Riwayat Hidup Tumenggung Bahurekso, Bupati Kendal pertama, Panglima Perang Mataram

Riwayat Hidup Tumenggung Bahurekso, Bupati Kendal pertama, Panglima Perang Mataram

Pada beberapa artikel saya yang lalu, yakni artikel tentang Sejarah Kabupaten Kendal, Kesenian Sintren, dan sepintas tentang Sejarah Kerajaan Islam di Nusantara (Mataram), nama tokoh ini beberapa kali saya sebut sebagai tokoh yang banyak berperan dalam sejarah dan kebudayaan di negeri ini (khususnya Jawa). Nama tokoh ini yaitu Tumenggung Bahurekso. 

ilustrasi Tumenggung Bahurekso
ilustrasi

Dalam sejarah Mataram Islam, Tumenggung Bahurekso adalah seorang Panglima Perang Mataram yang pernah diberi mandat langsung oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC (tahun 1628) di Batavia. Selain itu, karena jasa-jasanya, nama Tumenggung Bahurekso juga merupakan tokoh yang cukup dikenal bagi masyarakat di sepanjang pantura Jawa Tengah (Kendal, Batang, Pekalongan dan sekitarnya).

Tumenggung Bahurekso yang pada masa mudanya bernama Joko Bahu adalah putra dari seorang mantan punggawa Mataram yang bernama Ki Ageng Cempaluk. Pada masa lalu, Ki Ageng Cempaluk memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Pangeran Benawa (Raja Pajang terakhir) dan Sultan Mataram pertama yaitu Panembahan Senopati. Karena dharma baktinya yang besar kepada Mataram, Ki Ageng Cempaluk kemudian diberi  tanah perdikan di sebuah desa kecil bernama Kesesi di dekat kali Comal (sekarang masuk Kabupaten Pekalongan). Nama kesesi sendiri konon berasal dari kata "kasisian" yang artinya pengasingan, karena Ki Ageng Cempaluk sebenarnya diasingkan di tempat tersebut.

Namun adapula yang mengartikan bahwa pengasingan ini dilakukan oleh Ki Ageng Cempaluk saat sudah tua untuk mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat putranya menginjak dewasa, Ki Ageng Cempaluk kemudian memerintahkan putranya Joko Bahu untuk mengabdikan diri pada keraton Mataram yang saat itu diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Melihat Joko Bahu sebagai putra Ki Ageng Cempaluk yang memang terkenal sakti dan namanya cukup dikenal di keraton mataram, maka tanpa banyak pertimbangan Sultan Agung pun menerima bakti dari Joko Bahu.

Untuk menunjukan kesetiaannya mengabdi kepada Mataram, Joko Bahu pun harus melewati beberapa tahapan yang menjadi sarat mutlak bagi setiap prajurit yang hendak mengabdi kepada keraton. Pada tahap pertama, Sultan Agung memberi tugas kepada Joko Bahu untuk membendung kali sambong yang saat ini masuk wilayah Batang. Pada zaman dahulu, kali Sambong ini terkenal sangat angker. Sudah beberapa kali usaha pembendungan dilakukan namun selalu saja gagal. Padahal akses Kali Sambong ini cukup penting untuk mengairi sawah-sawah rakyat di sepanjang sungai yang kekeringan setiap musim kemarau. Dengan dibuat bendungan, harapannya hasil panen akan meningkat sehingga kebijakan raja mataram untuk meningkatkan kemakmuran negrinya di bidang pertanian dapat tercapai.

Mendapat tugas dari Sultan Agung, Joko Bahu pun segera berangkat dengan membawa beberapa prajurit untuk membantunya melaksanakan tugas yang tidak ringan itu. Setibanya di Kali Sambong, usaha pembendungan pun dilakukan setahap demi setahap. Namun di tengah-tengah berlangsungnya proyek pembendungan Kali Sambong ini, muncul keanehan-keanehan yang terjadi. Ketika pagi hari saat para prajurit hendak melanjutkan pekerjaan mereka yang belum selesai itu, mereka selalu mendapati tanggul yang mereka kerjakan kemarin telah rontok dan bubar kembali. Kejadian itu terus berulang-ulang sampai tiga hari berturut-turut.

Melihat keganjilan seperti itu, para prajurit pun dibuat bingung bukan kepalang. Joko bahu pun kemudian melakukan tapa brata dan bertemu dengan siluman welut putih yang menunggui kali Sambong tersebut. Terjadi tawar-menawar kepentingan antara Joko Bahu dan Siluman welut putih penunggu Kali sambong, namun hasilnya buntu alias tidak menemui kata sepakat. Jalan terakhir akhirnya terjadilah perkelahian sengit antara kedua belah yang pada akhirnya dimenangkan oleh Joko Bahu. Dengan kemenangan ini, usaha pembendungan Kali Sambong pun dilanjutkan tanpa ada lagi halangan. Pada masa selanjutnya, daerah inilah yang kelak menjadi cikal bakal dari Kadipaten Batang.

Setelah berhasil melaksanakan tugas pertamanya, Joko Bahu kemudian mendapat tugas kembali dari Sultan Agung untuk membuka lahan baru di tepi pantai utara jawa yakni wilayah alas Gambiran. Pada masa itu, daerah ini terkenal sangat angker sehingga dihindari oleh rombongan pedagang yang melakukan perjalanan jauh. Saat melintasi wilayah ini, mereka biasanya lebih memilih lewat jalur sebelah selatan yang lebih aman. Saking angkernya alas gambiran, konon jika ada orang yang masuk ke dalamnya, pasti dia hanya akan berputar-putar di dalamnya dan tidak akan pernah bisa kembali keluar lagi dengan selamat.

Saat Joko Bahu dan para prajuritnya menjalankan tugas untuk membabat hutan gambiran, mereka pun mengalami kejadian serupa. Begitu masuk ke dalam hutan, mereka pun hanya berputar-putar tidak tentu dan tidak bisa bisa menemukan jalan keluar. Melihat hal itu, Joko Bahu pun kemudian melakukan tapa brata yaitu tapa ngidang dengan meniru sifat kidang untuk menghadapi penunggu alas gambiran ini. Namun ternyata Joko Bahu tidak mampu mengalahkan raja siluman penunggu alas gambiran yaitu Dewi Lanjar yang memang diutus oleh Ratu Kidul untuk menggagalkan usaha Joko Bahu tersebut.

Merasa butuh bantuan, Joko Bahu pun kemudian pulang menuju padepokan ayahnya, Ki Ageng Cempaluk untuk meminta masukan atas hal tersebut. Atas saran dari ayahnya, Joko Bahu kemudian melakukan "tapa ngalong", yaitu tapa brata dengan menirukan posisi kalong, yakni tapa dengan kaki menggantung di pohon tiap siang selama 40 hari. Wilayah tempat dimana Joko Bahu melakukan tapa ngalong itu kini disebut "Pekalongan" yang artinya tempat Joko Bahu melakukan tapa kalong. Singkat cerita, Joko Bahu pun akhirnya berhasil mengalahkan Dewi Lanjar dan melanjutkan tugasnya membuka lahan sampai selesai. Setelah kalah dari Joko Bahu, konon Dewi lanjar meminta izin untuk tinggal di Pantai Utara, tepatnya di sekitar Pantai Slamaran, Pekalongan.

Mendengar keberhasilan Joko Bahu, Sultan Agung pun gembira dengan pencapaian tersebut. Semua tugasnya berhasil dijalankannya dengan baik. Bahkan saat ia ditugasi untuk memimpin pasukan Mataram ketika menyerang raja Uling di daerah Sigawok, tugas itu pun berhasil dijalankan dengan baik oleh Jaka Bahu. Atas keberhasilan dan jasa-jasanya ini, Sultan agung kemudian menganugrahkan gelar adipati kepada Joko Bahu dengan gelar Tumenggung Bahurekso dan sekaligus menetapkan wilayah Kendal sebagai daerah kekuasaannya. Sejak saat itulah, Tumenggung Bahurekso pun mulai menjabat sebagai Adipati (Bupati) kendal yang pertama yang dilantik pada tanggal 12 Robiul Awal 1412 Hijriyah atau bertepatan dengan  tanggal 28 Juli 1605.

Suatu ketika, Tumenggung Bahurekso mendapat tugas kembali dari Sultan Agung. Namun kali ini tugasnya berbeda dari tugas-tugas sebelumnya. Kali ini, Sultan Agung menugaskan Ki Bahurekso untuk melamarkan seorang putri cantik dari kali salak bernama Nyi Rantang sari untuk Sultan Agung. Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak. Begitu keduanya bertemu, Nyi rantang sari justru kemudian jatuh cinta kepada Bahurekso dan tidak mau dibawa untuk dipersembahkan kepada Sultan Mataram. Ki bahurekso yang juga jatuh cinta kepada Nyi Rantang Sari pun kemudian mengatur siasat untuk mengatasi hal ini. Muncullah inisiatif Bahurekso untuk mengganti Nyi Rantang Sari yang hendak dibawa kepada Sultan Mataram dengan seorang putri yang tak kalah cantiknya yaitu Endang kalibeluk, seorang putri anak penjual srabi di desa Kalibeluk.

Pada mulanya, siasat Ki Bahurekso ini berhasil membuat Sultan Mataram tidak mengetahuinya. Namun pada akhirnya semuanya terbongkar. Saat Endang Kalibeluk yang menggantikan Nyi Rantang Sari ini disandingkan dengan Sultan Agung, ia tidak kuasa menahan luapan kegembiraannya hingga akhirnya dia mengakui kalau dirinya bukan Nyi Rantang Sari yang dimaksud oleh Sultan Agung. Mendengar kenyataan ini, Sultan Agung pun marah besar. Dia merasa telah ditipu oleh bawahannya, Bahurekso. Sultan Agung pun pada awalnya berniat memberi hukuman mati kepada Bahurekso, namun keputusan ini dapat di cegah oleh patih Singaranu. Sang Patih menyarankan agar Sultan mengganti hukuman tersebut dengan memberi tugas yang amat berat kepada Bahurekso agar ia terbunuh dengan sendirinya.

Pada akhirnya, Sultan agung pun menugaskan Bahurekso sebagai panglima perang untuk menyerang Belanda di Batavia/ Jayakarta (sekarang Jakarta). Singkat cerita, berangkatlah Tumenggung Bahurekso bersama puluhan ribu pasukan armada perangnya menuju Batavia. Saat sampai wilayah Batavia, konon sebelum melakukan penyerangan ia pernah mengumpulkan pasukannya di sebuah daerah yang sekarang bernama Matraman yang artinya mataram-man. Selain itu, ia dan pasukannya juga sempat membendung sungai ciliwung hingga jendral Raveles meninggal karena terserang malaria.

penyerbuan Batavia
ilustrasi Serangan Pasukan Mataram ke Batavia

Mendapat serangan dari pasukan Mataram, pihak Belanda pun sempat dibuat kewalahan. Namun pihak Belanda ternyata tidak kehabisan akal. Pasukan Belanda memakai siasat membakar lumbung-lumbung makanan tentara Mataram sehingga mereka kehabisan perbekalan. Akibatnya, Bahurekso dan pasukannya pun akhirnya menderita kekalahan. Karena kekalahan yang dideritanya ini, Bahurekso pun tidak berani pulang ke kadipaten kendal dan memilih untuk berkelana. Sedangkan versi lain menyebutkan bahwa Ki Bahurekso gugur karena terluka parah sewaktu dalam pertempuran. Ki Bahurekso mengalami luka yang parah hingga kakinya hampir putus karena terkena meriam Belanda. Saat dalam perjalanan pulang, oleh para pengawalnya jasad beliau kemudian dimakamkan di daerah Lebaksiu, Tegal.

Memang ada beberapa tempat yang diklaim oleh masyarakat sebagai makam dari Tumenggung Bahurekso. Ada yang mengatakan berada di Batang, Kendal, dan yang di Lebaksiu Tegal. Namun yang cukup populer di antara makam-makam tersebut adalah makam beliau yang berada di Lebaksiu, Tegal. Begitu pula ada beragam versi mengenai sejarah asal usul dan perjalanan hidup beliau hingga kewafatannya. Namun yang jelas dan disepakati kebenarannya beliau adalah Bupati Kendal pertama, yang juga merupakan salah satu panglima perang kesultanan Mataram yang tangguh. Demikian. Semoga bermanfaat. (diolah dari berbagai sumber)

Selengkapnya
Biografi Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani

Biografi Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani


Kalangan pesantren begitu mengenal tokoh Ulama yang satu ini. Salah satu karya monumentalnya adalah kitab "Fathul Bari", yang merupakan penjelasan (Syarah) dari kitab Shahih milik Imam Bukhari, dan disepakati sebagai kitab penjelasan Shahih Bukhari paling detail yang pernah dibuat. Kisah sebutan yang disandangnya (Ibnu Hajar: Anak Batu) juga banyak dibagikan kepada kita. Meski kisah tersebut diragukan kebenarannya, namun setidaknya kisah tersebut bisa dijadikan sebagai motivasi bagi para penuntut ilmu agar tidak pantang menyerah dalam belajar. Beliau adalah Ahmad Syihabuddin Abul Fadhl atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar al 'Asqalani. 

Kitab Fathul Bari

Biografi Ibnu Hajar Al 'Asqalani


Al Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqalani adalah seorang ahli hadits terkemuka yang bermazhab Syafi'i. Nama lengkap beliau ialah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, al Kinani, al 'Asqalani, asy Syafi'i, al Mishri. Di kalangan masyarakat Islam, beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar al-Asqalani. Karena kemahirannya dalam ilmu hadits, beliau mendapat gelar "al Hafizh", sedangkan penyebutan 'Asqalani adalah nisbat kepada Asqalan (Ashkelon), sebuah kota tempat nenek moyangnya berasal, yang masuk dalam wilayah Palestina. 

Kelahiran dan Masa Kecilnya


Ibnu Hajar dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun 773 H di pinggiran sungai Nil di Mesir. Beliau tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ibunya meninggal ketika beliau masih balita, sedangkan ayahnya meninggal ketika beliau berumur 4 tahun. Saat masih kecil, beliau sempat ikut ayahnya berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis. Setelah sang ayah meninggal (Rajab 777 H), beliau kemudian diasuh oleh kakak tertua beliau. Saat sebelum meninggal, sang ayah memang pernah berwasiat kepada putra tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Selain itu, sang ayah berwasiat pula kepada Syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan Al-Mishri untuk ikut mengasuh Ibnu Hajar, karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

Perjalanannya Menuntut Ilmu


Meski yatim piatu, semenjak kecil Ibnu Hajar memiliki semangat belajar yang tinggi. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan Al Qur'an) setelah genap berusia lima tahun. Beliau berhasil menghafal Al Qur'an ketika genap berusia sembilan tahun di bawah bimbingan Syekh Shadru ad-Din ash-Shafti. Ketika berumur 12 tahun, beliau pernah ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H, yakni saat sang pengasuh berhaji ke tanah suci. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H, Ibnu Hajar kembali belajar dengan bersungguh-sungguh hingga beliau juga hafal beberapa kitab-kitab induk seperti al 'Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I'rab.

Menurut as-Suyuthi, pada mulanya Ibnu Hajar fokus mendalami sastra dan syair (puisi). Beliau meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H dan menjadi pakar dalam syair. Beliau juga senang meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) dan banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kecintaannya akan bidang ilmu hadits dimulai sejak tahun 793 H, dan berkonsentrasi penuh dalam ilmu ini pada tahun 796 H. Pada masa inilah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya. Dalam rihlah pencarian ilmunya, beliau kemudian bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi, seorang Ulama Besar yang mahir bidang Fiqih (madzhab Syafi’i), tafsir, hadist dan bahasa Arab.

Selama sepuluh tahun, Ibnu Hajar berguru dan selalu menyertai Al-Iraqi, termasuk saat dalam perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Atas bimbingan gurunya inilah inilah Ibnu Hajar akhirnya berkembang menjadi seorang Ulama sejati. Beliau bahkan menjadi orang pertama yang diberi izin oleh Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru juga memberikan gelar kemuliaan "Al Hafidz" kepada Ibnu Hajar. Dikisahkan bahwa pemberian predikat Al Hafizh kepada Ibnu Hajar adalah ketika detik-detik terakhir menjelang wafatnya Al Iraqi. Saat itu Al Hafidz Al-Iraqi ditanya, "Siapa yang akan menggantikan Anda setelah Anda meninggal dunia?". Al Iraqi pun menjawab, "Ibnu Hajar dan kemudian Abu Zurah,  kemudian Al-Haitsami.". Sang guru (Al Iraqi) pun dalam pujiannya kepada Ibnu Hajar pernah mengatakan:

"Al-Hafizh adalah seorang yang alim (berilmu), Al-Fadhil (memiliki keutamaan) Al-Muhaddits (ahli hadits) Al Mufid ( yang memberikan faedah),  Al-Mujid (yang suka mengerjakan sesuatu dengan baik), Al-Hafizh yang mutqin (kuat hafalannya), yang dhabith (kuat, teliti dan seksama), yang tsiqoh (terpercaya), yang ma'mun (dapat dipercaya)"

Setelah sang guru meninggal, Ibnu Hajar kemudian berguru kepada Ulama lain seperti Nuruddin Al-Haitsami dan Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih. Ketika sang guru melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, beliau kemudian diberi saran untuk perlu juga mempelajari ilmu fiqih, karena di masa yang akan datang akan banyak orang akan membutuhkan ilmu itu darinya. Selain kepada mereka, Ibnu Hajar juga kemudian berguru kepada Abdurrahim bin Razin. Dari gurunya ini Ibnu Hajar mendengarkan dan belajar Shahih Al Bukhari. Guru beliau yang lain adalah Al 'izz bin Jama ah. Selain itu, beliau juga berguru kepada Hummam Khawatizmi, Majduddinal-Fairus Abadi (seorang ahli Bahasa), Al Burhan At-Tanukhi (bidang qiraat) dan yang lainnya.

Selain yang telah disebutkan, guru-guru Ibnu Hajar memang sangat banyak. Kabarnya jumlah guru beliau mencapai 500 Syaikh dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan Ibnu Hajar juga mendokumentasikan daftar guru-gurunya yang paling menonjol berikut biografi mereka dalam karyanya yang berjudul al-Majma’ al-Mu’assan bi al-Mu’jam al-Mufahras. Dari perjalanan pencarian ilmunya ini, tercatat beliau telah melakukan rihlah ke berbagai negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman dan negeri-negeri lainnya. Tidak heran jika kemudian karena kealimannya mayoritas Ulama di zaman itu mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.

Beliau pernah mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Beliau juga membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fiqih di Al-Muayyudiyah dan lainnya. Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah-madrasah lainnya. 

Selain itu, beliau juga menjadi pemimpin di Lembaga pengadilan,mengarang berbagai kitab yang sangat bermanfaat dan tak tertandingi dalam bidang Ulumul Hadis. Lebih dari itu, beliau juga telah mendiktekan hadis yang beliau hafal di lebih dari seribu majelis. Dan di negeri Sultan Bilbars, beliau telah mendiktekan hadis selama kurang lebih 20 tahun. Pada masa pemerintahan Sultan al-Mua’ayyad (Mesir), beliau berkali-kali diminta untuk menjadi hakim di negeri-negeri Syam, tetapi selalu beliau tolak. Namun pada akhirnya beliau bersedia menjadi hakim di Mesir pada masa pemerintahan Sultan al-Asyraf.

Dengan keluasan ilmunya, banyak murid-murid berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu dari beliau. Banyak juga tokoh-tokoh Ulama dari berbagai madzhab yang menjadi murid beliau. Beberapa murid beliau yang termasyhur di antaranya seperti Imam Muhammad bin Abdurrahman as-Shakhawi, Syaikh Islam Zakariya bin Muhammad al Anshari, Jamal Ibrahim al-Qalqasyandi, al-Burhan al-Biqa'i, Syaraf Abdul Haqq as-Sinbathi, Ibnu Qadhi Syuhbah, Ibnu Taghri Bardi, Ibnu Fahd al-Makki, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Karya-Karya Beliau


Al-Hafizh Ibnu Hajar mulai menulis saat berusia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai menjelang ajalnya. Menurut Imam As-Sakhawi, jumlah karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Kebanyakan karya beliau berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat. Di antara karya-karya Ibnu Hajar antara lain:

1. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. 

2. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah.

3. Lisan al-Mizan. 

4. Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.

5. Haidar ‘Abad.

6. Tahzdib at-tahzdib. 

7. Taqrib at-Tahzdib. 

8. Ta’jil al-Manfa’ah bi Zawa’id Rijali al-A’immah al-Arba’ah. 

9. Ad-Durar a-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah. 

10. Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).

11. An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf

12. At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).

9. Syarh Nakhbati al-Fikr. 

10. Al-Ihtifal bi Bayani Ahwali ar-Rijal.

11. Nuzhatul al-Albab fi al-Alqab.

12. Tabshir al-Muntabih bi Tahriri al-Musytabih.

13. Tuhfatu Ahli al-Hadits ‘an Syuyukhi al-Hadits.

14. Ta’rifu Ahli at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi at-Taqlis.

15. Al-Qaul al-Musaddad fi adz-Dzibbi ‘an al-Musnad li al-Imam Ahmad. 

16. At-Tasywiq ila Washli at-Ta’liq.

17. Al-Muqtarib fi al-Mudhtharib.

18. Zawa’id al-Masanid ats-Tsamaniyah.

19. Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.

20. Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.

21. Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.

22. Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.

23. Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.

24. Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.

25. Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.

26. Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.

27. Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.

28. Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.

29. Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.

30. Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.

31. Takhrij Ahadits ar-Rafi’I, wa al-Hidayah, wa al-Kassyaf.

32. Tasdid al-Qaus ‘ala Musnad al-Firdaus (manuskrip).

Dan karya-karya beliau yang lainnya.

Sanjungan Para Ulama Terhadap Beliau


Al-Iraqi berkata, "Ia (Ibnu Hajar) adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits(ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit(dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah,Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits, dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif singkat". 

As-Sakhawi berkata, "Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan". 

Wafatnya Beliau


Setelah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jumadal Akhir tahun 852 H, Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya. Konon saat pertama kali penyakit itu menjangkiti beliau pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H, beliau tidak menghiraukannya, karena beliau selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim. Beliau bahkan berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla’. Namun penyakitnya tersebut semakin bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat setelah shalat isya, di penghujung malam sabtu tanggal 28 Zulhijjah 852 H. 

Saat pemakamannya, banyak para pelayat yang mengiringi kepergiannya. Semua pembesar dan pejabat kerajaan saat itu juga datang melayat dan ikut menshalatkan jenazah beliau bersama masyarakat yang jumlahnya banyak sekali. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau saat itu lebih dari 50.000 orang. Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami. Makam beliau berada di dekat pusara makam Imam al-Laits bin Sa’d, dan di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi. Wallahu A'lam. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Imam Al Bukhari, Sang Penghulu Para Ahli Hadits

Imam Al Bukhari, Sang Penghulu Para Ahli Hadits


Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-ju’fi al-Bukhari atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari adalah seorang ulama dan ahli dalam ilmu hadits. Sebagian kalangan bahkan menyebut beliau dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin Kaum Mukminin dalam Ilmu Hadits). 

Ketelitian dan kecermatannya untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih telah diakui oleh para Ulama. Bahkan kitab hadits yang disusunnya (Shahih Bukhari) pun menjadi rujukan hampir semua Ulama di dunia. Nama besarnya sejajar dengan para ahli hadits yang pernah ada sepanjang zaman.

Makam Imam Bukhari
makam Imam Bukhari via redkal.com

Kelebihan Imam Al Bukhari telah disaksikan oleh sejumlah saksi adil dari kalangan sahabat dan muridnya yang telah mengenal kelebihan dan kepandaiannya. Muhammad bin Hamdun Ash-Shaffar pernah berkata, "Saya melihat Muslim bin Al Hajjaj, seorang Muhaddits yang menyusun Shahih Muslim, datang kepada Al Bukhari dan kemudian mencium kedua matanya seraya berkata: 

"Izinkanlah aku mencium kedua kakimu, hai gurunya para guru, pemimpin para muhaddits, dan dokter hadits". Kemudian Imam Muslim bertanya kepada beliau tentang hadits kifarat majlis, maka Imam Al Bukhari kemudian menyebutkan illatnya. Setelah itu, Imam Muslim pun berkata, "Tidak akan membencimu kecuali orang yang dengki, dan aku bersaksi bahwa tidak ada di dunia ini orang yang seperti anda". 

Memang, tidak ada di dunia ini orang yang seperti beliau. Allah telah menganugerahkan kepada beliau kekuatan hapalan, ketepatan dalam mentransfer hadits, dan kemampuan dalam memahami illat serta membedakan antara hadits yang shahih dan hadits yang saqim (berpenyakit, dhaif). 

Kitab beliau, Al Jami' As Shahih (Shahih Bukhari), juga merupakan kitab yang disepakati oleh mayoritas Ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah Al Qur'an, dan ini merupakan bukti kebenaran karakter beliau. 

Bagaimana tidak, beliau adalah seorang hujjah (dapat dipegang haditsnya), tsabt (orang yang teguh hatinya) dan orang yang terkuat hapalannya terhadap Sunnah Rasulullah SAW, baik hadits qauli (ucapan Rasulullah), fi'li (tindakan Rasulullah) maupun taqriri (ketetapan Rasulullah). Tidak seorang pun yang mampu menyetarai beliau dalam kekuatan hapalan dan ketepatan periwayatan, baik tentang sanad maupun tentang matan hadits. 

Diriwayatkan, suatu ketika beliau memasuki kota Samarkand, maka berkumpullah 400 orang Ulama hadits di sana. Masing-masing dari mereka kemudian menukar sanad pada matan yang lain dan mencampuradukkan sanad, sehingga sanad-sanad orang Syam ditukar dengan sanad-sanad orang Irak. Kemudian mereka membacakan semua hadits tersebut di hadapan Imam Al Bukhari dengan maksud menguji kemampuannya. 

Imam Al Bukhari pun mengembalikan masing-masing matan hadits kepada sanadnya serta meluruskan semua sanad dan matan hadits tersebut. Mereka tidak dapat menggelincirkannya dalam suatu sanad maupun matan. Demikian juga hal tersebut mereka lakukan di Baghdad, sehingga mereka kemudian menyiarkan kelebihan dan kecerdasan beliau. 

Imam Al Bukhari sepanjang hayatnya dikenal sebagai orang yang sangat wara' (sangat menghindari hal-hal yang dilarang agama) dan beliau juga menempati posisi yang sangat tinggi dalam zuhud (tidak mencintai dunia). Beliau juga lebih suka menjauh dari para penguasa. Suatu hal yang ingin beliau peroleh dengan sikapnya menjauhi penguasa dan zuhud dari berinteraksi dengan mereka adalah keselamatan agamanya dan terbebas dari terlukai takwanya. 

Selain itu, beliau juga ingin mendapatkan kesempatan yang leluasa untuk kesibukannya menghimpunkan hadits Rasulullah SAW, dan memperhatikannya dengan perhatian yang layak, karena Sunnah tidak diragukan lagi merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.

Oleh karena itu, beliau pun memfokuskan perhatian kepadanya, mengarungi batas berbagai wilayah Islam dengan mengendarai kuda atau unta, dan dalam kesempatan lain, beliau juga berjalan kaki untuk menerima hadits dari periwayatnya yang terpercaya. Beliau rela mencari dan menghimpun hadits dengan cara menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Beliau berkata: 

"Saya memasuki Syam, Mesir, dan Jazirah Arabia sebanyak dua kali. Dan saya memasuki Bashrah sebanyak empat kali. Saya menetap di Hijaz selama enam tahun. Saya tidak dapat menghitung berapa kali saya memasuki Kufah dan Baghdad bersama para muhadditsin". 

Tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah seorang guru yang tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan hidup untuk hadits Rasulullah SAW, dan beliau telah menghabiskan seluruh umurnya untuk mencari dan menghimpun hadits. Beliau bahkan telah menyerahkan dirinya untuk menjadi pelayan hadits sejak umur dua puluh tahun. 

Beliau mengatakan, "Saya telah mampu menghapal hadits, sedangkan saya masih dalam kuttab (lembaga pendidikan anak-anak)". Seseorang bertanya, "Saat itu anda berumur berapa tahun?". Beliau menjawab, "Sepuluh tahun atau kurang". 

Motivasi beliau adalah untuk mempermudah pemahaman syariat bagi orang yang datang kemudian agar mereka mengambil dari sumber yang telah terhimpun, sumber yang tidak akan kering. Lalu, mereka dapat meriwayatkannya dari lautan yang segar dan bersih, serta menggembala dari padang rumput Rasulullah SAW di taman yang lebat. 

Demikianlah Al Bukhari, seorang laki-laki yang benar-benar hidup dalam iklim Sunnah Muhammad SAW, yang berusaha untuk menyelidiki hadits-hadits Nabi dengan menanggung segala kesulitan dan kelelahan yang tidak akan diketahui kadarnya, kecuali orang yang mengalaminya. Beliau suguhkan hasil karyanya sebagai hadiah yang diperuntukkan bagi para penuntut hadits dalam pengajarannya di segenap majlis-majlis ilmu di manapun berada.

Selengkapnya
Riwayat Singkat Jenderal H.M. Sarbini

Riwayat Singkat Jenderal H.M. Sarbini


Jika anda warga kota Kebumen, pasti tidak asing dengan nama jalan yang satu ini, jalan H. M Sarbini. Di sepanjang jalan ini terdapat banyak gedung perkantoran milik instansi pemerintah. Selain nama jalan, di kebumen juga terdapat sebuah taman dengan nama taman kota Jenderal HM Sarbini. Di dalamnya terdapat sebuah patung yang tampak gagah dengan seragam militernya bertuliskan "Jend. Purn. H. M. SARBINI". Taman yang berada di jalan Ahmad Yani ini letaknya persis di depan jalan raya. 

Sebetulnya jika anda lebih cermat lagi, di Jakarta sana, nama Sarbini juga diabadikan sebagai nama gedung veteran atau balai Sarbini yang berada di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat. Siapa sebenarnya Jenderal H. M. Sarbini?

Putra asli Kebumen
via wikipedia

Mengenal Jendral H. M. Sarbini


Jenderal H.M. Sarbini adalah seorang jenderal purnawirawan kelahiran Kebumen, Jawa Tengah. Beliau lahir pada 29 Mei 1914 di kota Karanganyar, Kebumen dan meninggal di Jakarta, 21 Agustus 1977 pada umur 63 tahun. Selama hidupnya, beliau banyak mengabdi selama masa perjuangan, baik di bidang militer maupun pemerintahan Republik Indonesia. Jenderal Mas Sarbini, putra asli Kebumen ini pernah berjuang di medan laga dan mengabdi sebagai menteri di era Bung Karno. Beliau juga pernah menjabat ketua LVRI Pusat serta banyak jasanya di bidang pemerintahan. 

Peter Britton dalam tulisannya Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat (1996: 160), menyebutkan bahwa Sarbini adalah "anak pemimpin agama di Kebumen dan dikenal sebagai seorang yang teguh menerapkan prinsip-prinsip agama". Pada tahun 1934, Sarbini duduk sebagai pegawai Badan Kesehatan Muhammadiyah di Semarang. Sebelum serdadu Jepang mendarat di Indonesia, Sarbini tidak bisa membayangkan jika dirinya bakal berkarier di tentara, bahkan akhirnya jadi jenderal bintang tiga. Tahun 1943, beliau masuk opsir Peta di Gombong hampir bersamaan dengan Presiden Suharto. 

Kariernya dalam kemiliteran menanjak terus, dan tahun 1956 – 1959, beliau menjadi Panglima Divisi V Teritorial V Brawijaya. Selesai Seskoad, tahun 1960-1964, beliau duduk sebagai Panglima Divisi VII/Diponegoro (sekarang Kodam). Tahun 1964 – 1966, beliau diangkat sebagai Menteri Urusan Veteran & Demobilisasi, kemudian Menteri Transkop & Koperasi. Jabatan terakhir beliau yaitu sebagai Wakil Ketua I DPA. Beliau juga pernah menjabat Ketua Legiun Veteran, Ketua Kwartir Nasional Gerakan Nasional Pramuka dan Ketua Yayasan Pesantren Luhur Pendidikan Tinggi Da’wah Islamiyah (PTDI).

Pada masa perjuangan, terutama pada tanggal 20 Oktober 1945, H. M Sarbini yang pada waktu itu berpangkat Letkol, memimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat Resimen Kedu Tengah dan menyerang, serta mengepung tentara Sekutu dan NICA di desa Jambu, Ambarawa yang kemudian dikenal sebagai peristiwa palagan Ambarawa. Pada tahun 1966, beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era Presiden Soekarno (kabinet Dwikora II), yang kemudian digantikan oleh Letnan Jendral Soeharto. Pada masa Orde Baru, Sarbini pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi. Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPA dan Ketua LVRI Pusat. 

Jenderal H.M Sarbini merupakan seorang yang pendiam. Kalau rekan-rekan menteri lainnya bergurau, beliau juga turut ketawa. Sesekali bahkan menimpali dengan kalimat yang kena dan lucu. Pendiamnya Sarbini tidak berbau keangkuhan atau keangkeran. Para wartawan, apalagi yang telah dikenalnya lama, seringkali diajak apa saja bagai mengajak seorang teman. Tanggal 21 Agustus tahun 1977, Jendral H. M Sarbini meninggal dunia. Jenazah beliau dikuburkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. 

Semasa hidupnya, jenderal H. M. Sarbini lebih dikenal sebagai bapak Veteran Indonesia, sehingga akhirnya nama beliau diabadikan sebagai nama gedung veteran atau balai Sarbini yang berada di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat. Di tanah kelahirannya, Kebumen, HM Sarbini juga diabadikan untuk nama jalan protokol, gedung sekolah serta Taman Kota. Demikianlah riwayat singkat dari H. M. Sarbini, putra asli kelahiran Kebumen yang banyak mengabdikan hidupnya demi bangsa dan negara. Semoga bermanfaat. Diolah dari berbagai sumber. 

Selengkapnya
Sejarah K. R. T Kolopaking, Penguasa Panjer (Kebumen)

Sejarah K. R. T Kolopaking, Penguasa Panjer (Kebumen)


Trah keluarga Kolopaking merupakan salah satu keluarga terpandang di Jawa, terutama masyarakat Jawa bagian selatan. Bahkan anggota dari keluarga ini pernah ada yang menjadi menteri, bupati, bahkan kalangan artis seperti artis senior Novia Kolopaking. Namun yang jelas, cikal bakal keluarga besar Kolopaking ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kabupaten Kebumen. 

Tumenggung Kolopaking I (Ki Gedhe Panjer III) yang sebelumnya dikenal Ki Kertowongso adalah penguasa Kebumen yang pada masa itu masih bernama Panjer. Wilayahnya meliputi Rowo Ambal, Bocor, Petanahan, Puring, Gombong, Karanganyar, Panjer, Kutowinangun, dan Prembun dengan ibukota Panjer. Tumenggung Kolopaking juga merupakan salah satu buyut (cicit) dari penguasa Panjer pertama, Ki Bodronolo (baca: Riwayat Hidup Ki Bodronolo). Silsilahnya yaitu Ki Bagus Bodronolo berputra Ki Bagus Kertasuta berputra Ki Bagus Curigo berputra Ki Bagus Kertowongso. 

Makam Kolopaking
Kompleks makam Kolopaking di Desa Kalijirek Kebumen, via aroengbinang.com

Asal Mula Gelar Kolopaking


Sejarah asal mula gelar atau sebutan Kolopaking berawal dari huru-hara yang terjadi di keraton Mataram, yang kala itu kekuasaan dipegang oleh Sunan Amangkurat I. Kebijakannya yang lebih dekat kepada VOC, banyak menimbulkan ketidakpuasan para bangsawan keraton. Bahkan diantara mereka ada yang dibunuh dan diusir dari keraton. Selain itu, pemberontakan juga terjadi di beberapa daerah. 

Salah satunya yang terkenal adalah pemberontakan Trunojoyo. Bahkan pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura ini berhasil menduduki istana Mataram pada tanggal 2 Juli 1677. Namun Sebelum keraton dikuasai Trunojoyo, Sunan Amangkurat I dan putranya yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil melarikan diri ke arah Barat. Ia bersama rombongannya bergerak menuju Kasunanan Cirebon (versi lain menuju Batavia). 

Dalam pelarian tersebut, Sunan Amangkurat I jatuh sakit. Pada tanggal 26 Juni 1677, rombongan kerajaan ini kemudian singgah di wilayah Panjer yang pada saat itu dikuasai oleh Ki Kertowongso (Ki Gedhe panjer III). Keputusan Ki Kertowongso menerima Sunan Amangkurat I, di satu sisi merupakan bentuk kesetiaan atau loyalitasnya yang tinggi terhadap raja Mataram yang sedang dalam pelarian itu. Di sisi lain juga menunjukkan keberaniannya dalam menentukan pilihan yang mengandung resiko besar, sebab jika hal itu diketahui oleh Pangeran Trunojoyo, maka ia dianggap oleh penguasa baru itu membantu pelarian dan hukumannya tidak ringan.

Konon rombongan Sunan Amangkurat I singgah di Panjer saat malam hari. Kebetulan malam itu hujan turun dengan lebatnya. Sunan Amangkurat I meminta diberi minum air degan (air kelapa muda) kepada Ki Kertowongso. Karena kondisi tidak memungkinkan, Ki Kertowongso tidak dapat memetik Kelapa Muda, sehingga yang diberikan justru air kelapa tua kering (kelapa aking). Namun dengan minum air kelapa itulah Sunan Amangkurat I merasa segar dan sembuh sakitnya serta pulih kekuatannya. 

Atas jasanya dalam memberi minum kelapa aking kepada Sunan Amangkurat I itulah maka Ki Gedhe Panjer III kemudian diangkat sebagai seorang Tumenggung dengan gelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I, sebagai departemen Adipati panjer I, 1677 - 1710). Selain itu, ia juga dinikahkan dengan putri Sunan Amangkurat I yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). 

Masa Kekuasaan Dinasti Kolopaking


Setelah usai memegang pemerintahan di Kadipaten Panjer, tumenggung Kolopaking I digantikan oleh putranya yang bergelar Tumenggung Kalapaking II (1710 - 1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III (1751 - 1790) dan Tumenggung kalapaking IV (1790 - 1833). 

Pada saat pemerintahan di bawah Tumenggung Kolopaking IV, perang Diponegoro meletus. Raden Tumenggung Kolopaking IV yang menyatakan diri dibelakang perjuangan Pangeran Diponegoro akhirnya harus menerima akibatnya. Keluarga Kolopaking pun disingkirkan oleh Belanda. Apapun yang berbau Kolopaking baik nama, cerita atau adat harus dihilangkan. 

Akibat dari sikapnya itu, Belanda juga menerapkan siasat adu domba. Tumenggung Kolopaking harus berhadapan dengan Adipati Arungbinang IV. Meski begitu, keluarga Kolopaking tetap berjuang dengan gigih melawan Belanda dan akhirnya Belanda merasa kewalahan.
Dikisahkan suatu ketika terjadi pertempuran antara prajurit Kolopaking melawan Belanda. Peristiwa itu terjadi disebelah utara kota Kebumen sekarang. Di sana terdapat Gunung Pogog. Gunung yang pada mulanya tinggi ini oleh Kolopaking dipotong dengan kerisnya untuk menutup celah perlindungan sehingga gunung yang dipotong tersebut menjadi pogog. 

Potongan gunung pogog itu kemudian oleh Arungbinang IV dicongkel memakai tongkat pusakanya dan dilempar ke arah timur jatuh di persawahan menjadi Gunung Gendek (gundukan) yang sekarang menjadi perumahan RSS Jatimulyo dan di sebut pula dengan nama Gunung Malang Kencana. 

Pertempuran antara Kolopaking IV dan Arungbinang IV mempunyai kekuatan yang berimbang. Setelah pertempuran berjalan cukup lama, lengan Kolopaking IV tergores oleh tombak Arungbinang IV dan mengeluarkan darah. Sepengetahuan Arungbinang IV siapa yang terkena tombaknya sampai luka pasti langsung mati, namun Kolopaking IV tidak, dan darah yang jatuh menjelma menjadi ular-ular berbisa dan memburu Arungbinang IV melarikan diri menghindari kejaran ular-ular berbisa tersebut. Karena pertempurannya sangat kuat (kenceng) maka tempat tersebut dinamakan Si Kenceng (dekat Stadion Candradimuka sekarang). 

Perselisihan ini akhirnya berakhir dengan pembagian wilayah, dimana dua anak Kolopaking kemudian diangkat menjadi Bupati, yang pertama di Kabupaten Karanganyar dengan nama Ki Sukadis (Raden Tumenggung Kertinegoro), dan yang kedua di Banjarnegara dengan nama Atmodipuro (Raden Tumenggung Joyonegoro). 

Keduanya tidak lagi menggunakan gelar Kolopaking. Sedangkan Arungbinang IV tetap berkuasa di Panjer. Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah panjer Roma dan panjer Gunung akhirnya digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. (diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Mengulas Tokoh Wayang: Baladewa aka Balarama aka Kakrasana

Mengulas Tokoh Wayang: Baladewa aka Balarama aka Kakrasana


Saya menulis artikel ini saat teringat akan sebuah film kartun dari India yang berjudul The Little Krishna. Akhir-akhir ini memang banyak kita jumpai film-film kartun buatan luar negeri seperti dari Malaysia dan juga dari India yang tayang di televisi kita. Khusus mengenai film The Little Krisna memang sudah tayang sejak beberapa waktu yang lalu. Namun di antara film-film kartun buatan negeri India yang tayang di tivi-tivi Indonesia, film kartun The Little Krishna inilah yang lebih menarik perhatian saya. Dari jalan cerita sebetulnya sama halnya dengan film-film kartun lainnya, bercerita tentang perjuangan melawan kejahatan dan keangkaramurkaan. Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah tokoh-tokoh yang menjadi sosok protagonis di film kartun ini. 

Jika anda orang jawa yang memahami seni budaya jawa, ketika mencermati tokoh-tokoh utama di film kartun ini, mungkin ada yang langsung cukup familiar dengan tokoh-tokoh tersebut, tapi mungkin ada juga yang baru menyadari siapa sebenarnya jagoan-jagoan tokoh utama di film kartun ini. Jika dalam film kartun, tokoh-tokoh jagoan (yang diambil dari mitologi India) ini disebut Krisna dan Balaram, maka orang jawa mengenalnya dengan Kresna dan Baladewa alias Balarama. Memang yang menjadi tokoh utama di film ini adalah sosok si kecil Krisna, namun pada tulisan kali ini saya tertarik untuk mengulas sosok saudara Krisna yaitu Balaram alias Baladewa. Untuk tokoh Krisna mungkin akan saya ulas di lain waktu. 

Prabu Baladewa versi wayang dan India
Baladewa, versi wayang dan India

Baladewa aka Balarama aka Kakrasana


Melansir dari wikipedia, Baladewa (Baladeva)/ Balarama/ Balabhadra Halayudha dalam mitologi Hindu adalah tokoh sakti putra dari Basudewa dan kakak dari Krisna. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India Selatan, Baladewa dipuja sebagai awatara kesembilan (versi lain menyebut ketujuh) di antara sepuluh Awatara dan termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana. Beberapa kalangan Hindu juga berpandangan bahwa Baladewa adalah manifestasi dari Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu. Baladewa juga dipuja bersama Sri Kresna sebagai kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa yang dalam pemujaan mereka sering disebut "Krishna-Balarama". 

Sedangkan dalam pewayangan Jawa disebutkan, Baladewa adalah putra dari Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, Kresna, dan mempunyai adik lain ibu yang bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, seorang swarawati keraton Mandura. Baladewa diyakini sebagai titisan dari Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Disebutkan bahwa Baladewa berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayuda, ia menjadi pamong dan penasehat bagi Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. 

Masa Muda Baladewa


Menurut versi India, pada masa kecil ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang luar biasa, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Sementara dalam cerita wayang, sejak kecil Baladewa dan kedua adiknya diungsikan dan disembunyikan di kademangan Widarakandang, karena mendapat ancaman hendak dibunuh oleh Kangsadewa. Di sana, ia dan kedua adiknya diasuh oleh Demang Antyagopa dan nyai Sagopi. 

Baladewa yang pada masa remaja dipanggil Raden Kakrasana (Kokrosono) kemudian berguru kepada seorang resi jelmaan Batara Brahma di pertapaan Argasonya. Selesai berguru, ia diberi pusaka sakti yaitu senjata Nanggala yang berujud angkus, angkusa atau mata bajak, dan Alugara yang berwujud gada dengan kedua ujung yang runcing. Selain itu, ia juga mendapat kesaktian aji Jaladara, sehingga ia bisa terbang dengan kecepatan tinggi. Karena kesaktiannya ini, ia juga mendapat sebutan nama Wasi Jaladara.

Watak dan Ciri Fisik Baladewa


Baladewa dan Kresna
Baladewa dan Kresna, via mediaindonesia.com

Ciri fisik Baladewa seringkali digambarkan berkulit putih, khususnya jika dibandingkan dengan saudaranya, Narayana (Kresna), yang digambarkan berkulit biru gelap atau bercorak hitam. Meski berbeda warna kulit, Baladewa diceritakan selalu bersama dan akur dengan adiknya itu. Dalam cerita wayang ia sering disebut bule karena kulitnya yang putih. Baladewa digambarkan memiliki karakter keras hati dan mudah naik darah (marah), namun amarahnya itu mudah hilang jika apa yang dilakukan memang tidak benar. Ia juga sering terburu-buru dalam mengambil keputusan. Meski begitu, Baladewa juga seorang yang pemaaf dan raja yang arif bijaksana. Selain itu, ia juga berwatak jujur, berwibawa, dan mau menerima saran dan kritikan dari orang lain, terutama dari adiknya, Kresna. Bahkan dalam berbagai lakon wayang ia seringkali bertekuk lutut di hadapan Kresna, yang selalu dapat mengendalikan amarahnya. Pertimbangan yang didapat dari adiknya ini juga selalu ia turuti. 

Sementara fisik Baladewa dalam wayang digambarkan berpenampilan brasak, dengan posisi muka langak, bermata kedhelen, berhidung sembada bermulut salitan dengan kumis yang tebal. Ia juga berjanggut dan bercambang. Ia mengenakan mahkota Makutha dengan perhiasan turidha, jamang susun tiga, jungkat piñatas, karawista, nyamat, bersumping mangkara dengan gelapan utah-utah pendek. 

Ia memiliki badan perkasa dengan rambut ngore dan memakai praba sebagai simbol kebesarannya sebagai raja di Mandura. Ia memakai ulur-ulur naga mamongsa, jangkahan raton dengan dua pasang uncal kencana, sepasang uncal wastra, dan clana cindhe. Ia juga mengenakan kampuh bermotif parang barong. Ia juga memakai atribut lain yaitu kelatbahu naga pangangrang, gelang columpringan dan mengenakan keroncong. Baladewa ditampilkan dengan muka dan badan putih atau muka berwarna merah dengan gembleng. Wanda Sembada, Geger, dan Bantheng.

Baladewa adalah tokoh yang sakti mandraguna, bahkan para dewa konon takut jika berhadapan dengannya. Baladewa memiliki fisik yang sangat kuat dan ia sangat mahir dalam olah ketrampilan menggunakan gada. Bima (Werkudara) dan Duryudana pun pernah berguru kepadanya. Selain memiliki dua pusaka sakti pemberian Batara Brahma, yaitu Nangggala dan Alugara, ia juga mempunyai kendaraan gajah yang bernama Kyai Puspadenta. Baladewa menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.

Menjadi Raja Mandura dan Saat Perang Bharatayudha


Raden Kakrasana (Baladewa) naik tahta menjadi raja Mandura menggantikan ayahnya, yaitu Prabu Basudewa. Ia menjadi raja Mandura setelah diambil menantu oleh Prabu Salya, raja dari Mandaraka. Ia menikahi putri Prabu Salya, Dewi Erawati setelah dari pertapaan Argasonya, di mana ia juga dikenal dengan sebutan Wasi Jaladara. Pada waktu menikah itulah ia menggunakan nama Prabu Baladewa, sebab pada waktu perkawinannya ia dikerumuni oleh para dewa. Oleh para Dewa, ia juga diberi nama Kusumawalikita, Balarama dan Basukiyana. Sedangkan Hyang Narada memberikan nama Alayuda kepadanya. 

Sebelum meletusnya perang Baratayuda, sebetulnya Baladewa lebih dekat kepada Ngastina. Oleh karenanya ia juga lebih condong untuk memberikan dukungannya kepada pihak kurawa. Padahal jika dilihat dari segi kekeluargaan, harusnya Baladewa memihak Pandawa, sebab ia adalah saudara sepupu putra-putra Pandawa dan tarikan kekeluargaannya sebenarnya lebih kuat kesitu. Namun karena ia adalah menantu Prabu Salya dan merasa bahwa ia telah mendapatkan kemuliaannya di Ngastina, maka ia pun lebih condong mendukung Kurawa.

Melihat hal itu, adiknya, Kresna pun mengatur siasat. Kresna tahu bahwa Baladewa dengan kesaktiannya tidak ada tandingannya. Jika sampai ia ikut berperang di kubu para Kurawa, maka Pandawa bisa kalah. Maka sewaktu menjelang terjadinya perang Baratayuda, Kresna meminta Baladewa supaya bertapa di Grojogan Sewu. Versi lain juga mengatakan bahwa ketika Kitab Jitabsara ditulis skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Kresna mengetahui bahwa para dewa merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden Anantareja dan Baladewa akan mati. 

Ketika melihat catatan itu, Kresna ingin menyelamatkan kakaknya agar tidak ikut berperang, sebab kakaknya dan Anantareja pun sebetulnya juga tidak punya urusan dalam perang Baratayuda. Kresna pun kemudian menyamar menjadi kumbang. Ia terbang dan kemudian menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis. Tinta pun tumpah dan menutupi kertas yang ada tulisan Anantareja. Setelah itu kumbang jelmaan Kresna juga menyambar pena yang dipakai untuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa dalam Kitab Jitabsara pun tidak ada tulisan tentang Raden Anantareja dan Prabu Baladewa.

Sebelum perang Baratayuda, Kresna membujuk Anantareja supaya bunuh diri dengan cara menjilat telapak kakinya sendiri, sehingga akhirnya Raden Anantareja mati sebagai tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Sedangkan untuk Baladewa, Kresna bersiasat dengan meminta Baladewa bertapa di Grojogan Sewu. Dengan bertapa maka Baladewa tidak akan mendengar dan menyaksikan Perang Baratayuda, karena tertutup oleh suara gemuruh air terjun. Selain itu, Kresna juga berjanji akan membangunkannya nanti saat Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Baratayuda. Ketika pada suatu hari ia melihat bahwa di air terjun itu adalah darah, mendugalah ia bahwa perang Baratayuda telah terjadi. Setelah perang Baratayuda usai, Baladewa mendatangi negara Ngastina dan ia menjumpai bahwa keluarga Kurawa telah habis di medan perang. 

Akhir Hayatnya


Baladewa ditakdirkan berusia panjang. Ia hidup hingga satu masa setelah zamannya Pandawa dengan nama Resi Jaladara, dan ia juga merupakan salah satu syarat yang dibutuhkan dalam penobatan Parikesit di Negara Ngastina. Dikisahkan ketika ada kramandari Pringgadani  yang dipimpin Prabu Wesiaji (keturunan Brajamusti) selesai, Baladewa yang pada saat itu bernama Resi Jaladara atau Resi Balarama kehilangan senjata nenggala dan alugara secara misterius. Pada saat itulah ia merasa ada sasmita bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Maka Prabu Baladewa bersama dengan Dewi Wara Sembadra yang sudah berusia lanjut, mokswa bersama-sama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.

Sumber: wikipedia,
caritawayang.blogspot.com,
reogsenengbarengjatirejo.blogspot.com
Selengkapnya
Biografi Mbah Kholil Bangkalan, Madura

Biografi Mbah Kholil Bangkalan, Madura


Jika sebelumnya telah diuraikan mengenai biografi Mbah Nawawi Banten dan Mbah Sholeh Darat Semarang, maka kurang afdhol jika tidak diuraikan pula mengenai biografi Mbah Kholil Bangkalan Madura. Ketiga tokoh tersebut di atas bisa dikatakan merupakan Tiga Serangkai Ulama yang berperan besar dalam perkembangan keilmuan islam di Indonesia, khususnya jawa. Ketiga tokoh tersebut juga merupakan Guru Besar yang melahirkan beberapa Ulama-Ulama ternama di bumi Nusantara.

Potret Mbah Kholil Bangkalan

Biografi Mbah Kholil Bangkalan


Mbah Kholil/ Syekh Kholil atau KH. Muhammad Kholil Bangkalan adalah seorang Ulama kharismatik yang berasal dari Pulau Madura. Banyak Ulama ternama Nusantara yang pernah berguru kepada Mbah Kholil Bangkalan. Selain merupakan Ulama, masyarakat pesantren juga mengenal Mbah Kholil sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak karomah. Banyak riwayat cerita yang berkisah mengenai kelebihan atau karamah dari Syekh Kholil. Kisah-kisah tersebut dituturkan dari lisan ke lisan dan berkembang di beberapa wilayah pesantren di pulau jawa. 

Mbah Kholil Bangkalan bernama lengkap Al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh Haji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Basyaiban al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i. Beliau lahir pada hari Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, dan meninggal di Martajasah, Bangkalan tahun 1925 pada usia antara 104 – 105 tahun. 

Mbah Kholil lahir di lingkungan keluarga Ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, adalah seorang Kyai di kampungnya. Bahkan menurut garis keturunannya, jalur silsilah Mbah Kholil masih memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang anggota Walisongo. Ayah Mbah Kholil, KH. Abdul Lathif adalah putra dari Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu dari Sunan Gunung Jati. Oleh karenanya KH. Abdul Lathif juga sangat berharap sembari berdoa agar putranya kelak menjadi pemimpin umat di kemudian hari. 

Pendidikannya


Awalnya Mbah Kholil dididik langsung oleh ayahnya, KH. Abdul Lathif. Ayahnya mendidik Mbah Kholil dengan sangat ketat. Begitu pula Mbah Kholil kecil juga bersemangat dalam menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan Nahwu, membuat Mbah Kholil kecil mudah menyerap apa yang diajarkannya. Bahkan sejak usia muda, beliau telah hafal nadzam Alfiyah Ibnu Malik dengan baik. Melihat potensi yang dimiliki putranya, ayahnya kemudian mengirim Mbah Kholil kecil untuk menimba ilmu ke beberapa pesantren di daerah jawa timur.

Pada awal pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Setelah belajar di Pesantren Langitan, beliau berpindah untuk belajar ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari Bangil, Pasuruan, beliau pindah kembali ke Pondok Pesantren Keboncandi. Mbah Kholil memang tergolong santri yang cerdas. Beliau mampu menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab) dengan baik. Disamping itu, beliau juga seorang Hafidz (penghafal) Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah (tujuh cara membaca Al-Quran). 

Sewaktu belajar di Pesantren Keboncandi, beliau juga belajar kepada Kyai Nur Hasan di Sidogiri, yang berjarak 7 kilometer dari Keboncandi. Meski jarak antara Keboncandi dan Sidogiri lumayan jauh, Mbah Kholil muda rela untuk menempuh perjalanan bolak-balik setiap harinya demi untuk mendapatkan ilmu. Konon beliau selalu membaca Surat Yasin dalam setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri. Sebenarnya bisa saja Mbah Kholil  tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, apalagi Mbah Kholil juga sejatinya masih ada hubungan kerabat dengan Kyai Nur Hasan, namun beliau tidak melakukannya. Ternyata alasan beliau tetap tinggal di Keboncandi adalah agar beliau bisa nyambi menjadi buruh batik. Jadi selain belajar, beliau juga hidup mandiri dengan bekerja menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah beliau memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Mbah Kholil muda memang tergolong pemuda yang mandiri. Beliau tidak mau menjadi beban yang merepotkan kedua orang tuanya. Bahkan saat beliau berkeinginan untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke tanah Makkah, beliau juga berusaha sendiri untuk bisa mewujudkannya. Pada masa itu, dapat belajar ke Makkah memang merupakan cita-cita semua santri. Makkah saat itu merupakan pusatnya keilmuan Islam. Begitu pula dengan Mbah Kholil, beliau pun berencana untuk dapat ke Makkah. Maka dengan jiwa mandirinya, beliau pun memutar otak agar dapat belajar ke sana. 

Setelah menemukan jalan keluarnya, beliau akhirnya memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Beliau mengetahui bahwa Pengasuh pesantren itu mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Maka selama belajar di Pesantren Banyuwangi ini, Mbah Kholil juga nyambi menjadi 'buruh' pemetik kelapa milik Kyainya. Konon untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Dari uang yang beliau hasilkan sebagai pemetik kelapa, beliau tabung untuk 'rencana besarnya'. Sedangkan untuk kebutuhan makan sehari-hari, beliau menyiasatinya dengan bertugas mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak bagi teman-temannya. Dari sanalah Mbah Kholil bisa mendapat makan gratis.

Saat berusia 24 tahun, Mbah Kholil menikah dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih. Meski begitu, beliau tetap tidak melupakan rencana belajarnya ke negeri Makkah. Maka setelah menikah, beliau segera mempersiapkan segala keperluannya untuk berangkat ke Makkah. Dari hasil tabungannya selama menjadi buruh pemetik kelapa itulah, yang beliau gunakan untuk ongkos pelayaran. Pada masa itu untuk menuju Makkah, dilalui menggunakan kapal laut. Butuh berbulan-bulan untuk kapal sampai ke Makkah. Konon selama dalam perjalanan, Mbah Kholil lalui dengan berpuasa. Hal tersebut beliau lakukan bukan dalam rangka berhemat, namun semata-mata untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya diberi keselamatan.

Belajar di Makkah


Setelah sampai di Makkah, Mbah Kholil memulai kembali pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Di Makkah, beliau belajar kepada Syaikh (Mbah) Nawawi Al Bantani (Guru Ulama Indonesia asal Banten). Selain berguru kepada Mbah Nawawi Banten, Mbah Kholil juga berguru kepada Ulama lain, diantaranya yaitu kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Selain itu, Mbah Kholil juga belajar kepada para Ulama dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Meski begitu, beliau lebih cenderung untuk mengikuti Madzhab Syafi'i. Oleh karenanya, tidak heran jika kemudian beliau lebih banyak mengaji kepada para Ulama yang bermadzhab Syafi'i.

Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari di Makkah, konon Mbah Kholil seringkali makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Tampaknya apa yang beliau lakukan ini kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya. Sewaktu di Makkah, Mbah Kholil juga bekerja sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Dari hasil bekerja ini beliau mendapat upah yang dapat beliau gunakan untuk mencukupi kebutuhan beliau sehari-hari. 

Sewaktu belajar di Mekkah, Mbah Kholil seangkatan dengan KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Meski demikian, ada kebiasaan bagi Ulama-Ulama masa itu yang memanggil guru kepada sesama rekannya. Maka di antara mereka, Mbah Kholil lah yang lebih dituakan dan dimuliakan di antara mereka. Diriwayatkan tiga tokoh Ulama asal Indonesia (Jawa) yakni Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Nawawi Mbanten dan Mbah Soleh Darat Semarang, ketiganya bersepakat untuk menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. Dari ketiga tokoh inilah konon aksara tulisan pegon tercipta dan kemudian banyak dipakai dalam pembelajaran pesantren-pesantren di Indonesia. 

Pulang ke Tanah Air


Setelah menghabiskan waktunya untuk belajar kepada para Ulama di Makkah, Mbah Kholil memutuskan untuk pulang dan menyebarkan ilmunya di tanah kelahirannya. Sepulangnya dari Makkah, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan beliau dianggap sebagai salah seorang Ulama yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Selain itu, beliau juga dikenal ahli dalam ilmu alat (nahwu dan sharaf) dan seorang hafidz Al Qur'an. Pada akhirnya, Mbah Kholil mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dengan berdirinya pesantren, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya untuk belajar kepada beliau. Namun setelah putri beliau, Siti Khatimah, dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu pun kemudian diserahkan kepada menantunya itu. Mbah Kholil sendiri kemudian mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama. Di pesantren yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat medapatkan santri kembali. Bahkan santri-santrinya juga bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang, yakni Pulau Jawa. Hampir semua Ulama besar di Madura dan Jawa pada saat itu adalah murid dari Mbah Kholil. 

Mbah Kholil hidup pada masa penjajahan Belanda, maka beliau pun tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Meski tidak ikut melakukan perlawanan secara terbuka, Mbah Kholil turut berkontribusi dengan menggunakan caranya sendiri. Beliau senantiasa mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Meski berjuang di balik layar, beliau juga tidak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada para pejuang yang maju ke medan pertempuran. Mbah Kholil juga tidak keberatan kala pesantrennya dijadikan sebagai tempat persembunyian bagi para pejuang. 

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi dengan ditangkapnya Mbah Kholil, justru membuat pusing pihak Belanda. Banyak kejadian-kejadian tidak biasa yang mereka alami, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari berikutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta untuk ikut ditahan bersamanya. Dari kejadian-kejadian seperti itu maka pihak Belanda akhirnya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. 

Demikianlah riwayat hidup Simbah Syaikh Kholil Bangkalan, seorang Ulama besar Nusantara yang juga peduli akan nasib bangsanya. Selain dikenal sebagai ahli Fiqh, ilmu Alat (nahwu dan sharaf), dan ahli tarekat, di kalangan masyarakat pesantren beliau juga dikenal sebagai tokoh yang waskita, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi) dan memiliki banyak karomah. Setelah banyak mendarma baktikan hidupnya bagi agama dan bangsa, Mbah Kholil wafat pada hari Kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau dishalatkan di Masjid Agung Bangkalan, dan kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

Murid-Muridnya


Banyak murid-murid Mbah Kholil yang mengikuti beliau dalam memperjuangkan agama dan bangsanya. Bahkan banyak di antara mereka yang berhasil mendirikan pesantren dan menjadi tokoh-tokoh berpengaruh bagi bangsa ini. Di antara murid-murid Mbah Kholil yaitu:

1. KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga merupakan sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

2. KH. Wahab Hasbullah, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. 

3. KHR. As'ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo.

4. KH. Bisri Syamsuri, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren di Rembang, Jawa Tengah. 

6. KH. Bisri Mustofa, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren di Rembang. 

7. KH. Muhammad Siddiq, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8. KH. Muhammad Hasan Genggong, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. 

9. KH. Zaini Mun’im, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

10. KH. Abdullah Mubarok, Pendiri dan Pengasuh Pondok, kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.

11. KH. Asy’ari, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.

12. KH. Abi Sujak, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13. KH. Ali Wafa, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember.

14. KH. Toha, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15. KH. Mustofa, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan. 

16. KH Usmuni, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17. KH. Karimullah, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18. KH. Manaf Abdul Karim, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

19. KH. Munawwir, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20. KH. Khozin, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21. KH. Abdul Fatah, Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung. 

22. KH. Sayyid Ali Bafaqih, Pendiri dan pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

23. KH. Nawawi, Pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. 

24. KH. Zainudin, Nganjuk. 

25. KH. Maksum, Lasem. 

26. KH. Abdul Hadi, Lamongan.

27. KH. Zainul Abidin, Kraksan Probolinggo.

28. KH. Munajad, Kertosono. 

29. KH. Romli Tamim, Rejoso jombang. 

30. KH. Muhammad Anwar, Pacul Gowang, Jombang. 

31. KH. Abdul Madjid, Bata-bata, Pamekasan, Madura. 

32. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi. 

33. KH. Muhammad Thohir jamaluddin, Sumber Gayam, Madura.

34. KH. Zainur Rasyid, Kironggo, Bondowoso. 

35. KH. Hasan Mustofa, Garut Jawa Barat. 

36. KH. Raden Fakih Maskumambang, Gresik.

37. KH. Mohammad Ma'roef, Pendiri Ponpes Kedunglo, Rais Syuriyah Pertama NU Kediri.

Selengkapnya
Biografi Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Penulis Kitab Al Mughni

Biografi Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Penulis Kitab Al Mughni

Kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah adalah seorang Ulama besar madzhab Hambali yang karya monumentalnya 'Al Mughni Syarh Mukhtasar Al Khiraqi' banyak dijadikan rujukan dalam mengatasi  setiap permasalahan-permasalahan fiqih. Ibnu Qudamah lahir di desa Jammail, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitul Maqdis, Palestina pada tahun 541 H/ 1147 M. Beliau adalah Ulama besar di bidang ilmu fiqih dari madzhab Hambali, yang kitab-kitab fiqihnya merupakan standar bagi madzhab tersebut. Nama lengkap beliau adalah Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Maqdisi Al Hambali. 

Menurut Sejarawan, Ibnu Qudamah merupakan keturunan Umar bin Khattab RA melalui jalur Abdullah bin Umar RA (Ibnu Umar). Ayahnya yaitu Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah. Pada tahun 551H, saat Ibnu Qudamah berusia 10 tahun, ayahnya mengajak Ibnu Qudamah dan saudaranya, Abu Umar, serta saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al- Maqdisi, berhijrah dan mengasingkan diri ke Yerussalem, yaitu di lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus. Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisyun di Shalihia, Damaskus. 

Pada mulanya Ibnu Qudamah menghafal Al Qur'an dan Mukhtasar Al Khiraqi (fiqh madzhab Imam Ahmad bin Hambal) kepada ayahnya, Abul Abbas, seorang ulama yang memiliki kedudukan mulia serta seorang yang zuhud. Selain belajar kepada ayahnya, beliau juga berguru kepada Abu al Makarim bin Hilal, Abu al Ma'ali bin Shabir dan Ulama-ulama Damaskus lainnya. Karena kepandaiannya, beliau memiliki kemajuan yang pesat dalam mengkaji ilmu. 

Pada tahun 561 H, beliau pergi ke Baghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al Maqdisi. Di Baghdad, beliau pernah berguru dan menetap sebentar di kediaman Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani. Saat itu Sang Syaikh telah berumur 90 tahun. Ibnu Qudamah mengaji Mukhtasar Al-Khiraqi kepada Sang Syaikh dengan penuh ketelitian dan pemahaman yang dalam, karena sebelumnya beliau telah hafal kitab itu sejak di Damaskus. Tidak lama kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah.

Selain berguru kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, selama di Baghdad beliau juga berguru kepada ulama-Ulama lainnya seperti Imam Hibatullah bin Ad Daqqaq, Ibnu Bathi Sa'adullah bin Dujaji, Ibnu Taj al Qara, Ibnu Syafi', Abu Zur'ah, dan Yahya bin Tsabit. Beliau juga menyempatkan sebentar untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Al Mubarak bin Ali bin Al Husein bin Abdillah bin Muhammad al Thabakh al Baghdadi (wafat 575 H), seorang ulama besar madzhab Hambali di bidang fiqh dan Ushul fiqih. Selanjutnya beliau tidak berpisah dengan Abul Fatah bin Manni untuk mengaji kepadanya madzhab Ahmad bin Hambal dan perbandingan madzhab. Ibnu Qudamah menetap di Baghdad selama 4 tahun. 

Pada tahun 578 H, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah pulang dari Makkah, beliau kembali lagi ke Baghdad untuk kembali menuntut ilmu kepada Ibnu al Manni di bidang fiqih dan ushul fiqih dalam madzhab Hambali. Setelah satu tahun, beliau memutuskan kembali ke Damaskus untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar dan menulis kitab. 

Sekembalinya di Damaskus, beliau mulai menyusun kitabnya "Al Mughni Syarh Mukhtasar Al Khiraqi". Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara umum. Sampai-sampai Imam Izzuddin bin Abdus Salam As Syafi'i yang digelari Sulthanul Ulama pun mengatakan tentang kitab ini, "Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya menyanding kitab Al Mughni". Selain menulis kitab Al Mughni, beliau juga terus menulis karya-karya ilmiah lain di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya dengan matang.

Di samping menulis, beliau juga mengajar banyak santri yang menimba ilmu kepadanya, baik dalam bidang ilmu hadits, fiqih dan ilmu-ilmu lainnya. Banyak dari santri-santrinya kemudian menjadi ulama setelah mengaji kepadanya. Di antara murid-muridnya yang menonjol yaitu Syaikh Syamsuddin Abdurr Rahman bin Abu Umar (seorang qadhi terkemuka), Abu Al Fajr Abdurrahman bin Muhammad bin Qudamah (Ketua Mahkamah Agung di Damaskus) dan Imam Ibrahim bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur al Maqdisi bin Ad Dimasyqi, seorang ulama besar madzhab Hambali. 

Selain sibuk dengan mengajar dan menulis kitab, Ibnu Qudamah juga mengabdikan sisa hidupnya untuk ikut serta dalam menghadapi perang salib melalui pidato-pidatonya yang tajam dan membakar semangat umat Islam. Ibnu Qudamah juga dikenal sebagai ulama besar Hanabilah yang zuhud, wara', dan ahli ibadah serta menguasai semua bidang ilmu, baik Al Qur'an dan tafsirnya, ilmu hadits, fiqih dan ushul fiqih, faraidh, nahwu, hisab dan lain sebagainya.

Ibnu Qudamah dikenal oleh ulama sezamannya sebagai seorang ulama besar yang menguasai bidang ilmu, memiliki pengetahuan yang luas tentang persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, cerdas dan dicintai teman-teman sejawatnya. Gurunya sendiri, Abu Al Fath Ibnu Al Manni pun mengakui bahwa Ibnu Qudamah sangat cerdas. Bahkan ketika Ibnu Qudamah hendak meninggalkan Baghdad, Ibnu al Manni (gurunya) ini enggan melepasnya seraya berkata, "Tinggallah engkau di Irak ini, karena jika engkau berangkat, tak ada lagi ulama yang sebanding dengan engkau di Irak". Ibnu Taimiyah juga mengakui, "Setelah al Auza'i (salah seorang pengumpul hadits di Syam), ulama besar di Suriah adalah Ibnu Qudamah". Pengakuan para ulama terhadap luasnya ilmu Ibnu Qudamah pun dapat dibuktikan pada zaman sekarang melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkannya.

Selain kecerdasannya, Ibnu Qudamah juga memiliki beberapa keistimewaan (karamah) yang banyak diceritakan orang, di antaranya adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Sabith bin Al Jauzi di mana ia pernah berkata dalam hati (ber azam) 'seandainya aku mampu, pasti akan kubangun sebuah madrasah untuk Ibnu Qudamah dan akan aku beri seribu dirham setiap harinya'. Selang beberapa hari ia datang ke kediaman Ibnu Qudamah untuk bersilaturahmi, seraya tersenyum Ibnu Qudamah berkata kepadanya, "Ketika seseorang berniat melakukan sesuatu yang baik, maka dicatat baginya pahala niat tersebut".

Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari idul fitri tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qaisun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas jami' al Hanabilah (masjid besar para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hambal).

Karya-karya Ibnu Qudamah

Sebagai seorang ulama besar di kalangan madzhab Hambali, beliau meninggalkan beberapa karya besar yang menjadi standar dalam madzhab Hambali. Karya beliau yang sangat berpengaruh adalah Al Mughni. Ibnu Hajib pernah berkata, "beliau (Ibnu Qudamah) adalah seorang imam, dan Allah menganugerahkan berbagai kelebihan. Beliau memadukan antara kebenaran tekstual dan kebenaran intelektual. Al Hafidz Ibnu Rajab dalam "Thabaqat al Hambaliyyah" mengatakan bahwa Ibnu Qudamah memiliki karya yang banyak dan bagus, baik dalam bidang furu' maupun ushul, hadits, bahasa dan tasawuf. Karyanya dalam bidang ushuluddin sangat bagus, kebanyakan menggunakan metode para muhadditsin yang dipenuhi hadits-hadits dan atsar beserta sanadnya, sebagaimana metode yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan imam-imam hadits lainnya.

Di antara karya-karya Ibnu Qudamah yaitu:

a) Dalam bidang Ushuluddin, yaitu:

1. Al Burhan fi Masail Al Qur'an, membahas ilmu-ilmu Qur'an, terdiri hanya satu juz.

2. Jawabu Mas'alah Waradat fi Al Qur'an, hanya satu juz.

3. Al I'tiqad, satu juz.

4. Mas'alah al Uluwi, terdiri dari dua juz.

5. Dzam al Takwil, membahas persoalan takwil, hanya satu juz.

6. Kitab al Qadar, berbicara tentang Qadar, hanya satu juz.

7. Kitab Fadlail al Shahabah, juga dikenal dengan Minhajul Qashidin fi Fadlail Khulafa Rasyidiin, dalam dua juz.

8. Risalah ila Syaikh Fakhruddin ibn Taimiyah fi Takhlidi ahli al Bida'i fi al Naar.

9. Mas'alatu fi tahriimi al Nazar fi kutubi Ahli al Kalam

b). Dalam bidang hadits, yaitu:

1. Mukhtasar al Illal al Khailal, berbicara tentang cacat-cacat hadits, dalam satu jilid besar.

2. Masyikhah Syuyukhah, satu juz.

3. Masyikhah Ukhra.

c). Dalam bidang fiqih, yaitu:

1. Al Mughni, kitab fiqih dalam 10 jilid besar, memuat seluruh persoalan fiqih, mulai dari ibadah, muamalah, dengan segala aspeknya, sampai kepada masalah perang.

2. Al Kaafi, kitab fiqih dalam 4 jilid. Merupakan ringkasan bab fiqih.

3. Al Muqni', kitab fiqih yang terdiri atas 3 jilid besar, tetapi tidak selengkap kitab Al Mughni.

4. Al Umdah fi al Fiqh, kitab fiqih kecil yang disusun untuk para pemula dengan mengemukakan argumentasi dari Al Qur'an dan Sunnah.

5. Mukhtasar al Hidayah li Abi al Khatab, dalam satu jilid.

6. Manasik al Haji, tentang tata cara haji, dalam satu juz.

7. Dzam al Was-Was, satu juz.

8. Raudlah al Nadzir fi Ushul al Fiqh, membahas persoalan ushul fiqih dan merupakan kitab ushul tertua dalam madzhab Hambali, di kemudian hari diringkas oleh Najamuddin al tufi, selain itu beliau juga memiliki fatwa dan risalah yang sangat banyak.

d). Dalam bidang bahasa dan nasab, yaitu:

1. Qun'ah al Arib fi al Gharib, hanya satu jilid kecil.

2. Al Tibyan an Nasab al Quraisysin, menjelaskan nasab-nasab orang Quraisy, hanya satu juz.

3. Ikhtisar fi Nasab al Anshar, kita satu jilid yang berbicara tentang keturunan orang-orang Anshar.

e). Dalam bidang tasawuf, yaitu:

1. Kitab Al Tawabin fi al Hadits, membicarakan masalah-masalah taubat dalam hadits, terdiri dari dua juz.

2. Kitab Al Mutahabiin fillah, dalam dua juz.

3. Kitab Al Riqah wa al Bika, dalam dua juz.

4. Fadhail al syura, kitab dua juz yang berbicara tentang keutamaan bulan Asyura.

5. Fadhail al Asyari.

Selengkapnya