini dan berkata, "Apabila hati tergerak untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka ia berhenti dahulu dan berpikir, apakah ia memiliki kemampuan untuk melakukannya atau tidak. Jika tidak siap untuk melaksanakannya, maka diputuskan untuk mengundurkan diri saja. Andaikata ternyata dia yakin sanggup, maka dipertimbangkan lagi, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau sebaliknya?. Jika cenderung pada alternatif kedua, maka tuntaslah permasalahannya, karena tidak ada niatan untuk melakukannya. Namun jika cenderung pada alternatif pertama, maka dipertimbangkannya lagi, motif apakah yang mendorongnya melakukan itu, apakah hanya karena Allah dan mengharap pahalaNya atau karena jabatan, popularitas dan harta kekayaan dari selainNya?. 

Jika keputusan yang diambil justru membawanya pada tendensi pribadi untuk meraih kenikmatan duniawi semata, maka dengan lapang dada ia mundur darinya. Keputusan ini diambilnya supaya tidak membudayakan jiwa berbuat syirik yang pada akhirnya jiwa menjadi ringan untuk berbuat seperti itu. Karenanya, ia merasa berat untuk melakukan hal yang sia-sia itu semata karena Allah SWT. Sebaliknya jika ia condong pada alternatif pertama, maka ia pun akan berpikir, apakah sudah mempunyai kawan (pengikut) yang akan membantu dan menolongnya atau tidak, seandainya pekerjaan itu tidak mungkin diatasinya sendiri. Andaikata belum mempunyai pengikut, maka ditundanya pekerjaan itu sebagaimana Rasulullah SAW juga pernah menunda untuk menaklukan kota Makkah sampai beliau memiliki kekuatan dan pengikut yang cukup. Jika ternyata ia mendapatkan simpatisan dan memiliki bekal yang cukup, maka segeralah ia merealisasikan harapannya, sebab ia akan memperoleh kemenangan dengan izin Allah. Kesuksesan dalam beramal akan teraih, kecuali bagi orang yang meninggalkan salah satu cara-cara ini. Empat tingkatan berpikir inilah yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh seorang hamba Allah sebelum melakukan suatu amal pekerjaan.

2. Mengevaluasi diri setelah beramal

Dalam hal ini, ada tiga tingkatan evaluasi. Pertama, mengevaluasi nafsu atas ketaatan yang dilakukannya, tetapi ia kurang dalam memenuhi hak Allah dalam perbuatan itu, sehingga dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adapun hak Allah dalam suatu perkara ketaatan itu ada enam perkara: ikhlas berbuat, nasihat (mengharap kebaikan) karena Allah, mengikuti ajaran Rasul SAW, menampakkan sisi ikhsan dalam beramal, mengakui karunia Allah atasnya dan setelah itu mengakui akan kekurangannya dalam melakukan perbuatan itu. Maka dihisablah dirinya sendiri dari keenam kriteria yang ditetapkan Allah tersebut.

Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yang apabila ditinggalkan lebih utama daripada dikerjakan.

Ketiga, menghisab diri atas suatu perbuatan yang boleh (mubah) hukumnya, sebab dia telah melakukannya. Terlepas dari apakah dia melakukannya karena Allah dan kehidupan akhirat supaya beruntung, ataukah demi mengejar kebahagiaan dunia yang semu dan temporal ini, sehingga dia akan menyesal di hari Kemudian?.

Menyia-nyiakan nafsu tanpa kontrol (muhasabah) dan menyepelekan permasalahannya serta mengumbarnya begitu saja, akan menggiring seseorang pada kerusakan yang nyata. Hal demikian sudah membudaya pada diri orang yang terbius dan tertipu oleh nafsu dan dunianya. Dia menutup kedua matanya dari kenyataan akibat-akibat perbuatannya, dengan mengandalkan bahwa Allah akan mengampuninya, sehingga meremehkan nafsunya dan melihat pengaruh (efeknya) dari sesuatu yang diperbuatnya tanpa pertimbangan yang bijaksana. Apabila seseorang sudah berbuat demikian, maka akan ringan baginya untuk melakukan dosa dan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Jika realitanya sudah seperti itu, maka ia akan merasa kesulitan untuk melepaskan diri dari perbuatan dosa.

Seseorang yang hendak bermuhasabah dengan nafsu, maka pertama-tama haruslah bertanya pada dirinya sendiri, apakah sudah memenuhi kewajibannya sebagai hamba Allah. Jika merasa masih belum secara optimal melaksanakannya, maka sepatutnyalah diikuti dengan qadha atau perbaikan. Kemudian bermuhasabah dalam soal larangan Allah. Andaikata ia sudah terlanjur melakukan suatu dosa, maka segeralah mengikutinya dengan tobat, memohon ampunanNya dan melakukan kebajikan yang dapat menghapus dosa itu.

Selain itu, juga bermuhasabah dengan nafsu atas kelalaiannya. Andaikata dia khilaf dan lupa akan hakikat hidup di dunia ini, maka segeralah berdzikir dan menghadapkan hati ke hadirat Allah SWT. Kemudian bermuhasabah atas nafsunya terhadap apa yang diucapkan lisannya, atau kemana melangkahkan kakinya, atau apa yang dilakukan tangannya, atau apa yang didengar kedua telinganya. Dia senantiasa bertanya, "Apa yang aku harapkan dalam melakukan perbuatan ini? Mengapa aku melakukannya? Untuk siapa aku melakukannya? Dan atas dasar apa aku melakukan hal ini?". Dia sadar sepenuhnya bahwa selalu timbul pertanyaan dalam benaknya setiap akan memulai suatu perbuatan, "Kamu melakukan itu semua karena siapa? Bagaimana kamu melakukannya?". Kalimat pertama merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan masalah keikhlasan dan yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah, yakni apakah ia melakukannya sesuai dengan syariat Rasulullah SAW atau tidak.

Faedah Menyiasati Nafsu

Pertama, Untuk mengenali aib (kekurangan) pada diri sendiri. Orang yang tidak mengenali kekurangannya, mustahil baginya untuk menghilangkan atau menutupinya. Muhammad bin Wasi' berkata, "Sekiranya dosa itu berbau, niscaya tidak seorang pun yang tahan duduk berdekatan denganku". Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang tidak akan memiliki ilmu pemahaman (wawasan) secara baik sebelum dia membenci orang lain karena Allah, kemudian kembali kepada dirinya sendiri, maka dia lebih membencinya karena melakukan pelanggaran terhadap perintahNya". (HR. Ahmad dari Abu Darda').

Kedua, Supaya tahu akan hak Allah yang wajib atas dirinya. Berangkat dari kesadaran inilah, akan melahirkan sikap membenci nafsu sendiri dan membersihkannya dari sifat ujub serta membanggakan amal perbuatannya. Akan membukakan baginya pintu untuk merendahkan diri dan bertaqarrub kepada Allah SWT. Pesimis akan kebaikan dirinya sendiri dan merasa bahwa sesungguhnya keselamatan itu tidak akan tercapai kecuali atas ampunan dan rahmat Allah SWT. Karena itu, di antara hak yang harus dipenuhi terhadap Allah ialah berusaha untuk selalu taat dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan dan disyukuri tidak untuk dikufuri.

Selengkapnya
Makna Zuhud Terhadap Dunia

Makna Zuhud Terhadap Dunia


Sebelumnya kita telah membahas tentang hakikat dunia dan bermacam persepsi manusia tentangnya, di mana orang yang berlaku zuhudlah yang akan mendapat keberuntungan pada akhirnya. Sekarang apa makna dari zuhud terhadap dunia itu?. Mari kita pelajari bersama pada artikel kali ini. 

Pengertian Zuhud


Zuhud ialah menanggalkan segala bentuk kecintaan terhadap sesuatu, untuk mencintai sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya. Orang yang zuhud akan cepat paham bahwa langkah yang dipilihnya itu adalah jalan yang mulia dan diridhai di sisi Allah. Ia tahu bahwa kenikmatan akhirat itu lebih baik dan abadi bak untaian zamrud nan indah dan tahan lama. Sedangkan dunia ini ibarat gumpalan salju yang kian lama akan mencair kala tersengat pancaran sinar sang surya.

Ilustrasi
ilustrasi

Keyakinan dan perbedaan yang amat jauh antara kehidupan dunia dan akhirat inilah yang melecut dan menguatkan kecintaan seseorang terhadap kehidupan akhirat. Dalam firmanNya Allah mengingatkan: 

"Mereka bersuka cita dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat akhirat hanyalah kesenangan (yang sementara)". (QS. Ar Ra'd, 26).

Dari Mustaurad bin Syaddad al Fihri dari Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah dunia ini dibanding akhirat kecuali seperti sesuatu yang apabila salah seorang di antara kamu memasukkan jarinya ke dalam sungai, maka lihatlah, apa yang tersisa ketika dia menguarkannya?" (HR. Muslim).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah berpaling dari sesuatu untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada dunia, serta tidak terpaku terhadapnya dan mengangkat angan-angan pada tingkatan yang lebih tinggi daripada perkara yang pertama. 

Yunus bin Maisarah berkata, "Zuhud terhadap dunia itu bukanlah bermakna sebagai larangan (pengharaman) diri dari perkara yang halal atau materi duniawi, tetapi zuhud lebih dititikberatkan pada sikap percaya diri terhadap suatu perkara yang berada di tangan Allah lebih tinggi nilainya daripada apa yang ada di tangan sendiri, dan mengesampingkan semua perasaan sentimentil. Yang lebih penting lagi ialah sekalipun tertimpa musibah, iman harus tetap kuat dan bertawakal seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Juga apabila mendapatkan pujian atau celaan dari orang lain tidaklah berarti apa-apa selama berada di atas kebenaran".

Ketergantungan seorang hamba kepada apa yang dimiliki Allah harus lebih besar daripada sesuatu yang dimilikinya. Hal ini karena timbul dari kebenaran akidah dan keyakinannya kepada Allah SWT. 

Pernah ditanyakan kepada Abu Hazim Az Zahid, "Apakah yang anda miliki saat ini?". Beliau menjawab, "Dua kekayaan, yang aku tidak takut miskin selama keduanya berada di sampingku, yakni yakin kepada Allah dan putus asa dari apa yang ada pada manusia". Lalu ditanyakan lagi, "Tidakkah anda takut miskin?". Beliau menjawab, "Apakah aku takut miskin, padahal Tuhan pelindungku memiliki seluruh isi langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya". 

Fudhail berkata, "Esensi zuhud adalah ridha Allah SWT. Orang yang menerima apa adanya, dialah orang yang zuhud dan dialah yang patut dikatakan orang kaya". Barang siapa benar-benar yakin, maka dia hanya akan bergantung kepada Allah dalam segala hal dan rela terhadap pemberianNya serta terputus dari ketergantungan kepada sesama makhluk. Dengan kondisi seperti itu, dia tidak mencari dan menumpuk materi duniawi dengan menghalalkan semua cara. Orang yang memiliki sifat-sifat demikian adalah seorang zahid sejati, dia adalah orang terkaya, sekalipun tidak menumpuk harta benda. 

Ibnu Mas'ud berkata, "Makna yakin adalah jika kamu tidak menyenangkan orang lain dengan murka Allah, tidak dengki terhadap orang lain karena dia mendapatkan rezeki dari Allah, tidak mencela orang lain karena dia memiliki apa yang tidak engkau miliki. Sebab, rezekiNya itu tidak akan diperoleh hanya oleh keserakahan orang yang tamak dan tidak dapat ditolak oleh kebencian orang yang benci. Tetapi Allah, dengan keadilan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya, akan menjadikan semangat dan senang dalam sikap yakin dan ridha, dan menjadikan pesimis dan duka dalam sikap benci dan ragu-ragu".

Selain itu, ketika seorang hamba mendapat musibah di dunia berupa hilangnya harta, kedudukan, anak, atau yang lainnya, maka dia lebih mengharapkan pahala Allah atas musibahnya itu daripada kesenangan dunia yang hilang semasa berada di tangannya. Sikap yang demikian ini timbul karena didukung oleh faktor kekuatan iman dan keyakinan dalam hatinya. 

Ibrahim bin Adham berkata, "Zuhud diklasifikasikan menjadi tiga macam, zuhud fardhu, zuhud sebagai keutamaan dan zuhud sebagai keselamatan. Zuhud fardhu adalah zuhud terhadap perkara haram, zuhud sebagai keutamaan adalah zuhud terhadap perkara halal dan zuhud sebagai keselamatan ialah zuhud dalam perkara syubhat".

Setiap orang yang menjual dunianya dengan akhiratnya, adalah orang yang zuhud terhadap dunia. Sedangkan orang yang menjual akhiratnya demi dunia, juga termasuk orang zuhud, tetapi terhadap akhirat. Tetapi memang biasanya zuhud langsung diasosiasikan pada zuhud dunia. Dan zuhud harus ditujukan bagi perkara yang dikuasainya (dia miliki). 

Seseorang pernah memanggil Ibnul Mubarak, "Wahai orang yang zuhud!. Beliau kemudian menjawab, "Orang zuhud itu adalah Umar bin Abdul Aziz, karena dunia yang tunduk di hadapannya, tetapi beliau tidak tergiur olehnya, sedangkan aku, apa yang aku zuhudi?".

Hasan al Bashri berkata, "Aku bertemu dengan banyak kaum dan bergaul dengan banyak golongan. Mereka tidak tertarik dengan kemewahan dunia yang semu dan tidak pula sedih atau kecewa atas menjauhnya kenikmatan dunia darinya. Dunia di mata mereka adalah tidak lebih derajatnya dari debu. Ada di antara mereka yang bertahan hingga menjelang usia senja, tetapi tidak pernah memiliki sepotong baju yang utuh untuk melindungi tubuhnya, tidak juga perabot rumah tangga yang paling murah sekalipun. Bahkan tempat tinggalnya beralaskan tanah beratapkan langit. Bila malam menjelang, mereka berdiri di atas kaki-kaki telanjang. Air mata jatuh membasahi pipi-pipi mereka, dengan bermunajat kepada Tuhan agar membebaskan leher-lehernya dari jeratan api neraka. Jika mereka melakukan amal kebaikan, biasanya bersyukur dan tiada henti-hentinya memohon kepada Allah SWT agar menerima amalan itu. Andaikata mereka telah melakukan perbuatan yang salah, dengan penuh penyesalan mereka meratapi diri dari dosanya dan memohon ampunanNya. Demikianlah pemandangan yang sering terjadi di dalam kehidupan orang-orang yang shaleh dan mahabbatullah. Demi Allah, mereka tidak akan terbebas dan selamat dari perbuatan dosa melainkan dengan ampunan (maghfirah) Nya. Semoga rahmat dan ridha Allah selalu meliputi mereka".

Tingkatan Zuhud


Tingkatan pertama: Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal dia suka padanya, hatinya condong padanya dan nafsunya selalu menoleh ke arahnya. Kendati demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan duniawi. Orang seperti ini disebut Mutazahhid (yang berusaha untuk zuhud).

Tingkatan Kedua: Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena dia menganggap perkara keduniaan itu sepele, meski dia menginginkannya. Tetapi dia melihat kezuhudannya dan berpaling padanya. Orang yang berwawasan demikian identik dengan mereka yang merelakan uangnya satu dirham untuk memperoleh ganti dua dirham.

Tingkatan Ketiga: Orang yang zuhud terhadap dunia, tetapi dia berzuhud terhadap kezuhudannya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah menanggalkan jubah keduaniaannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang meninggalkan tembikar dan memungut intan permata. Orang yang sampai pada tingkatan ini tidak ubahnya seperti orang yang akan memasuki ruangan raja, tetapi dia terhalang oleh seekor "anjing" di depan pintu masuk ke ruangan itu. Maka, dilemparkannya "sekerat roti" ke arah anjing itu, untuk mengalihkan perhatiannya. Lalu, dia masuk dengan aman ke ruangan raja dan mendapatkan tempat di sampingnya. "Anjing" di sini adalah simbolik dari syetan, yang menghalangi manusia dari pintu Allah SWT, padahal pintuNya senantiasa terbuka lebar bagi siapa pun yang ingin memasukinya. Sedangkan dunia seisinya diibaratkan "sekerat roti". Maka barangsiapa yang meninggalkan dunia ini dengan harapan agar memperoleh tempat yang mulia di sisi Sang Raja (Allah SWT), tentunya tidak akan menoleh pada "sekerat roti" itu.

Selengkapnya
Memahami Tentang Hakikat Dunia

Memahami Tentang Hakikat Dunia

Perlu diketahui bahwa pencelaan terhadap dunia sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an dan Hadits sebetulnya bukan ditujukan pada substansi dunia itu sendiri beserta perputarannya, antara siang dan malam sampai datangnya hari Kiamat kelak. Sebab Allah sendiri memang sengaja menciptakan pergantian ini, sebagai bukti kekuasaannya bagi mereka yang mau berpikir dan bersyukur. 

Dalam sebuah atsar (ucapan Ulama Salaf) disebutkan, "Sesungguhnya siang dan malam itu ibarat dua istana, maka perhatikanlah apa yang patut diletakkan di dalamnya".

Begitu juga, pencelaan terhadap dunia tidak pula ditujukan pada wujud dan materi yang dikandungnya. Sebab kesemuanya itu adalah nikmat anugerah dari Allah kepada para hambaNya supaya dimanfaatkan demi kesejahteraan seluruh isi alam ini. Di samping itu juga sebagai bukti atas keEsaan, kekuasaan, dan kebesaran Sang Khalik. Sebenarnya, pencelaan itu ditujukan atas perilaku manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah di dunia (bumi), di mana mereka pada umumnya suka melakukan kerusakan di dalamnya. 

Mengenai perputaran hari, Imam Mujahid pernah berkata, "Tidak datang suatu hari melainkan ia berkata, "Wahai manusia, hari ini giliranku datang kepadamu, dan setelah itu, aku tidak mungkin mengunjungimu lagi, maka lipat dan simpanlah diriku dalam tempat amalmu dan kuncilah, selama itu kamu tidak dapat membukanya kembali sampai kelak datangnya pengadilan Allah atasnya di hari Kiamat". 

Seorang Pujangga bersyair:

Dunia ini hanyalah suatu jalan
Menuju surga dan neraka
Sedangkan malam, sebagai tokomu
Dan hari-hari sebagai pasarmu
Waktu adalah modal
Perniagaan bagi manusia.

Ya, Waktu adalah intinya. Dapat kita bayangkan, berapa banyak pohon kurma surgawi yang hilang bagi mereka yang suka menyia-nyiakan waktunya?. Ada seorang saleh yang sedang mengajar, tatkala para muridnya merasa jenuh mengikuti pelajarannya, maka dia berkata, "Apakah kalian ingin meninggalkan tempat ini karena letih?, Sesungguhnya Malaikat yang bertugas mengatur peredaran matahari tidak pernah merasa letih". Seorang Ulama sedang berjalan, tiba-tiba seseorang menegur dan memanggilnya, "Berhentilah, aku ingin berbicara kepada anda!". Ulama itu menyahutnya, "Hentikanlah matahari dulu!".

Memahami hidup di dunia
ilustrasi

Persepsi Manusia Tentang dunia


Ada dua persepsi manusia tentang dunia seisinya ini, yaitu:

Pertama, Orang yang tidak percaya bahwa setelah menjalani kehidupan di dunia fana, umat manusia akan memperoleh pahala dan siksaan. Orang yang demikian termasuk golongan yang difirmankan Allah SWT:

"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) bertemu dengan Kami, dan merasa puas terhadap kehidupan alam dunia serta tentram atasnya, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, tempat yang layak bagi mereka adalah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan". (QS. Yunus, 7 - 8).

Mereka ini adalah golongan manusia yang hidupnya hanya bertujuan untuk memuaskan hawa nafsunya dan mereguk kenikmatan duniawi yang bersifat sementara ini.

Kedua, Orang yang mengakui akan adanya suatu kehidupan setelah proses kematian untuk merealisasikan pahala dan siksa. Mereka inilah yang menisbatkan diri kepada pengikut para Rasul. Mereka ini terbagi lagi menjadi tiga golongan, yakni Orang yang menganiaya dirinya sendiri, pertengahan, dan yang bersegera dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah.

Golongan yang menganiaya dirinya sendiri merupakan kelompok mayoritas. Kebanyakan hidupnya melayang di atas mimpi-mimpi indah dan dalam kilauan dunia yang menyilaukan bagi mata yang memandang, bahkan menghanyutkannya. Mereka berusaha untuk meraih keindahan itu dengan menghalalkan segala cara dan menggunakannya di jalan yang sesat pula. Dunia ini telah menjadi kiblat kehidupannya, dengannya dia senang dan bersahabat. Itulah gambaran orang-orang yang suka hidup dalam berhalusinasi. Sekalipun mereka itu beriman (percaya) akan adanya kehidupan akhirat secara global, tetapi mereka masih buta terhadap hakikat keberadaannya di atas bumi ini. Mereka melewatkan begitu saja tanpa mencari sedikit pun bekal untuk perjalanan menuju kehidupan selanjutnya.

Sedangkan Golongan pertengahan ialah golongan yang menelusuri dunia dari jalur yang benar, menunaikan hak-haknya dan tidak berbuat sesuatu selain yang diwajibkan. Selebihnya, mereka bersuka cita dengan berbagi kenikmatan dunia. Mereka ini tidak mendapat siksa, hanya saja derajat mereka menurun, sebagaimana dikemukakan Umar bin Khattab, "Seandainya tidak berkurang derajatku di surga, niscaya aku tidak menjalani hidup ini seperti kehidupan kalian yang acak-acakan, tetapi akan selalu kuingat firman Allah yang mencela suatu kaum, 'Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu pun bersenang-senang dengannya'" (QS. Al Ahqaf, 20).

Adapun golongan yang bersegera dalam berbuat kebaikan dengan seizinNya, mereka itulah golongan yang memahami hakikat hidup dan kehidupan di dunia yang sementara ini. Mereka sadar bahwa tujuan Allah menjadikan dirinya sebagai khalifah di atas dunia ini hanyalah sebagai ujian, siapakah di antara mereka yang paling baik amal perbuatannya, sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di muka bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah sebenarnya yang terbaik perbuatannya di antara mereka". (QS. Al Kahfi, 7). 

Kriteria manusia terbaik di sini adalah mereka yang paling zuhud terhadap dunia dan lebih mencintai kehidupan ukhrawi. Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Apalah hakku atas dunia seisinya? Aku hidup di dalamnya hanyalah seperti orang yang menempuh perjalanan jauh dengan mengendarai onta, yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian meneruskan perjalanan dan meninggalkan pohon itu". (HR. Tirmidzi dan Hakim). 

Nabi SAW pernah berwasiat kepada Ibnu Umar RA, "Jadilah kamu di dunia seakan-akan orang asing yang bepergian atau orang yang hendak menyeberang jalan".

Setiap kali dia menggunakan kebutuhannya yang mubah (boleh) untuk menguatkan diri dalam berbuat taat kepada Allah SWT, maka perealisasiannya itu sebagai perbuatan taat yang memperoleh pahalaNya, sebagaimana ucapan Mu'adz bin Jabal RA, "Sesungguhnya aku mencari pahala dari tidurku sebagaimana aku mencarinya dari berdiriku untuk beribadah". 

Sa'id bin Jubair RA berkata, "Kesenangan mata'ul ghurur (semu) ialah setiap sesuatu yang melalaikanmu dari mencari akhirat. Dan segala sesuatu yang tidak melalaikanmu mencari kehidupan akhirat, maka itu bukanlah kesenangan yang menipu, tetapi kesenangan yang dengannya membuatmu memperoleh sesuatu yang lebih baik daripadanya". 

Yahya bin Mu'adz berkata, "Bagaimana aku tidak suka pada dunia yang telah ditakdirkan untukku, ia sebagai makanan untuk mencari kehidupan, dan untuk berbuat ketaatan serta untuk mencapai surga". 

Abu Shafwan ar Ru'aini pernah ditanya tentang sisi manakah dari kehidupan dunia yang dicela oleh Allah dan wajib bagi orang-orang berakal untuk menjauhinya?. Dia menjawab, "Setiap apa yang kalian peroleh dari dunia dan kalian gunakan demi dunia pula, maka itulah yang tercela". Sebaliknya, setiap sesuatu yang kalian peroleh darinya, kemudian kalian gunakan untuk bekal di akhirat, maka hal itu bukanlah termasuk dari sisi dunia yang tercela". 

Hasan al Bashri pernah berkata, "Sebaik-baik dunia adalah apa yang dimiliki orang beriman, sebab dia beramal dan mengambil dunia sebagai bekal meniti jalan menuju surgawi. Dan seburuk-buruk dunia adalah apa yang dimiliki orang kafir dan orang munafik, karena dia telah menyia-nyiakan hidupnya dan mencari bekal untuk menapaki jalan ke neraka". 

Aun bin Abdullah berkata, "Perumpamaan dunia dengan akhirat adalah seperti dua sisi daun timbangan, mana yang lebih berat maka dapat mengalahkan yang lain". Pendapat lainnya dari Wahab bin Munabbih yang berkata, "Dunia dan akhirat adalah bagaikan seorang laki-laki yang mempunyai dua orang istri, jika dia lebih mencintai salah seorang di antara keduanya, maka menimbulkan amarah dari istri yang lain".

Ibnu Mas'ud pernah berkata kepada para tabi'in, "Kalian lebih banyak berpuasa, shalat, dan beribadah lainnya daripada para sahabat Rasulullah SAW, namun mereka masih lebih baik daripada kalian". Para tabi'in bertanya, "Mengapa begitu, ya Abu Abdurrahman?". Beliau menjawab, "Karena mereka lebih zuhud terhadap dunia dan lebih mencintai akhirat". (dari Menyucikan Jiwa konsep Ulama Salaf, oleh Dr. Ahmad Faried) 

Selengkapnya
Makna Ikhlas Kerana Allah (Lillahi Ta'ala)

Makna Ikhlas Kerana Allah (Lillahi Ta'ala)


Setiap amal perbuatan yang bertujuan pada kebaikan, hendaknya selalu dilandasi rasa ikhlas karena Allah (lillaahi Ta'ala). Menolong orang lain, menuntut ilmu, bersedekah kepada yang membutuhkan, berjihad di jalan Allah dan sebagainya haruslah kita niatkan lillaahi ta'ala (kerono Gusti Allah Ta'ala). Kita seringkali mudah mengucapkannya, namun apakah hal itu benar-benar terpatri dalam hati sanubari kita? Ataukah hanya manis di bibir memutar kata agar kita terlihat alim di mata orang lain sehingga berharap pujian dari mereka?. Jika kita masih tergolong yang demikian, marilah kita pelajari kembali ilmu ikhlas ini.

Ikhlas karena Allah
ilustrasi via muslim.nu.or.id

Ikhlas dalam pengertian karena Allah (Lillaahi Ta'ala) adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, terbebas dari berbagai tendensi pribadi. Ada pula yang berpendapat bahwa ikhlas adalah merefleksikan setiap tujuan semata hanya kepada Allah SWT. Ajaran Islam menyatakan bahwa Ikhlas merupakan syarat diterimanya suatu amal shaleh yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam kalamNya Allah berfirman:

"Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.." (QS. Al Bayyinah, 5)

Diriwayatkan dari Umamah RA. Ia mengatakan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Apakah pendapat Tuan tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri, dan kelak apa yang akan dia dapatkan?". Rasulullah menjawab, "Dia tidak mendapatkan apa-apa!". Orang itu mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali, tetapi Rasulullah tetap menjawabnya, "Dia tidak menerima apa-apa!". Kemudian beliau menambahkan:

"Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan hanya mengharap ridhaNya" (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Abu Sa'id al Khudry pernah meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang menunaikan haji wada', beliau bersabda, "Semoga Allah menjadikan baik orang yang mendengar ucapanku lalu memahaminya, sebab banyak orang yang menyampaikan ilmu (memahami agama), tetapi dia bukan seorang yang faqih (memahami esensinya). Tiga perkara yang menjadikan hati seorang Mukmin tidak akan menjadi pengkhianat yaitu: Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin dan senantiasa komitmen terhadap jamaah" (HR. Al Bazzar dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).

Dengan berpegang teguh pada tiga perkara ini, maka terwujudlah hati yang lebih sejuk dan shaleh. Barangsiapa menjadikan hal itu sebagai perilakunya, maka sucilah hati dan jiwanya serta jauh dari sifat khianat, dengki, juga zalim. Seseorang tidak akan terlepas dari setan, kecuali dengan berlaku ikhlas dalam segala hal. Iblis sendiri telah mengatakan -semoga laknat Allah atasnya- sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an:

"Iblis berkata, "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka" (QS. Shad, 82-83)

Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung dan condong padanya, maka kemurnian amal itu akan ternoda dan hilanglah keikhlasannya. Pada umumnya manusia selalu terpaku dengan perkara-perkara yang bersifat kebendaan (materi) di dunia fana ini. Sebagaimana dikatakan oleh seorang yang shaleh, "Barangsiapa melakukan satu menit saja dari umurnya untuk berbuat ikhlas hanya kepada Allah, maka selamatlah dia". Dikatakan demikian itu karena berbuat ikhlas memang berat dan sulit bagi kita untuk membersihkan hati dari hal-hal yang mengotori kemurniannya. Karenanya, ikhlas adalah menyucikan hati dari segala kekotoran, dan tidak boleh tertinggal sedikit pun, sehingga yang ada dalam hati hanyalah tujuan taqarrub kepada Allah SWT.

Amalan ibadah seperti ini, tidak mungkin terlintas dalam angan-angan dan benak seseorang, kecuali bagi yang mencintai Allah (mahabbatullah) dan memfokuskan tujuannya hanya untuk kebahagiaan akhirat. Tidak ada sisi ruang di dalam batinnya sedikit pun yang tersisa bagi rasa cinta pada dunia (hubbuddunya). Orang yang seperti ini apabila dia makan, minum atau buang hajat sekalipun, maka perbuatan-perbuatan itu atas dasar ikhlas dan karena Allah semata. Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat seperti itu, maka jarang bahkan tertutup baginya pintu menuju ikhlas. 

Orang yang nafsunya dapat terkalahkan oleh mahabbatullah dan kecintaannya untuk "memetik" buah hasilnya di akhirat, maka setiap perbuatan yang merupakan kebiasaan (seperti makan, minum, tidur), akan mengambil sifat tujuan utama hidupnya. Karena itu, perbuatannya itu bernilai ikhlas. Sebaliknya orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara diniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka yang demikian itu karena nafsunya terkalahkan oleh tujuan selain kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, setiap tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga tidak akan murni ibadah yang dia lakukan, seperti shalat atau puasa, dan sebagainya.

Karenanya, dengan terapi ikhlas, maka akan dapat mencabut motif-motif yang dikendalikan hawa nafsu, menghilangkan nafsu keserakahan terhadap dunia dan dapat meluruskan tujuan perjalanan hidupnya hanya untuk akhirat. Dengan demikian, hawa nafsu dapat terkendali dan menjadikan sifat itu sebagai penguasa atas hati. Untuk itu, setiap kita melangkah hendaknya berangkat dari rasa ikhlas semata karena Allah SWT. Betapa banyak amal perbuatan dimana orang berat melakukannya, sekalipun dia percaya betul bahwa amalannya itu ikhlas karena Allah. Orang yang seperti ini pada dasarnya tertipu oleh perasaannya sendiri (egoistis), disebabkan dia tidak mengetahui sumber utama penyakit yang dapat menghancurkan setiap amal perbuatannya.

Diceritakan, ada seorang Ulama Salaf yang selalu shalat berjamaah di shaf terdepan. Suatu hari dia datang terlambat, maka dia pun terpaksa shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbesit rasa malu kepada para jamaah lain. Maka pada saat itulah dia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf terdepan, pada hari-hari sebelumnya (sebelum dia menyadari), adalah karena ingin dilihat oleh orang lain.

Masalah ikhlas memang responsibel dan sulit untuk dilakukan, sehingga sedikit sekali perbuatan yang bisa dikatakan murni ikhlas karena Allah, dan sedikit pula orang yang tertarik terhadapnya, kecuali mereka yang mendapat taufiq (pertolongan, kemudahan) dari Allah SWT. Adapun orang yang lalai akan masalah ikhlas ini, dia senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dia lakukan. Padahal di hari kiamat kelak perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Allah berfirman, "Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?', yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (QS. Al Kahfi, 103-104)

Seorang Ulama Salaf berkata, "Orang ikhlas adalah orang yang dapat merahasiakan kebaikannya, sebagaimana dia merahasiakan keburukannya".

As Syuusy berkata, "Ikhlas ialah hilangnya 'ikhlas' itu sendiri dari pandangan. Orang yang dapat menyaksikan dalam perbuatannya (yang didasari keikhlasan itu) sebagai suatu keikhlasan, maka sesungguhnya itu masih membutuhkan rasa ikhlas". Maqalah lain mengatakan, "Berbuat ikhlas sesaat berarti keselamatan seabad, akan tetapi ikhlas itu berat".

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pernah ditanyakan suatu perkara kepada Suhail, "Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?". Dia menjawab, "Ikhlas, sebab memang nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas".

Al Fadhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya".

Selengkapnya
Makna Takut (Khauf) kepada Allah SWT

Makna Takut (Khauf) kepada Allah SWT


Khauf merupakan cambuk milik Allah untuk melecut hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal, agar memperoleh tempat layak di sisi Allah SWT. Khauf adalah manifestasi dari hati yang sakit dan gundah karena adanya prasangka akan terjadinya sesuatu yang menakutkan pada masa mendatang. Khauf inilah yang mampu mengendalikan diri dari setiap keinginan berbuat maksiat dan menambatkannya pada perbuatan taat. Kecilnya rasa khauf akan membawa pada sikap kurang mawas diri dan bangga dengan perbuatan dosa. Namun bila terlalu mendalam rasa khaufnya juga berdampak negatif, yaitu menumbuhkan perasaan rendah diri dan apatis.

Ulama takut kepada Allah

Takut kepada Allah SWT terjadi karena beberapa faktor. Adakalanya karena adanya makrifatullah dan makrifat akan sifat-sifatNya, serta keyakinan sekiranya Allah menghancurkan alam seisinya, maka hal itu bukan kesalahan bagiNya dan tidak seorang pun dapat mencegahnya. Ada juga yang disebabkan oleh perasaan bahwa diri ini telah banyak berbuat dosa, dan mungkin juga karena keduanya. Hal ini bergantung pada tingkat pengenalannya terhadap aib-aib dirinya sendiri, pengenalannya kepada Allah dan keMaha PerkasaanNya, bahwa Dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusanNya. Berangkat dari makrifat inilah akan menguatkan rasa khauf kepadaNya. Sebab, orang yang paling takut kepada Tuhannya adalah orang yang paling pandai mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya. Karenanya, Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku lebih mengetahui tingkat rasa takut kepada Allah daripada kalian". (HR. Bukhari-Muslim)

Suatu ketika Imam Asy Sya'by dipanggil oleh seseorang, "Wahai orang alim!". Maka beliau berkata, "Sesungguhnya orang yang alim hanyalah orang yang takut kepada Allah". Dalam hal ini Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰٓؤُا

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para Ulama". (QS. Fathir, 28)

Ada juga Ulama yang mengatakan, "Orang takut bukanlah orang yang menangis dan menghapus air matanya, tetapi ia adalah orang yang meninggalkan perkara yang ditakuti, supaya tidak mendapat siksa karenanya". Dzun Nun al Mishri ketika ditanya, "Kapankah seorang hamba merasa takut?". Maka ia menjawab, "Jika dia mendudukkan dirinya sebagaimana orang sedang sakit, yang berpantangan terhadap makanan yang membahayakan kesehatannya karena takut semakin parah sakitnya". Sedangkan Abul Qasim al Hukaim berkata, "Orang yang takut terhadap sesuatu, maka dia akan lari menjauhinya, sedangkan yang takut kepada Allah, justru akan lari mendekat kepadaNya".

Fudhail bin Iyadh berkata, "Seandainya kamu ditanya 'Apakah kamu takut kepada Allah?' maka diamlah. Karena jika kamu mengiyakan, maka kamu telah berdusta (padahal kamu sering menentang dan lalai terhadap perintahnya), namun jika kamu menggelengkan kepala (berarti tidak takut), maka dirimu menjadi kafir". 

Seorang sahabat Nabi yang utama Abu Bakar As Shiddiq pernah berkata, "Aku senang andaikata diriku ini adalah sehelai rambut yang tumbuh di kulit orang beriman". Konon, apabila beliau mendirikan shalat, maka tubuhnya bagaikan sebatang pohon yang tegak berdiri, hal ini menunjukkan betapa beliau sangat khauf kepada Allah Yang Maha Perkasa. Begitu pula dengan sahabat Umar bin Khattab, saat beliau membaca surat ath Thur dan menginjak pada ayat yang artinya "Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar akan terjadi", beliau pun tiba-tiba menangis tersedu hingga menyebabkan kesehatannya menurun. Pada detik-detik terakhir menjelang wafatnya beliau berkata kepada seorang putranya, "Wahai putraku, tolong letakkan pipiku menyentuh tanah, mudah-mudahan Allah merahmatiku!". Kemudian beliau berkata, "Alangkah celakanya diri ini, jika Allah tidak mengampuniku". Kata-kata ini diulanginya sampai tiga kali, dan pada akhirnya beliau pun meninggal dunia. 

Rasa khauf akan membakar syahwat yang haram, sehingga perbuatan maksiat yang disenanginya menjadi sesuatu yang dia benci. Dengan khauf, nafsu syahwat dapat terkikis habis, sehingga perilaku menjadi terarah, dan hati terisi oleh rasa khusyuk, tawadhu, patuh terhadap perintah Allah, terhindar dari sifat takabur, dendam dan dengki. Bahkan dengan khaufnya, menjadikan hati seseorang terpenuhi oleh rasa kekhawatiran terhadap sesuatu yang dialaminya kelak bila menghadap Allah. Karena itu, dia tidak menyisakan ruang batinnya untuk selain rasa khauf, dan dia tidak disibukkan kecuali oleh muraqabah (berhati-hati), muhasabah (introspeksi diri), mujahadah (bersungguh-sungguh dalam beramal). Dia tidak akan membiarkan setiap helaan nafas dan sedetik pun waktunya berlalu dengan sia-sia. 

Keutamaan Khauf kepada Allah

Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang takut kepadaNya dengan berbagai nikmat karunia, di antaranya adalah petunjuk, rahmat, ilmu dan ridhaNya. Allah SWT berfirman:

وَفِى نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ

"Dan di dalam tulisannya (nash-nash Taurat) itu terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya."(QS. Al-A'raf 7, 154)

Dan juga firmanNya yang telah disebutkan dimuka bahwa:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰٓؤُا

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para Ulama". (QS. Fathir, 28). 

Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:

رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ  ۚ  ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ رَبَّهُ 

"Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya". (QS. Al-Bayyinah, 8)

Allah memerintahkan manusia agar takut kepadaNya, dan menjadikan hal itu sebagai syarat bagi Iman. Dia berfirman, "Dan takutlah kepadaKu, jika kamu beriman" (QS. Ali Imran, 157). Oleh sebab itu, mustahil seseorang yang benar-benar beriman tidak memiliki rasa khauf, sekalipun khaufnya lemah. Kuantitas khauf seseorang bergantung pada lemah atau kuatnya makrifat dan keimanan orang tersebut. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah SWT, sehingga air susu dapat masuk kembali ke dalam puting susunya". (HR. Tirmidzi) 

Fudhail bin Iyadh berkata, "Barangsiapa takut kepada Allah, maka rasa khaufnya itu akan menunjukkannya pada setiap kebaikan". 

Asy Syibli mengatakan, "Pada suatu saat kelak, aku semakin merasa takut kepada Allah, saat aku melihat pintu hikmah dan pelajaran". 

Dan Yahya bin Mu'adz berkata, "Tidak seorang Mukmin pun yang melakukan perbuatan buruk, melainkan segera dia terhadang oleh dua benteng, yaitu takut pada siksa dan mengharap ampunanNya". 

Selengkapnya