Makna dan Kandungan Surah Al Mujadilah Ayat 11

Makna dan Kandungan Surah Al Mujadilah Ayat 11

Al Mujadalah ayat 11

Dalam pembahasan tentang keutamaan orang berilmu atau anjuran untuk menuntut ilmu, ayat berikut ini seringkali disinggung dalam ceramah-ceramah atau berbagai kajian keilmuan. Selain keutamaan orang-orang yang berilmu, ayat ini juga menerangkan tentang adab atau tata krama bagi setiap muslim kepada sesamanya ketika menghadiri majelis-majelis ilmu atau pengajian yang diridhai Allah SWT. 


يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ  ۖ  وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ  ۚ  وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah, 11)

Terjemahan Tafsir Jalalain

"(Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah (dalam majelis) yaitu majelis tempat Nabi SAW berada, dan majelis zikir sehingga orang-orang yang datang kepada kalian dapat tempat duduk. Menurut suatu qiraat, lafal al-majaalis dibaca al-majlis dalam bentuk mufrad (maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian) di surga nanti. 

(Dan apabila dikatakan, Berdirilah kalian) untuk melakukan sholat dan hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan (maka berdirilah) menurut qiraat lainnya kedua-duanya dibaca fansyuzuu dengan memakai harakat dhammah pada huruf syinnya (niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti. (Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan)."

Sebab Turunnya (Asbabun Nuzul) Surah Mujadilah Ayat 11

Menurut asbabunnuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan majelis Rasulullah pada hari jum'at yang bertempat di serambi masjid Nabawi. Pada waktu itu, datanglah sejumlah sahabat ahli badar yang biasanya diberi tempat khusus oleh Rasulullah SAW. Ketika para sahabat ahli badar ini datang dan mengucap salam, mereka yang lebih dulu datang menjawab salam tetapi tidak memberi tempat duduk untuk para sahabat ahli badar ini. 

Melihat hal itu, Rasulullah pun memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk bangkit dan memberi tempat duduk untuk para sahabat ahli badar tersebut. Orang-orang munafik yang mengetahui peristiwa ini pun menuduh Rasulullah telah berbuat tidak adil. Rasulullah lantas menjelaskan bahwa mereka yang berlapang-lapang dalam majlis dan bangkit untuk memberi tempat duduk bagi ahli badar maka akan mendapat berkah dari Allah SWT. Allah pun kemudian menurunkan surah Al Mujadilah ayat 11 ini.

Kesimpulan Ayat

Dari surah Al-Mujadilah 11 di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil di antaranya yaitu sebagai berikut:

a. Suruhan untuk memberikan kelapangan kepada orang lain dalam majelis ilmu, majelis taim, majelis dzikir, dan segala kajian majelis yang sifatnya bertujuan untuk beribadah atau ketaatan kepada Allah dan RasulNya. 

b. Apabila disuruh bangun untuk melakukan hal-hal baik dan diridhai Allah, maka patuhi dan penuhilah suruhan tersebut dengan segera dan dengan cara sebaik-baiknya. 

c. Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat tingginya, dan Allah SWT mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan atas orang-orang beriman tetapi tidak berilmu pengetahuan beberapa derajat tingginya. Ringkasnya, Allah SWT meninggikan derajat orang-orang beriman, teristimewa lagi orang-orang beriman lagi berilmu pengetahuan.

Kandungan Makna Ayat

1. Isi kandungan surah Al-Mujadilah 11 di atas antara lain berkaitan dengan adab atau tata krama yang harus diterapkan dalam majelis-majelis kajian yang baik dan diridhai Allah SWT. Misalnya majelis ta'lim, majelis dzikir, majelis ilmu pengetahuan dan teknologi, majelis shalat jum'at berjamaah, dan lain sebagainya. 

2. Adab atau tata krama yang dimaksud yaitu memberikan kelapangan kepada orang-orang yang akan mengunjungi dan berada dalam majelis-majelis tersebut dengan cara seperti: mempersilahkan orang lain yang datang belakangan untuk duduk di samping kita sekiranya masih kosong, menciptakan suasana nyaman, mewujudkan rasa persaudaraan, saling menghormati dan saling menyayangi, serta tidak boleh menyuruh orang lain yang lebih dulu menempati tempat duduknya untuk pindah ke tempat lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara'. 

3. Mukmin laki-laki/ perempuan apabila diperintah Allah dan RasulNya untuk bangun melaksanakan hal-hal baik yang diridhaiNya seperti shalat, menuntut ilmu, berjuang di jalan Allah, dan membiasakan diri dengan akhlak terpuji, maka hendaknya perintah tersebut segera dilaksanakan dengan niat ikhlas dan sesuai dengan ketentuan syara'. 

4. Ilmu pengetahuan mempunyai banyak keutamaan, salah satunya yaitu karena perbuatan ibadah yang tidak dikerjakan sesuai dengan ilmu tentang ibadah tersebut, tentu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Selain itu, ilmu juga merupakan salah satu jalan untuk menuju surgaNya. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًاإِلَى الجَنَّةِ

"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" (HR. Muslim).

Selengkapnya
Jamuan Makan Saat Kematian Seseorang, Bagaimana Hukumnya?

Jamuan Makan Saat Kematian Seseorang, Bagaimana Hukumnya?

ilustrasi
ilustrasi via suara.com 

Lumrahnya berlaku di masyarakat pedesaan, biasanya dijumpai pada saat kematian seseorang maka keluarga si mayit akan memberikan jamuan makan-makan sederhana baik itu sebelum si mayit diberangkatkan ke kubur ataupun sesudah selesai dikubur. Hal ini biasanya juga akan berlanjut dengan acara selametan untuk mendoakan mayit. Di masa kini, persoalan ini sering menimbulkan pembicaraan ramai di tengah-tengah masyarakat Islam antara yang pro dan yang kontra, antara yang setuju dan yang menentang. Apakah tradisi tersebut diperbolehkan dalam Islam?.

Sebelum menjawabnya, alangkah lebih baik bilamana diteliti terlebih dahulu tentang latar belakang yang menyebabkan timbulnya persoalan tersebut. Berikut uraiannya.

Kalau memang benar bahwa harta atau uang yang dipergunakan untuk membuat jamuan makanan itu berasal dari harta atau uang yang dipaksa-paksakan, baik yang diperoleh dari usaha berhutang atau bahkan sampai berani menggunakan harta hak milik anak yatim, maka jelas hal ini dilarang oleh agama. Begitu pula jika makanan-makanan tersebut dibuat untuk tujuan makan mewah layaknya acara pesta, maka hal itu juga dilarang dan sangat tidak sepantasnya untuk dilakukan.

Kejadian yang seperti inilah yang sering dilihat oleh para sahabat Nabi pada masa lalu, sehingga di kalangan mereka (para sahabat) mengeluarkan pernyataan sebagaimana kata sahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajalli.

كنا نعد الإجتماع الى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة

"Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah si mayit dikubur, itu termasuk hukum meratapi mayit (artinya dilarang)" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Akan tetapi jika jamuan makanan yang dibuat dan disuguhkan oleh keluarga si mayit itu adalah berasal dari harta atau uang hak milik pribadi salah seorang keluarganya (anak atau saudara si mayit) yang dengan ikhlas dikeluarkan untuk bershadaqah semampunya, maka ini dibenarkan oleh agama. Karena hal ini jelas merupakan usaha yang termasuk amal baik anak kepada orang tua atau amal baik yang dikeluarkan oleh salah seorang saudara untuk saudaranya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

"Apabila telah mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan Nabi sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas jelas memberi pengertian bahwa tindak perbuatan si anak mendoakan kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia adalah dibenarkan oleh ajaran Islam. Tidak ada salahnya juga jika dalam acara mendoakan tersebut juga dibantu oleh para tamu yang diundang dan kemudian si anak tersebut mengeluarkan makanan sederhana untuk menghormati mereka. Bukankah dalam Islam kita juga dianjurkan untuk memuliakan tamu?. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits Nabi yang shahih ini, jelas sekali dikatakan bahwa orang yang memuliakan tamu itu diperintahkan oleh Nabi. Dengan demikian, maka Islam membenarkan setiap pemeluknya untuk melakukan bentuk amalan yang bertujuan memuliakan tamu, sebagaimana pula yang dikerjakan oleh para keluarga si mayit, yakni dalam membuat makanan untuk disuguhkan kepada para tamu secara bersama-sama atau berkumpul.


Termasuk juga tentang adanya sekedar makan-makan di rumah keluarga si mayit dimana makanan-makanan itu dibuat dengan bahan atau justru makanan itu berasal dari para tetangga yang diberikan kepada keluarga si mayit, kemudian dikeluarkan untuk menjamu para tamu yang hadir. Tradisi jamuan makan dari makanan-makanan yang sebenarnya berasal dari para tetangga dan handai taulan ini juga dibenarkan oleh agama Islam. Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

قال عبد الله بن جعفر: لما جاء نعي جعفر حين قتل قال النبي صلى الله عليه وسلم إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم ما يشغلهم

"Berkata Abdullah bin Ja'far: 'Ketika tersiar berita terbunuhnya Ja' far, maka kemudian Nabi bersabda: 'Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja' far, sebab mereka sedang ditimpa perkara yang menyusahkan'". (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, Syafi'i, dan Thabrani)

Hadits di atas dapat diambil pengertian bahwa apabila terjadi seorang meninggal dunia, maka bagi para tetangganya dianjurkan untuk memberikan makanan-makanan kepada keluarga si mayit yang ditinggalkan. Artinya perbuatan tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

Begitu juga, sama sekali tidak ada larangan bahwa makanan yang dari tetangga tersebut tidak boleh dikeluarkan oleh keluarga si mayit guna menyuguh para tamu yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa makanan dari tetangga adalah boleh disuguhkan kepada para tamu itu, malahan bisa jadi tetangga tersebut memperoleh pahala ganda karena di samping makanannya diberikan kepada keluarga mayit karena sedang ditimpa kesusahan juga makanannya itu kemudian untuk menghormati para tamu.

Imam Syafi'i dalam kitabnya, "Al-Umm" juga menyebutkan:

قال الشافعي: ويستحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما مايشبعهم وإن ذالك سنة

"Imam Syafi'i berkata: Dan disunnahkan bagi tetangga atau kerabat agar membuat makanan untuk ahli mayit pada hari terjadi kematian dan malamnya, makanan yang mengenyangkan mereka, karena itu adalah sunnah (maksudnya amalan Nabi)". (Al- Umm I/247).

Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya berkumpul makan-makan di rumah keluarga si mayit sebagaimana yang sering terjadi, pada dasarnya adalah dibenarkan oleh ajaran Islam selama masih dalam batas norma yang diperbolehkan, karena Nabi sendiri telah jelas menganjurkan praktek amalan semacam itu. Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Ringkasan Materi Fiqih Munakahat

Ringkasan Materi Fiqih Munakahat

Bagi mahasiswa jurusan Ahwal al Syakhsiyyah (Hukum Perdata Islam), fiqih Munakahat merupakan salah satu materi yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswanya. Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan, sehingga fiqih munakahat bisa diartikan sebagai bidang kajian ilmu yang mempelajari tentang perkawinan dalam agama Islam mulai dari dasar hukum, tujuan, rukun, kewajiban suami & istri, dan sebagainya.

fiqih munakahat
via twitter.com

Pengertian Nikah


Dalam istilah syariat, nikah berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.

Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah Rasul. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda, 'akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah dari golonganku" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum Nikah


Menurut sebagian besar Ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, atau haram.

1. Sunnah


Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, jika di antara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah ia menikah karena menikah itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan), dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya". (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Wajib


Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.

3. Makruh


Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.

4. Haram


Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, hukum nikah adalah haram.

Tujuan Pernikahan


Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Adapun secara terperinci, tujuan pernikahan dapat dikemukakan sebagai berikut:
  • Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang (lihat surah ar-Ruum, 21). 
  • Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah).
  • Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridhai Allah.
  • Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat.
  • Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.

Rukun Nikah


Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam, yaitu:

1. Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/ terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.

2. Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

3. Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya. Dari Aisyah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya" (HR. Imam yang empat kecuali An-Nasai, dan disahkan oleh Abu Awamah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Adapun wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
  • Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan (ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, dan seterusnya).
  • Wali Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam (KUA) yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak bisa memenuhi tugasnya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
  • Beragama Islam. 
  • Laki-laki. 
  • Baligh dan berakal. 
  • Merdeka atau bukan hamba sahaya. 
  • Bersifat adil. 
  • Tidak sedang ihram haji atau umrah. 

4. Ada dua orang saksi. Dalam pernikahan juga diperlukan dua orang saksi dengan syarat beragama Islam, laki-laki, baligh (dewasa), berakal sehat, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.

5. Ada akad nikah, yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita) sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. (lihat surah An-Nisa, 4)

Selesai akad nikah, maka diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunnah muakkad. Rasulullah SAW bersabda, "Adakanlah walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing". (HR. Bukhari & Muslim). 

Adapun menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada udzur (halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya" (HR. Muslim). 

Muhrim


Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fiqih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu:

1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
  • Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
  • Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
  • Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
  • Saudara perempuan dari bapak.
  • Saudara perempuan dari ibu.
  • Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
  • Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
  • Ibu yang menyusui.
  • Saudara perempuan sesusuan.

3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
  • Ibu dari istri (mertua). 
  • Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain/ sebelumnya), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
  • Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum.
  • Menantu (istri dari anak laki-laki) baik sudah dicerai atau belum.

4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, atau terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya. 

Untuk dasar hukum tentang wanita-wanita yang haram dinikahi seperti tersebut di atas, silahkan baca firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 23.

Kewajiban Suami dan Istri


Agar tujuan pernikahan tercapai, suami-istri harus melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah semata. Rasulullah SAW bersabda, "Suami adalah penanggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan" (HR. Bukhari & Muslim). Secara umum, kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban Suami


a. Memberikan nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (lihat surah At-Talaq, 7).

b. Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak agar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.

c. Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (ma'ruf). Misalnya sopan dan hormat kepada istri serta keluarganya, menyayangi istri dan anak-anak dengan niat ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh ridhaNya.

d. Memelihara istri dan anak-anak dari bencana, baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi.

e. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

2. Kewajiban Istri


a. Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun suruhan suami yang bertentangan dengan Islam tidak wajib ditaati.

b. Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.

c. Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya.

d. Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hermat, cermat, dan bijaksana.

e. Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya.

f. Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

Perceraian


Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Salah satu sebab perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim dari pihak suami dan pihak istri.

Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena dapat menimbulkan akibat-akibat yang negatif, terutama apabila suami dan istri yang bercerai itu sudah mempunyai anak. Rasulullah SAW bersabda, "Perbuatan yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin perceraian lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan, baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT. Adapun hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu', li'an, ila', dan zihar.

a. Talak


Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah SAW dalam haditsnya. Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, maka talak dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
  • Talak Sunni: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
  • Talak Bid'i:  yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.

Sedangkan dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak juga dibagi menjadi dua, yaitu:
  • Talak Raj'i: yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa iddah. Juga masih dapat menikah kembali setelah habis masa iddahnya. 
  • Talak Ba'in: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. 

Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. Sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. Dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. Maksud dari secara wajar di sini adalah jika nikah seseorang dengan mantan istri orang lain itu dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil), maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. 

Dalam pernikahan di Indonesia, selesai akad nikah biasanya suami mengucapkan ta'lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, "Bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau". Ta'lik talak ini hukumnya sah dan dibenarkan syara'. 

b. Fasakh


Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan. Akibat perceraian dengan fasakh, maka suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Namun, kalau ia ingin kembali sebagai suami-istri karena syarat telah terpenuhi, harus melalui akad nikah baru. Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak, artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain. 

c. Khulu'


Menurut istilah bahasa, khulu' berarti tanggal. Dalam ilmu fiqih, khulu' adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua. 

Khulu' diperkenankan dalam Islam dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan-tindakan suami yang tidak wajar (umum). Allah SWT berfirman yang artinya, "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". (QS. Al Baqarah, 229).

Akibat perceraian dengan cara khulu', maka suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa iddah. Akan tetapi, kalau bekas suami-istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru. Berbeda dengan fasakh, khulu' dapat mempengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba'in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa iddahnya. 

d. Li'an


Li'an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina) dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, "Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku apabila tuduhanku itu dusta". Apabila suami sudah menjatuhkan li'an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. 

Agar istri terlepas dari hukum rajam karena merasa tidak berzina, maka ia (istri) harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada kali kelimanya dia mengucapkan, "Laknat Allah akan menimpa diriku apabila tuduhan tersebut benar"

Sumpah suami-istri seperti di atas secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali untuk selama-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak bekas suaminya. Dalil Al Qur'an yang menjelaskan tentang li'an dapat dibaca dalam surah An-Nur, 6 - 10.

e. Ila'


Ila' berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Akan tetapi, jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. (lihat surah Al Baqarah, 226 dan 227).

f. Zhihar


Zhihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, "Punggungmu sama dengan punggung ibuku". Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar. Penjelasan Al Qur'an tentang zhihar dapat dijumpai dalam surah Al-Mujadilah 1 - 6.

Iddah


Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan iddah antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang dikandungnya berarti anak suami yang baru saja bercerai dengannya. Bagi suami yang mempunyai hak rujuk, masa iddah merupakan masa untuk berpikir ulang, apakah ia akan kembali (rujuk) pada istrinya atau mau meneruskan perceraiannya. Lama dari masa iddah adalah sebagai berikut:

1. Iddah karena Suami Wafat


a. Bagi istri yang tidak sedang hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 234.

b. Bagi istri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 4.

2. Iddah karena talak, fasakh dan khulu'


a. Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa iddah. Ketentuan ini berdasarkan pada surah Al-Ahzab ayat 49.

b. Bagi istri yang sudah campur, maka masa iddahnya adalah:
  • Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa iddahnya ialah tiga kali suci. Ketentuan ini berdasar pada surah Al Baqarah ayat 228.
  • Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misal karena usia tua (menopause) masa iddahnya ialah tiga bulan ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.
  • Bagi istri yang sedang mengandung, masa iddahnya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya. Ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.

Rujuk


Rujuk berarti kembali, dalam hal ini yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih berada dalam masa iddah raj'iyyah (lihat surah Al Baqarah, 228).

Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi dalam beberapa hal, hukum rujuk bisa berubah seperti berikut ini.

1. Sunnah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.

2. Wajib, misalnya bagi suami yang mentalak salah seorang istrinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.

3. Makruh, apabila meneruskan perceraian dinilai lebih bermanfaat daripada rujuk.

4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada empat macam, yaitu sebagai berikut:

1. Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa iddah raj'iyyah.

2. Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.

3. Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 2.

4. Ada sighat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa iddah raj'iyyah, "Saya rujuk kepada engkau!".

Demikian sekilas ringkasan tentang fiqih munakahat. Untuk penjabaran lebih lanjut bisa anda pelajari melalui berbagai kitab/buku kajian fiqih yang membahas tentang hal ini. Semoga bermanfaat. 

Selengkapnya
Makna dan Kandungan Surah Al Kafirun

Makna dan Kandungan Surah Al Kafirun

Surah Al Kafirun merupakan surat ke 109 dalam Al Qur'an yang termasuk dalam golongan surah Makkiyah atau surat yang diturunkan di Makkah, sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Al Kafirun artinya orang-orang kafir. Surah ini dinamakan Al Kafirun karena tema pokoknya menjelaskan tentang perilaku Rasulullah SAW dan umat Islam terhadap orang-orang kafir dalam menyikapi perbedaan keyakinan. 

surah al kafirun

Surah Al Kafirun dan Terjemahannya


قُلْ يٰٓأَيُّهَا الْكٰفِرُونَ

"Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir!"

لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,"

وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

"dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,"

وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ

"dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,"

وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

"dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah."

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Sebab Turunnya (Asbabun Nuzul) Surah Al Kafirun


Beberapa tokoh kaum kafir (musyrikin) Makkah seperti Al Walid bin Al Mughirah, Al Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Nabi Muhammad SAW dan menawarkan kompromi yang menyangkut pelaksanaan peribadahan. Mereka mengusulkan agar Nabi dan umat Islam mengikuti kepercayaan mereka, dan sebaliknya mereka pun akan mengikuti agama Islam. Mereka berkata:

"Wahai Muhammad, bagaimana jika kami menyembah Tuhanmu selama setahun dan kamu juga menyembah Tuhan kami selama setahun. Jika agamamu benar, kami mendapat keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu, dan jika agama kami yang benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan".

Mendengar usul kaum kafir tersebut, Rasulullah SAW dengan tegas menjawab, "Aku berlindung kepada Allah agar tidak tergolong orang-orang yang bersikap dan berperilaku syirik atau menyekutukan Allah".

Untuk mempertegas penolakan Rasulullah SAW tersebut, Allah SWT kemudian menurunkan Surah Al Kafirun. Setelah Nabi menerima surah Al Kafirun ini, beliau kemudian mendatangi tokoh-tokoh kaum kafir (musyrikin) Mekah yang waktu itu sedang berkumpul di Masjidil Haram. Di hadapan mereka, Rasulullah lalu membacakan surah Al Kafirun dari ayat pertama hingga ayat terakhir dengan mantap dan lantang, sehingga mereka pun menyadari bahwa usul mereka untuk berkompromi dalam keimanan dan ibadah agama ditolak oleh Rasulullah SAW dan umat Islam. 

Kandungan Surah Al Kafirun

  • Penegasan bahwa Tuhan yang disembah (ma'bud) oleh Rasulullah SAW dan umat Islam berbeda dengan ma'bud orang-orang kafir (kaum musyrikin) yang mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Demikian juga cara peribadahan Rasulullah SAW dan umat Islam yang hanya berdasarkan keikhlasan dan ketulusan hati, dan bersih dari sikap perilaku syirik terhadap Allah SWT, berbeda dengan cara peribadahan orang-orang kafir (musyrikin). 
  • Penolakan dari Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap kaum kafir untuk mencampuradukkan keimanan dan peribadahan yang diajarkan Islam dengan keimanan dan peribadahan yang diajarkan agama kaum kafir yang mengandung kemusyrikan. 
  • Rasulullah dan umat Islam juga menolak ajakan kaum musyrikin untuk tukar menukar pengalaman dalam keimanan dan peribadahan atau untuk keluar dari agama Islam dan menganut agama mereka dengan tegas dan bijaksana. 
  • Dalam menyikapi perbedaan keimanan dan peribadahan itu, umat Islam dan kaum kafir hendaknya menjunjung tinggi toleransi, bebas menjalankan ajaran agama yang dianutnya dan tidak boleh saling mengganggu. Bahkan Islam juga melarang memaksa orang lain untuk menganut sesuatu agama (lihat surah Al Baqarah, 256).

Pelajaran dari Kandungan Surah Al Kafirun


Dengan memahami surah Al Kafirun di atas, setiap Muslim/ Muslimah hendaknya selalu berusaha secara sungguh-sungguh agar selama hidup di alam dunia ini senantiasa meyakini akan kebenaran agama Islam yang dianutnya dan mengamalkan seluruh ajarannya dengan bertaqwa kepada Allah SWT. 

Walaupun antara umat Islam dengan umat lain (non muslim) tidak ada kompromi dalam hal keimanan dan peribadahan, namun dalam pergaulan hidup bermasyarakat antara umat Islam dan umat lain hendaknya saling menghormati dan menghargai serta bekerja sama dalam urusan dunia demi terwujudnya keamanan, ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bersama. 
Kebebasan memilih agama merupakan Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam piagam PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia yang biasa disebut "The Universal Declaration of Human Rights" pasal 18. Juga tercantum dalam Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia pasal 10. Tertuang juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab III pasal 22. 

Selain itu, ajaran Islam yang melarang penganutnya memaksa orang lain untuk masuk Islam hendaknya dapat memberikan dorongan kepada umat Islam untuk bersikap toleran terhadap umat-umat beragama lain dalam kehidupan bersama sehingga kerukunan hidup antarumat beragama dapat terwujud.

Selengkapnya
Tentang Hadits Nabi Menggadaikan Baju Perangnya Kepada Seorang Yahudi

Tentang Hadits Nabi Menggadaikan Baju Perangnya Kepada Seorang Yahudi

Ada sebuah hadits yang mungkin bagi sebagian orang yang baru mempelajari agama Islam terasa sangat janggal jika dilihat secara sepintas. Hadits tersebut intinya menyebutkan bahwa saat Rasulullah SAW wafat, baju besi perang milik Nabi masih tergadaikan kepada seorang Yahudi untuk makan keluarga beliau. Berikut ini redaksi haditsnya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari Aisyah RA berkata: "Ketika Rasulullah SAW wafat, baju perang beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi seharga tiga puluh sha' gandum". (HR. Muttafaqun 'Alaih).

Bagi orang yang sudah lama mempelajari ilmu hadits dan banyak membaca sejarah perjalanan hidup Nabi, mungkin merasa tidak ada yang salah dalam hadits di atas. Namun bagi mereka yang baru saja menekuni agama Islam, dan seolah sudah banyak tahu tentang Islam hingga bangga disebut ustadz, mungkin akan lantas memvonis hadits tersebut sebagai hadits maudhu' (palsu), hadits yang dibuat-buat, atau hadits yang janggal, aneh dan tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin Rasulullah yang pada akhir hayatnya telah berhasil menaklukan beberapa wilayah, menjadi pemimpin Semenanjung Arab, dan mendapatkan harta rampasan perang, bisa-bisanya beliau butuh bantuan seorang Yahudi untuk meminjam uang dengan menggadaikan baju perangnya untuk menghidupi keluarganya. Bahkan kabarnya saat beliau meninggal baju perang miliknya tersebut masih berada dalam pegadaian.

Nabi Muhammad SAW wafat ketika itu harta rampasan perang dan hasil bumi negara-negara yang berhasil ditaklukkan diambil dari berbagai tempat. Nabi dan penduduk Muslim yang miskin mendapat bagian dari harta tersebut. Rasul mendapat bagian seperlima sesuai dengan hukum Al-Qur'an. Selain itu, bukankah Allah SWT juga telah memberi kecukupan kepada Rasulnya sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

"Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan". (QS. Ad-Duha, Ayat 5 - 8) 

Lantas apa yang membuat beliau sampai menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi?. Apakah ini hanyalah salah satu tuduhan palsu di antara kebohongan-kebohongan Yahudi yang dimasukkan dalam buku-buku hadits. Benarkah demikian?. 

Perlu diketahui bahwa meskipun bagi sebagian orang hadits tersebut tampak janggal, hadits di atas merupakan hadits yang disepakati keshahihannya. Tidak ada seorang pun Ulama yang mengingkari hadits ini. Walaupun ada yang mengingkarinya, alasannya tidak kuat, dan para pakar fiqih telah mengambil hukum-hukum dari hadits tersebut, di antaranya yaitu:
  • Boleh bertransaksi kepada non-muslim, apalagi Ahlul Kitab.
  • Boleh bertransaksi kepada orang yang hartanya terdapat syubhat atau tercampur harta haram, seperti orang Yahudi.
  • Boleh menggadaikan pada waktu seseorang sedang mukim, karena Al Qur'an menyebutkan penggadaian pada waktu sedang dalam perjalanan.
  • Adanya sebagian orang Yahudi yang tinggal di Madinah, dan hukum-hukum lain.

persaudaraan
ilustrasi persaudaraan

Jika dicermati lagi, hadits di atas juga sebenarnya memberikan gambaran kepada kita bahwa Umat Islam pada masa Nabi hidup rukun dan harmonis berdampingan dengan umat lain yang berbeda keyakinan di Kota Madinah. Bahkan sebagaimana dicontohkan Nabi, umat Islam saat itu juga saling tolong-menolong dengan umat lain dalam hal muamalah sehari-hari, bukan dalam masalah akidah dan ibadah. 

Intinya, persaudaraan itu bukan hanya dalam tataran ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat islam) saja. Namun lebih dari itu, Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar berbelas kasih mengagungkan sikap kerahmatannya pada tataran ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia).

Adapun mengenai perekonomian keluarga Nabi, memang beliau mempunyai hak mendapatkan seperlima harta rampasan perang, namun beliau mendistribusikan semuanya untuk kepentingan umat, beliau tidak membutuhkan pengkhususan seperti itu. Beliau juga pernah bersabda:

"Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung uhud, aku tidak ingin lewat dari tiga hari, meski masih tersisa dari harta tersebut sedikit pun, kecuali sedikit yang aku simpan untuk membayar hutang"

Beliau mendermakan harta miliknya dengan sangat ringan dan senantiasa memberi bantuan kepada yang membutuhkan seperti halnya orang yang tidak takut pada kemiskinan.

Maka tidak ada salahnya jika suatu hari beliau kehabisan gandum untuk membuat roti, ketika di Madinah negara yang tumbuhan utamanya adalah kurma dan bukan tanaman pangan, dan tidak ada yang menyimpan gandum kecuali Yahudi ini. Maka Rasul pun kemudian meminjam darinya tiga puluh sha' untuk istri-istri beliau. Ketika orang Yahudi tersebut meminta jaminan, maka digadaikanlah baju perangnya, dan ini terjadi pada hari-hari terakhir beliau, hingga akhirnya beliau wafat dan baju perang tersebut masih berada di tangan Yahudi tersebut. 

Tampaknya tidak ada yang aneh dan tidak ada yang bertentangan dengan akal atau logika dalam hadits tersebut.

Adapun firman Allah SWT yang menyebutkan: "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan". (QS. Ad-Duha, Ayat 8), ayat ini termasuk yang turun saat beliau baru diangkat menjadi Rasul dan awal-awal sejarah turunnya Al-Qur'an, di mana pada hari-hari sulit beliau mengikat batu di perutnya untuk menahan rasa lapar yang sangat. Di lain waktu beliau dan para sahabat juga makan dedaunan seperti terjadi pada hari pemboikotan yang terkenal dalam sejarah Nabi.

Oleh karenanya, teliti lagi kebenarannya sebelum kita mudah mengatakan suatu hadits dikatakan palsu hanya berdasar pada penilaian kita semata. Jika memang kita tidak mempunyai keahlian dalam hal ini, janganlah berani untuk menafsiri sendiri sesuka hati. Tanyalah kepada para pakar yang telah mendalami dan mempelajarinya, yakni para Ulama mumpuni yang mengumpulkan antara Al-Qur'an dengan hadits dan hadits dengan fiqh. Demikian. Wallahu A'lam

Selengkapnya
Dosa-Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Setiap Muslim

Dosa-Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Setiap Muslim

Para Ulama bersepakat bahwa perbuatan-perbuatan yang termasuk dosa besar itu ada banyak macamnya. Bagi yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, pelakunya diancam dengan hukuman dunia, azab di akhirat, serta dilaknat oleh Allah SWT dan RasulNya. 

orang berbuat dosa jahat
ilustrasi

Secara garis besar, dosa-dosa besar tersebut dapat dikelompokkan menurut dampaknya, misalnya dosa-dosa besar terhadap Allah SWT, dosa besar terhadap diri sendiri, dosa besar dalam keluarga, dosa besar yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seksual, dosa besar dalam makanan dan minuman, serta dosa besar dalam kehidupan bermasyarakat.

1. Dosa Besar terhadap Allah SWT


Perbuatan-perbuatan yang termasuk dosa besar terhadap Allah mencakup beberapa hal seperti syirik, kufur, nifak, dan fasik.

Syirik


Dalam ilmu tauhid, syirik adalah menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu selainNya, baik dalam DzatNya, Af'alNya (perbuatanNya), maupun dalam hal ketaatan yang seharusnya ditujukan hanya kepadaNya. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik

Syirik merupakan dosa besar yang paling berat, sehingga pelakunya tidak akan memperoleh ampunan Allah apabila sebelum meninggal dunia, dia tidak bertobat yang sesungguh-sungguhnya. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ  ۚ  وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرٰىٓ إِثْمًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar". (QS. An-Nisa', 48)

Kufur


Yaitu mengingkari adanya Allah SWT dan segala ajaran-Nya yang disampaikan oleh Nabi/RasulNya. Orang yang berlaku ingkar disebut kafir. Termasuk kufur adalah mengingkari atau tidak mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah SWT. Dalam firmanNya disebutkan:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ  ۖ  وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat". (QS. Ibrahim, 7)

Nifaq


Yaitu menampakkan sikap, ucapan, dan perbuatan yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang tersembunyi dalam hatinya, seperti berpura-pura memeluk agama Islam padahal dalam hatinya kufur (mengingkari). Orang yang berperilaku nifaq disebut munafiq

Fasiq


Yaitu melupakan Allah SWT. Orang yang fasiq akan meninggalkan kewajiban agamanya, seperti meninggalkan shalat lima waktu, tidak berzakat, bahkan bisa sampai berbuat riddah, yaitu keluar dari agama Islam yang ditunjukkan dengan sikap mental, ucapan, dan perbuatan. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسٰىهُمْ أَنْفُسَهُمْ  ۚ  أُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُونَ

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik". (QS. Al-Hasyr, 19)

2. Dosa Besar Terhadap Diri Sendiri


Dosa besar terhadap diri sendiri adalah perbuatan dosa besar yang objek atau sasarannya adalah diri sendiri, seperti membunuh diri sendiri. 

Bunuh Diri

 
Membunuh diri sendiri (bunuh diri), dengan cara apa pun merupakan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Haram hukumnya dan termasuk dosa besar. Yang berhak menghidupkan dan mematikan seseorang hanyalah Allah SWT (lihat QS. Al-Hajj, ayat 66). 

Menurut ilmu psikologi, penyebab seseorang melakukan bunuh diri itu antara lain, karena keputusasaan akibat penyakit yang diderita atau kesulitan hidup yang menghimpit tidak teratasi, karena faktor psikologis atau kegelisahan yang tidak terkendalikan akibat faktor luar, dan karena gagal atau hilangnya suatu harapan. 

Bagaimanapun juga, Allah tetap melarang bunuh diri apa pun alasannya. Hal ini sesuai dengan firmanNya:

وَلَا تَقْتُلُوٓا أَنْفُسَكُمْ  ۚ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu". (QS. An-Nisa', 29)

Dari Jundab bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu kala dari orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang terluka, ia tidak bersabar, lalu ia mengambil sebilah pisau dan menyayat tangannya sehingga darah terus mengalir sampai ia meninggal. Kemudian Allah berfirman: "HambaKu telah mendahului-Ku terhadap jiwanya, maka Aku haramkan surga baginya". (HR. Bukhari dan Muslim). 

3. Dosa Besar dalam Keluarga


Salah satu dosa besar dalam keluarga adalah durhaka kepada kedua orang tua. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang bersumber dari Abu Bakar RA. Rasulullah SAW bersabda:

"Maukah Aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar?". Kami para sahabat menjawab, "Baiklah ya Rasulullah. Rasulullah SAW melanjutkan, "Menyekutukan Allah (syirik) dan mendurhakai kedua orang tua". (HR. Bukhari dan Muslim). 

Contoh-contoh perbuatan yang termasuk durhaka pada kedua orang tua seperti:
  • Melakukan penganiayaan terhadap fisik kedua orang tua. 
  • Melontarkan caci-maki atau kata-kata yang menyakitkan hati kedua orang tua. 
  • Mengancam kedua orang tua agar memberikan sejumlah uang atau sesuatu yang lain, padahal kedua orang tuanya tidak mampu.
  • Menelantarkan kedua orang tua yang berada dalam kemiskinan, padahal sang anak hidup berkecukupan dan mampu memberikan pertolongan kepada kedua orang tuanya.
  • Anak menjauhi kedua orang tuanya dan tidak mau menjenguk mereka. Salah satu penyebabnya mungkin karena status sosial anak lebih tinggi dari status sosial kedua orang tuanya sehingga anak merendahkan kedua orang tuanya. 

Akibat buruk dari durhaka kepada kedua orang tua itu akan menimpa kedua orang tua dan anaknya yang durhaka. Kedua orang tua akan mengalami berbagai penderitaan, sedangkan anak yang durhaka akan mendapat murka Allah, siksa di dunia dan azab di akhirat. Rasulullah SAW bersabda: 

"Rida Tuhan berada di dalam rida kedua orang tua, dan kemurkaanNya berada pada kemurkaan kedua orang tua". (HR. Tabrani dari Ibnu Umar). 


4. Dosa Besar dalam Pemenuhan Seksual


Zina


Adalah hubungan kelamin (persetubuhan) antara laki-laki dan wanita di luar pernikahan yang sah, yakni pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syara'. Zina adalah perbuatan tidak beradab dan perbuatan keji yang diharamkan Allah. Dalam firmanNya disebutkan:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ  ۖ  إِنَّهُ ۥ  كَانَ فٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra', 32)

Allah mengharamkan zina dan memasukkannya ke dalam dosa besar karena akibat buruknya atau bahaya yang ditimbulkan zina sungguh besar. Menurut hukum Islam, para pelaku zina yang termasuk ghairu muhsan (belum menikah) hukumnya didera (dicambuk) sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sedangkan pezina muhsan (sudah menikah) maka hukumannya adalah dirajam sampai mati. 

Homoseksual (gay dan lesbian) 


Homoseks adalah pemuasan atau penyaluran nafsu seks antara sesama jenis, sesama pria (gay) dan sesama wanita (lesbian). Homoseksual yang dalam ilmu fiqih disebut al-liwath merupakan perbuatan haram dan dosa besar, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan fitrah manusia serta bertentangan pula dengan norma susila dan agama. Rasulullah SAW bersabda:

"Allah mengutuk orang yang melakukan perbuatan kaum Lut (diulang sampai tiga kali)". (HR. Ahmad). 

Menuduh Zina (qadzaf


Menurut istilah fiqih, qadzaf adalah menuduh orang lain melakukan zina tanpa adanya saksi-saksi yang dibenarkan oleh syara'.

Qadzaf termasuk ke dalam perbuatan keji yang hukumnya haram dan merupakan dosa besar. Hal ini disebabkan karena menuduh zina akan mendatangkan kerugian dan bencana, baik bagi yang dituduh beserta keluarganya maupun bagi yang menuduh. Adapun dalil naqli tentang qadzaf ini adalah QS. An Nur ayat 4 - 5 dan 19.

Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah tujuh perbuatan yang membinasakan". "Apakah tujuh perbuatan tersebut wahai Rasulullah?". Jawab Nabi SAW, "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh manusia yang diharamkan Allah, memakan hasil riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran, dan menuduh zina kepada para wanita muhsan yang beriman, kendati pelupa". (HR. Bukhari dan Muslim). 

5. Dosa Besar dalam Makanan dan Minuman


Memakan Makanan Haram


Makanan-makanan yang dengan tegas diharamkan syara' (Al Qur'an dan Hadits), maka bagi para pemakannya dianggap melakukan dosa besar sehingga mereka akan diancam dengan siksa. Makanan-makanan yang diharamkan karena zatnya tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam Al Qur'an. Allah SWT berfirman yang artinya:

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang". (QS. Al-Ma'idah, 3).

Meminum khamr


Kata khamr berasal dari kata "khamran" yang artinya tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Selanjutnya, istilah khamr digunakan sebagai sebutan bagi setiap yang memabukkan dan menutup atau menghalangi akal sehat peminum (pemakai) nya dari mengerjakan perintah-perintah Allah dan RasulNya. Rasulullah SAW bersabda, "Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap yang memabukkan adalah haram". (HR. Abu Daud).

Mengacu kepada pengertian khamr di atas, maka jelaslah bahwa khamr mencakup segala sesuatu yang memabukkan, baik berupa cairan, maupun zat padat, baik dengan cara diminum, dimakan, dihisap, atau diinjeksikan ke dalam tubuh. Termasuk ke dalam khamr yaitu berbagai jenis minuman beralkohol, ganja, narkotika, morfin, heroin dan lain sebagainya. 

6. Dosa Besar dalam Kehidupan Bermasyarakat


Dosa besar yang mungkin terjadi di masyarakat cukup banyak, antara lain seperti pembunuhan, menganiaya orang, mencuri, merampok, dan lain sebagainya. 

Pembunuhan


Pembunuhan adalah perbuatan yang menyebabkan lenyapnya nyawa seseorang. Membunuh orang dengan sengaja merupakan perbuatan biadab yang hukumnya haram dan termasuk dosa besar, yang perilakunya akan dimurkai dan dikutuk Allah, serta dicampakkan ke dalam neraka jahannam. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ ۥ  جَهَنَّمُ خٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ ۥ  وَأَعَدَّ لَهُ ۥ  عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisa', 93). 

Menganiaya Orang


Tindak pidana terhadap anggota tubuh manusia (menganiaya) ada yang dilakukan dengan sengaja dan adapula yang dilakukan tidak dengan sengaja (tersalah semata). Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja misalnya seseorang sengaja meninju mata si A sehingga buta, atau sengaja membabat tangan si B dangan pedang sehingga sebagian tangannya terlepas. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan karena tersalah semata misalnya seseorang yang sedang berlatih silat dengan menggunakan sebelah pedang, tiba-tiba pedangnya melesat dan melukai si C salah seorang penonton.

Mencuri


Menurut istilah ilmu fiqih, mencuri adalah mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanannya secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Mengacu kepada pengertian tersebut, maka perbuatan seperti merampas, merampok, korupsi, mengurangi timbangan (takaran) dan memperoleh harta dengan cara menipu tidak termasuk ke dalam definisi mencuri, meskipun hukumnya sama dengan mencuri, yaitu haram.

Islam mengakui adanya hak milik perseorangan dan memberikan perlindungan terhadap hak milik tersebut. Menurut hukum Islam, pelaku pencurian akan dijatuhi hukuman berat yaitu hukum potong tangan apabila pencurian yang dilakukannya telah memenuhi persyaratan tertentu. Allah SWT berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوٓا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكٰلًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana". (QS. Al-Ma'idah, 38)

Merampok


Merampok, merampas atau menggarong ialah mengambil harta orang lain dengan kekerasan atau ancaman senjata tajam, bahkan kadang-kadang disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan. Merampok termasuk perbuatan haram dan merupakan dosa besar yang wajib dijauhi oleh setiap individu. 

Jika dalam suatu masyarakat banyak terjadi perampokan, maka warga masyarakat akan mengalami keresahan, tidak akan memperoleh kedamaian ketentraman. Bahkan kemakmuran serta kesejahteraan bersama yang mereka dambakan tidak akan terwujud. Oleh karena itu, tepat sekali penegasan Allah SWT dalam Al Qur'an bahwa para perampok merupakan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, dan tergolong kelompok hirabah, yaitu kelompok yang menyatakan perang terhadap Allah SWT dan RasulNya, karena perampokan yang mereka lakukan merupakan perbuatan melawan hukum Allah SWT dan melawan masyarakat yang dilindungi hukum. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا جَزٰٓؤُا الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَيَسْعَوْنَ فِى الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوٓا أَوْ يُصَلَّبُوٓا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلٰفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى الْأَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar". (QS. Al-Ma'idah, 33). 

*sumber: Pendidikan Agama Islam, Drs. H. Syamsuri, Penerbit Erlangga, 2007. 

Selengkapnya
Mengenal Akad Muzara'ah, Mukhabarah, dan Musaqah

Mengenal Akad Muzara'ah, Mukhabarah, dan Musaqah

Sebagai negara Agraris, sebagian besar penduduk negeri ini memang bekerja di sektor pertanian baik itu berupa lahan persawahan, ladang, atau perkebunan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan juga meningkatkan taraf perekonomian. Namun sayangnya karena kekurangan modal atau kendala lainnya, banyak dijumpai para petani tidak dapat mengolah lahan yang ada sehingga lahan menjadi terbengkalai dan tidak termanfaatkan. 

tandur di sawah

Agar hal itu bisa diminimalisir dengan baik, Islam telah mengatur berkaitan dengan pemanfaatan lahan-lahan pertanian tersebut agar dapat menghasilkan dan juga bermanfaat bagi orang lain. Para pemilik tanah dapat memanfaatkan tanah-tanah pertanian yang mereka miliki dengan berbagai cara di antaranya sebagai berikut:

  • Tanah pertanian tersebut ditanami sendiri, dan hasilnya selain untuk kepentingan mereka dan keluarganya juga untuk disedekahkan kepada fakir miskin atau makanan hewan ternak. 
  • Para pemilik lahan yang tidak dapat menanami sendiri tanah pertanian miliknya hendaknya dengan ikhlas meminjamkan tanah pertaniannya itu kepada orang-orang yang bersedia menanaminya atau menggarapnya (diutamakan para fakir miskin). Sedangkan seluruh hasil garapan tanah sepenuhnya diserahkan kepada pihak penggarap. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya salah seorang di antara kamu yang memberikan tanahnya kepada kawannya atau saudaranya (untuk digarap), lebih baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan". (HR. Bukhari) 
  • Para pemilik tanah yang tidak dapat menanami sendiri tanah pertanian miliknya, maka boleh saja ia melakukan usaha bersama dengan para penggarap tanah melalui akad muzaraah, mukhabarah, dan musaqah. 

Muzara'ah dan Mukhabarah


Muzaraah adalah paruhan hasil sawah atau ladang antara pemilik dan penggarap, sedangkan benihnya berasal dari pemilik. Jika benihnya berasal dari penggarap, maka disebut mukhabarah. Jadi dapat dipahami bahwa perbedaan keduanya ialah pada modal, jika modal berasal dari penggarap disebut mukhabarah, sedangkan jika modal dikeluarkan oleh pemilik tanah maka disebut muzara'ah. (selengkapnya lihat Kifayatul Akhyar jilid I, hal. 253, Dar al Fikr). 

Muzaraah dan Mukhabarah merupakan kerja sama di bidang pertanian yang dibolehkan Islam, dan sesuai dengan ketentuan syara' dan dalam pelaksanaannya tidak ada unsur kecurangan dan pemaksaan. Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam muzaraah dan mukhabarah adalah sebagai berikut:

  • Pemilik dan penggarap harus sudah baligh (dewasa), berakal sehat, bersikap jujur, dan amanah. 
  • Sawah atau ladang yang digarap betul-betul milik orang yang menyerahkan sawah (ladang)nya untuk digarap. 
  • Hendaknya ditentukan lamanya masa penggarapan. Misalnya, satu  tahun atau dua tahun, dua kali masa panen, atau empat kali masa panen. 
  • Besarnya paruhan hasil sawah (ladang) untuk pemilik dan penggarap ditentukan berdasarkan musyawarah antara keduanya yang diliputi oleh rasa kekeluargaan dan keadilan. 
  • Pemilik dan penggarap hendaknya menaati ketentuan-ketentuan yang telah mereka sepakati bersama. 

Musaqah


Musaqah adalah paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap, yang besar bagian masing-masingnya sesuai dengan perjanjian pada waktu akad. Musaqah pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya sebagaimana tercantum dalam hadits berikut:

عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عامل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع - رواه مسلم

"Dari Ibnu Umar RA, Sesungguhnya Nabi SAW telah menyerahkan kebun miliknya kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari hasilnya baik dari buah-buahan atau hasil tanaman (palawija)". (HR. Muslim) 

Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara'ah, dimana pihak penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan tanaman, dan sebagai imbalan, pihak penggarap kemudian berhak atas bagian tertentu dari hasil panen. Adapun mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam musaqah hampir sama dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada akad muzara'ah maupun mukhabarah. 

Manfaat-manfaat dari akad muzaraah, mukhabarah, dan musaqah sangat banyak, antara lain sebagai berikut:

  • Mewujudkan persaudaraan dan tolong menolong khususnya antara pemilik tanah pertanian dan penggarap. 
  • Mengurangi dan menghilangkan pengangguran menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. 
  • Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian. 
  • Usaha pencegahan terhadap terjadinya lahan-lahan kritis. 
  • Memelihara, meningkatkan, dan melestarikan keindahan alam (lingkungan). 

Selengkapnya
Tentang Nabi dan Rasul Serta Kewajiban Mengimani Mereka

Tentang Nabi dan Rasul Serta Kewajiban Mengimani Mereka


Salah satu di antara enam rukun iman yang wajib dimiliki oleh seorang Muslim adalah iman akan keberadaan para Utusan Allah. Iman kepada Rasul-Rasul Allah berarti mempercayai bahwa Rasul Allah adalah seseorang yang diutus dan ditugaskan Allah untuk menyampaikan ajaran Allah (wahyu) yang diterimanya kepada umatnya agar dijadikan sebagai pedoman hidup.

Nabi dan Rasul
via bandungcitytoday.com

Para Ulama dan umat Islam berpendapat bahwa setiap Rasul sudah pasti Nabi, tetapi tidak setiap Nabi menjadi Rasul. Rasul adalah Nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu (ajaran Allah) kepada umat manusia. Adapun Nabi yang tidak diberi tugas untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia maka ia bukan Rasul, melainkan hanya seorang Nabi. Dalam konteks syiar, para Nabi hanya akan menunjukkan wahyu yang dimiliki pada kasus-kasus yang dihadapi.

Ulama dan umat Islam yang berpendapat demikian beralasan kepada sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Zar, bahwa jumlah Nabi ada 124.000 orang, sedangkan Rasul berjumlah 313 orang. Keterangan mengenai hal ini juga termaktub dalam Syarah kitab Riyadhul Badi'ah karya Syeikh Muhammad Nawawi al Jawi. Dijelaskan dalam kitab tersebut bahwa nama 313 Rasul tersebut adalah:

Adam As., Tsits As., Anuwsy As., Qiynaaq As., Mahyaa’iyl As., Akhnuwkh As., Idris As., Mutawatsilakh As., Nuh As., Hud As., Abhaf As., Murdaaziyman As., Tsari’ As., Sholeh As., Arfakhtsyad As., Shofwaan As., Handholah As., Luth As., Ishoon As., Ibrahim As., Isma’il As., Ishaq As., Ya’qub As., Yusuf As., Tsama’il As., Su’aib As., Musa As., Luthoon As., Ya’wa As., Harun As., Kaylun As., Yusya’ As., Daaniyaal As., Bunasy As., Balyaa As., Armiyaa As., Yunus As., Ilyas As., Daud As., Sulaiman As., Ilyasa’ As., Ayub As., Aus As., Dzanin As., Alhami’ As., Tsabits As., Ghobir As., Hamilan As., Dzulkifli As., Uzair As., Azkolan As., Izan As., Alwun As., Zayin As., Aazim As., Harbad As., Syadzun As., Sa’ad As., Gholib As., Syamaas As., Syam’un As., Fiyaadh As., Qidhon As., Saarom As., Ghinadh As., Saanim As., Ardhun As., Babuzir As., Kazkol As., Baasil As., Baasan As., Lakhin As., Ilshots As., Rasugh As., Rusy’in As., Alamun As., Lawqhun As., Barsuwa As., Al-‘Adzim As., Ratsaad As., Syarib As., Habil As., Mublan As., Imron As., Harib As., Jurits As., Tsima’ As., Dhorikh As., Sifaan As., Qubayl As., Dhofdho As., Ishoon As., Ishof As., Shodif As., Barwa’ As., Haashiim As., Hiyaan As., Aashim As., Wijaan As., Mishda’ As., Aaris As., Syarhabil As., Harbiil As., Hazqiil As., Asymu’il As., Imshon As., Kabiir As., Saabath As., Ibaad As., Basylakh As., Rihaan As., Imdan As., Mirqoon As., Hanaan As., Lawhaan As., Walum As., Ba’yul As., Bishosh As., Hibaan As., Afliq As., Qoozim As., Ludhoyr As., Wariisa As., Midh’as As., Hudzamah As., Syarwahil As., Ma’n’il As., Mudrik As., Hariim As., Baarigh As., Harmiil As., Jaabadz As., Dzarqon As., Ushfun As., Barjaaj As., Naawi As., Hazruyiin As., Isybiil As., Ithoof As., Mahiil As., Zanjiil As., Tsamithon As., Alqowm As., Hawbalad As., Solih As., Saanukh As., Raamiil As., Zaamiil As., Qoosim As., Baayil As., Yaazil As., Kablaan As., Baatir As., Haajim As., Jaawih As., Jaamir As., Haajin As., Raasil As., Waasim As., Raadan As., Saadim As., Syu’tsan As., Jaazaan As., Shoohid As., Shohban As., Kalwan As., Shoo’id As., Ghifron As., Ghooyir As., Lahuun As., Baldakh As., Haydaan As., Lawii As., Habro’a As., Naashii As., Haafik As., Khoofikh As., Kaashikh As., Laafats As., Naayim As., Haasyim As., Hajaam As., Miyzad As., Isyamaan As., Rahiilan As., Lathif As., Barthofun As., A’ban As., Awroidh As., Muhmuthshir As., Aaniin As., Namakh As., Hunudwal As., Mibshol As., Mudh’ataam As., Thomil As., Thoobikh As., Muhmam As., Hajrom As., Adawan As., Munbidz As., Baarun As., Raawan As., Mu’biin As., Muzaahiim As., Yaniidz As., Lamii As., Firdaan As., Jaabir As., Saalum As., Asyh As., Harooban As., Jaabuk As., Aabuj As., Miynats As., Qoonukh As., Dirbaan As., Shokhim As., Haaridh As., Haarodh As., Harqiil As., Nu’man As., Azmiil As., Murohhim As., Midaas As., Yanuuh As., Yunus As., Saasaan As., Furyum As., Farbusy As., Shohib As., Ruknu As., Aamir As., Sahnaq As., Zakhun As., Hiinyam As., Iyaab As., Shibah As., Arofun As., Mikhlad As., Marhum As., Shonid As., Gholib As., Abdullah As., Adruzin As., Idasaan As., Zahron As., Bayi’ As., Nudzoyr As., Hawziban As., Kaayiwuasyim As., Fatwan As., Aabun As., Rabakh As., Shoobih As., Musalun As., Hijaan As., Rawbal As., Rabuun As., Mu’iilan As., Saabi’an As., Arjiil As., Bayaghiin As., Mutadhih As., Rahiin As., Mihros As., Saahin As., Hirfaan As., Mahmuun As., Hawdhoon As., Alba’uts As., Wa’id As., Rahbul As., Biyghon As., Batiihun As., Hathobaan As., Aamil As., Zahirom As., Iysaa As., Shobiyh As., Yathbu’ As., Jaarih As., Shohiyb As., Shihats As., Kalamaan As., Bawumii As., Syumyawun As., Arodhun As., Hawkhor As., Yaliyq As., Bari’ As., Aa’iil As., Kan’aan As., Hifdun As., Hismaan As., Yasma’ As., Arifur As., Aromin As., Fadh’an As., Fadhhan As., Shoqhoon As., Syam’un As., Rishosh As., Aqlibuun As., Saakhim As., Khoo’iil As., Ikhyaal As., Hiyaaj As., Zakariyya As., Yahya As., Jurhas As., Isa As., Muhammad SAW.

Ciri-Ciri dan Sifat-Sifat Rasul


Rasul adalah manusia utama pilihan Allah SWT. Allah lah yang dengan hak mutlakNya memilih seseorang menjadi Rasulnya. Ciri-ciri seorang Rasul antara lain seorang laki-laki yang sehat jasmani dan rohaninya, mempunyai akal yang sempurna, berjiwa 'ismah (mampu mengendalikan diri dari berbuat dosa), dan berasal dari keturunan orang baik-baik. Selain itu, para Rasul juga memiliki sifat-sifat mulia yakni Sidiq (benar atau jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan risalah), dan Fathanah (cerdas atau cerdik cendekia).

Mukjizat Para Rasul


Setiap Rasul memperoleh mukjizat sebagai bukti akan kebenaran kerasulannya. Mukjizat adalah suatu kejadian luar biasa yang menyalahi adat kebiasaan dan hukum sebab akibat, yang dikaruniakan Allah kepada RasulNya. 

Contoh mukjizat para Rasul antara lain Nabi Ibrahim tidak hangus ketika dibakar oleh raja Namrud (lihat QS. Al Anbiya, 69), tongkat Nabi Musa As dapat berubah menjadi ular besar yang memakan habis ular-ular ciptaan tukang sihir raja Fir'aun (lihat QS. Taha, 69), Nabi Isa mampu membuat burung dari tanah, menyembuhkan penyakit kusta tanpa pengobatan, dan dapat menghidupkan orang yang telah mati (lihat QS. Al Maidah, 110), dan Nabi Muhammad SAW mukjizatnya yang terbesar adalah Al Qur'an, dimana isi kandungannya serta keindahan bahasanya tidak ada yang mampu menandingi (lihat QS. Al-Isra', 88).

Para Rasul Ulul Azmi


Selain daripada itu, di antara para Nabi dan Rasul itu ada 5 orang yang termasuk ulul azmi, yaitu Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa As, Nabi Isa As, dan Nabi Nuh As. Ulul Azmi adalah Nabi dan Rasul yang dikenal memiliki kesabaran dan ketabahan luar biasa di dalam menghadapi berbagai penderitaan dan gangguan selama melaksanakan tugas risalahnya. Allah SWT berfirman, "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul yang telah bersabar (ulul azmi)" (QS. Al Ahqaf, 35).

Jumlah Nabi dan Rasul dalam Al Qur'an


Mengenai jumlah para Rasul dan Nabi dari semenjak Nabi Adam As sampai dengan Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, Al Qur'an memang tidak menjelaskan secara keseluruhan. Akan tetapi Rasul yang dikisahkan Allah dalam Al Qur'an dimana kita wajib mengetahuinya berjumlah 25 orang. Mengenai hal ini Allah berfirman, "Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada juga yang tidak Kami ceritakan kepadamu" (QS. Al Mukmin, 78).

Adapun 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui bagi seorang muslim yaitu:

1. Nabi Adam A.S
2. Nabi Idris A.S 
3. Nabi Nuh A.S 
4. Nabi Hud A.S 
5. Nabi Sholeh A.S 
6. Nabi Ibrahim A.S 
7. Nabi Luth A.S 
8. Nabi Ismail A.S 
9. Nabi Ishak A.S 
10. Nabi Yaqub A.S 
11. Nabi Yusuf A.S 
12. Nabi Ayub A.S 
13. Nabi Syu’aib A.S 
14. Nabi Musa A.S 
15. Nabi Harun A.S 
16. Nabi Daud A.S 
17. Nabi Sulaiman A.S 
18. Nabi Ilyas A.S 
19. Nabi Ilyasa A.S 
20. Nabi Yunus A.S 
21. Nabi Dzulkifli A.S 
22. Nabi Zakaria A.S 
23. Nabi Yahya A.S 
24. Nabi Isa A.S 
25. Nabi Muhammad S.A.W

Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul


Hukum beriman kepada para Rasul, bahwa mereka merupakan utusan-utusan Allah SWT yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah (wahyu atau ajaran Allah) yang diterimanya kepada umatnya agar dijadikan pedoman hidup adalah fardhu 'ain. Artinya, jika ada orang mengaku beragama Islam tetapi tidak beriman kepada para Rasul sebagaimana tercantum dalam Al Qur' an tersebut, maka orang tersebut dianggap kafir. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain), serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan." (QS. An-Nisa', 150-151)

Wujud Iman Kepada Para Rasul


Sebagai Muslim, perilaku beriman kepada Rasul-Rasul Allah ini dapat kita wujudkan antara lain dengan:

1. Menaati risalah (ajaran Allah) yang disampaikan Rasulnya. Allah SWT berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. Al-Hasyr, 7)

2. Melaksanakan seruan Rasul untuk beribadah hanya kepada Allah SWT, dan menjauhkan diri dari segala sikap serta perilaku syirik.

3. Beperilaku giat dan rajin bekerja untuk mencari rizki halal sesuai dengan keahlian masing-masing. Muslim yang memenuhi kebutuhannya dengan hasil usaha sendiri jauh lebih terhormat daripada mengharap belas kasihan atau pertolongan orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak seorang pun yang makan lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud As makan dari hasil usahanya sendiri (maksudnya yang terbaik untuk dimakan seseorang ialah makanan yang berasal dari hasil jerih payahnya, sebagaimana dicontohkan Nabi Daud yang makan dari hasil kerjanya)". (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa'i).

4. Menjaga eratnya persaudaraan sesama Umat Islam dengan hidup saling tolong menolong dan menebarkan kebaikan di mana pun berada. 

5. Berusaha meningkatkan kualitas hidupnya ke derajat lebih tinggi, misalnya dengan memelihara kesehatan jasmani dan rohani, meningkatkan iman dan taqwa dengan rajin beramal ibadah, serta mendalami berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat sebagai bekal dalam beribadah dan usaha mensejahterakan umat manusia. Wallahu A'lam

Selengkapnya