Menjelang bulan ramadhan, sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian umat Muslim di Indonesia untuk berziarah ke makam para leluhur dan para Wali yang tersebar di seantero penjuru negeri. Di antara yang sering menjadi tujuan tempat berziarah adalah makam para wali yang tergabung dalam walisongo. Selain makam para walisongo, banyak pula makam wali-wali lain di sejumlah daerah yang juga ramai menjadi tempat tujuan berziarah, biasanya hal ini juga dengan mempertimbangkan waktu dan jarak tempuh yang tidak terlalu lama.
Jumat 27 Mei 2016, atau 10 hari sebelum puasa ramadhan 1437 H, saya bersama rombongan dari majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa saya, Candiwulan, berkesempatan untuk melakukan perjalanan ziarah ke makam para wali yang khususnya berada di wilayah Jawa Tengah. Tujuan yang kami tuju adalah makam Raden Santri dan Simbah Dalhar di Gunungpring Magelang, Raden Patah dan Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria dan Sunan Kudus di Kudus, Syaikh Subakir di Gunung Tidar Magelang dan terakhir Syaikh Imam Puro di Purworejo.
Sekitar jam 2 sehabis dhuhur, kami serombongan sekitar 60 orang berangkat dari desa dengan menggunakan satu bus besar. Perjalanan awal kami lalui melewati jalan utama arah Kebumen-Magelang. Setibanya di daerah Salaman Magelang, yaitu sekitar jam setengah 5 sore, bus berhenti di depan sebuah masjid dan rombongan turun untuk melakukan shalat ashar. Kebetulan juga setelah berhentinya bus kami, berhenti juga 2 bus lain yang juga membawa rombongan ziarah dari Kebumen juga, yaitu dari daerah Klirong. Jumlah penumpang bus yang membludak membuat masjid yang tidak terlalu besar itu akhirnya menjadi penuh sesak oleh rombongan ziarah. Rombongan kami akhirnya shalat bergantian dengan rombongan lain itu.
Selepas shalat ashar, perjalanan bus kami lanjutkan, begitu pula dengan 2 bus rombongan lain itu. Sepanjang perjalanan bus kami beriringan dengan bus dari rombongan lain itu, hingga akhirnya kami sampai di daerah Muntilan Magelang. Memasuki waktu maghrib, kami niat untuk jama' ta'khir shalat maghrib dan Isya'. Dari kota Muntilan, perjalanan mulai melewati jalan yang agak kecil dari jalan utama, sampai akhirnya sekitar jam setengah 7, kami sampai di lokasi ziarah makam pertama, yaitu pemakaman di Gunung Pring, Muntilan, Magelang.
Gunungpring adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Konon dinamakan Gunungpring karena di tengah-tengah desa ada sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat rimbun. Gunungpring memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan air laut. Jika siang hari, dari puncak Gunungpring kita dapat melihat kota Muntilan dan hamparan pemandangan alam yang luas, udara yang sejuk, dan terlihat pula dari kejauhan jajaran pegunungan menoreh yang indah.
|
Gerbang Makam Auliya Gunungpring |
Di atas puncak Gunungpring ini, terdapat kompleks makam yang biasa menjadi tempat tujuan berziarah. Tercatat ada beberapa nama Auliya, Ulama dan tokoh-tokoh terkenal dari masa lalu yang dimakamkan di sini. Di antaranya yaitu salah seorang Wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden Santri (Pangeran Singosari Mataram) yang masih keturunan Raja Majapahit. Makam yang termasuk Wewengkon Kagungan Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu disebut juga PUROLOYO (makamnya keturunan raja).
Kyai Raden Santri adalah seorang Ulama penyebar agama Islam di sekitar gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. Beliau yang juga bergelar Pangeran Singasari adalah putra dari Kyai Ageng Pemanahan yang masih keturunan Prabu Brawijaya Majapahit.
Menjelang kerajaan Mataram berdiri, Kyai Raden Santri pernah menjabat sebagai Senopati Perang yang bertugas mengajarkan shalat kepada para prajurit. Saat berada di sebuah dusun dan hendak mengajarkan shalat kepada para prajurit, Kyai Raden Santri tidak menemukan air untuk berwudlu'. Kemudian Kyai Raden Santri berdoa kepada Allah agar diberikan air. Lalu Kyai Raden Santri membuat sendang dengan tongkatnya, dan dengan izin Allah, sendang itupun memancarkan air, bahkan hingga kini sendang tersebut tidak pernah berhenti memancarkan air, bahkan di musim kemarau sekalipun. Sendang itu kini terletak di dusun Kolosendang, desa Ngawen, kecamatan Muntilan, kabupaten Magelang.
Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk bermujahadah di bukit Gunungpring. Saat perjalanan pulang ke dusun Santren, beliau melewati sungai yang terjadi banjir sangat besar. Kemudian Mbah Raden Santri berkata, “Air berhentilah kamu, aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan berubah mengeras hingga menjadi batu–batu cadas dan menonjol. Sampai sekarang dusun tempat tersebut dikenal dengan nama Watu Congol (batu yang menonjol) dan sekarang berada di Muntilan, dekat dengan Gunungpring. Karena keistimewaan dan jasanya dalam penyebaran agama Islam, sampai sekarang ini banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Mbah Raden Santri.
Selain makam Raden Santri, di kompleks makam gunungpring ini juga terdapat makam
Simbah H. Dalhar. Beliau adalah seorang Ulama besar, mursyid tarekat yang juga dikenal sebagai salah satu guru para Ulama. Beliau banyak menciptakan ulama dan santri yang mumpuni. Kharisma, kesolehan, keluhuran budi pekerti, dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu.
Beliau dilahirkan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Sawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Ayah beliau adalah Kyai Abdurrahman bin Kyai Abdurrauf bin Kyai Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf bin Raden Bagus Kemuning Hasan Tuqo atau kakeknya Mbah Dalhar merupakan salah seorang panglima perang dari Pangeran Diponegoro. Simbah Kyai H. Dalhar adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah.
Selain makam Kyai Raden Santri dan Simbah H. Dalhar, terdapat pula makam-makam tokoh lain, seperti makam Simbah Kyai Jogorekso, Simbah Kyai Abdurrohman, Simbah Kyai H. Husain, Simbah Kyai Sulthon, Simbah Kyai Krapyak III, Simbah Kyai Humam, Simbah Kyai H. Harun, Simbah Kyai Kerto Njani, Simbah Kyai Abdullah Sajad, Dll.
Setibanya kami di Gunungpring ini, sebelum sampai di kompleks makam, kami melewati sebuah gerbang menuju lorong jalan dengan beberapa anak tangga yang di kanan kirinya digunakan sebagai tempat berjualan oleh para pedagang. Beraneka macam barang dijual di sini. Memasuki areal makam, banyak peziarah yang sudah tiba di sini. Kami pun akhirnya berziarah di depan makam Simbah Dalhar. Selesai berziarah, kami bergegas menuju mushala untuk ibadah shalat maghrib dan Isya' dengan jama' ta'khir dan qashar. Selepas shalat, kami kembali ke bus dan bersiap menuju perjalanan selanjutnya. Sebelum berangkat, kami sempatkan juga untuk mengisi perut dengan membuka bekal makanan yang kami bawa.
Tepat jam 8 lebih seperempat akhirnya perjalanan bus kami lanjutkan. Lokasi tujuan berikutnya yaitu ke makam Raden Patah di Demak. Karena hari yang semakin malam, perjalanan lebih banyak kami lalui dengan beristirahat tidur malam di dalam bus. Perjalanan dari Magelang menuju Demak ini melewati daerah seperti Ambarawa, Ungaran dan Semarang. Sekitar jam 12 malam akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus untuk menuju lokasi makam. Dari terminal bus kami naik ojek untuk sampai di lokasi makam Raden Patah yang berada di samping masjid Agung Demak.
|
Kompleks makam Raja Demak |
Raden Patah lahir di Palembang pada tahun 1455 dan wafat di Demak pada tahun 1518. Beliau adalah pendiri dan sultan pertama dari Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1475-1518. Pada masanya pula Masjid Agung Demak didirikan, dan kemudian beliau dimakamkan di sana. Selain makam Raden Patah, dalam lokasi Makam Kasultanan Bintoro Demak ini juga terdapat makam Raden Patiunus (berkuasa tahun 1518 hingga 1521), Raden Trenggono (berkuasa dari 1521 hingga 1546), dan tokoh-tokoh lain yang berhubungan dengan sejarah Kesultanan Demak Bintoro.
Setibanya di lokasi makam, kami langsung masuk berziarah di dekat makam Raden Patah. Selepas berziarah, kami kembali naik ojek untuk kembali ke terminal bus dan melanjutkan perjalanan. Jam setengah 2 bus kembali berjalan menuju makam selanjutnya yaitu makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Tidak sampai 20 menit bus berjalan, kami sudah sampai di Kadilangu. Berbeda dengan di makam Raden Patah, untuk menuju makam Sunan Kalijaga kami cukup berjalan kaki dari tempat pemberhentian bus.
Sunan Kalijaga adalah salah satu dari 9 Walisongo yang terkenal dengan dakwahnya yaitu menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
|
Makam Sunan Kalijaga pada siang hari |
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Beliau adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta. Selama berdakwah, sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Sepeninggal beliau, makam beliau ini hingga sekarang ramai diziarahi orang-orang dari seluruh penjuru Nusantara.
Baca juga:
7 Tujuan Ziarah Wali di Pulau Bali (Ziarah Wali Pitu)
Di lokasi makam, sempat salah seorang dari rombongan kami terpisah dan tersesat saat hendak ke makam, sementara kami tidak menyadarinya karena saking ramainya peziarah. Beruntung kemudian salah satu petugas makam bersedia membantunya dan mempertemukan kembali dengan rombongan kami. Selepas kami berziarah di depan makam Sunan Kalijaga, tepat jam 3 kurang seperempat perjalanan bus kami lanjutkan menuju lokasi makam selanjutnya yaitu makam Sunan Muria di Gunung Muria, Colo, Kudus.
Perjalanan dilanjutkan melewati jalanan kota Demak dan masuk wilayah Kabupaten Kudus. Lokasi makam Sunan Muria yang berada di atas gunung membuat bus harus berjalan menanjak menaiki lereng gunung muria untuk sampai di lokasi pemberhentian bus. Jam 4 lebih sepuluh menit akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus sebelum menuju makam. Setelah masuk waktu shubuh, sebelum naik ke lokasi makam kami sempatkan terlebih dahulu untuk shalat shubuh berjamaah di sebuah mushala dekat terminal bus.
|
Makam Sunan Muria |
Nama asli dari
Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menyukai tinggal di daerah yang terpencil dan jauh dari keramaian. Beliau menyebarkan agama Islam dengan cara-cara yang halus sambil mengajarkan keterampilan cara bercocok tanam, berdagang dan juga melaut. Jiwa seni yang ada didalam diri beliau juga digunakan untuk menyampaikan dakwah ajaran Islam kepada para pengikutnya. Tembang Sinom dan Kinanthi adalah salah satu hasil karya seni yang beliau ciptakan. Beliau dikenal sebagai Sunan Muria karena beliau dimakamkan di Gunung Muria, yaitu sebuah gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati.
Akses ke lokasi makam Sunan Muria lumayan berat karena berada di puncak sebuah bukit di gunung Muria. Untuk sampai ke lokasi makam, peziarah harus menempuh perjalanan menaiki anak tangga yang cukup jauh. Namun bagi yang ingin cepat sampai, disini banyak ojek yang siap mengantarkan sampai ke lokasi Makam. Sabtu pagi sehabis shubuh, rombongan begegas bersiap menuju makam. Untuk lebih efisiensi, rombongan kami memutuskan naik ojek untuk sampai ke lokasi makam, kecuali saya dan dua orang dari rombongan kami. Saya memang sebelumnya sudah berniat untuk jalan kaki menuju ke lokasi makam Sunan Muria ini. Meskipun hanya 3 orang, sekitar beberapa menit berjalan akhirnya sampailah kami di lokasi makam.
Sampai di atas, kami bertiga langsung bertemu dengan rombongan kami dan kemudian bergegas menuju makam. Banyaknya jumlah peziarah membuat kami harus antri dengan peziarah lain. Parahnya lagi rombongan kami terpisah menjadi dua, rombongan pertama sudah masuk makam sedangkan rombongan kedua termasuk saya harus antri di depan penjaga pintu makam. Sempat terjadi perdebatan dengan penjaga pintu makam agar kami diizinkan masuk karena rombongan kami sudah ada yang masuk di dalam, tetapi kami tetap tidak diperbolehkan masuk. Barulah setelah salah satu panitia dari anggota rombongan kami yang sudah masuk di dalam keluar lagi dan menemui penjaga pintu makam, akhirnya kami diperbolehkan masuk dan bergabung dengan rombongan kami yang lain.
Selepas berziarah, rombongan kami akhirnya turun gunung. Sebagian besar dari kami memutuskan untuk berjalan kaki menuruni anak tangga yang di kanan kiri berjejeran para pedagang menjajakan dagangannya. Sebagian rombongan juga membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Setelah sampai di parkiran bus, kami bersiap untuk menuju lokasi berikutnya. Jam 8 kurang seperempat, bus berangkat menuju lokasi makam Sunan Kudus yang berada di lingkungan Masjid Menara Kudus. Sekitar 1 jam perjalanan akhirnya sampailah kami di tempat perhentian bus sebelum menuju makam. Menuju makam Sunan Kudus, kami harus naik angkutan untuk sampai lokasi, banyak tersedia angkutan seperti mobil angkot ataupun becak yang siap membawa peziarah sampai ke lokasi makam.
Beberapa menit naik angkot akhirnya sampailah kami di depan Masjid Menara Kudus, di mana terdapat makam Sunan Kudus. Makam Sunan Kudus memang ramai di kunjungi peziarah, apalagi menjelang bulan ramadhan, pedagang juga banyak yang berjualan di sepanjang jalan menuju masjid menara Kudus ini. Dengan banyaknya peziarah, kami memasuki gerbang makam dengan berjalan bergantian dengan peziarah lain. Karena ramainya peziarah, akhirnya kami melakukan ibadah ziarah tahlil agak jauh dari makam Sunan Kudus, tetapi masih dalam kompleks makam.
|
Pintu gerbang makam, ilustrasi Sunan Kudus |
Sunan Kudus bernama asli Ja'far Shadiq putra Raden Usman Haji yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Ngudung. Beliau lahir sekitar tahun 1400-an, dan meninggal tahun 1550. Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Palestina dan datang ke Jawa pada tahun 1436 M. Menurut silsilahnya Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam di sekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara pada umumnya. Beliau adalah seorang ulama, guru besar agama yang terkenal dengan keilmuannya terutama dalam Ilmu Tauhid, Ushul, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih, oleh sebab itu beliau digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. Beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang terkenal dengan karyanya yaitu Gending Maskumambang dan Mijil.
Cara berdakwah yang beliau sampaikan hampir sama dengan pendekatan yang digunakan Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempat. Di antara pendekatan yang beliau lakukan adalah seperti larangan meyembelih sapi untuk menghormati umat Hindu pada masa itu, dan sebagai gantinya dengan menyembelih kerbau. Tradisi ini masih banyak dijalankan oleh masyarakat Kudus sampai sekarang. Selain sebagai tokoh agama, Sunan Kudus juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Beliau juga pernah menjadi penasehat kerajaan Demak, dan menjadi hakim agung (qadhi) kerajaan Demak untuk menghakimi urusan-urusan pidana dan pemikiran secara umum.
Selepas berziarah di makam Sunan Kudus ini. Jam 10 lebih 40 menit akhirnya bus meninggalkan kota Kudus untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu kembali ke selatan menuju gunung tidar Magelang. Perjalanan yang sekaligus arah pulang ini kami lalui melewati jalan sebelumnya yaitu Kudus-Semarang Semarang-Magelang.
Dalam perjalanan balik ini bus sempat mogok sampai dua kali, pertama di jalan tol dan kedua di sekitar wilayah Ambarawa, tetapi syukurlah bisa diatasi. Memasuki kota Secang Magelang, bus berhenti di depan rumah makan untuk beristirahat. Kami serombongan banyak yang menggunakan waktu untuk membersihkan diri, mandi dan makan. Setelahnya juga kami laksanakan ibadah shalat ashar dan dhuhur dengan jama' ta'khir dan qashar di mushala dekat rumah makan ini. Setelah cukup beristirahat di Secang, perjalanan kami lanjutkan. Sekitar jam 5 sore akhirnya sampailah kami di lokasi makam berikutnya, yaitu gunung tidar, lokasi makam Syaikh Subakir berada.
Gunung Tidar adalah gunung yang berada di tengah-tengah Kota Magelang. Gunung dengan ketinggian 503 meter dari permukaan laut ini tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan militer karena banyaknya kegiatan Akademi Militer (Akmil) yang dilakukan di sini. Dalam legenda, gunung tidar juga dikenal sebagai 'Pakunya Tanah Jawa', hal ini ditandai dengan berdirinya sebuah tugu di puncak gunung tidar. Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Akses untuk menuju makam Syaikh Subakir melewati jalanan beraspal sampai akhirnya belok kiri dan masuk gapura gunung tidar. Dari gapura, kami kemudian harus menaiki ratusan anak tangga sebelum akhirnya sampai di lokasi makam. Gunung tidar ini masih terbilang cukup alami dengan banyaknya pohon yang tinggi menjulang, sehingga menjadikan gunung tidar sangat rimbun. Sekitar kurang dari 30 menit menapaki jalanan tangga setapak, akhirnya sampailah kami di lokasi makam.
|
Makam Syaikh Subakir |
Syaikh Subakir adalah tokoh dari generasi awal Walisongo yang menaklukan Gunung Tidar dengan mengalahkan para jin penunggu Gunung Tidar. Menurut legenda (hikayat) Gunung Tidar, Syaikh Subakir berasal dari negeri Turki (versi lain Iran dan Baghdad) yang datang ke Gunung Tidar bersama kawannya yang bernama Syaikh Jangkung untuk menyebarkan agama Islam. Banyak kalangan meyakini bahwa situs di gunung tidar ini sebetulnya bukanlah makam dari Syaikh Subakir, karena sebelum meninggal, Syaikh Subakir diyakini telah pulang ke negeri asalnya dan dimakamkan di tanah kelahirannya tersebut. Sedangkan yang berada di gunung tidar ini hanyalah tempat petilasan beliau.
Di makam/ petilasan Syaikh Subakir ini, kami berziarah tanpa Imam Kyai rombongan kami. Beliau tidak ikut berziarah karena suatu sebab dan menunggu di tempat parkir bus, sehingga Imam ziarah akhirnya dipimpin oleh Ustadz tangan kanan pak Kyai. Setelah selesai berziarah di makam Syaikh Subakir, rombongan kami langsung turun menuju tempat parkir bus. Namun ketika baru beberapa langkah menuruni tangga, kami bertemu dengan pak Kyai yang ternyata berubah pikiran dan akhirnya menyusul hendak berziarah. Rombongan akhirnya tetap turun, tetapi sebagian panitia ziarah ikut naik menemani pak Kyai berziarah.
Perlu diketahui bahwa selain terdapat makam Syaikh Subakir, di gunung tidar ini juga dapat kita jumpai situs-situs lain, di antaranya yaitu makam kyai Sepanjang yang panjangnya mencapai 7 meter. Kyai Sepanjang bukanlah nama manusia, tetapi nama sebuah tombak yang dibawa dan dipergunakan oleh Syaikh Subakir ketika mengalahkan jin penunggu Gunung Tidar kala itu. Selain itu, dapat kita jumpai pula makam Kyai Semar. Namun menurut beberapa versi, makam ini bukanlah makam kyai Semar yang ada dalam pewayangan. Tetapi Kyai Semar yang dimaksud adalah nama jin penunggu Gunung Tidar waktu itu. Meski demikian banyak yang percaya bahwa makam ini memang makam Kyai Semar yang ada dalam pewayangan itu. Jika sampai di puncak gunung tidar, kita juga bisa melihat tugu yang dipercaya sebagai Pakunya Tanah Jawa.
Sesampainya rombongan kami di tempat parkir bus, hari sudah gelap, sehingga diputuskan shalat maghrib nanti dijama' ta'khir dengan isya'. Sembari menunggu rombongan pak Kyai turun, sebagian rombongan menggunakan waktu untuk beristirahat dan makan malam. Hampir 2 jam kami menunggu rombongan pak Kyai yang tidak juga kunjung turun, padahal rencananya sehabis maghrib bus sudah berjalan menuju lokasi berikutnya. Belakangan diketahui bahwa selain berziarah di makam Syaikh Subakir, ternyata pak Kyai juga mengunjungi makam Kyai Sepanjang, Kyai Semar dan Tugu di puncak gunung. Hal inilah yang membuat kami menunggu sampai lama.
Masalah diperparah lagi ketika setelah pak Kyai turun. Diduga ngambek atau mungkin tertidur karena menunggu terlalu lama, sopir bus yang kami naiki menghilang entah kemana. Kernet dan panitia ziarah yang mencoba mencari berkeliling sekitar terminal juga tidak berhasil menemukannya. Bahkan ketika dihubungi, handphone tersambung tetapi tidak juga diangkat. Kami sempat bingung dengan keadaan saat itu, bahkan bus kami juga sempat dipindahkan oleh sopir bus lain karena busnya terhalang oleh bus kami ketika hendak berangkat lagi.
Setelah lama mencari dan menunggu hingga hampir satu jam, akhirnya muncullah pak sopir dengan tenangnya. Rombongan pun maklum dan tidak mempermasalahkan kejadian ini. Jam 8 lebih seperempat akhirnya bus kembali berjalan menuju lokasi makam terakhir, yaitu makam Syaikh Imam Puro di Gunung Geger Menjangan, Purworejo. Perjalanan menuju Purworejo yang sebetulnya lumayan jauh terasa singkat karena bus melaju cukup kencang. Jam setengah 10 malam akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus makam Imam Puro.
|
Makam Imam Puro |
Imam Puro adalah seorang Ulama besar yang hidup pada masa Perang Diponegoro (1800-1900). Imam Puro yang bernama asli Mbah Kunawi adalah keturunan ke sembilan dari Sultan Agung, Raja Mataram terbesar. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Sidomulyo, Ngemplak, Purworejo yang sekarang bernama Al-Islah. Imam Puro juga dikenal sebagai pembawa pertama Thoriqoh Syattoriyah di Purworejo.
Selain sebagai tokoh Ulama, beliau juga dikenal sebagai salah satu pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di wilayah Purworejo. Bahkan santrinya yang mencapai ribuan banyak diperbantukan kepada Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda. Dalam sejarahnya, Syaikh Imam Puro juga pernah ditahan Belanda karena pondok pesantrennya dicurigai melakukan kegiatan keagamaan yang memusuhi Belanda. Tetapi entah bagaimana, Imam Puro lalu dibebaskan lagi dalam beberapa hari kemudian.
Makam Imam Puro yang berada di Gunung Geger Menjangan, Desa Candi, Kecamatan Balidono, Purworejo, Jawa Tengah ini hampir setiap hari ramai dikunjungi para peziarah. Untuk mencapai lokasi makam, kami mesti melewati tangga pendakian yang lumayan tinggi. Di atas dekat pemakaman Imam Puro, yakni di puncak Gunung Geger Menjangan, terdapat "Gardu Pandang", sebuah tempat paling lepas untuk melihat kota Purworejo dari ketinggian dengan pemandangan yang sangat indah.
Dikarenakan kami berziarah pada malam hari, jalan setapak menuju areal makam masih banyak yang gelap tanpa lampu penerangan, sehingga kami harus berjalan hati-hati agar tidak terjatuh atau tersandung batu. Sesampainya kami di areal lokasi makam, kita shalat isya' dan maghrib dengan jama' ta'khir terlebih dahulu di sebuah mushala dekat makam. Selesai shalat, kami langsung menuju makam untuk berziarah. Suasana makam yang saat itu kebetulan tidak begitu ramai membuat kami lebih leluasa mencari tempat strategis tepat di depan makam, untuk melakukan ibadah tahlil.
Makam Imam Puro ini merupakan tujuan terakhir kami dalam perjalanan kali ini, sehingga selesai berziarah di tempat ini, maka selesailah sudah perjalanan kami. Jam setengah 12 malam, kami menyudahi perjalanan ziarah kami dan bus kembali meluncur pulang menuju desa kami. Alhamdulillah, Ahad dini hari jam setengah 2 pagi akhirnya sampailah kami di desa tanah kelahiran kami.
Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kami ambil dari perjalanan ziarah ini, mulai dari pengalaman yang mengenakan dalam indahnya suasana kebersamaan dan kekeluargaan, sampai yang tidak mengenakan, seperti kejadian terpisahnya salah seorang anggota rombongan saat di Demak dan di Kudus, bus yang berulang kali mogok karena ada komponen mesin yang tersumbat kotoran, dan kejadian menghilangnya sopir saat di gunung Tidar. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah akhirnya semua masalah itu bisa teratasi dan kami semua dapat beribadah ziarah dengan lancar serta dapat kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
Wassalam.
Sumber Referensi : Wikipedia, dll.