Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan

Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan

Allah memang Maha Adil, namun apakah Allah selalu berlaku adil kepada hamba-hambaNya?. Ketahuilah bahwa Allah tidak mengatur hamba-hambaNya hanya dengan keadilan saja, namun Ia juga melimpahkan rahmat dan kemurahanNya kepada hamba-hambaNya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah SWT pernah berdialog dengan Nabi Musa: "Allah berfirman: "Siksaku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmatKu meliputi segala sesuatu" (QS. Al A'raf, 156).

memandang alam
via pixabay

Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, demikian pula rahmatNya juga meliputi segala sesuatu. Hukuman yang Allah berikan kepada hambaNya dikaitkan dengan kehendakNya, sedangkan rahmatNya bersifat umum dan dijadikannya meliputi segala sesuatu. Apa buktinya?. 

Seandainya Allah mengatur kita di dunia ini hanya dengan keadilanNya saja, maka pastilah semua yang ada di muka bumi ini akan hancur. Sebagaimana firmanNya:

"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun" (QS. Fathir, 45).

Kita melihat bencana dan musibah terjadi di mana-mana. Banjir dan tanah longsor setiap tahun sering terjadi. Tsunami dan gunung meletus siap mengancam kapan saja. Bahkan belum lama ini virus Corona datang dan mewabah hingga merambah ke seluruh penjuru dunia dengan jumlah korban tiada terkira. Semua ini terjadi tidak lepas dari apa yang sudah manusia lakukan di atas bumi ini. Dan semua bencana atau musibah ini juga memang kuasa Allah untuk menimpakannya kepada umat manusia tanpa terkecuali. 

Namun jika kita renungi kembali, bencana atau musibah yang telah Allah timpakan ini, semua ini belumlah sebanding jika Allah ingin mengadili manusia atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia ini. Allah memberi hukuman kepada manusia atas apa yang telah mereka perbuat, namun tidak semuanya. Dan Allah melakukan hal itu pun bukan sebagai balas dendam, melainkan agar mereka sadar dan lekas kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman:

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS. Asy-Syura, 30).

FirmanNya yang lain juga menyebutkan:

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum, 41).

Dari sini dapat dipahami bahwa jika tidak karena pengampunanNya terhadap sebagian besar kezaliman kita kepada diri kita, maka pastilah kita sudah hancur sebab keadilanNya. Namun nyatanya Ia lebih mengedepankan rahmat dan kemurahanNya ketimbang memberlakukan keadilanNya atas kita semua. Begitu pula yang terjadi terkait balasan amal yang akan kita terima kelak saat berada di alam akhirat. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)". (QS. Al-An'am, 160).

Dari ayat di atas, kita mengerti bahwa Dia menanggapi kejahatan dengan keadilan dan kebaikan dengan kemurahanNya. Bahkan kita mendapatkan bahwa sebagian kebaikan dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, seperti menafkahkan harta di jalan Allah. Firman Allah: 

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah, 261).

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa Allah berfirman: "Kebaikan di sisiKu seharga sepuluh kali kelipatannya sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, sedangkan kejahatan di sisiKu seharga satu saja atau Aku akan mengampuni"

Itulah kenapa Allah juga mengajak kepada hambaNya agar kita tidak mencukupkan hanya dengan hukum keadilan saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Walaupun kita punya hak untuk mendapatkan itu (hukum keadilan), namun pada kondisi-kondisi tertentu kita juga dianjurkan untuk mengambil jalan melalui hukum kerahmatan agar kita dapat naik ke derajat keutamaan, sebagaimana firmanNya: 

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". (QS. Asy-Syura, 40). 

Atau firmanNya yang lain:

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar". (QS. An-Nahl, 126).

Menghukum suatu kejahatan dengan semisal itu memang sesuai dengan hukum keadilan. Namun jika kita bisa memaafkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, terlebih orang tersebut juga telah meminta maaf dengan setulusnya kepada kita, maka hal itu selaras dengan hukum keutamaan sebagaimana dianjurkan bagi orang-orang beriman untuk melakukannya. 

"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia". (QS. Fussilat, 34). 

Selengkapnya
Memahami Esensi Idul Adha dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail

Memahami Esensi Idul Adha dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail

Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin. 

Kurban sapi
ilustrasi via pixabay

Dalam surah Ash Shaffat ayat 100-111, Allah SWT menggambarkan kejujuran Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal: 

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya. 

Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman: 

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" 

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab: 

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." 

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah. 

Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” 

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak melainkan kedua belah pihak baik dari Nabi Ibrahim maupun Ismail. 

Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 setelah itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman." 

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul Istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. 

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari. 

Yang perlu dikritisi dalam hal ini adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaaffah?. Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam?.

Oleh karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, maka yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.

Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian. Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya mereka berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallaahu A'lam bishshawaab.


Selengkapnya
Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Peliknya Permasalahan Hidup Masyarakat Modern dan Solusinya

Masyarakat modern seringkali diidentikkan dengan masyarakat yang berkemajuan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, rasional, mandiri, dan bebas. Asumsi kita selama ini hanya orang yang pendidikannya rendah dan tidak menguasai teknologi canggih serta berasal dari masyarakat lapis bawah saja yang selalu mempunyai masalah. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan kumuh, dan mentalitas rendah. 

Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, karena masyarakat modern yang rasionalis, sekularis, materialis, dan menguasai teknologi canggih pun tidak semuanya mampu menghadirkan kenyamanan, kebahagiaan, kehangatan, dan ketenteraman dalam hidupnya. Bahkan ada kecenderungan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang, maka tuntutan hidup juga akan semakin meningkat. Maka apabila seseorang tidak mampu mengendalikan kehidupannya, akan menimbulkan permasalahan baru bagi hidupnya, yakni kegelisahan spiritual dan kekeringan rohani serta tekanan kejiwaan. 

Penyebabnya tidak lain karena kehidupan masyarakat modern lebih banyak dipenuhi oleh rutinitas fisik, pemikiran, dan persaingan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk menyuburkan kehidupan batiniah, kehidupan sosial (silaturahmi) dan kebutuhan rohaninya. Berkaitan dengan hal ini, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “Kebaikan yang paling cepat pahalanya ialah berbakti dan mengokohkan silaturahmi (mengokohkan hubungan kekerabatan). Dan kejahatan yang paling cepat siksanya ialah kezaliman dan memutuskan hubungan kerabat.” (H.R. Ibnu Maiah).

Kezaliman dalam bentuk modern bisa berupa realisasi paham kapitalisme, illegal logging, korupsi, manipulasi, monopoli, dan sebagainya. Adapun bentuk pemutusan silaturahmi modern bisa berupa individualisme, egoisme, ataupun sikap mementingkan golongan atau kelompoknya. Masyarakat modern yang cenderung rasional, sekuler, dan materialistik telah menyebabkan hilangnya visi keilahian dan nilai-nilai kerohanian mereka, sehingga dengan mudah menimbulkan gejala-gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. 

Banyak masalah
ilustrasi via pixabay

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat rasionalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern tidak mampu memenuhi kebutuhan vital manusia, yakni kehangatan dan ketenangan rohaniah, yang semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu Ilahi. Akibatnya, sekarang ini banyak dijumpai masyarakat yang mengalami stres karena adanya tekanan dan kelelahan psikologis. Mereka tidak lagi mempunyai pegangan dan sandaran hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Naisbit dan Aburdene dalam bukunya yang sangat terkenal Megatrends 2000. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern sekarang ini, tidak memberikan makna tentang kehidupan. 

Semula banyak orang terpesona melihat gemerlapnya modernisasi. Mereka beranggapan bahwa modernisasi akan membawa kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Ternyata ada sisi yang tidak terdeteksi yakni ada gejala the agony of modernization, yaitu azab dan sengsara karena modernisasi. Gejalanya adalah meningkatnya angka kriminalitas yang diikuti dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, gangguan jiwa, dan gejala psikopat. 

Abu al-Wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern sebagai berikut:

  • Perasaan takut akan kehilangan apa yang sudah dimiliki. 
  • Perasaan khawatir terhadap masa depan yang tidak disukainya. 
  • Perasaan kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan memenuhi kepuasan spiritual. 
  • Banyak melakukan pelanggaran dan dosa. 

Lantas Apa Solusinya? 

Kehidupan pada masa modern adalah kehidupan yang penuh tantangan dan godaan. Kehidupan yang serba permisif, serba boleh, serta tawaran hidup yang hedonis, konsumtif, dan serba instan, menyebabkan manusia mudah tergiur mengikuti tawaran-tawaran hidup yang serba mewah. Bagi yang tidak mampu mengendalikan diri dari jeratan keinginan menurutkan hawa nafsu duniawinya, maka ia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kesucian hidupnya.

Untungnya, ada sebagian masyarakat yang menyadari bahwa apabila manusia hanya mengejar kepuasan duniawi maka ada sesuatu yang lepas dari kehidupan kita, yakni ketenangan, kedamaian, jiwa welas asih, sifat kemanusiaan terhadap sesama sehingga menyebabkan jiwanya kering dan mudah retak atau stres karena tidak ada tempat untuk menyandarkan permasalahan hidup yang dihadapinya. Mereka mulai menyadari kebenaran dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28: 

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

Ayat di atas menegaskan bahwa ketenangan dan kebahagiaan hakiki berada di dalam hati manusia, bukan pada jumlah kekayaan yang dimiliki atau tingginya jabatan yang disandangnya. Adapun mengenai pentingnya hati, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

"Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah anggota tubuh seluruhnya, dan apabila ia buruk, maka buruk pulalah anggota tubuh itu seluruhnya. Ingat, itulah hati." (H.R. Bukhari-Muslim) 

Berzikir memang merupakan upaya untuk merasakan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah cara yang sudah semestinya dilakukan oleh manusia modern untuk membina hati mereka, membina rohani mereka agar mempunyai tempat bersandar dari kelelahan perjalanan hidup mereka. 

Memang, ketika suatu masyarakat sudah terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena adanya pengaruh dari proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah manusia modern sebenarnya mulai membutuhkan pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Hal ini penting agar mereka terbebas dari penyakit hati baik yang berupa kegelisahan, stres maupun kejahatan-kejahatan yang dimungkinkan muncul sebagai dampak dari kehidupan modern yang penuh dengan kompetisi. 

Itulah gambaran dari kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Ada kelebihan yang bisa dinikmati dari modernisasi tetapi juga ada celah kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat moralitas. Mulai dari rasa hampa dan keringnya jiwa hingga tingkah laku yang melampaui batas kemanusiaan dan kesusilaan. 

Masyarakat modern sangat membutuhkan sentuhan spiritual untuk menyejukkan dan menyirami hatinya yang telah kering dan beku, serta melabuhkan perasaan gundah dan gelisah. Ajaran agama menawarkan sebuah kegiatan yang dapat menghangatkan jiwa, menenteramkan hati dan menyejukkan rasa serta menghindarkan diri dari hawa nafsu dunia yang menyesatkan, sehingga akan melahirkan suatu kehidupan baru yang dihiasi dengan akhlakul karimah. 

Dengan kembali memperdalam agama dari para Ulama dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat modern dapat mewujudkan keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, antara duniawi dan ukhrawi, sekaligus menekan tuntutan hidup duniawi yang berlebihan yang sering menyebabkan manusia lupa akan harkat dan martabatnya. Wallaahu A'lam

Selengkapnya
Pentingnya Pendidikan Karakter Sejak Dini dari Orang Tua

Pentingnya Pendidikan Karakter Sejak Dini dari Orang Tua

Seperti yang kita lihat sekarang, dimanapun, pendidikan karakter kini tengah digalakkan. Terutama di sekolah-sekolah sebagai kawah candradimuka bagi individu sebelum terjun langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya mengintegrasikan pendidikan yang ditegaskan pada character building. Hal itu juga didukung dengan buku-buku yang sebagian besar juga menyajikan nilai pendidikan karakter. Lantas bagaimana hasilnya?.

Hasil dari pendidikan karakter memang menjadi tolok ukur kualitas seorang individu. Namun seperti apa pendidikan karakter yang berhasil?. Keberhasilan pendidikan karakter antara lain yaitu bisa menghasilkan individu yang berdaya saing, jujur, bersopan santun dan memiliki kepribadian yang kuat. Pendidikan karakter juga menjadi tanda bahwa sebuah pendidikan formal itu berhasil, tidak hanya dari segi intelektual siswanya saja. 

Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang, mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.

Sulit memang untuk menanamkan pendidikan karakter bila tidak sejak dini. Apalagi jika hanya diterapkan pada pendidikan tingkat atas. Mengapa?, karena pendidikan karakter itu pahit jika hanya diajarkan mentah-mentah. Terlebih pada siswa-siswa tingkat atas yang notabenenya pergaulan mereka sudah sangat kompleks. Sementara para siswa tingkat atas biasanya mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak suka diatur. 

Pendidikan karakter
ilustrasi via shutterstock

Sebenarnya bila ditelaah lebih jauh, pendidikan karakter merupakan tanggung jawab antara orang tua siswa dan guru di sekolah. Namun yang lebih berpengaruh adalah orang tua, karena pendidikan karakter seharusnya sudah menjadi bekal dari rumah. Ketika siswa berangkat dari rumah misalnya, sebelum berangkat sekolah siswa berpamitan pada kedua orang tua dengan cara mencium tangan dan melakukan hal yang sama apabila bertemu dengan guru di sekolah.

Sayangnya, orang tua siswa kadang kurang memahami akan hal itu. Jangankan tahu apa itu pendidikan karakter, dengan melihat anaknya mau berangkat sekolah saja sudah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Namun ada satu hal yang tertinggal dalam diri anaknya, yaitu kebutuhan moril. Selanjutnya mereka (orang tua) juga kadang beranggapan bahwa tanggung jawab anaknya sepenuhnya berada di tangan sang pendidik.

Padahal biar bagaimanapun, orang tua mempunyai andil besar bagi pendidikan karakter anaknya, misalnya kesopanan, tanggung jawab, kejujuran, etika pergaulan, dan pendidikan moral. Dan dalam hal ini guru hanya sebagai fasilitator saja, dengan kata lain bisa dikatakan hanya sebagai penyempurnanya. 

Faktanya, fenomena yang ada saat ini orang tua sepertinya meletakkan tanggung jawab pendidikan anaknya sepenuhnya pada guru. Pendidikan moral, mata pelajaran umum dan sebagainya sepenuhnya jatuh di tangan pendidik. Lantas bila begitu, apa tugas orang tua?. Memang, orang tua menitipkan anaknya pada guru agar mendapatkan pendidikan yang baik, supaya anaknya bisa menjadi individu yang lebih baik.

Tapi meskipun demikian, orang tua tidak lantas lepas tangan akan pendidikan anaknya. Dan ketika terjadi sesuatu yang “kurang sedap" pada anaknya, orang tua tidak seharusnya menyalahkan sepenuhnya pada guru. Karena biar bagaimanapun, guru hanya sebagai fasilitator bagi pendidikan anaknya. Atau juga biasa disebut sebagai orang tua kedua. Akan lebih baik ketika orang tua mengajarkan kepada anak untuk berlaku jujur dan mencoba untuk mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan alangkah baiknya, jika setiap individu sudah memiliki kesadaran untuk menunjukkan seperti apa karakternya.


Selengkapnya
Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Tentang Aturan Shaf dalam Shalat Berjamaah

Ketika iqamat dikumandangkan, hendaknya kita bersiap dengan para jamaah lain untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kita satukan pikiran yang sebelumnya bercabang untuk fokus menghadap serta bersimpuh ke hadirat Sang Ilahi. Kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan. Tua muda, pejabat rakyat jelata, kaya miskin semua bersatu dalam barisan jamaah shalat.

Shalat berjamaah
ilustrasi shalat berjamaah

Ada beberapa faktor yang harus dipersiapkan baik fisik maupun mental agar kita bisa khusyu' dan mendapat ketenangan dalam menjalankan shalat. Di antaranya yaitu menghentikan segala aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, lepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, pastikan kita siap dan fokus untuk menjalankan ibadah shalat bukan untuk lain, termasuk yang menyangkut hidangan, atau menahan kencing dan buang air besar. Aisyah RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat.” (H.R. Muslim dan Abu Daud). 

Perihal melepaskan pikiran-pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti dinyatakan dalam firman-Nya: 

"Hai Orang-Orang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," (QS, An-Nisa: 43) 

Betapa banyak kita lihat orang seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, memikirkan biaya sekolah anak, atau karena pusing membayar cicilan, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka juga tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam salatnya. Maka ketika hendak shalat, lepaskanlah pikiran dari kesibukan duniawi dan fokus pasrahkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.

Adapun terkait menghadap kiblat, dijelaskan dalam firmanNya: 

Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya,” (QS, Al Baqarah: 14) 

Maknanya yaitu setiap mushalli (orang yang shalat) mengetahui bahwa seluruh umat Islam di penjuru dunia ini menghadapkan wajahnya ke kiblat ketika shalat. Perintah menghadap kiblat ini juga terkandung maksud bahwa semua umat Islam memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan menjadi identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Itulah Baitullah al Haram, sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan kesungguhan dalam memperjuangkan agama islam. 

Terkait urusan shaf, setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar dapat menempati shaf pertama di belakang imam. Ada sebuah hadits perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, Rasulullah SAW bersabda:

“Andaikan manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya..“ (H.R. Bukhari). 

Dari Abu Hurairah RA, dikatakannya bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang paling pertama dan terjelek yang paling belakang. Adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan.” (H.R. Muslim)

Bahkan dalam shalat jum'at, dikatakan bahwasanya seseorang yang berada di barisan shaf pertama maka ia akan mendapatkan keutamaan seperti ia berkurban seekor unta, orang yang berada di barisan shaf kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi, di barisan shaf ketiga seolah berkurban dengan seekor kambing, di barisan shaf keempat seolah berkurban dengan seekor ayam, dan yang mendapatkan barisan shaf kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur.

Dalam barisan shaf shalat, yang harus diperhatikan adalah terciptanya suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar shaf betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Dari Anas RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kesempurnaan shalat" (Muttafaq 'alaih). 

Dalam hadits lain dari Anas RA Rasulullah SAW juga bersabda: 

"Rapatkan shaf-shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya saya melihat syetan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (H.R. Abu Daud)

Di dalam meluruskan shaf jamaah shalat terkandung maksud akan pentingnya memperkokohkan pendirian bahwa Islam menyeru pada tertibnya organisasi (nidzam atau jamaah) dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nidzam secara keseluruhan di bawah kendali seorang imam (pemimpin) yang berjalan sesuai dengan aturan Islami.

Kerapian dan kerapatan shaf juga dapat melahirkan sikap kekerabatan dan persaudaraan (ukhuwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan setan, jin, ataupun manusia yang mencoba memecah belah diantara sesama umat Islam. Juga tidak sedikitpun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat islam. Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.." (QS, Ash-Shaff: 4).

Selain itu, tertibnya shaf juga seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya, dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu' (kepatuhan) serta menghilangkan sifat egois dengan merasa lebih tinggi atau lebih besar. Sebab keutamaan seseorang hanyalah tergantung pada ketakwaannya, Allah SWT berfirman: 

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa kepada-Nya" (QS, Al-Hujurat: 3)

Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud dalam salat jamaah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf di depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi. Disinilah terdapat pendidikan kepribadian dan khususnya bagi pembentukan sikap “tawadhu” karena Allah. 

Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah untuk menundukan kepala sebagai bentuk ketawadhu'annya, agar ia menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini, ibarat usia nya mungkin tidak berkesampaian menghantarkan ke shalat berikutnya. Dengan demikian ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurna-sempurnanya, sehingga kalaupun dia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan kejadian yang menenteramkan hatinya. Wallahu A'lam bisshawaab

Selengkapnya
Mencintai Seseorang Karena Allah

Mencintai Seseorang Karena Allah

Cinta itu adalah ketika timbul perasaan aneh di sekujur tubuhmu baik ketika kau melihatnya, mendengarnya, ataupun ketika kau merasakan kehadirannya di dekatmu. Adakalanya kau selalu ingin dekat dengannya. Namun yakinlah, bahwa jarak yang jauh terkadang justru mampu mendekatkan hati kalian. Begitu juga sebaliknya, kedekatan tanpa ikatan pernikahan seringkali justru merenggangkan hati kalian.

Mencintai Seseorang Karena Allah
ilustrasi via pixabay

Cinta itu tumbuh secara tak terduga. Terkadang kau berpikir bahwa kau lebih baik mencintai orang tersebut. Namun ketika hatimu menolaknya, kau tak akan mampu berbuat apa-apa. Biarlah perlahan-lahan hatimu bersama dengan masa yang akan menghapusnya dari pikiranmu. Namun ketika hatimu membenarkan, kau justru akan dibuat kebingungan karenanya. Kau justru akan berpikir ulang sebelum kau benar-benar yakin bahwa dialah cintamu yang sebenarnya.

Cinta karena Allah adalah ketika kau mengerti, tak hanya kelebihan dari orang itu yang kau lihat, namun juga memahami dan menerima kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Sungguh pun kau baru boleh mengatakan bahwa "aku mencintainya" setelah kau benar-benar mengenalinya dengan sebenar-benarnya, yaitu baik dan buruknya.

Cinta karena Allah itu tidak akan pernah sebatas pada penampilan dan kecantikan. Adakalanya kau akan lebih mencintai sebongkah arang hitam daripada sebutir berlian yang berkilauan. Karena sesungguhnya kau sadar bahwa kau membutuhkan sebuah kehangatan yang mampu mengusir rasa dingin dari jiwamu. Lebih daripada sekedar keindahan yang ternyata membuatmu membeku dan kedinginan.

Cinta karena Allah itu tidak akan tumbuh dari kecantikan seseorang. Namun kecantikan seseorang justru akan tampak ketika kau mencintainya. Adalah bagaimana kau bisa mencintainya karena akhlak dan agamanya, bukan pada rupa, harta, ataupun nasabnya. Karena dengan inilah kau bisa menepis kefakiran, kehinaan, ketidak-bahagiaaan, dan kemudian menggantinya dengan kemuliaan yang diridhai oleh Allah SWT.


Cinta karena Allah akan membuatmu merasa tidak perlu memiliki meskipun dalam hatimu kau sangat ingin untuk memilikinya. Adalah bagaimana kau bisa ikhlas ketika dia ternyata lebih mencintai orang lain dan bahkan kau pun bisa berdoa agar mereka bisa berbahagia.

Cinta karena Allah tidak akan menggiringmu pada jurang kemaksiatan. Ketika kau melihat dia dan mencintainya, maka hal itu akan membuatmu semakin berbenah diri, dan kau pun menjadi mampu melihat kekurangan-kekurangan dirimu untuk kemudian berusaha untuk memperbaikinya.

Cinta karena Allah tidak akan membuatmu berpikir sempit, justru kau akan berpikir lebih jauh ke depan, lebih matang, lebih dewasa, dan ke arah yang lebih serius. Kau tidak akan berpikir dan membayangkan apabila kalian sudah pacaran, namun kau sudah berpikir ke arah pernikahan. Karena kau sadar bahwa ia jauh lebih kokoh, suci, berarti dan bermakna di hadapan Allah daripada sekedar pacaran.

Cinta karena Allah terkadang tidak tumbuh dengan sendirinya. Kita seperti layaknya diberi biji untuk ditanam. Lalu ia tergantung pada bagaimana kita merawatnya. Jika kita baik, maka baik pulalah perasaan itu, begitu juga sebaliknya. Terkadang pula bisa jadi ia tumbuh dengan sendirinya. Ada saat dimana kau terkadang ingin membunuh saja perasaan tersebut namun entah mengapa kau tak berdaya. Karena sebenarnya bukanlah kita yang menumbuhkan perasaan cinta tersebut. Namun Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang lah yang berkehendak atas segala perasaan itu.

Cinta karena Allah bukanlah tentang bagaimana kalian saling memandang, namun bagaimana tentang kalian melihat ke arah yang sama, dan berjalan ke arah yang sama. Kalian sadar bahwa kalian tidak akan mampu menghadapi perjalanan tersebut sendirian, melainkan kau butuh seseorang untuk berjalan di sisimu, untuk saling membantu, saling meringankan, dan saling mengarahkan dalam perjalanan menggapai Ridha-Nya.

Cinta karena Allah tidaklah selalu membutuhkan beragam kesamaan diantara kalian. Namun yang terpenting adalah kesamaan prinsip dan tujuan dalam menjalani hidup ini. Dan dalam dirimu kau pun ingin agar kau merasa layak untuk mencintai dan dicintai olehnya.

Selengkapnya
Kemuliaan Nama-Nama Lain Rasulullah Muhammad SAW

Kemuliaan Nama-Nama Lain Rasulullah Muhammad SAW

Kaum Muslimin meyakini bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah sosok manusia yang sempurna. Beliau bukan hanya seorang rasul, seorang nabi, makhluk pilihan dan penerima wahyu. Lebih dari itu, beliau juga seorang yang sempurna, dengan sekian keutamaan yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Rasulullah SAW adalah suri tauladan yang baik dalam berbagai hal. Termasuk dalam perbuatan atau akhlak. Sebagai umatnya, sudah seharusnya bagi kita untuk selalu berusaha meneladani akhlak beliau.

kaligrafi Muhammad SAW
via imuzaki.com

Telah dimaklumi bahwa nama Muhammad bagi Rasulullah SAW bukanlah sekedar nama yang tidak memiliki makna. Menurut para Ulama, nama-nama para nabi, bukan hanya sekedar nama yang tidak bermakna, bahkan arti nama-nama itu pada hakekatnya merupakan sifat terpuji yang melekat kepada mereka. Begitu pula dengan nama yang tersemat sebagai nama Rasulullah SAW. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya 'Jalaul Afham fi Fadhlis Shalah was Salam 'ala Khairil Anam' menjelaskan:

“Pasal (Bagian) ketiga tentang makna nama Nabi SAW

Dalam hadits Jubair bin Muth’im RA, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Akulah Muhammad, akulah Ahmad, dan akulah al-Mahi yakni Allah menghapus kekufuran denganku.” Rasulullah SAW menyebutkan nama-nama ini sebagai penjelasan keutamaan yang menjadi keistimewaannya dan menunjuk pada makna-makna nama-nama ini. Andaikan nama-nama tersebut hanya sekedar nama yang tidak bermakna, tentu nama-nama itu tidak menunjukkan pujian pada beliau. Oleh karena ini, Hassan bin Tsabit RA pernah berkata:

Allah telah mengambilkan nama Muhammad dari nama-Nya untuk mengagungkannya. Tuhan penguasa ‘Arsy bernama Mahmud (Dzat Yang terpuji) dan nabi ini bernama Muhammad (nabi yang selalu terpuji). Andaikan nama-nama nabi hanyalah sekedar nama yang tidak bermakna, tentu tidak akan menjadi pujian bagi beliau.” (Ibn al-Qayyim, Jala’ al Afham fi al-Shalah 'ala Khairil Anam, hal. 96).

Selain nama Muhammad, Rasulullah SAW juga memiliki nama-nama lain yang merupakan pujian bagi pribadi beliau. Nama-nama tersebut biasa kita temukan dalam syair-syair shalawat yang menyertakan nama-nama lain beliau tersebut. Terkait hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang lain 'Zad al Ma’ad' memberikan uraian sangat bagus tentang nama-nama Nabi SAW. Syaikh Ibnu Qayyim menyebutkan:

“Pasal (Bagian) penjelasan nama-nama Nabi SAW

Semua nama-nama beliau adalah sifat-sifat terpuji bagi beliau, bukan sekedar nama yang tiada arti. Bahkan nama-nama beliau terambil dari sifat-sifat terpuji dan kesempurnaan yang melekat pada beliau. Di antara nama-nama beliau adalah Muhammad - dan nama ini yang paling populer -, (selanjutnya) Ahmad, al-Mutawakkil (yang berserah diri kepada Allah), al-Maahi (penghapus kekufuran), al-Haasyir (penghimpun umat manusia), al-Aaqib, al-Muqaffa, nabi pembawa taubat, nabi pembawa rahmat, nabi pembawa panji peperangan, al-Faatih (pembuka segala yang tertutup), al-Amiin (yang dipercaya), al-Syaahid (yang menjadi saksi), al-Mubasysyir, al-Basyiir (pembawa berita gembira), al-Nadziir (pembawa peringatan), al-Qaasim (yang membagi-bagikan), al-Dhahuuk (selalu tersenyum), al-Qattaal, Abdullah, al-Siraajulmuniir (lampu yang menerangi), pemimpin anak cucu Adam, pemegang panji yang terpuji, pemilik derajat terpuji dan nama-nama yang lain.

Karena apabila nama-nama beliau adalah sifat-sifat yang terpuji, maka dari setiap sifat terpuji, beliau pasti memiliki nama. Dan apabila setiap sifat terpuji beliau dijadikan nama, maka nama beliau akan melampaui dua ratus nama seperti al-Shaadiq (yang jujur), al-Mashduuq (yang dipercaya), al-Ra’uuf al-Rahiim dan lain-lainnya. Dalam konteks ini sebagian ulama yaitu al-Hafizh Abu al-Khaththab bin Dihyah mengatakan, bahwa Allah memiliki seribu Nama, dan Nabi SAW juga memiliki seribu nama. Dan maksud nama-nama tersebut adalah sifat-sifat terpuji beliau.” (Ibn alQayyim, Zad al-Ma’ad (1/84).

Sedangkan berkaitan dengan nama Thaha dan Yasin, dalam hal ini kita mengikuti hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih dan Abu Nu’aim dalam Dalail al-Nubuwwah, bahwa Thaha dan Yasin adalah juga nama beliau. Disamping itu banyak pula Ulama salaf yang berpendapat bahwa Thaha dan Yasin adalah memang nama beliau.

Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin al-Hanafiyyah, al-Hasan al-Bashri, Ikrimah, Mujahid, al-Zajjaj, Qatadah, al-Dhahhak dan lain-lain. Pendapat ini kemudian diikuti oleh kalangan ahli hadits seperti al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dalam al-Syifa, al-Hafizh Ibn Sayyidinnas, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’, Ibn al Qayyim dalam Zaad al Ma’ad dan lain-lain.

Selengkapnya
Bidadari-Bidadari Surga dan Keutamaan Wanita Shalihah

Bidadari-Bidadari Surga dan Keutamaan Wanita Shalihah

Di dalam Al Qur'an, istilah Huurun 'Iin biasa diterjemahkan sebagai bidadari yang bermata jeli. Bidadari adalah pasangan bagi muslim beriman para penghuni surga kelak. Para bidadari digambarkan selalu perawan, dengan umur sebaya yang diciptakan langsung tanpa proses kelahiran, dan digambarkan bahwa payudara mereka padat dan fisik mereka seperti gadis remaja.

Bidadari-bidadari surga memiliki kulit putih, bening, bersih dan lembut yang sempurna, diibaratkan seperti telur yang tersimpan dengan baik, dan diibaratkan pula para bidadari itu seperti permata yakut dan mutiara. Dijelaskan pula bahwa para bidadari itu sangat sopan, selalu menundukkan pandangannya, dan mereka tidak pernah disentuh oleh bangsa manusia atau jin.

ilustrasi bidadari
sekedar ilustrasi

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya 'Raudhatul Muhibbin' (Taman Para Pecinta) menyebutkan bahwa para bidadari adalah pelayan-pelayan surga yang dikatakan di dalam Al Qur'an bahwa kecantikan dan budi pekerti mereka tidak terbanding dengan segala kecantikan di dunia ini kecuali wanita-wanita shalihah yang senantiasa mentaati perintah Allah dan RasulNya. 

Bidadari surga adalah makhluk yang sangat dirindukan oleh orang-orang yang beriman. Allah SWT menganugerahkan sifat-sifat terindah kepada para bidadari surga dan memberi mereka perhiasan-perhiasan terbaik. 

Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ummu Salamah RA, salah seorang istri Rasulullah SAW. la berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai firman Allah: 

وَحُورٌ عِينٌ

"Dan (di dalam surga itu) ada bidadari yang bermata jeli." (QS. Al-Waaqi'ah: 22)

Beliau lalu bersabda, 'huur berarti bidadari yang kulitnya putih. Sedangkan yang disebut mata jeli atau indah (‘iin) berarti matanya lebar (besar). Dan rambutnya berkilau indah seperti sayap burung nasar.' 

Aku (Ummu Salamah RA) kemudian bertanya lagi tentang makna ayat:

كَأَمْثٰلِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ

"Laksana mutiara yang tersimpan baik." (QS. Al-Waaqi'ah: 23) 

Beliau pun bersabda, 'Maksudnya, bersihnya mereka seperti bersihnya mutiara yang berada dalam cangkangnya, yang belum pernah tersentuh tangan manusia.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, beritahu pula aku tentang makna firman Allah:

فِيهِنَّ خَيْرٰتٌ حِسَانٌ

"Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik dan jelita." (QS. Ar-Rahman: 70)

Beliau bersabda, 'Akhlaknya baik (khairat) dan wajahnya cantik.' 

Aku pun bertanya lagi, 'Terangkan pula tentang firman Allah:

كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَّكْنُونٌ

"seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik." (QS. As-Saffat: 49)

Beliau bersabda, 'Kelembutan kulit mereka seperti lembutnya kulit telur bagian dalam yang kamu lihat, yang tertutup oleh cangkang telur.' 

Aku bertanya lagi, 'Terangkan pula tentang firman Allah:

عُرُبًا أَتْرَابًا

"yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya," (QS. Al-Waqi'ah: 37)

Beliau bersabda, 'Mereka adalah para wanita yang telah wafat di dunia dalam keadaan tua renta, matanya sudah rabun dan beruban rambutnya. Setelah itu Allah SWT kembali menciptakan mereka, dan menjadikan mereka perawan lagi. 'Uruban artinya penuh cinta dan kasih sayang. Sedangkan atraban bermakna mereka lahir dalam satu waktu (usia mereka semua sama).' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, mana yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari? 

Beliau menjawab, 'Wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari, seperti kelebihan apa yang tampak dari apa yang tidak tampak.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, mengapa demikian?' 

Beliau bersabda, 'karena shalat mereka, puasa mereka, dan ibadah mereka karena Allah SWT. 
 
Allah memberi cahaya di wajah mereka. Mereka mengenakan sutra di tubuhnya. Warna kulit mereka putih, pakaian mereka hijau, perhiasan mereka kuning, sanggul mereka dari mutiara, dan sisir mereka adalah emas. Mereka mengatakan: 

'kami adalah perempuan-perempuan abadi yang takkan mati. Kami adalah perempuan-perempuan bahagia yang takkan pernah miskin. Kami adalah perempuan-perempuan penduduk tetap yang takkan pindah selamanya. Ketahuilah, kami adalah perempuan-perempuan yang ridha dan takkan marah selamanya. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami menjadi miliknya.' 

Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang menikah dua kali, tiga kali, dan empat kali, kemudian ia wafat dan masuk surga. Sedangkan para suami itu juga masuk surga bersamanya. Lalu, pria mana yang akan menjadi suaminya di surga kelak?' 

Beliau menjawab, 'Hai Ummu Salamah, nanti dia akan memilih, mana yang paling baik akhlaknya. Wanita itu nanti akan berkata, "Ya Tuhan, laki-laki itu paling baik akhlaknya kepadaku di antara lainnya saat hidup bersama di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya". Maka wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat.' (HR. Ath-Thabrani) 

Selengkapnya
Makna Proklamasi Kemerdekaan dan Upaya Mengisi Kemerdekaan Pada Masa Kini

Makna Proklamasi Kemerdekaan dan Upaya Mengisi Kemerdekaan Pada Masa Kini

Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan panjang dan tidak kenal lelah yang telah berhasil diraih oleh para pejuang pendahulu kita. Dengan semangat perjuangan yang membara, mereka dengan tulus ikhlas mengorbankan jiwa raga serta harta untuk memperoleh kemerdekaan yang direbut oleh bangsa asing. 

Banyak di antara para pejuang yang gugur di medan laga dalam perang untuk mewujudkan kemerdekaan, sehingga mereka tidak bisa menikmati alam kemerdekaan hasil perjuangan mereka. Meski begitu, mereka bangga dan bersyukur karena kita sebagai generasi penerus bisa menikmati kemerdekaan dan bebas dari belenggu penjajahan.

bendera merah putih
via merdeka.com

Pada dasarnya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karenanya kemerdekaan juga harus diperjuangkan dan dimiliki oleh setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Semangat heroik dan patriotik yang ditunjukkan oleh para pejuang kita pada dasarnya juga didasarkan pada kesadaran tersebut, dimana hal itu juga sejalan dengan nilai-nilai luhur tentang persamaan derajat, harkat, dan martabat, serta hak dan kewajiban sesama umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Semangat heroik dan patriotik para pejuang kita untuk memperoleh kemerdekaan juga tumbuh dan berkembang dengan adanya perasaan nasib dan sepenanggungan, yaitu sama-sama mengalami penderitaan akibat dari adanya penjajahan oleh bangsa asing. Oleh karenanya, masing-masing elemen bangsa kemudian bersatu demi berjuang bersama untuk meraih kemerdekaan. 

Proklamasi kemerdekaan adalah puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan sejak berabad-abad lamanya. Pada akhirnya, harapan untuk merdeka itu terwujud dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Istilah proklamasi berasal dari bahasa Yunani "proclamatio" yang berarti pengumuman kepada seluruh rakyat, sehingga proklamasi kemerdekaan bisa diartikan sebagai pengumuman kepada seluruh rakyat tentang adanya kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia, proklamasi juga berarti memberikan inspirasi, bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan serta bersama-sama memperjuangkan tercapainya cita-cita nasional bangsa Indonesia.

Selain itu, proklamasi kemerdekaan juga menjadi sarana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kemerdekaan maka bangsa Indonesia memiliki kedaulatan untuk membangun kepribadian bangsa dan negara yang bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila.

Sebagai warga negara Indonesia yang terlahir di tanah air Indonesia, kita harus menyadari besar jasa para pahlawan pendiri negara ini. Sudah selayaknya kita mensyukuri kemerdekaan ini dan berterima kasih atas perjuangan para pahlawan pendiri bangsa.

Selain meneladani nilai-nilai perjuangan mereka, kita juga wajib menghargai jasa-jasa mereka dengan cara terus berjuang untuk mempertahankan keutuhan dan kelestarian bangsa dan negara Indonesia. Penghargaan terhadap para pejuang bangsa dapat kita tunjukkan dengan berbagai upaya untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan berbagai aktivitas yang mengarah kepada tercapainya tujuan nasional dalam tata aturan bernegara yang sesuai dengan hukum dasar negara, seperti:

1. Selalu setia mempertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa seluruh wilayah negara.

2. Rela berkorban untuk membela tanah air dari serangan musuh.

3. Giat belajar, bekerja keras, dan berkarya nyata untuk membangun bangsa dan negara.

4. Memupuk rasa toleransi terhadap perbedaan dengan berpegang pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

5. Menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan antar suku bangsa dalam pembangunan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

6. Membangun negara dengan memanfaatkan sumber daya alam sebijak-bijaknya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

7. Menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Selengkapnya
Apakah Maksudnya Keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah Itu?

Apakah Maksudnya Keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah Itu?

Islam adalah agama yang menempatkan keluarga pada posisi yang sangat penting dan strategis dalam membina pribadi dan masyarakat. Baik-buruk kepribadian seseorang sangat tergantung pada pembinaannya dalam keluarga. Jika instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina dengan baik dan benar, mustahil mengharapkan terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang diidamkan. 

pengantin muslim
ilustrasi via istockphoto

Pembinaan keluarga ditujukan untuk mewujudkan keluarga sakinah yang dihiasi jalinan cinta-kasih (mawaddah wa rahmah) antar semua anggota keluarganya. Jalinan cinta kasih atas dasar agama merupakan sumber utama kebahagiaan keluarga sehingga memungkinkan setiap anggota keluarga mengembangkan kepribadiannya secara baik dan utuh. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ ءَايٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً  ۚ  إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَءَايٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir."

Sakinah


Penggunaan istilah sakinah diambil dari ayat di atas (litaskunuu ilaihaa) yang berarti Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Istilah sakinah memiliki akar kata yang sama dengan sakanun yang berarti tempat tinggal. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga, tempat berlabuh setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih di antara sesama anggotanya. 

Sebuah keluarga sakinah direkatkan dengan tali rohani berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah SWT. Apabila cinta memudar dan mawaddah pun lenyap, masih ada rahmat. Jika ini pun tidak tersisa, masih ada amanah. Selama pasangan itu beragama, amanahnya akan terpelihara, karena Allah SWT memerintahkan dalam QS. An-Nisa’ ayat 19 berikut:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًا  ۖ  وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَنْ يَأْتِينَ بِفٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ  ۚ  وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  ۚ  فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya". 

Mawaddah


Mawaddah biasa diartikan dengan rasa cinta. Mawaddah juga bisa bermakna “kelapangan dan kekosongan”. Maksudnya adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Orang yang saling mencintai terkadang hatinya kesal sehingga cintanya pudar, bahkan putus. Oleh karena itu, orang yang dalam hatinya bersemai mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin yang mungkin dimiliki pasangannya. 

Dengan kata lain, mawaddah adalah cinta yang tidak mengharapkan pasangannya sebagai sosok yang sempurna, tetapi memahami ketidaksempurnaan pasangannya dengan sempurna. Cinta yang mawaddah adalah “cinta plus”, yaitu cinta yang terlihat wujudnya pada perlakuan.

Rahmah


Sedangkan rahmah biasanya diartikan dengan rahmat atau kasih sayang. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Oleh karena itu, suami dan istri akan bersungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala hal yang menggangu dan mengeruhkannya. 

Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani, dan siap melindungi yang dicintai. Rahmah menghasilkan kesabaran, kemurahan, dan kerendahan hati. Oleh karena itu, keluarga yang dihiasi dengan rahmah akan jauh dari sifat cemburu buta, mencari keuntungan sendiri, pemarah, apalagi pendendam. 

Al-Qur’an menggarisbawahi pentingnya mawaddah dan rahmah dalam jalinan keluarga karena betapapun hebatnya seseorang pasti memiliki kelemahan. Betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian sehingga harus berusaha untuk saling melengkapi. Dengan kata lain, suami dan istri harus dapat menjadi “diri” pasangannya. Dalam arti, masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan pasangannya. Masing-masing juga harus mampu memenuhi kebutuhan pasangannya. 

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 187:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُن

"Mereka itu (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka ....

Ayat ini tidak saja mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian (kebutuhan primer), tetapi juga berarti bahwa suami-istri masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan, harus dapat berfungsi “menutupi kekurangan pasangannya” sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. 

Amanah Allah


Di samping itu, pernikahan adalah amanah sebagaimana digarisbawahi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kalian menerima istri berdasar amanah Allah”. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaan bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanah itu. 

Istri adalah amanah bagi suami, demikian juga sebaliknya. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami ataupun istri tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, melainkan juga amanat dari Allah SWT karena serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah. 

Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suaminya. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih kecil dari pembelaan saudara-saudara kandungnya. Keyakinan inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizd (perjanjian yang amat kuat) (QS. An Nisa’: 21). 

Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada setiap orang agar dalam memilih pasangan yang menjadi prioritas adalah yang taat beragama. Perbedaan agama menyebabkan ikatan perkawinan jadi rapuh. Perbedaan agama juga tidak mengekalkan perkawinan hingga hari akhirat, seperti sabda Rasulullah SAW:

Biasanya, seorang wanita dikawini karena empat faktor: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, pilihlah yang memiliki agama, (Karena kalau tidak) tanganmu akan berlumuran tanah (kehidupan miskin atau sengsara).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ciri-Ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah


Secara lebih terperinci, ciri-ciri keluarga sakinah mawaddah wa rahmah antara lain sebagai berikut: 

1. Semua anggota keluarga, suami dan istri serta anak-anaknya, dihiasi dengan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan kata lain, nilai-nilai agama diimplementasikan dengan baik dalam pergaulan rumah tangga. 

2. Hubungan suami-istri dibangun atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dengan pemakainya (QS. Al Baqarah: 187). Suami berfungsi sebagai pakaian bagi istri, demikian pula sebaliknya. Dengan fungsi pakaian ada tiga, yaitu menutup aurat, melindungi diri dari panas dingin, dan perhiasan. 

3. Suami dan istri secara ikhlas menunaikan kewajiban masing-masing dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT. Suami menjaga hak istri dan istri pun menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia, dan di antara keduanya terjalin kerja sama untuk mencapai kebaikan di dunia melalui ikatan rumah tangga. 

4. Rezeki yang selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Suami menafkahi keluarganya dengan rezeki yang halal. Ia menjaga anak dan istrinya agar tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta yang haram. 

5. Terjalin komunikasi aktif (musyawarah) antar anggota keluarga. Musyawarah bukan untuk mencari kemenangan, melainkan untuk mencari yang terbaik. Di sini masing-masing dituntut untuk mengetahui secara benar kebutuhan dirinya serta memiliki keterampilan untuk menyampaikannya dengan baik. Masing-masing pihak juga dituntut untuk menjadi pendengar aktif sehingga tidak segera memberi penilaian baik atau buruk terhadap gagasan yang disampaikan. 

6. Ungkapan-ungkapan mesra antara suami dan istri. Rasulullah Saw. sering memanggil istri-istrinya dengan ungkapan mesra, misalnya panggilan humairah (pipi yang kemerah-merahan). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya bila seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan mesra, kata sayang misalnya. Demikian juga sebaliknya. 

Demikianlah. Setiap muslim yang berkeluarga pastinya menginginkan agar kehidupan rumah tangganya menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Sebab hal itulah yang menjadi tujuan dari pernikahan, di mana hal itu merupakan nikmat yang Allah berikan kepada kita untuk dapat membina keluarga bahagia yang diridhai Allah SWT. 


*Tulisan di atas dinukil dari buku Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam, LPPMP UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA.

Selengkapnya
Perilaku-Perilaku Terpuji Meliputi Sabar, Jujur, Pemaaf, dan Kasih Sayang

Perilaku-Perilaku Terpuji Meliputi Sabar, Jujur, Pemaaf, dan Kasih Sayang

pria muslim terpuji
ilustrasi via istockphoto. 

Perilaku terpuji merupakan segala sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Perilaku terpuji juga merupakan perilaku yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ada banyak perilaku yang tergolong sikap terpuji. Berikut ini di antara beberapa perilaku terpuji yang mesti kita miliki meliputi sifat sabar, jujur, pemaaf, dan kasih sayang. 

Sabar


Sabar artinya teguh hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan ujian (bencana). Orang yang sabar tidak pernah mengeluh, tidak putus asa, tidak mudah marah, baik keadaan senang maupun susah. Sikap sabar itu sangat dibutuhkan, karena setiap langkah atau detik serta dalam hal kita selalu diuji. Jika kita ingin mendapat kesuksesan hendaknya kita bersabar. Sabar ini diperintah oleh Allah, sebagai mana firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong, sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar”. (QS. Al Baqarah, 153). 

Setiap kita melakukan perbuatan benar, pasti akan mengalami ujian, cobaan, atau rintangan. Kita ambil contoh ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah menyebarkan agama Islam. Beliau selalu mengalami cobaan yang sangat berat, beliau dicaci maki, ketika sedang berjalan dilempari batu, bahkan ketika beliau sedang shalat dilempari kotoran. 

Segala penderitaan itu beliau tahan dengan kesabaran, dadanya tetap lapang, hatinya bersih, tidak dibalas dengan kemarahan. Berkat kesabarannya itu maka datanglah pertolongan dari Allah, sehingga berduyun-duyun orang pada masuk Islam. Begitu pula kita dalam menjalani ujian, berupa musibah, kalau kita hadapi dengan sikap sabar maka akan datang pertolongan dari Allah SWT. 

Jujur


Kita sebagai orang Islam hendaknya senantiasa membiasakan sikap jujur, karena Agama Islam mengajarkan kepada kita untuk membiasakan bertingkah laku terpuji. Jujur termasuk salah satu sikap akhlak terpuji. Jujur adalah sifat atau sikap seorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya atau benar dalam perkataan dan perbuatan, apa adanya tidak dikurangi dan tidak dilebihi. 
Orang yang jujur adalah orang yang benar dalam perkataannya, benar dalam perbuatannya atau orang yang selalu berkata dan berbuat apa adanya. Manfaat orang yang memiliki sikap jujur akan disayangi Allah, disayang keluarga, dan disayangi teman-temannya, dan akan mendapat harkat dan martabat atau kedudukan yang tinggi, karena selalu mendapat kehormatan dan kepercayaan dari semua orang. Sebaliknya, orang yang tidak jujur akan dimurkai Allah dan berdosa, tidak akan disukai guru, tidak disenangi orang tua dan juga teman, semua akan membencinya dan dia mempunyai derajat yang rendah. 

Pemaaf


Manusia sebagai mahluk Allah tidak luput dari kesalahan dan lupa, oleh karena itu sangat terpuji sekali bila kita memiliki sifat pemaaf kepada sesama. Orang yang suka memberi maaf kepada orang lain bertambah tinggi derajatnya. Untuk menjadi pemaaf memang tidak mudah, perlu latihan melatih diri agar tidak cepat marah. Jangan merasa diri kita lebih hebat dari yang lain dan jangan pula menganggap orang lain lebih rendah dari kita. 

Sebagai contoh sifat pemaaf kita bisa meneladani akhlak yang dimiliki Rasulullah SAW. Ketika itu beliau berada di kota Thaif untuk berdakwah mengajak penduduk Thaif untuk beriman kepada Allah. Namun mereka menolak seruan (ajakan) Nabi Muhammad, sambil melempari batu dan mengusirnya. Tetapi walau keadaan demikian, Nabi Muhammad tidak marah. Beliau malah berdo’a:

Ya Allah Tuhan kami berilah petunjuk kepada hambaku, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti”. 

Kasih Sayang


Kasih sayang termasuk akhlak yang terpuji. Orang yang mempunyai sifat kasih sayang atau lemah lembut maka ia mempunyai perasaan halus, hatinya bersih, selalu belas kasihan dalam hatinya, sopan santun dalam pergaulan, sopan santun terhadap orang tua, sopan santun kepada guru, sopan santun kepada sesama teman, dan belas kasihan kepada semua makhluk yang ada di muka bumi. Rasulullah SAW bersabda:

Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu”.

Kasih sayang atau lemah lembut mencakup kepada tiga bagian: 

1. Kasih sayang atau lemah lembut terhadap hak-hak Allah yaitu dengan cara melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi semua larangan-Nya. 

2. Kasih sayang atau lemah lembut terhadap sesama manusia yaitu dengan cara saling menolong terhadap orang yang mengalami kesulitan, dan sopan santun dalam pergaulan. 

3. Kasih sayang atau lemah lembut terhadap lingkungan, yaitu peduli terhadap kelestarian alam, yakni dengan cara memelihara, merawat dan mempergunakannya dengan baik dan benar.

Selengkapnya
Diantara Sifat-Sifat Allah SWT, Ilahi Rabb Pencipta Alam Semesta

Diantara Sifat-Sifat Allah SWT, Ilahi Rabb Pencipta Alam Semesta

Bapak Sarwono adalah seorang pengusaha mainan anak-anak. Ia memiliki banyak karyawan dengan tugas berbeda-beda. Ada yang membuat bola kaki dari plastik, bola bekel, karet gelang, robot-robotan, dan mobil-mobilan. Ada yang bikin kartu gambar (poster), congklak, dan mainan-mainan lainnya. Mainan yang kita miliki atau milik teman-teman semuanya ada yang membuat, alias ada yang menciptakannya. 

Jika mainan yang sederhana saja ada yang menciptakan, lantas bagaimana dengan langit dan bumi, gunung, lautan dan seluruh alam semesta termasuk kita manusia?. Tentu saja ada yang menciptakannya, yaitu Allah Sang Maha Pencipta. Allah lah yang menciptakan alam semesta ini. 

Diantara Sifat-Sifat Allah SWT, Ilahi Rabb Pencipta Alam Semesta
via inspiring.id

Allah yang mengatur dan memelihara alam semesta. Dia tidak pernah tidur, Maha Kuasa, Maha Hebat, Maha Sempurna Dan Maha segalanya. Kita manusia kecil, kita sangat membutuhkan Allah. Allah satu-satunya yang bisa mendatangkan manfaat dan keberuntungan. Dan Allah satu-satunya yang dapat menolak musibah dan kerugian. Kita harus sering berdo’a kepada Allah untuk memohon perlindungan dan pertolongan.

Allah Maha Esa 


Allah Maha Esa artinya Allah SWT Esa dalam segala-galanya, baik ke-Esaan Dzatnya, sifatnya dan perbuatannya. Esa dalam dzatnya artinya tidak ada persamaannya dengan semua dzat atau benda di alam ini. Dia Maha Esa dalam sifat-sifatnya. Dia Maha Esa dalam perbuatan-Nya. Kita mengakui dan menyakini hanya Allah saja yang patut disembah, karena Dialah satu-satunya yang menciptakan seluruh alam beserta isinya. Ini disebut sifat “Wahdaniyah”. Allah SWT berfirman:

وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ  ۖ  لَّآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيمُ

"Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah, 163)

Dialah Allah yang memiliki sifat kesempurnaan, jauh berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk. Segala yang ada diciptakan Allah, diciptakannya dengan sendirinya tidak dengan bantuan siapapun. Diantara bukti KeEsaan Allah adalah adanya bumi dan langit beserta isinya ini. 

Tidak mungkin bumi dan langit beserta isinya ini diciptakan oleh Tuhan selain Allah. Sebab jika ada Tuhan selain Allah, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Tuhan yang satu dengan Tuhan yang lain akan beda pendapat dalam menentukan sesuatu. Bila ini terjadi tentu akan menimbulkan mala petaka yang besar bagi alam semesta. 

Kita sebagai hamba Allah harus percaya dan meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta, juga menjaga dan memeliharanya. Maka oleh karenanya kita wajib menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya. Hal tersebut terlihat dalam kalimat Syahadat “laailaaha illallah” yang artinya tidak ada Tuhan kecuali Allah. 

Dalam menjalani hidup sehari-hari, kita pasti membutuhkan-Nya dan memerluan pertolongan-Nya. Kalimat “laailaaha illallah” juga berarti seorang muslim harus membersihkan segala kepercayaan dan keyakinan yang ada dalam kalbu, yakni hanyalah satu Tuhan yaitu Allah SWT. Dengan itu, manusia akan terhindar dari berbagai bencana dan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah Maha Besar


Allah Maha Besar adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat ke Besaran, ke Agungan, ke Muliaan, ke Perkasaan dan sifat ke Sempurnaan lainnya. Di dalam kegiatan sehari-hari, kita memang sering meng-Agungkan nama Allah. Ketika shalat ataupun dalam keadaan apapun dimanapun adanya kita selalu meng-agungkan Allah. Contohnya, ketika kita sedang melakukan shalat selalu diiringi kalimat “Allaahu Akbar”, ketika kita sedang berdzikir tidak lupa dari kalimat “Allaahu Akbar” atau ketika kita melihat tanda kebesaran Allah maka kita berucap Allaahu Akbar.

Kalau kita pikirkan atau renungkan betapa besarnya Allah, terbukti bahwa Allah Maha Besar. Allah menciptakan alam raya yang luas ini. Kita lihat langit terbentang yang dihiasi dengan berjuta-juta bintang dan bulan. Kita lihat bumi terhampar dengan gunung-gunung, dan ditumbuhi dengan berbagai aneka macam tumbuhan. 

Kita lihat lautan yang terbentang luas dengan berbagai isinya yaitu berupa jenis ikan dan benda-benda lainnya. Begitu pula dengan yang ada pada diri kita. Semua organ tubuh bekerja secara teratur sesuai dengan tugasnya masing-masing, besar maupun kecil, saling ketergantungan saling membantu sepanjang manusia hidup. 

Diantara Sifat-Sifat Allah SWT, Ilahi Rabb Pencipta Alam Semesta
via inspiring.id

Kita sebagai hambaNya harus percaya dan kita yakini bahwa Allah Maha Besar, tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Dia (Allah). Bukti Allah Maha Besar adalah adanya kejadian alam semesta, banyak yang membuktikan bahwa Allah itu ada yaitu melalui ciptaan-Nya yang berada di alam semesta ini. Contohnya, kejadian alam, kejadian manusia, tentang awan dan proses terjadinya, tentang lebah dan madu, dan lain sebagainya. 

Allah Maha Suci


Allah Maha suci artinya suci dalam segala-galanya, suci sifatnya dan suci perbuatannya. Allah Suci dari sesuatu yang menyerupai dan menyamai-Nya. Allah tidak pernah lupa, Allah tidak pernah melakukan kesalahan. Sering kita baca ketika melakukan shalat atau berdzikir sesudah shalat kalimat yang berbunyi “Subhanallah”. Kalimat ini berarti Maha Suci Allah, karena Dialah sebagai pencipta manusia dan makhluk-makhluk lainnya, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Dia pulalah yang mengatur dan memelihara alam semesta. 
 
Lafadz Subhanallah dan waktu-waktu mengucapkannya: 

a. Ketika melihat kekuasaan Allah yang menakutkan seperti melihat kilat, suara petir, dan sebagainya. 

b. Ketika dalam keadaan lupa, seperti menyampaikan amanat orang lain, mengingatkan imam shalat yang lupa meninggalkan salah satu rukun shalat dan lain-lain. 

c. Melihat keindahan alam yang diciptakan Allah, melihat orang cacat, melihat orang cantik dan sebagainya. 

d. Di waktu berdzikir sehabis shalat, misalnya dibaca 33 kali, saat berdoa, dan lain-lain sebagainya. 

Allah Maha Melihat


Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada kita. Kita diberi nikmat yang tiada terhingga, salah satunya kita diberi penglihatan (mata) dengan mata ini sehingga kita bisa melihat alam yang indah, kita bisa melihat gunung, lautan, dan hewan. Juga dengan mata ini kita bisa melihat warna hitam, putih, coklat, merah, hijau dan masih banyak lainnya. Benda yang bisa kita lihat tidak dapat kita sebutkan satu persatu. Ini merupakan karunia Allah yang sangat besar yang diberikan kepada kita berupa mata (penglihatan). 

Namun penglihatan kita ini terbatas, tidak seperti penglihatan Allah. Bukti bahwa penglihatan Allah tidak terbatas, Allah bisa melihat seluruh benda yang ada di alam dunia ini, Allah bisa melihat Malaikat, jin, syetan, iblis, dan lainnya. Allah juga bisa melihat apa yang tersembunyi di dalam diri kita, begitu juga Allah bisa melihat semua yang ada dalam tanah, Allah bisa melihat semua yang ada di dalam lautan, dan Allah bisa melihat semua yang ada di langit, dan bisa melihat perbuatan manusia yang baik maupun perbuatan buruk yang dilarang Allah. Firman Allah SWT:

إِنَّهُ ۥ  بِكُلِّ شَىْءٍۢ بَصِيرٌ

"Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu." (QS. Al-Mulk, 19)

Allah Maha Mendengar


Allah Maha Kasih dan Maha Sayang kepada kita. Kita diberi karunia berupa nikmat pendengaran, yakni dengan diberi telinga oleh AIlah untuk mendengar. Kita bisa mendengar suara binatang, kita bisa mendengar musik, atau mendengar orang berbicara. Dan pendengaran ini diberikan bukan hanya kepada manusia saja, tetapi juga kepada jin, binatang, Malaikat, dan lain-lainnya bisa mendengar sesuatu. 

Akan tetapi karunia Allah yang diberikan kepada manusia, jin, malaikat, dan binatang ini berbeda dengan pendengaran Allah. Pendengaran yang diberikan kepada makhluk yang tersebut diatas terbatas. Keterbatasan pendengaran kita misalnya kita tidak bisa mendengar suara yang halus seperti binatang semut, atau suara binatang yang lebih kecil lagi. 

Kita juga tidak bisa mendengar suara malaikat, suara jin, suara iblis, lebih-lebih lagi kita tidak bisa mendengar suara hati. Sementara Allah bisa mendengar semuanya. Allah senantiasa mendengar hamba-hambaNya yang memohon atau berdo’a. Sebagai Manusia kita patut bersyukur atas diberikannya nikmat karunia pendengaran, yakni dengan menggunakannya untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Firman Allah dalam Al Qur'an: 

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ  ۖ  وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Asy-Syura, 11)

Allah Maha Mengetahui


Allah memberikan karunia berupa nikmat akal pikiran. Dengan akal pikiran, kita bisa mengetahui segala sesuatu. Akan tetapi pengetahuan yang dimiliki manusia sangat terbatas, sedangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki Allah tidak terbatas. Allah dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang nyata, maupun yang tidak nyata. Allah mengetahui jumlah manusia, binatang, pepohonan, dan lain sebagainya. 

Diantara Sifat-Sifat Allah SWT, Ilahi Rabb Pencipta Alam Semesta
via inspiring.id

Allah juga mengetahui benda yang ada di langit, Allah mengetahui jumlah benda yang ada di lautan, termasuk jumlah ikannya, dan Allah mengetahui benda yang ada di dalam bumi. Kita patut bersyukur kepada Allah diberikan nikmat berupa akal pikiran, dengan kata lain kita bersyukur kepada Allah diberi pengetahuan. Dengan pengetahuan ini kita bisa belajar, kita bisa pintar, dan kita bisa mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia. 

Namun hal ini jangan dijadikan suatu kesombongan, karena pengetahuan yang kita miliki terbatas, jauh berbeda dengan pengetahuan yang Allah miliki, Karena pengetahuan Allah sangat tidak terbatas. Firman Allah dalam Al-Qur'an: 

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوٓا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

"Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah, 231)

Allah Maha Pengasih 


Allah Maha Pengasih artinya Allah tidak pilih kasih kepada yang taat beribadah ataupun kepada yang tidak taat beribadah. Allah tetap memberikannya rizki, sekalipun mereka ingkar. Allah tetap memberikan kesempatan hidup, memberikan kesempatan untuk merasakan kenikmatan dunia, bahkan ada yang diberikan kedudukan tinggi di dunia, seperti Fir'aun. Ada pula yang diberi harta yang melimpah ruah seperti Qorun dan lain-lain. 

Jika yang ingkar saja mendapat welas asih Allah di dunia ini, maka bagaimana dengan mereka yang beriman?. Sungguh beruntunglah bagi hamba-hambaNya yang beriman dan bertaqwa. Begitulah Allah sungguh Maha Pengasih. Manusia memesan surga melalui keimanan dan ketaqwaannya, Allah akan berikan surga. Demikian pula manusia memesan neraka melalui keingkaran, kekafiran atau kemusyrikannya, Allah akan berikan neraka.

Allah Maha Penyayang 


Allah Maha Penyayang artinya Allah sayang kepada hambaNya yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa beramal shaleh, menegakkan kebenaran dan kesabaran. Allah akan berikan kepada mereka balasan yang terbaik, tidak pandang mereka kaya atau miskin, besar, atau kecil, berkulit hitam atau putih atau apapun warna kulitnya. Asal mereka beriman dan bertaqwa, Allah memberikan tempat terhormat kepada mereka, yaitu surga. Allah ridha kepada mereka dan Allah sayang kepada mereka. 

Selengkapnya