Jenis-jenis mimpi dalam Islam

Jenis-jenis mimpi dalam Islam

Bermimpi
Gambar via elizato.com

Hampir semua orang pasti pernah bermimpi dalam tidurnya. Ada yang beranggapan mimpi adalah bunga tidur semata yang tidak ada maknanya, tetapi ada juga yang meyakini bahwa setiap mimpi bisa jadi memiliki makna yang kadang bisa mengubah nasib hidup seseorang. Pada dasarnya, mimpi merupakan fenomena kejiwaan yang biasa terjadi pada diri manusia. Dalam Islam, mimpi dibagi menjadi dua macam, yaitu mimpi buruk yang diistilahkan dengan hulm dan mimpi baik yang disebut dengan istilah ru'ya. Kedua jenis mimpi ini merupakan penyebutan yang tertulis dalam kitab suci Al Qur'an. 

Mimpi buruk atau hulm adalah mimpi yang isinya bercampur aduk dan kacau. Mimpi ini juga kadang berisi hal-hal yang menyeramkan atau menakutkan. Dengan kata lain, mimpi buruk adalah mimpi yang tidak jelas dan kacau sehingga sulit untuk diinterpretasikan. Istilah mimpi buruk atau hulm ini dalam Al Qur'an dapat ditemukan misalnya pada surat Yusuf ayat 44. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa mimpi raja Mesir itu dinilai oleh para pemuka dari rakyatnya sebagai mimpi-mimpi kosong (adhghaatsu Ahlaam/jamak dari hulm), dalam ayatnya berbunyi: "mereka menjawab (mimpi raja itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak mampu mena'wilkan mimpi itu".

Baca juga: Firasat dalam Pandangan Islam

Dr. Utsman Najati dalam bukunya Al Qur'an wa 'ilmu an Nafsi memprediksi bahwa kemungkinan yang dimaksudkan oleh Al Qur' an dengan mimpi buruk itu adalah semua jenis mimpi yang dikaji oleh para ahli ilmu jiwa. Kajian para ahli jiwa modern, menilik pada teori Sigmund Freud, pencetus psikologi analisa, mengatakan bahwa mimpi adalah cara simbolis untuk mengekspresikan dorongan-dorongan tidak sadar yang dialami manusia. 

Lebih lanjut, Dr. Utsman Najati menambahkan, mimpi-mimpi itu meliputi mimpi yang terjadi akibat perasaan yang dirasakan oleh seseorang kala ia tertidur, baik karena pengaruh luar maupun pengaruh dari dalam diri sendiri. Mimpi itu juga bisa jadi muncul akibat dari kesibukan pikiran selama terjaga yang terbawa dalam mimpi, dan juga mimpi yang merupakan reproduksi dari sebagian peristiwa sebelumnya. Menurut Dr. Utsman Najati, mimpi yang menjadi kajian para ahli ilmu jiwa adalah sebatas pada pengetahuan tentang mimpi jenis ini, yang masuk dalam kategori mimpi buruk (hulm). Sedangkan pengetahuan khusus dalam memahami tentang mimpi baik belumlah di kaji. Padahal mimpi jenis ini (mimpi baik/ru'ya) juga kadang terjadi pada sebagian orang. 

Mimpi yang benar (ru'ya) dalam Islam diistilahkan dengan ru'ya ash shadiqah. Selain ru'ya ash shadiqah, ada juga yang menyebutnya dengan istilah ru'ya as shalihah atau ru'ya al hasanah. Dalam Al Qur'an, mimpi yang benar (ru'ya) adalah mimpi yang dialami oleh para Rasul, Nabi dan hamba-hamba Allah yang lain saat mendapatkan wahyu, ilham atau suatu kabar yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Contoh dari mimpi jenis ini adalah mimpi Nabi Ibrahim saat diperintah untuk menyembelih putranya, Ismail (QS. As Shaaffaat, 102-105). Contoh lainnya adalah mimpi Nabi Yusuf dan mimpi Rasulullah SAW pada tahun perjanjian damai Hudaibiyyah, saat itu beliau bermimpi memasuki kota Makkah dan menunaikan thawaf di Baitullah Makkah (QS. Al Fath, 27).

Ru'ya as Shadiqah juga merupakan salah satu media turunnya wahyu kepada para Nabi/Rasul. Sifat turunnya wahyu kepada Rasulullah juga sama halnya dengan sifat turunnya wahyu kepada para Nabi/Rasul sebelum beliau dari segi turunnya wahyu yang pertama, yakni dalam bentuk atau lewat mimpi (ru'ya). 

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Zaadul Ma'aad menyebutkan delapan fase turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW, di antaranya adalah melalui mimpi. Dalam hal ini adalah ru'ya ash Shaadiqah (mimpi yang benar secara nyata). Mengenai mimpi yang benar atau mimpi yang baik ini juga diinformasikan dalam hadits Nabi. Di antaranya bahwa mimpi yang baik juga bisa dialami atau diperoleh oleh orang mukmin yang shaleh, bahkan mimpinya itu merupakan salah satu dari 46 tanda tanda kenabian (nubuwwah). Rasulullah SAW bersabda: ''Mimpi baik (ru' ya al hasanah) seorang mukmin yang shaleh itu adalah salah satu dari 46 tanda-tanda kenabian". Kalimat 'salah satu dari 46 tanda kenabian' adalah kalimat metafora (majazi), sebab hakikat kenabian telah tertutup dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW. Demikian dijelaskan dalam Jawaahirul Bukhari.

Rasulullah SAW menyebut mimpi yang baik (ru'ya ash shaalihah) sebagai kabar baik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

''Takkan ada yang tertinggal dari kenabian kecuali kabar baik, Mereka (para sahabat) bertanya: ''Ya Rasulullah! Apakah kabar baik itu?''. Rasulullah menjawab: '' mimpi yang baik''. (HR. Bukhari).
Bagaimanakah cara membedakan antara mimpi yang benar/baik dengan mimpi yang tidak benar/buruk?. Seorang ahli tafsir kenamaan, Al Alusi dalam kitab tafsirnya, Ruuhul Ma' ani, mencatat dari riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari Salim ibnu Umar bahwasanya Umar bin Khattab RA berkata: ''Ada orang yang bermimpi aneh sekali. Ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak terbayangkan olehnya dan mimpinya itu begitu jelas. (Setelah sempat bangun dan tidur kembali) kemudian ia bermimpi lagi, namun tidak melihat apa-apa''. Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya:

''Bolehkah hal itu kutafsirkan wahai Amiirul Mukminin?''. Umar pun mengizinkan, dan Ali berkata: ''Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan...(QS. Az-Zumar, 42) jadi Allah lah yang mematikan jiwa seluruhnya. Dan apa yang terlihat dalam mimpi (pertama), sementara jiwa masih berada di sisi Allah di langit, ini adalah mimpi yang benar. Sedangkan apa yang terlihat dalam mimpi (kedua), sementara jiwa telah dikembalikan ke tubuh, maka ini adalah mimpi yang tidak benar"

Ibnu Sina, sebagaimana dikutip oleh Dr. Utsman Najati, berpendapat bahwa mimpi yang benar terjadi karena adanya kontak antara jiwa dengan Malaikat di kala sedang tidur, dan dari mimpinya itu diterima wahyu atau ilham, sedangkan mimpi yang buruk muncul dari pengaruh perasaan-perasaan fisik. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa mimpi yang benar/baik dapat dialami oleh seseorang yang beriman, taqwa dan shaleh. Oleh karena itulah, tepat sekali adanya tuntunan dan etika akan tidur seperti disunnahkan berwudhu, membaca Al Qur'an, dzikir dan doa. Dalam kondisi seperti inilah maka syetan tak akan mampu mengganggu/mengacaukan mimpi kita menjadi mimpi yang buruk.


Selengkapnya
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diijabahnya Doa

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diijabahnya Doa

Faktor doa diijabah

Kita mungkin sering mengeluh kepada Allah mengapa permohonan doa yang kita panjatkan belum lekas dikabulkan. Padahal Allah telah menjanjikan bagi hambaNya yang beriman bahwa Dia akan mengabulkan setiap permohonan doa dari hambaNya yang datang meminta kepadaNya (QS. Al Baqarah, 186). Mengapa doa kita belum dikabulkan?. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agar doa kita lekas dikabulkan Allah SWT. Apabila kita perhatikan petunjuk Allah dan RasulNya, doa yang dikabulkan oleh Allah banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Kualitas pribadi yang berdoa


Semakin bersih pribadi seseorang, maka doanya semakin diperhatikan oleh Allah. Seseorang yang senantiasa menjauhi berbuat dosa sehingga hatinya bersih maka peluang dikabulkannya doa menjadi semakin besar. Sebagai contoh, kita sering mendengar kisah tentang musibah besar yang terjadi, tetapi ditemukan bayi dalam keadaan selamat. Allah lah yang menyelamatkan bayi itu, padahal bayi itu belum berkarya apa-apa, belum dapat berdoa, dan bahkan selalu menyusahkan kedua orang tuanya. Hanya kesucian si bayi itulah, yang mengundang kecintaan dan pertolongan Allah kepadanya. Maka dari itu, poin dari faktor pertama ini adalah dengan memperbaiki kualitas keimanan  sembari berusaha untuk membersihkan diri kita dari berbuat dosa, maka kemungkinan doa kita akan dikabulkan Allah SWT.

2. Keyakinan mengenai dikabulkannya doa oleh Allah


Sebagai orang yang beriman dan yakin dengan kuasa Allah atas segalanya, setiap berdoa kita harus yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa kita. Dengan berbaik sangka kepada Allah tanpa ada keraguan sedikitpun, maka besar kemungkinan Allah akan mengabulkan doa yang kita panjatkan. Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa seseorang yang hatinya kosong atau lalai (ragu-ragu dalam berdoa)" HR. Ahmad. 

Dalam hadits qudsi, Allah juga menyatakan, (yang artinya kurang lebih): "Aku ini tergantung persangkaan hambaKu kepadaKu, maka menyangkalah yang baik-baik kepadaKu".

Baca juga: 10 Sebab-sebab Doa Tidak Diijabah Allah 

3. Usaha atau ikhtiar dengan maksud doa


Pada beberapa kasus, banyak doa belum dikabulkan Allah karena kita hanya meminta namun tidak dibarengi dengan usaha atau ikhtiar. Maka hasilnya apa yang kita harapkan dalam doa pun belum bisa kita dapatkan. Sebagai contoh kita sakit, kemudian memohon kesembuhan kepada Allah, padahal kita belum berobat (ikhtiar mencari kesembuhan). Maka pantaslah Allah belum mengabulkan doa kita. Bahkan bisa jadi tidak berdoa sekalipun, begitu kita sakit terus rajin berobat, maka Allah dengan rahmat dan kasih sayangnya justru akan memberikan kesembuhan kepada kita. Meskipun begitu, setiap ikhtiar hendaknya mesti di barengi dengan doa, begitu pula sebaliknya.

4. Cara berdoa


Bagaimanapun berdoa adalah termasuk ibadah, maka harus diupayakan melakukannya seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Beliau berdoa dengan menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dengan suara samar, diulang-ulang sampai tiga kali, tidak dengan kalimat bersajak, dan memulainya dengan menyebut nama Allah, memujiNya, bersyukur kepadaNya dan bershalawat untuk Nabi. Kemudian dengan cara (terakhir) ini pula mengakhiri doa.

Baca juga: 5 Ciri-Ciri Orang Yang Diterima Shalatnya Oleh Allah SWT

5. Tempat berdoa


Tempat dimana kita berdoa juga mempengaruhi dikabulkannya doa kita. Nama-nama tempat seperti Multazam (antara Hajar Aswad dengan pintu Ka'bah), Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Padang Arafah (saat berwuquf haji) dan Raudhah di masjid Nabawi di Madinah adalah tempat-tempat yang sangat mustajabah untuk berdoa. Namun bagi kita yang belum bisa ke sana, masjid atau mushala yang merupakan rumah Allah, juga tempat yang sangat baik untuk memanjatkan  doa.

6. Waktu berdoa


Selain tempat, waktu yang mustajabah sehingga kita dianjurkan berdoa di dalamnya adalah seperti waktu sahur (sepertiga malam terakhir), hari Jum'at, saat di bulan puasa Ramadhan, saat melakukan shalat dan sesudahnya (terutama waktu sujud), antara adzan dan iqamah, situasi genting saat menghadapi musuh, dan saat hujan deras atau bencana alam, adalah waktu-waktu yang sangat baik untuk berdoa kepada Allah.

  
Selengkapnya
Firasat dalam Pandangan Islam

Firasat dalam Pandangan Islam

Apa itu firasat

Kita sering mendengar orang berkata "firasat saya tidak pernah salah", atau "firasat saya pasti benar". Penggunaan kata firasat pada contoh dua kalimat tersebut mungkin dekat maknanya dengan prediksi atau pun juga tebakan yang tidak berdasar apapun. Atau pun kalau punya dasarnya, biasanya diambil dari tanda-tanda yang akhirnya disimpulkan menurut perkiraan kita.  Sebenarnya apakah firasat itu?

Pengertian Firasat


Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, firasat adalah keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat. Dalam Islam, firasat diartikan sebagai pengetahuan batin tentang segala sesuatu berdasarkan dalil-dalil dan pengalaman. Pengertian ini didasarkan pada informasi hadits yang menyebutkan: "Takutlah kalian akan firasat orang yang beriman, sebab ia dapat melihat dengan cahaya Ilahi" (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Perlu diketahui bahwa firasat bukanlah ilmu ghaib, sebab pengetahuan tentang yang ghaib baik di langit maupun di bumi hanya Allah SWT yang tahu. Bahkan Allah mengingatkan kepada Umat Islam agar tidak mengklaim diri bahwa ia mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah berfirman:

"Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Al-An'am, Ayat 59)

Para Ulama membagi Firasat menjadi 3 macam, yakni firasat Imaniyyah, Khuluqiyyah, dan Riyadhiyyah

Firasat Imaniyyah 

Firasat Imaniyyah adalah firasat yang diperoleh seseorang atas dasar kesucian hatinya, bersih dari perbuatan tercela, dan selalu bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, sehingga ia bisa melihat sesuatu dengan cahaya Ilahi. Firasat ini merupakan ilham dari Allah kepada sebagian hambaNya yang beriman. Keistimewaan yang dimiliki orang-orang khusus ini juga biasa disebut dengan karomah. Diantara orang yang dikenal memiliki firasat seperti ini adalah Umar bin Khattab. Dalam bidang hukum Islam, firasat bukanlah dalil yang kuat, oleh karenanya firasat tidak bisa dijadikan landasan hukum syar'i.

Firasat Khuluqiyyah

Firasat khuluqiyyah adalah firasat terhadap suatu makhluk atas dasar tabiatnya. Contoh firasat jenis ini adalah firasat yang dimiliki oleh Umayyah bin Abi Shalt pada zaman Jahiliyyah, dimana ia dapat memahami bahasa binatang. Firasat khuluqiyyah ini terbagi dalam tiga macam yaitu al Qifaayah, al 'Aafiyah, dan al Rifaayah. 

Al Qifaayah adalah pengetahuan tentang bekas seseorang, sehingga dapat mengetahui sesuatu melalui bekas-bekasnya. Misalnya seperti orang yang bisa menebak identitas pencuri yang masuk ke rumah lewat bekas telapak kakinya. Al 'aafiyah adalah firasat sejenis tenung yang dilarang oleh ajaran Islam. Biasanya ini dimiliki oleh dukun atau paranormal. Sedangkan Al Rifaayah adalah pengetahuan mengenai sumber air dalam tanah melalui aroma tanah atau melihat jenis tumbuhan atau hewan yang hidup di atasnya. Kemampuan ini biasa dimiliki para tukang gali sumur saat ingin menggali sumur pompa air yang pas atau ada sumber airnya. Ada juga yang menambahkan Kholqiyyah thabi’iyyah, yaitu firasat dengan melihat postur tubuh seseorang. Misalnya orang yang besar kepalanya menandakan ia pintar, atau orang yang besar dadanya pertanda ia orang yang ramah dan seterusnya. 

Firasat Riyadhiyyah

Firasat Riyadhiyyah adalah firasat yang diperoleh seseorang melalui riyadhah (latihan khusus) seperti puasa atau tafakkur. Firasat ini juga bisa dimiliki oleh orang yang biasa menyepi dengan perut lapar, sebagaimana biasa dilakukan oleh para ahli ibadah. Namun firasat ini tidak hanya dimiliki orang beriman, karena firasat ini juga bisa dimiliki orang kafir. 

Cara mempertajam firasat


Amru bin Najid berkata bahwa Syaikh Al Kirmani adalah seorang yang tajam firasatnya. Ketika ditanya bagaimana agar bisa mendapat firasat yang tajam, ia berkata:

"Siapa yang memalingkan pandangannya dari hal-hal yang haram, dan menahan nafsunya dari syahwat angkara murka, serta memakmurkan batinnya dengan introspeksi (muraqabah), dan segala amalan lahiriahnya mengikuti sunnah Nabi SAW, dan membiasakan dirinya dengan memakan makanan yang halal, maka firasatnya selalu tepat dan tidak akan meleset".

Selengkapnya
5 Ciri-ciri Orang Yang Diterima Shalatnya oleh Allah

5 Ciri-ciri Orang Yang Diterima Shalatnya oleh Allah

Orang Shalat

Shalat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat maka ia menegakkan agama dan barang siapa meninggalkan shalat maka ia merobohkan agama. Sebagai umat Islam, kita mesti berupaya semaksimal mungkin dalam menjalaninya agar shalat kita diterima oleh Allah SWT. Kita memang tidak tahu apakah shalat kita diterima oleh Allah. Tapi dalam sebuah hadits Qudsi, Allah memberitahukan pada kita mengenai ciri-ciri orang yang shalatnya diterima oleh Allah SWT. Zakiyuddin al Mundziri dalam kitabnya, At Targhib wat Tarhiib menyebutkan sebuah Hadits qudsi yang menjelaskan mengenai ciri-ciri orang yang shalatnya diterima, disebutkan:

"Sesungguhnya Aku (Allah) hanya akan menerima shalat dari orang yang rendah hati dihadapan keagunganku, tidak menyombongkan diri dengan shalatnya kepada makhlukKu, yang tidak mengulang-ulang maksiat kepadaKu, yang menggunakan waktu siangnya untuk terus mengingatKu, yang menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan (ibnu Sabil), wanita yang ditinggalkan suaminya dan orang yang ditimpa musibah."

Dari hadits qudsi di atas, kita memperoleh pemahaman bahwa shalat, meski bentuknya ibadah mahdhah (murni), ternyata berkaitan erat dengan akhlak. Nilai sebuah ibadah ternyata tidak hanya dilihat dari segi syariatnya, melainkan juga dilihat dari segi fungsi ibadah tersebut dalam membentuk kepribadian dan akhlak orang yang mengerjakannya. Jika dijabarkan dari hadits di atas, maka ciri-ciri orang yang diterima shalatnya yaitu:

1. Orang yang rendah hati (tawadhu') di hadapan Allah.

Kerendah hatian kepada Allah ini tampak dalam kekhusyuan di saat mengerjakan shalat. Khusyu' jiwa dan raga, karena benar-benar merasa sedang berada di hadapan Allah Yang Maha Agung. Ketika mengucapkan Allahu Akbar, maka segera tertanam di dalam jiwa betapa kecil dan lemahnya kita di hadapan Sang Maha Pencipta dan Penguasa alam semesta. Dengan kesadaran seperti ini, maka akan membentuk sifat rendah hati dalam diri orang yang menjalankannya, baik itu di hadapan Allah Yang Maha Besar maupun dalam pergaulan dengan sesama manusia.

Baca juga: Faktor-faktor yang mempengaruhi diijabahnya doa

2. Orang yang tidak menyombongkan diri dengan shalatnya kepada sesama manusia.

Sombong adalah sifat yang hanya dimiliki oleh Allah. Kita sebagai makhluknya tidak boleh dan tidak pantas untuk berlaku sombong dihadapanNya. Lebih celaka lagi kalau kita sombong dengan shalat kita, agar kita dilihat dan mendapat pujian dari orang lain, maka sia-sialah ibadah kita. Hal ini juga berlaku saat di luar shalat. Jadi, kalau kita telah melaksanakan shalat, tetapi kita masih berperilaku sombong, baik itu karena kekuasaan yang kita genggam, kekayaan yang kita miliki, ilmu yang kita punyai, atau kita merasa paling rajin dalam beribadah, maka janganlah merasa puas dengan kualitas shalat kita.

3. Orang yang tidak mengulangi maksiat kepada Allah.

Jika kita melaksanakan shalat dengan sepenuh hati, maka seharusnya ia dapat mengubah perilaku buruk kita menjadi lebih baik. Dengan shalat, juga akan menyebabkan kita menjauhi perbuatan jahat dan keji. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ankabut ayat 45: .."Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar". Rasulullah juga pernah mengingatkan bahwa "barang siapa shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalatnya hanya akan menjadikannya bertambah jauh dari Allah". Maka jika kita telah melaksanakan shalat, harusnya kita mesti tinggalkan kebiasaan berdusta, menipu, korupsi, iri dengki, menggunjing, memfitnah dan semua perbuatan maksiat yang lain.

4. Orang yang menggunakan waktunya untuk senantiasa berdzikir (mengingat Allah)

Dzikir artinya mengingat Allah dalam hati dan menyebutNya dengan lisan. Dzikir hati dan dzikir lisan ini harus seiring  sejalan, dan diamalkan dalam keterpaduan. Jika kita mengingat dan menyebut Allah hanya dalam shalat, sementara di luar shalat hati kita lengah, lalai dan melupakan Allah, maka shalat kita tidak akan mendekatkan diri kita kepada Allah, dan juga tidak menuntun kita ke jalan keselamatan. Mengingat dan menyebut Allah harus kita amalkan dalam setiap langkah hidup kita, karena dengan demikian pastilah akan membimbing manusia ke jalan kebenaran, serta melahirkan perkataan dan perbuatan yang diridhai Allah. 

5. Orang yang menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama manusia.

Ketika salam penutup shalat telah diucapkan, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, maka seorang muslim telah terlahir kembali sebagai sosok yang penuh kedamaian, yang menebarkan salam dan kasih sayang kepada segenap penghuni alam. Kita sebagai manusia sudah sepatutnya untuk saling menyayangi antara satu dengan yang lainnya. Jika kita melihat penderitaan orang lain, pasti hati akan terketuk untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan menumbuhkan rasa kepedulian kepada sesama, maka akan tercipta kehidupan yang harmoni di antara sesama umat manusia.

Itulah lima ciri orang yang shalatnya diterima oleh Allah. Jika kelima ciri tersebut dapat kita terapkan, maka kata Allah dalam lanjutan hadits qudsi di atas, "Cahayanya bak cahaya matahari. Aku lindungi dia dengan kebesaranKu. Aku perintahkan malaikat untuk menjaganya. Aku berikan cahaya ketika ia dalam kegelapan. Aku berikan ilmu ketika ia dalam ketidak tahuan. Perumpamaan orang ini dengan makhlukKu yang lain bagaikan firdaus di dalam surga".


Selengkapnya
Sa'id bin Zaid RA, Salah Seorang Sahabat Rasul Yang Dijamin Masuk Surga

Sa'id bin Zaid RA, Salah Seorang Sahabat Rasul Yang Dijamin Masuk Surga

Said bin Zaid

Said bin Zaid bin Amr bin Nufail al Adawi adalah seorang sahabat nabi dari golongan Muhajirin. Said bin Zaid juga termasuk di antara sepuluh sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Saat Rasul menyerukan agama Islam, ia segera menyambut seruan Rasul dan membenarkan kerasulan Muhammad, serta menjadi pelopor bagi orang-orang beriman. Oleh karenanya dia juga termasuk golongan orang-orang yang pertama masuk Islam (Assabiqunal Awwaluun).

Said lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang tetap berpegang teguh pada kebenaran. Keluarganya mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat. Said dididik oleh seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang haq. Dalam pencariannya, sang ayah berkelana mulai di Makkah sampai ke Syam. Zaid bin Amr bin Nufail, ayah Said, bercerita: 

''Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya saya tinggalkan karena saya tidak memperoleh sesuatu yang dapat menentramkan hati saya dalam kedua agama itu. Lalu saya berkelana ke seluruh pelosok kota mencari agama Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti ilmu kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut, kemudian saya ceritakan kepadanya tentang pengalaman saya belajar agama".

Rahib berkata kepadaku: "saya tahu anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putra Makkah?''. Saya menjawab: ''betul, itulah yang saya inginkan''. Rahib berkata lagi: ''anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi pulanglah anda ke negeri anda. Allah akan membangkitkan seorang Nabi di tengah-tengah bangsa anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila anda bertemu dengan dia, tetaplah anda bersamanya.''

Zaid memutuskan berhenti berkelana. Dia kembali ke Makkah menunggu Nabi yang dijanjikan. Ketika sedang dalam perjalanan pulang, Allah mengutus Muhammad menjadi Nabi dan Rasul dengan agama yang haq. Tetapi sayangnya, belum sempat bertemu dengan beliau, Zaid dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan terbunuh sebelum ia sampai ke Makkah. Saat ia akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berseru: ''Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Said diharamkan pula daripadanya''.

Ternyata Allah memperkenankan doa Zaid, ketika Rasulullah menyerukan agama yang haq, tak butuh lama bagi putranya, Said, untuk menerima ajakan Rasul. Ketika masuk Islam, umur Said belum lebih dari dua puluh tahun. Said masuk Islam tidak seorang diri. Dia masuk Islam bersama-sama istrinya, Fatimah binti Al Khattab, adik perempuan Umar bin Khattab. Ketika pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, dipaksa kaumnya supaya kepada agama mereka. Usaha mereka tidak berhasil. Bahkan Said dan istrinya lah yang telah menyebabkan Umar bin Khattab masuk Islam. 

Said bin Zaid selalu ikut menyertai bersama Rasulullah dalam setiap peperangan, kecuali perang Badar. Dia juga ambil bagian bersama kaum Muslimin saat mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran Rum. Reputasinya juga luar biasa dalam perang Yarmuk. Said bin Zaid bercerita: 

"Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang, sedangkan tentara Rum berjumlah 120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di barisan paling depan berbaris pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca doa. Doa itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris dibelakang mereka dengan suara mengguntur.''

Tatkala tentara kaum Muslimin melihat musuhnya seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah pun bangkit mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Abu Ubaidah berpidato: 

''Wahai hamba-hamba Allah, menangkan agama Allah, pasti Allah akan menolong kalian dan memberikan kekuatan kepada kalian. Wahai hamba-hamba Allah, tabahkan hati kalian, karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan mencapai keridhaan Allah dan menolak kehinaan. Siapkan lembing dan perisai, tetaplah tenang dan diam, kecuali mengingat Allah dalam hati kalian masing-masing. Tunggu perintah saya selanjutnya, insya Allah!.''

Said melanjutkan ceritanya: tiba-tiba seorang prajurit Muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu Ubaidah: "saya ingin syahid sekarang, adakah pesan-pesan anda kepada Rasulullah?''. Jawab Abu Ubaidah: ''Ya, ada! Sampaikan salam saya dan kaum Muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami.''

Setelah berakhirnya perang Yarmuk, Said bin Zaid juga turut berperang menaklukan Damsyiq. Bahkan akhirnya Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Said bin Zaid menjadi wali di sana. Dia lah wali kota pertama dari kaum Muslimin setelah kota itu berhasil dikuasai dan jatuh ke pangkuan umat Islam. Said bin Zaid RA wafat pada 51H (671) di daerah pedalaman, yakni di Aqiq. Tetapi jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Madinah oleh Saad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri. Dia kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya. 
  
Selengkapnya
Menyikapi Serbuan Informasi dan Berita Hoax

Menyikapi Serbuan Informasi dan Berita Hoax

Informasi palsu

Dewasa ini kita banyak mendapati ramainya berita palsu atau istilah sekarang disebut hoax. Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, dengan mudahnya akses informasi lewat internet dan media sosial seperti whatsapp, facebook, twitter dan sebagainya, kita dapat dengan begitu mudahnya mencari dan mendapat informasi mengenai apapun dan dari sumber manapun. 

Kecenderungan seperti ini tanpa kita sadari berpotensi membuat kita mudah percaya dengan informasi-informasi itu, tanpa kita menyaring (filter) terlebih dahulu kebenarannya. Bahkan tidak jarang informasi yang kita dapatkan dari media sosial itu langsung kita sebarkan kembali dengan membagikannya kepada keluarga, saudara dan teman kita.

Kita memang tidak boleh ketinggalan informasi agar bisa menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Kita mesti menyerap informasi sebanyak mungkin untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita. Namun kita juga mesti bersifat kritis dan juga berfikir objektif dalam menangkap informasi-informasi yang kita dapatkan. 

Dengan begitu, kita dapat mengenali, memilih, memisahkan dan membedakan mana informasi yang benar (valid) dan mana yang palsu (hoax). Sifat kritis dan objektif ini mesti kita miliki agar kita tidak mudah terjerumus dalam kesalahan dan kesalahpahaman. 

Sebenarnya berkenaan dengan hal di atas, Allah telah memberi petunjuk kepada kita mengenai bagaimana  sikap kita dalam menyikapi sebuah berita atau informasi yang kita terima. Dalam surat Al Hujarat, 6 Allah berfirman:

''Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.''

Dalam asbabun nuzulnya, ayat ini turun berkenaan kasus dua orang sahabat Nabi, Al Walid bin 'Uqbah dan Al Harits bin Dhirar. Suatu ketika, Rasulullah mengutus Al Walid bin' Uqbah kepada Al Harits bin Dhirar untuk mengumpulkan zakat dari kaumnya. 

Dalam rangka menyambut utusan Rasulullah ini, Al Harits mengumpulkan kaumnya dalam jumlah yang cukup besar. Namun karena salah menerima informasi, kerumunan itu dikira oleh Al Walid sebagai sebuah unjuk rasa untuk menolak pengumpulan zakat.

Utusan Rasulullah (Al Walid) pun segera kembali ke Madinah dan melaporkan bahwa Al Harits dan kaumnya telah melakukan sebuah pemberontakan. Mendengar laporan ini, beberapa pemuda Muhajirin dan Anshar kemudian menyiapkan penyerangan. 

Sebelum terjadinya serangan, maka turunlah ayat tersebut. Bisa kita bayangkan seandainya Allah tidak mengingatkan, pasti akan terjadi pertumpahan darah antar umat Islam hanya karena berita yang tidak akurat dan tidak diteliti kebenarannya.

Dalam Islam, sikap kritis dan objektif dalam menerima suatu berita ini disebut juga dengan tabayyun. Sebagai Umat Islam, sebelum mempercayai suatu informasi, kita mesti waspada, kita tidak boleh terburu-buru percaya dan terima mentah-mentah begitu saja, kita mesti lakukan tabayyun terlebih dahulu, kroscek atau cari kejelasan dan kebenaran terhadap berita-berita itu. 

Jika terbukti kebenarannya, berita itu baru boleh diterima. Namun jika terbukti dusta, maka kita harus membuangnya dan tidak boleh diamalkan apalagi disebarkan. Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, ''At-Tabayyun minallah wal ‘ajalatu minasy syaithan'' (sikap tabayun adalah perintah dari Allah, sedangkan terburu-buru adalah dari syaitan). 

Menyerap sebanyak mungkin informasi bukan berarti melahap semua informasi yang kita terima dari berbagai sumber, melainkan kita mesti memilah-milah mana informasi (berita) yang benar dan mana informasi (berita) yang salah, mana yang benar-benar memberikan penerangan dan mana yang hakikatnya menjerumuskan dan menyesatkan. 

Informasi yang benar kita terima dan bisa kita bagikan, sedangkan informasi yang palsu dan sesat kita buang di tempat sampah. Jika kita ragu dalam mencari kebenaran suatu informasi, kita juga dapat menanyakan dan meminta kejelasan dari orang yang lebih mengerti atau memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Dengan demikian, kita akan mendapatkan kejelasan dan hasil yang lebih akurat untuk bisa kita percayai.

Selengkapnya
Langkah-langkah untuk Membimbing Nafsu

Langkah-langkah untuk Membimbing Nafsu

Ilustrasi bimbing nafsu

Kita tahu bahwa salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah dibekalinya kita dengan akal dan juga nafsu. Akal memang selalu mengajak kepada kebaikan, tetapi nafsu sering kali berpotensi menjerumuskan kita kepada keburukan. Antara nafsu di satu pihak dan akal di pihak yang lain, terjadi saling tarik menarik dalam mempengaruhi dan menguasai jiwa seseorang. Nafsu yang mendapat dorongan syetan mendorong kita berbuat kejahatan, sedangkan sebaliknya, akal mengajak bertaqwa.

Dalam mengarungi kehidupan sehari-hari, kita diberi kebebasan untuk menentukan pilihan apakah mengikuti dorongan nafsu atau menuruti akalnya. Sebenarnya selain akal, Allah juga menganugerahkan kepada kita instrumen lain untuk bisa didayagunakan sebagai alat untuk membimbing nafsu agar manusia tetap berada dalam fitrahnya. Instrumen itu adalah hati (qalb) dan mata hati (bashirah). 

Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, hati (qalb) mempunyai dua pengertian. Pertama, hati ialah segumpal daging berbentuk bulat panjang yang terletak di dada sebelah kiri. Ia mempunyai tugas khusus yang di dalamnya terdapat rongga-rongga tempat darah hitam, dan menjadi sumber tempat penyimpanan ruh (nyawa). Sedangkan pengertian kedua, hati ialah sesuatu yang lembut, bersifat ketuhanan dan rohaniah yang ada hubungannya dengan hati dalam arti jasmaniah di atas. Hati ini dapat menangkap isyarat-isyarat dan ajaran (perintah dan larangan) dan mengenal Allah Rabbul 'Alamiin. Hati bisa menjadi alat efektif untuk membimbing nafsu, kalau pemiliknya bersih, ikhlas dan selalu berdzikir kepada Allah. Hati juga menjadi tolak ukur dan petunjuk ke arah baik dan benarnya tingkah laku kita.

Sedangkan mata hati (bashirah) adalah cahaya hati yang bisa melihat hakikat segala sesuatu. Ia tidak tertipu dengan tampilan luar dan bisa melihat hakikat kebaikan atau keburukan dibaliknya. Menurut Ibnul Qayyim al-Jawziah, bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti halnya pandangan mata. Bashirah ini juga dapat menangkap isyarat-isyarat ghaib. Terdapat hubungan erat antara akal, hati (qalb) dan mata hati (bashirah) dalam memahami suatu fenomena dan keadaan. 

Dengan akal, hati dan mata hati untuk membimbing nafsu, kita juga tetap memerlukan kesadaran, kesabaran dan upaya terus menerus dalam memelihara iman agar kita bisa mencegah dominasi nafsu terhadap diri kita. Oleh karenanya kita disarankan untuk menempuh langkah-langkah berikut ini:

1. Pelajari, pahami dan berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan ajaran agama dan tuntunan-tuntunan hidup sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

2. Tingkatkan keikhlasan beribadah secara konsisten (istiqamah), dan berusaha memperbaiki akhlaq, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.

3. Berniat secara sungguh-sungguh untuk mengalahkan hawa nafsu, antara lain dengan cara membiasakan hidup wajar, tidak berlebihan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, tidak membesar-besarkan orientasi hidup duniawi dan memperbanyak dzikir kepada Allah.

4. Jangan melakukan sesuatu sebelum kita benar-benar yakin bahwa hal itu benar, baik, bermanfaat dan tidak membahayakan. Jika terjadi pertentangan batin, berpihaklah selalu kepada kata hati walaupun mungkin terasa berat. Kita pasti bisa berbuat seperti itu jika kita mau.

5. Gunakanlah pertimbangan-pertimbangan qalbun salim dan akal sehat sebelum melakukan sesuatu pekerjaan. Dengan kata lain, kita harus menyadari bahwa tindakan emosional selalu berakibat tidak menyenangkan.

6. Pertajam indera keenam (bashirah) untuk melihat kebenaran Ilahiah yang hakiki.

7. Kembangkan kemampuan menahan diri/nafsu, tidak emosional dalam melakukan suatu tindakan. Hilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita miliki. Tidak mesti drastis, tapi bisa secara bertahap.

8. Jauhkan diri kita dari pengaruh dan dominasi syetan. Kita mengetahui bahwa sebagaimana yang diberitahukan Allah dalam firmanNya, syetan tidak pernah berhenti berusaha menyesatkan dan menyelewengkan kehidupan manusia. Mereka bahkan memproklamirkan diri sebagai musuh seluruh anak Adam. Maka dengan berbagai cara, mereka selalu menggoda, membujuk dan mengiming-imingi kita agar menyimpang, melakukan kesalahan, kezaliman, kemudharatan dan kerusakan. Oleh karenanya, kita mesti tekadkan dalam diri kita untuk senantiasa memerangi syetan, jangan sampai kita jatuh dalam bujuk rayunya.

9. Jangan berlebihan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempertinggi emosi dan merangsang syahwat bahimiyah dan biologis. 

10. Biasakan berpuasa sunnah, karena puasa itu bisa menangkal keberingasan dan keliaran nafsu.

Demikianlah langkah-langkah yang perlu kita jalankan untuk dapat membimbing nafsu kita agar dapat kita kendalikan sesuai tuntunan dari Allah. Jika nafsu dapat kita didik dengan baik, maka ia akan menjadi nafsu muthmainnah, jiwa yang tenang, yang mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. 


''Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari perolehan ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu', dari nafsu yang tidak pernah kenal puas, dan dari permohonan doa yang tidak dikabulkan'' (HR. Muslim) 

''Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kemungkaran-kemungkaran dan jahatnya akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu'' (HR. Tirmidzi) 

''Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjuk dan lindungi aku dari keburukan nafsu/jiwaku'' (HR. Tirmidzi) 





Dikutip dari tulisan Alm. Drs. H. M. Ihsan Hadisaputra, dalam buku Penyejuk Hati Penjernih Pikiran, semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunan kepadanya. 
Selengkapnya
Tiga jalan dalam kandungan Surat Al Fatihah

Tiga jalan dalam kandungan Surat Al Fatihah

Pertigaan jalan

Surat Al Fatihah merupakan surat pertama yang kita temui dalam mushaf Al Qur'an. Surat Al Fatihah yang menjadi pembuka dalam Al Qur'an juga merupakan surat yang paling sering kita baca, sehingga semua umat Islam pasti hafal dengan surat ini. Kita juga selalu membaca surat ini dalam setiap rakaat shalat kita, karena membaca Al Fatihah menjadi salah satu rukun shalat yang tidak boleh kita tinggalkan.

Jika kita fahami, dalam ayat terakhir dari surat Al Fatihah ini, Allah menjelaskan mengenai 3 jalan yang dilewati oleh 3 golongan manusia. Dalam ayat yang sebelumnya diawali dengan ayat doa (Tunjukilah kami jalan yang lurus) ini, Allah seakan memberi pilihan kepada kita mengenai jalan mana yang mesti kita pilih dengan benar agar tidak salah melangkah dalam hidup ini.

Tiga jalan yang menjadi kandungan dalam surat Al Fatihah ini disebutkan dalam ayat berikut ini: 

صِرٰطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّينَ

"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al-Fatihah ayat 7)

Jika dijabarkan, tiga jalan yang disebutkan dalam ayat tersebut ialah:

1. Jalan Orang-Orang yang telah Diberi Nikmat

Sebenarnya jalan pertama ini adalah penjelasan dari arti jalan yang menjadi permintaan dari ayat sebelumnya (jalan yang lurus). Jalan ini adalah ''jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka''. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir) menyebutkan bahwa kelompok ini telah dijelaskan oleh Allah dengan lebih mendalam dalam Surat an-Nisa ayat 69-70. Allah berfirman:

"Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh (shalihin). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.'' (QS. an-Nisa, 69-70).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan kelompok yang disebutkan dalam surat Al Fatihah tersebut dengan ayat ini, karena di ayat ini ada kalimat penghubung yang sama seperti halnya yang ada dalam surat Al Fatihah. Kalimat yang dimaksud adalah ''yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat''.

Mereka yang telah diberi nikmat adalah para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh. Mereka adalah para pendahulu kita yang juga pernah menjalani hidup di bumi ini. Imam Ibnu Katsir juga menambahkan bahwa kelompok ini adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Untuk bisa mengikuti jalan yang mereka tempuh, maka kita mesti melihat sejarah hidup mereka dan mengikuti keteladanan yang mereka contohkan.

2. Jalan Orang-Orang yang Dimurkai Allah

Banyak Ulama ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kelompok orang yang dimurkai Allah ini adalah kaum Yahudi. Mereka juga merupakan simbol dari kelompok orang yang diberi anugrah ilmu tetapi tidak mau mengamalkan, sehingga akhirnya mereka mendapat murka dari Allah SWT. 

Sejarah mencatat bahwa saat Nabi telah berada di Madinah, orang-orang Yahudi di sana juga mengetahui dan meyakini dari kitab suci mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang telah dijanjikan dan tersebut dalam kitab suci mereka sebagai Nabi akhir zaman yang mesti diimani dan diikuti. Namun meskipun begitu, karena kedengkiannya, mereka justru menentang dan memusuhi Nabi. Allah sebutkan dalam firmanNya:

"Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar. Sangatlah buruk (perbuatan) mereka menjual dirinya dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karuniaNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya. Karena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan. Dan kepada orang-orang kafir (ditimpakan) azab yang menghinakan." (QS. Al-Baqarah, 89-90)

Ka'ab bin Asad, seorang pemimpin Yahudi Bani Quraidzah saat berdialog dengan kaumnya kala dikepung oleh 3.000 pasukan muslimin berkata: "Demi Allah, sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa dia adalah Rasul yang diutus dan dialah yang sesungguhnya yang kalian jumpai dalam kitab kalian....". 

Begitulah kaum Yahudi, mereka mengetahui kenabian Muhammad SAW, tetapi mereka tetap kufur dan menentang beliau. Maka benarlah bahwa kaum Yahudi telah diberi anugrah ilmu kebenaran di depan mata mereka, tetapi mereka justru tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Inilah yang disebut oleh Surat al-Fatihah sebagai golongan kelompok yang dimurkai.

3. Jalan Orang-Orang yang Sesat

Jalan ketiga ini, menurut penafsiran sebagian Ulama tafsir adalah jalan yang dilalui oleh kaum Nasrani. Mereka dianggap sesat karena memang 'tidak mempunyai ilmu', atau tidak bisa menerima kebenaran. Jika diibaratkan mereka ini seperti orang yang hendak berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak punya petunjuk tentang tempat yang hendak dituju, maka pastilah dia akan tersesat di jalan. 

Kelompok ketiga ini tidak punya ilmu, meskipun mereka beramal. Mereka ini mengikuti para pemimpin agama mereka tanpa menggunakan ilmu. Akhirnya yang terjadi adalah mereka mudah untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sekehendak hati mereka. Allah berfirman:

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. at-Taubah, 31)

Mengenai kalimat ''Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah'', Rasulullah menjelaskan bahwa meski mereka tidak menyembah rahib-rahib itu, tetapi dengan para rahib itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka itulah maksud peribadatan kepada para rahib itu (HR. Tirmidzi dan Baihaqi). 

Hal ini juga berarti bahwa mereka menjadikan pemimpin agama mereka menjadi perwakilan tuhan atau dengan kata lain boleh membuat syariat sendiri. Jika seperti ini, maka sesatlah jalan  yang mereka ambil. Begitulah jalan orang-orang yang sesat.

Itulah ketiga jalan yang terkandung dalam surat Al Fatihah. Allah menyebutkan tiga jalan dari tiga golongan manusia ini dalam firmanNya agar menjadi pelajaran bagi setiap pembacanya. Kita sebagai umat di masa kini hendaknya bisa merenungi dan menentukan jalan mana dari ketiga jalan diatas yang akan kita pilih dalam menjalani perjalanan hidup ini. 

Maka seperti halnya permohonan dari ayat sebelumnya (Tunjukilah kami jalan yang lurus), mari kita berdoa semoga kita diberi petunjuk untuk bisa mengikuti jalan dari golongan pertama yang disebutkan dari ketiga jalan diatas, yaitu jalan dari golongan para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang shaleh (shalihin). 

Pilihan kita untuk mengikuti jalan mereka (golongan pertama) adalah juga perintah bagi kita agar merenungi sejarah hidup dan meneladani laku hidup mereka. Sehingga nantinya kita juga bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka rasakan. Wallaahu A'lam bisshawab.
 
Selengkapnya