Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Sejarah Keberadaan Bedug di Indonesia

Gambar bedug

Secara umum bedug termasuk alat musik tabuh seperti halnya gendang. Namun selain sebagai instrumen musikal, bedug juga biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau sembahyang. Sehingga bagi masyarakat Indonesia, bedug juga senantiasa dikaitkan dengan media panggilan peribadatan. Biasanya sebelum adzan berkumandang, seruan ketika waktu sholat tiba selalu dibuka dengan suara bedug. 

Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. 

Kulit hewan yang biasa dibuat sebagai bahan baku bedug biasanya adalah kulit kambing, sapi, kerbau, atau banteng. Kulit tersebut kemudian dipasangkan pada bonggol kayu dan selanjutnya disatukan dengan batang kayu menggunakan paku dan beberapa tali-temali. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.

Menurut sejarah, penggunaan bedug telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bedug memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Menurut sebuah studi, penggunaan bedug juga terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam ritual minta hujan. 

Literatur lain seperti dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi menyebutkan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar dengan bedug ukuran biasa. Disebutkan juga bahwa pada masa kerajaan Majapahit, bedug biasa digunakan sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal-hal bersifat mendesak lainnya.

Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Tampak arca-arca bergambar prajurit berwajah Mongoloid yang sedang menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya dari timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit pada saat itu. 

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit yang beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.

Beberapa literatur lain yang terkenal juga meyakini bahwa bedug masuk ke tanah Nusantara melalui China. Hal ini seiring dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho Pada abad ke 15. Pada saat Laksamana Cheng Ho dan pengikutnya datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. 

Ketika Cheng Ho hendak pergi dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti halnya negara Cina, Korea dan Jepang yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. 
Dari beberapa penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa bedug merupakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon) di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah. 

Pada Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin, pernah dikukuhkan penggunaan bedug dan kentongan, di mana pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Namun pada masa orde baru, ketika kelompok Islam modernis mulai mendapat tempat di hati pemerintah, pernah "debedukisasi" dilakukan, sehingga akibatnya banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. 

Mereka beralasan bahwa penggunaan bedug dianggap mengandung unsur-unsur bukan Islam sehingga harus dihilangkan. Sebagai gantinya kemudian dikembangkan program speakerisasi, yakni penggunaan bedug diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubah masjid. 

Menanggapi keadaan seperti itu, kalangan warga NU melakukan perlawanan, sehingga serangan Islam modernis akhirnya bisa dieliminir dan tradisi pemakaian bedug dapat terus dipertahankan. Bahkan masjid-masjid dari kelompok Islam lain seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil alih oleh kelompok Islam modernis akhirnya tetap memakai bedug. 

Pada kenyataannya, sampai sekarang kita juga dapat saksikan masih banyak masjid yang mempertahankan pemakaian bedug sebagai sarana syiar Islam di seantero bumi Nusantara ini. Diolah dari berbagai sumber.



Selengkapnya
Ilmu Laduni dalam konteks Teori Belajar Modern

Ilmu Laduni dalam konteks Teori Belajar Modern

Ilustrasi mendapat ilmu

Apakah ilmu laduni itu? Apakah di zaman modern ini masih bisa dijumpai keberadaannya?

Istilah ilmu laduni biasa di pahami sebagai ilmu yang paling tinggi, karena perolehannya melalui intuisi, kontemplasi atau ilham. Ilmu laduni juga digambarkan sebagai ilmu yang diberikan oleh Allah kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga meski tanpa belajar, orang yang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut. Oleh sebab itu ilmu ini bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT. Seseorang yang memiliki ilmu laduni mampu menyelesaikan semua persoalan atau kesulitan dengan tidak melalui proses belajar mengajar sebagaimana dilakukan orang pada umumnya. 

Pada awalnya, penyebutan ilmu laduni sebetulnya telah dimunculkan oleh Allah dalam al Qur'an. Seperti misalnya ilmu laduni yang diajarkan kepada Nabi Khidir yang hidup sezaman dengan Nabi Musa. Dalam potongan Surat Al Kahfi ayat ke 65 Allah menyatakan; ..... "dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami". Ibnu 'Arabi menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu dari sisi Kami (min ladunnaa 'ilmaa) adalah ilmu pengetahuan yang suci dan kebenaran-kebenaran kulliyah yang bersifat laduniyah tanpa melalui perantaraan proses belajar mengajar yang dilakukan manusia. 

Proses belajar secara laduni berada pada posisi mental dan bimbingan Ilahi. Sebab makna "ladun" sama dengan sisi ('inda). Jadi secara makna bahasa, ilmu laduni adalah ilmu pengetahuan yang datang dari sisi Allah yang diberikan kepada manusia. Dari pengertian ini, maka setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan hakikatnya ia memperoleh ilmu laduni, sebab apabila dikaitkan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu datang dari Allah, maka semua jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah laduni. Meskipun begitu, pengertian ini oleh sebagian orang ditolak, karena laduni sangat ditentukan dan didasari oleh pengalaman batin yang secara khusus diberikan Allah kepada hambaNya yang dicintai, waliyyullah atau mahbubillah. 

Dari pengertian yang terakhir ini akhirnya melahirkan pemahaman beragam yang secara terminologi sangat dipengaruhi oleh kondisi pengalaman mereka yang memperolehnya. Bahkan mungkin juga situasi dan lingkungan yang mengintervensi kehidupannya. Pemahaman ilmu laduni di tengah masyarakat kita sampai saat ini juga berjalan melalui pemahaman linier atas kesakralan dan eksklusifisme yang tinggi. Mereka memandang bahwa ilmu laduni hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu, kaum darah biru, dan kaum khawas seperti putra-putra kiai yang berlabel Gus. Padahal bila ditelusuri dengan seksama kebanyakan di antara mereka yang diduga mempunyai ilmu laduni juga mengalami proses belajar, hanya saja orang lain di sekitarnya tidak mengerti bagaimana mereka menjalani proses pembelajaran.

Ditinjau dari wacana tasawuf, Imam al Ghazali mengatakan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh seseorang melalui proses perjalanan cahaya ilham setelah terjadi kesucian jiwa. Beliau mengatakan bahwa orang yang sampai pada martabat ilmu laduni, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tidak butuh banyak usaha (belajar) untuk menghasilkan ilmu.
b. Tidak menemukan kesulitan dalam belajar.
c. Belajar sedikit, hasilnya banyak.
d. Sedikit lelah dan istirahatnya panjang.

Adapun sifat dan watak seseorang yang memiliki ilmu laduni adalah bersifat rendah hati, tidak pernah menonjolkan kekuatan batinnya, jauh dari sifat takabur, dan terhindar dari sifat-sifat tercela seperti marah, dengki, kikir, bakhil, riya', dendam dan lain sebagainya.

Laduni adalah hidayah dari Allah. Apabila itu terjadi pada diri Nabi atau Rasul maka ia disebut mu'jizat. Bila laduni diperoleh orang yang tergolong wali kekasih Allah maka ia merupakan karamah. Sedangkan laduni yang dimiliki orang mukmin karena keimanan dan ketakwaannya, maka yang demikian disebut ma'unah.

Jika dilihat dari konteks psikologi pendidikan, kriteria-kriteria laduni yang melekat pada diri seseorang sebagaimana tersebut di atas sebenarnya merupakan kecepatan merespon sesuatu yang datang dari luar dirinya. Hal ini sangat tergantung pada memori otak yang menyimpan informasi, sebab hubungan antara belajar, memori dan pengetahuan sangat erat dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa eksistensi laduni dalam proses belajar adalah hidayah Allah yang bersifat spiritual yang terjadi bersamaan ketika seseorang melakukan kegiatan belajar secara fisik, sehingga dapat mengantarkan seseorang menuju perubahan kehidupan diri secara baik dan cepat. Ini terjadi karena kebersihan dan kesucian jiwanya.

Kalimat-kalimat dalam al Qur'an sendiri sebetulnya mendukung terhadap perolehan jenis ilmu itu dari belajar. Kata-kata yang menunjukkan proses pembelajaran jelas difirmankan Allah. Kalimat seperti pada ayat "wa 'allamnaahu min ladunnaa 'ilman", ayat "allama bil qalam, 'allamal insaana ma lam ya'lam" atau kalimat "nuun wal qalami wa ma yasthuruun", menunjukkan bahwa ilmu diperoleh melalui ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Artinya secara normatif pendidikan dan pembelajaran selalu terkait dengan perubahan tingkah laku manusia, meskipun secara teologis juga dimungkinkan berlakunya nuansa spiritual yang mengiringi perjalanan perubahan tersebut.

Laduni merupakan tindakan belajar yang abstrak dan cepat terjadi bersamaan dengan tindakan belajar secara fisik. Maka dalam pandangan pendidikan proses pembelajaran itu senantiasa bersinggungan secara signifikan antara keduanya. Laduni yang beralas ilham dipandu dengan tindakan belajar berupa akal pikiran kemudian diwujudkan dengan laku perbuatan secara nyata. Dari sini terjadi interaksi simultan antara proses teologis dan proses normatif yang dialami seseorang, sehingga antara laduni dengan teori belajar berjalan seiring mengantarkan pribadi seseorang menjadi sosok laduni yang sebenarnya.

Pemaknaan laduni memang dekat dengan Tuhan, dan berkait erat dengan hidayah dan karunia Allah. Namun bukan berarti dengan kedekatan itu kemudian tidak menghiraukan proses belajar yang biasa dilakukan manusia. Kisah Khidir dengan Nabi Musa memang diakui secara sufistik merupakan awal kelahiran ilmu laduni dalam ilmu pengetahuan Islam, namun bukan berarti meniadakan atau menghilangkan esensi belajar. Di dalam kisah Khidir dengan Nabi Musa, merupakan sebuah paradigma terhadap kelangsungan proses belajar dan gambaran spesifik adanya ilmu pengetahuan yang diterima seseorang.

Demikianlah, laduni yang biasa diartikan sebagai ilmu tiban ini mungkin akan selalu menjadi fenomena sosial di sekitar kita. Sepanjang sejarah, ilmu laduni akan tetap ada walaupun eksistensinya berputar di atas kesakralan dan kegaiban. Akan tetapi substansi laduni dalam pemahaman modern tidak lain adalah melakukan pembelajaran secara fisik dengan usaha yang sungguh-sungguh, memperhatikan akhlaqul karimah dan kepasrahan yang tulus kepada Allah SWT.

Dengan laku perbuatan tersebut, maka akan terbuka bagi mereka ilmu yang secara langsung diberikan oleh Allah SWT. Ilmu laduni merupakan hidayah yang bisa diperoleh atau dimiliki setiap orang. Hanya saja memang terdapat beberapa tingkatan cara mencapainya, ada yang lambat, sedang-sedang saja, biasa, dan ada pula yang secepat kilat memahami sebuah pelajaran yang sedang berlangsung. Semua itu sangat tergantung pada kesungguhan, keimanan, dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.



Disarikan dari buku Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, karya A. Busyairi Harits, M.Ag.
Selengkapnya
Misteri Sejarah Desa Candiwulan

Misteri Sejarah Desa Candiwulan

Salah satu keteb desa Candiwulan
Salah satu sudut keteb desa Candiwulan. 

Bagi warga masyarakat Kebumen, mungkin nama Candiwulan akan lebih dikenal sebagai nama sebuah desa yang berada di dekat pusat kota Kabupaten. Padahal jauh dari pusat kota tersebut, tepat di salah satu sudut kecamatan Adimulyo, salah satu kecamatan di Kabupaten Kebumen, ada juga nama Candiwulan yang lain. Entah apa hubungannya dan mengapa namanya sama. Banyak misteri masa lampau yang bisa digali dari desa ini, meski mirisnya kisahnya justru semakin tenggelam, hilang ditelan zaman. 

Saya merasa cukup beruntung, karena ketika simbahku, atau ibu dari ibuku masih hidup, beliau banyak sekali bercerita kepadaku tentang banyak hal, tentang sejarah masa muda beliau, sejarah desa ini, bahkan sejarah bangsa ini ketika masih dalam masa penjajahan. Saya memang sangat dekat dengan simbahku ini, sehingga banyak kisah dalam hidupnya yang beliau bagi kisahnya kepadaku. Memang sangat disayangkan pada saat itu saya tidak sempat dan tidak terpikirkan untuk mencatatnya, sehingga banyak dari kisah itu yang terkikis dari memori ingatanku. Padahal bisa saja kisah itu saya jadikan sebagai dokumen yang bisa saya simpan sebagai kenangan, atau mungkin bisa saya bagi kisahnya dengan orang lain.

Saya takjub dengan simbahku ini, karena dari kisah-kisah yang beliau tuturkan, khususnya yang berkaitan dengan kisah perjuangan bangsa ini, sama persis dengan apa yang pernah saya baca dari buku-buku sejarah, baik sejarah perjuangan bangsa secara umum, ataupun sejarah perjuangan rakyat Kebumen khususnya. Namun pada kesempatan kali ini, secara khusus saya akan mencoba membagi kisah berkaitan dengan sisa-sisa peninggalan yang ada di desa tempat kelahiranku ini. Sebetulnya saya sempat mencatat dan menuliskan kisah ini dalam sebuah buku, dan memang hanya sejarah desa ini sajalah yang pernah saya catat, namun sayangnya dalam perjalanannya buku itu hilang entah dimana keberadaannya.

Candiwulan, itulah nama desaku ini. Ada 3 dukuh atau dusun di desa ini, dan kisah dalam tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan salah satunya, yaitu dukuh Srepeng, tempat dimana aku dilahirkan. Entah apa artinya Srepeng ini, tetapi yang jelas, dukuh yang terletak ditengah-tengah desa ini menyimpan banyak misteri dari sejarah masa lalunya.

Sudah menjadi rahasia umum bagi simbah-simbah yang masih tersisa di desa ini, bahwa menurut riwayat, desa ini pertama kali didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Sabuk Mimang. Konon pada zaman yang lampau, tersebutlah 3 orang Pangeran dari kerajaan Mataram yang bernama Sabuk Mimang, Sabuk Janur dan Sabuk Inten. Tidak diketahui dari jalur keturunan manakah ketiga pangeran ini.

Ketiganya melarikan diri dari keraton karena adanya perselisihan yang kalau tidak salah karena adanya persekutuan antara Raja Mataram saat itu dengan penjajah Belanda. Karena tidak sepakat dengan kebijakan raja, ketiganya memutuskan berjalan ke arah barat sampai akhirnya mereka tiba di wilayah daerah Kebumen atau Panjer pada masa itu. Ketika sampai di wilayah Panjer, ketiganya memutuskan untuk berpencar mencari jalan masing-masing.

Dari ketiga pangeran tersebut, dua di antaranya yaitu Sabuk Janur dan Sabuk Inten memilih menuju daerah pesisir dan pegunungan dalam pengembaraannya. Sementara Sabuk Mimang memilih menghentikan pengembaraannya di sebuah dataran wilayah yang saat itu masih hutan lebat dan penuh semak belukar. Beliau membuka dan membabat daerah hutan ini dan akhirnya jadilah sebuah perkampungan. Seiring bergantinya waktu semakin ramailah tempat ini. Tidak diketahui apa nama perkampungan ini pada masa itu, tapi wilayah inilah yang kini menjadi desa tanah kelahiranku, desa Candiwulan.

Makam Sabuk Mimang kini berada di areal pekuburan desa ini yang terletak di selatan balai desa. Makam beliau berada di tengah-tengah lahan pekuburan desa dan merupakan satu-satunya makam yang ditempatkan di dalam sebuah rumah gubuk kecil yang tertutup. Bangunan makam ini dirawat oleh orang-orang tertentu dari warga desa yang khusus diserahi tugas ini. Konon pada tahun 80 hingga 90an yang lalu, makam ini masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang mengaku datang khusus dari Jogja. Itulah makam Sabuk Mimang, tokoh yang hingga kini masih banyak menyimpan misteri.

Di areal tanah pekuburan ini, tepat di tengah-tengahnya atau dekat dengan makam Sabuk Mimang, dulu juga pernah berdiri menjulang sebuah pohon jati yang berusia ratusan tahun. Pohon ini tidak diketahui asal usulnya, karena simbah-simbah yang diketahui umurnya sudah sangat tua pun tidak tahu sejarah pohon ini. Pohon ini dulu sering dijadikan tempat untuk menaruh sesajen dan tempat untuk mencari benda-benda bertuah seperti batu mustika atau keris. Sebelumnya pohon ini sempat beberapa kali akan ditebang, tetapi selalu batal karena alasan-alasan tertentu yang cenderung mistis, sampai akhirnya pada kisaran antara tahun 2000 sampai 2010, saya lupa tepatnya, pohon yang sangat besar ini akhirnya berhasil ditebang dan kayunya di bawa dengan truk tronton menuju ke bali dan kabarnya selanjutnya dikirim keluar negeri. Konon pada waktu perjalanan ke bali, tidak ada yang berani menyalip truk ini, karena kalau berani menyalip akan celaka. Entah bagaimana kebenarannya, banyak misteri dari pohon ini.

Selain tokoh Sabuk Mimang, tersebut pula tokoh lain pada masa lampau yang bernama Singasandra (ada pula yang menyebut 'Suracandra' ). Menurut simbahku, Singasandra adalah tokoh sakti yang pernah berada di desa ini. Dikisahkan bahwa Singasandra pernah bekerja sebagai ajudan yang bertugas mengurusi kuda kendaraan milik seorang pejabat lurah pada masa itu. Pada suatu ketika, ki lurah hendak bepergian jauh ke suatu daerah. Seperti biasanya Singasandra mempersiapkan kuda kendaraan yang akan dipakai ki lurah. Setelah siap semuanya, berangkatlah ki lurah sembari mengajak Singasandra untuk ikut bersamanya. Namun Singasandra mempersilahkan Sang Lurah untuk berjalan terlebih dahulu sedangkan beliau akan menyusul kemudian.

Setelah menempuh perjalanan lama, akhirnya sampailah ki lurah di tempat tujuannya. Namun ki lurah terkejut karena begitu dia sampai, ternyata Singasandra sudah lebih dulu berada di tempat itu dan seakan-seakan sudah lama menunggu sampainya ki lurah. Padahal jika melihat jarak tempuh dan lamanya perjalanan, ki lurah yang mengendarai kuda harusnya sampai lebih dulu daripada Singasandra yang menyusul dan berjalan kaki. Inilah salah satu keistimewaan yang dimiliki tokoh ini.

Menjelang akhir hidupnya, Singasandra berpesan kepada orang disekitarnya agar ketika jasadnya diletakkan di dalam makam, beliau meminta agar makam tersebut diberi lubang kecil untuk dimasukan benang yang diikat pada salah satu jari tangan beliau. Beliau berpesan bahwa jika ketika benang tersebut ketika ditarik masih terasa berat, maka jasad beliau masih berada di makam  tersebut, akan tetapi jika benang tersebut ditarik terasa ringan dan terlepas, maka jasad beliau telah berpindah entah kemana. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya beliau masih hidup dan pergi menghilang entah kemana. Begitulah sampai beberapa waktu akhirnya jasad beliau diyakini telah berpindah tempat, karena ketika benang itu ditarik terasa ringan dan terlepas.

Makam atau petilasan Singasandra ini sekarang berada di lokasi sekitar gardu/ gedung serba guna Rt. 2, atau tepatnya berada di sebuah lahan pekarangan yang berada di dekat rimbunan batang pohon bambu. Letaknya yang berada di dekat jalan pekarangan ini juga biasa dilalui warga berjalan kaki untuk jalan pintas antar rumah. Bangunan makamnya dibiarkan ditempat terbuka dengan tumpukan seperti batu bata yang telah hijau berlumut. Tetapi anehnya dari dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah dengan bangunan makam ini, bahkan susunan batu yang tertata pun seakan tidak ada yang bergeser atau rusak dimakan usia.

Dulu ketika saya masih kecil, yang saya dengar dari tempat ini adalah tempat kuburan kuda (pendeman jaran). Tetapi begitu mendengar kisah dari simbahku ini, yang juga diamini oleh warga lain yang mengetahui kisah ini, saya jadi tahu bahwa bangunan tersebut sebenarnya adalah makam atau petilasan seorang tokoh sakti pada masa lampau.

Mungkin cerita mengenai kedua tokoh di atas masih bisa di dengar dari mulut para warga sepuh di desa ini. Tetapi ada beberapa petilasan di desa ini yang telah menjadi misteri tanpa diketahui asal usul misteri keberadaannya. Diantaranya adalah sebuah petilasan yang berada di belakang gedung lumbung padi di tikungan jalan desa dan berada di sebelah utara rumah bapak Kyai Rofi'un. Sepintas tidak ada yang aneh dari gundukan kecil tanah yang dulunya ditumbuhi pohon bambu ini. Tetapi menurut simbahku, di tempat ini dulu sering dijumpai penampakan hal-hal gaib yang sering kali tidak masuk akal. Seperti misalnya ketika ibu saya masih kecil, konon pada malam hari sering muncul penampakan seperti hewan hitam dan tinggi besar di tempat ini. Pada masa itu juga banyak warga yang menduga bahwa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini. Namun seiring berjalannya waktu dan zaman yang semakin modern, tempat itu kini semakin tenggelam dan terlupakan, seiring dengan mengikisnya kisah keangkeran di tempat ini.

Selain itu ada pula yang disebut sawah sabuk. Sawah sabuk atau juga biasa disebut sawah lurah, adalah sebutan areal sawah yang biasa digarap dan diperuntukan untuk lurah atau kepala desa. Konon di areal sawah ini juga sering muncul penampakan-penampakan gaib, seperti adanya ular penunggu tempat itu dan lain-lainya.

Dan terakhir adalah adanya situs seperti makam kuno yang berada dibelakang rumah seorang warga, yaitu pak Budiman. Saya mengetahui kabar keberadaan tempat ini belumlah lama, karena kabar ini pun saya dapat bukan dari simbahku ini, tetapi saya dapat dari simbah yang lain, yaitu paman dari bapakku. Tempat yang ditandai adanya batu seperti batu nisan ini tidak diketahui milik siapa, ada misteri masa lalu yang tersimpan di tempat ini.

Itulah di antara beberapa misteri masa lalu yang ada di desaku. Besar kemungkinan masih ada peninggalan-peninggalan atau sisa-sisa masa lalu yang lain dari desa ini. Semuanya memang masih misteri, tetapi saya merasa bangga telah terlahir di tanah desa ini. Mohon maaf saya tidak menyertakan gambar atau foto, tetapi tempat-tempat yang saya sebutkan di atas bisa ditemui dan dibuktikan keberadaannya. Mungkin jika ada pembaca blog ini yang kebetulan satu desa dengan saya dan mengetahui akan sejarah peninggalan masa lalu di desa ini, bisa menambahkan atau mengoreksi apa yang telah saya bahas di atas.

Semoga dari tulisan saya yang sederhana ini dapat sedikit mengingatkan kembali kepada kita, bahwa sejatinya banyak nilai-nilai luhur dari bangsa kita yang sering kali terabaikan, padahal semestinya kita gali dan pertahankan kelestariannya. Sehingga kisah ini dapat tetap terbaca hingga anak cucu kita kelak.



Selengkapnya
Catatan Perjalanan Ziarah Wali Jawa Tengah

Catatan Perjalanan Ziarah Wali Jawa Tengah


Menjelang bulan ramadhan, sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian umat Muslim di Indonesia untuk berziarah ke makam para leluhur dan para Wali yang tersebar di seantero penjuru negeri. Di antara yang sering menjadi tujuan tempat berziarah adalah makam para wali yang tergabung dalam walisongo. Selain makam para walisongo, banyak pula makam wali-wali lain di sejumlah daerah yang juga ramai menjadi tempat tujuan berziarah, biasanya hal ini juga dengan mempertimbangkan waktu dan jarak tempuh yang tidak terlalu lama.

Jumat 27 Mei 2016, atau 10 hari sebelum puasa ramadhan 1437 H, saya bersama rombongan dari majlis ta'lim Darussalam Satinem di desa saya, Candiwulan, berkesempatan untuk melakukan perjalanan ziarah ke makam para wali yang khususnya berada di wilayah Jawa Tengah. Tujuan yang kami tuju adalah makam Raden Santri dan Simbah Dalhar di Gunungpring Magelang, Raden Patah dan Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria dan Sunan Kudus di Kudus, Syaikh Subakir di Gunung Tidar Magelang dan terakhir Syaikh Imam Puro di Purworejo.

Sekitar jam 2 sehabis dhuhur, kami serombongan sekitar 60 orang berangkat dari desa dengan menggunakan satu bus besar. Perjalanan awal kami lalui melewati jalan utama arah Kebumen-Magelang. Setibanya di daerah Salaman Magelang, yaitu sekitar jam setengah 5 sore, bus berhenti di depan sebuah masjid dan rombongan turun untuk melakukan shalat ashar. Kebetulan juga setelah berhentinya bus kami, berhenti juga 2 bus lain yang juga membawa rombongan ziarah dari Kebumen juga, yaitu dari daerah Klirong. Jumlah penumpang bus yang membludak membuat masjid yang tidak terlalu besar itu akhirnya menjadi penuh sesak oleh rombongan ziarah. Rombongan kami akhirnya shalat bergantian dengan rombongan lain itu.

Selepas shalat ashar, perjalanan bus kami lanjutkan, begitu pula dengan 2 bus rombongan lain itu. Sepanjang perjalanan bus kami beriringan dengan bus dari rombongan lain itu, hingga akhirnya kami sampai di daerah Muntilan Magelang. Memasuki waktu maghrib, kami niat untuk jama' ta'khir shalat maghrib dan Isya'. Dari kota Muntilan, perjalanan mulai melewati jalan yang agak kecil dari jalan utama, sampai akhirnya sekitar jam setengah 7, kami sampai di lokasi ziarah makam pertama, yaitu pemakaman di Gunung Pring, Muntilan, Magelang.

Gunungpring adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Konon dinamakan Gunungpring karena di tengah-tengah desa ada sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat rimbun. Gunungpring memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan air laut. Jika siang hari, dari puncak Gunungpring kita dapat melihat kota Muntilan dan hamparan pemandangan alam yang luas, udara yang sejuk, dan terlihat pula dari kejauhan jajaran pegunungan menoreh yang indah.

Gerbang makam Auliya Gunungpring
Gerbang Makam Auliya Gunungpring

Di atas puncak Gunungpring ini, terdapat kompleks makam yang biasa menjadi tempat tujuan berziarah. Tercatat ada beberapa nama Auliya, Ulama dan tokoh-tokoh terkenal dari masa lalu yang dimakamkan di sini. Di antaranya yaitu salah seorang Wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden Santri (Pangeran Singosari Mataram) yang masih keturunan Raja Majapahit. Makam yang termasuk Wewengkon Kagungan Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu disebut juga PUROLOYO (makamnya keturunan raja).

Kyai Raden Santri adalah seorang Ulama penyebar agama Islam di sekitar gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. Beliau yang juga bergelar Pangeran Singasari adalah putra dari Kyai Ageng Pemanahan yang masih keturunan Prabu Brawijaya Majapahit.

Menjelang kerajaan Mataram berdiri, Kyai Raden Santri pernah menjabat sebagai Senopati Perang yang bertugas mengajarkan shalat kepada para prajurit. Saat berada di sebuah dusun dan hendak mengajarkan shalat kepada para prajurit, Kyai Raden Santri tidak menemukan air untuk berwudlu'. Kemudian Kyai Raden Santri berdoa kepada Allah agar diberikan air. Lalu Kyai Raden Santri membuat sendang dengan tongkatnya, dan dengan izin Allah, sendang itupun memancarkan air, bahkan hingga kini sendang tersebut tidak pernah berhenti memancarkan air, bahkan di musim kemarau sekalipun. Sendang itu kini terletak di dusun Kolosendang, desa Ngawen, kecamatan Muntilan, kabupaten Magelang.

Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk bermujahadah di bukit Gunungpring. Saat perjalanan pulang ke dusun Santren, beliau melewati sungai yang terjadi banjir sangat besar. Kemudian Mbah Raden Santri berkata, “Air berhentilah kamu, aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan berubah mengeras hingga menjadi batu–batu cadas dan menonjol. Sampai sekarang dusun tempat tersebut dikenal dengan nama Watu Congol (batu yang menonjol) dan sekarang berada di Muntilan, dekat dengan Gunungpring. Karena keistimewaan dan jasanya dalam penyebaran agama Islam, sampai sekarang ini banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Mbah Raden Santri.

Selain makam Raden Santri, di kompleks makam gunungpring ini juga terdapat makam Simbah H. Dalhar. Beliau adalah seorang Ulama besar, mursyid tarekat yang juga dikenal sebagai salah satu guru para Ulama. Beliau banyak menciptakan ulama dan santri yang mumpuni. Kharisma, kesolehan, keluhuran budi pekerti, dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu.

Beliau dilahirkan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Sawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Ayah beliau adalah Kyai Abdurrahman bin Kyai Abdurrauf bin Kyai Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf bin Raden Bagus Kemuning Hasan Tuqo atau kakeknya Mbah Dalhar merupakan salah seorang panglima perang dari Pangeran Diponegoro. Simbah Kyai H. Dalhar adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah.

Selain makam Kyai Raden Santri dan Simbah H. Dalhar, terdapat pula makam-makam tokoh lain, seperti makam Simbah Kyai Jogorekso, Simbah Kyai Abdurrohman, Simbah Kyai H. Husain, Simbah Kyai Sulthon, Simbah Kyai Krapyak III, Simbah Kyai Humam, Simbah Kyai H. Harun, Simbah Kyai Kerto Njani, Simbah Kyai Abdullah Sajad, Dll.

Setibanya kami di Gunungpring ini, sebelum sampai di kompleks makam, kami melewati sebuah gerbang menuju lorong jalan dengan beberapa anak tangga yang di kanan kirinya digunakan sebagai tempat berjualan oleh para pedagang. Beraneka macam barang dijual di sini. Memasuki areal makam, banyak peziarah yang sudah tiba di sini. Kami pun akhirnya berziarah di depan makam Simbah Dalhar. Selesai berziarah, kami bergegas menuju mushala untuk ibadah shalat maghrib dan Isya' dengan jama' ta'khir dan qashar. Selepas shalat, kami kembali ke bus dan bersiap menuju perjalanan selanjutnya. Sebelum berangkat, kami sempatkan juga untuk mengisi perut dengan membuka bekal makanan yang kami bawa.

Tepat jam 8 lebih seperempat akhirnya perjalanan bus kami lanjutkan. Lokasi tujuan berikutnya yaitu ke makam Raden Patah di Demak. Karena hari yang semakin malam, perjalanan lebih banyak kami lalui dengan beristirahat tidur malam di dalam bus. Perjalanan dari Magelang menuju Demak ini melewati daerah seperti Ambarawa, Ungaran dan Semarang. Sekitar jam 12 malam akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus untuk menuju lokasi makam. Dari terminal bus kami naik ojek untuk sampai di lokasi makam Raden Patah yang berada di samping masjid Agung Demak.

Kompleks makam Raja Demak
Kompleks makam Raja Demak

Raden Patah lahir di Palembang pada tahun 1455 dan wafat di Demak pada tahun 1518. Beliau adalah pendiri dan sultan pertama dari Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1475-1518. Pada masanya pula Masjid Agung Demak didirikan, dan kemudian beliau dimakamkan di sana. Selain makam Raden Patah, dalam lokasi Makam Kasultanan Bintoro Demak ini juga terdapat makam Raden Patiunus (berkuasa tahun 1518 hingga 1521), Raden Trenggono (berkuasa dari 1521 hingga 1546), dan tokoh-tokoh lain yang berhubungan dengan sejarah Kesultanan Demak Bintoro.

Setibanya di lokasi makam, kami langsung masuk berziarah di dekat makam Raden Patah. Selepas berziarah, kami kembali naik ojek untuk kembali ke terminal bus dan melanjutkan perjalanan. Jam setengah 2 bus kembali berjalan menuju makam selanjutnya yaitu makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Tidak sampai 20 menit bus berjalan, kami sudah sampai di Kadilangu. Berbeda dengan di makam Raden Patah, untuk menuju makam Sunan Kalijaga kami cukup berjalan kaki dari tempat pemberhentian bus.

Sunan Kalijaga adalah salah satu dari 9 Walisongo yang terkenal dengan dakwahnya yaitu menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.

Makam Sunan Kalijaga
Makam Sunan Kalijaga pada siang hari

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Beliau adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta. Selama berdakwah, sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Sepeninggal beliau, makam beliau ini hingga sekarang ramai diziarahi orang-orang dari seluruh penjuru Nusantara.

Baca juga: 7 Tujuan Ziarah Wali di Pulau Bali (Ziarah Wali Pitu)

Di lokasi makam, sempat salah seorang dari rombongan kami terpisah dan tersesat saat hendak ke makam, sementara kami tidak menyadarinya karena saking ramainya peziarah. Beruntung kemudian salah satu petugas makam bersedia membantunya dan mempertemukan kembali dengan rombongan kami. Selepas kami berziarah di depan makam Sunan Kalijaga, tepat jam 3 kurang seperempat perjalanan bus kami lanjutkan menuju lokasi makam selanjutnya yaitu makam Sunan Muria di Gunung Muria, Colo, Kudus.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalanan kota Demak dan masuk wilayah Kabupaten Kudus. Lokasi makam Sunan Muria yang berada di atas gunung membuat bus harus berjalan menanjak menaiki lereng gunung muria untuk sampai di lokasi pemberhentian bus. Jam 4 lebih sepuluh menit akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus sebelum menuju makam. Setelah masuk waktu shubuh, sebelum naik ke lokasi makam kami sempatkan terlebih dahulu untuk shalat shubuh berjamaah di sebuah mushala dekat terminal bus.

Makam Sunan Muria
Makam Sunan Muria

Nama asli dari Sunan Muria adalah Raden Umar Said. Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menyukai tinggal di daerah yang terpencil dan jauh dari keramaian. Beliau menyebarkan agama Islam dengan cara-cara yang halus sambil mengajarkan keterampilan cara bercocok tanam, berdagang dan juga melaut. Jiwa seni yang ada didalam diri beliau juga digunakan untuk menyampaikan dakwah ajaran Islam kepada para pengikutnya. Tembang Sinom dan Kinanthi adalah salah satu hasil karya seni yang beliau ciptakan. Beliau dikenal sebagai Sunan Muria karena beliau dimakamkan di Gunung Muria, yaitu sebuah gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati.

Akses ke lokasi makam Sunan Muria lumayan berat karena berada di puncak sebuah bukit di gunung Muria. Untuk sampai ke lokasi makam, peziarah harus menempuh perjalanan menaiki anak tangga yang cukup jauh. Namun bagi yang ingin cepat sampai, disini banyak ojek yang siap mengantarkan sampai ke lokasi Makam. Sabtu pagi sehabis shubuh, rombongan begegas bersiap menuju makam. Untuk lebih efisiensi, rombongan kami memutuskan naik ojek untuk sampai ke lokasi makam, kecuali saya dan dua orang dari rombongan kami. Saya memang sebelumnya sudah berniat untuk jalan kaki menuju ke lokasi makam Sunan Muria ini. Meskipun hanya 3 orang, sekitar beberapa menit berjalan akhirnya sampailah kami di lokasi makam.

Sampai di atas, kami bertiga langsung bertemu dengan rombongan kami dan kemudian bergegas menuju makam. Banyaknya jumlah peziarah membuat kami harus antri dengan peziarah lain. Parahnya lagi rombongan kami terpisah menjadi dua, rombongan pertama sudah masuk makam sedangkan rombongan kedua termasuk saya harus antri di depan penjaga pintu makam. Sempat terjadi perdebatan dengan penjaga pintu makam agar kami diizinkan masuk karena rombongan kami sudah ada yang masuk di dalam, tetapi kami tetap tidak diperbolehkan masuk. Barulah setelah salah satu panitia dari anggota rombongan kami yang sudah masuk di dalam keluar lagi dan menemui penjaga pintu makam, akhirnya kami diperbolehkan masuk dan bergabung dengan rombongan kami yang lain.

Selepas berziarah, rombongan kami akhirnya turun gunung. Sebagian besar dari kami memutuskan untuk berjalan kaki menuruni anak tangga yang di kanan kiri berjejeran para pedagang menjajakan dagangannya. Sebagian rombongan juga membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Setelah sampai di parkiran bus, kami bersiap untuk menuju lokasi berikutnya. Jam 8 kurang seperempat, bus berangkat menuju lokasi makam Sunan Kudus yang berada di lingkungan Masjid Menara Kudus. Sekitar 1 jam perjalanan akhirnya sampailah kami di tempat perhentian bus sebelum menuju makam. Menuju makam Sunan Kudus, kami harus naik angkutan untuk sampai lokasi, banyak tersedia angkutan seperti mobil angkot ataupun becak yang siap membawa peziarah sampai ke lokasi makam.

Beberapa menit naik angkot akhirnya sampailah kami di depan Masjid Menara Kudus, di mana terdapat makam Sunan Kudus. Makam Sunan Kudus memang ramai di kunjungi peziarah, apalagi menjelang bulan ramadhan, pedagang juga banyak yang berjualan di sepanjang jalan menuju masjid menara Kudus ini. Dengan banyaknya peziarah, kami memasuki gerbang makam dengan berjalan bergantian dengan peziarah lain. Karena ramainya peziarah, akhirnya kami melakukan ibadah ziarah tahlil agak jauh dari makam Sunan Kudus, tetapi masih dalam kompleks makam.

Pintu gerbang makam, ilustrasi Sunan Kudus
Pintu gerbang makam, ilustrasi Sunan Kudus

Sunan Kudus bernama asli Ja'far Shadiq putra Raden Usman Haji yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Ngudung. Beliau lahir sekitar tahun 1400-an, dan meninggal tahun 1550. Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Palestina dan datang ke Jawa pada tahun 1436 M. Menurut silsilahnya Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam di sekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah pesisir utara pada umumnya. Beliau adalah seorang ulama, guru besar agama yang terkenal dengan keilmuannya terutama dalam Ilmu Tauhid, Ushul, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih, oleh sebab itu beliau digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul 'Ilmi. Beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang terkenal dengan karyanya yaitu Gending Maskumambang dan Mijil.

Cara berdakwah yang beliau sampaikan hampir sama dengan pendekatan yang digunakan Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempat. Di antara pendekatan yang beliau lakukan adalah seperti larangan meyembelih sapi untuk menghormati umat Hindu pada masa itu, dan sebagai gantinya dengan menyembelih kerbau. Tradisi ini masih banyak dijalankan oleh masyarakat Kudus sampai sekarang. Selain sebagai tokoh agama, Sunan Kudus juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Beliau juga pernah menjadi penasehat kerajaan Demak, dan menjadi hakim agung (qadhi) kerajaan Demak untuk menghakimi urusan-urusan pidana dan pemikiran secara umum.

Selepas berziarah di makam Sunan Kudus ini. Jam 10 lebih 40 menit akhirnya bus meninggalkan kota Kudus untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu kembali ke selatan menuju gunung tidar Magelang. Perjalanan yang sekaligus arah pulang ini kami lalui melewati jalan sebelumnya yaitu Kudus-Semarang Semarang-Magelang.

Dalam perjalanan balik ini bus sempat mogok sampai dua kali, pertama di jalan tol dan kedua di sekitar wilayah Ambarawa, tetapi syukurlah bisa diatasi. Memasuki kota Secang Magelang, bus berhenti di depan rumah makan untuk beristirahat. Kami serombongan banyak yang menggunakan waktu untuk membersihkan diri, mandi dan makan. Setelahnya juga kami laksanakan ibadah shalat ashar dan dhuhur dengan jama' ta'khir dan qashar di mushala dekat rumah makan ini. Setelah cukup beristirahat di Secang, perjalanan kami lanjutkan. Sekitar jam 5 sore akhirnya sampailah kami di lokasi makam berikutnya, yaitu gunung tidar, lokasi makam Syaikh Subakir berada.

Gunung Tidar adalah gunung yang berada di tengah-tengah Kota Magelang. Gunung dengan ketinggian 503 meter dari permukaan laut ini tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan militer karena banyaknya kegiatan Akademi Militer (Akmil) yang dilakukan di sini. Dalam legenda, gunung tidar juga dikenal sebagai 'Pakunya Tanah Jawa', hal ini ditandai dengan berdirinya sebuah tugu di puncak gunung tidar. Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman. 

Akses untuk menuju makam Syaikh Subakir melewati jalanan beraspal sampai akhirnya belok kiri dan masuk gapura gunung tidar. Dari gapura, kami kemudian harus menaiki ratusan anak tangga sebelum akhirnya sampai di lokasi makam.  Gunung tidar ini masih terbilang cukup alami dengan banyaknya pohon yang tinggi menjulang, sehingga menjadikan gunung tidar sangat rimbun. Sekitar kurang dari 30 menit menapaki jalanan tangga setapak, akhirnya sampailah kami di lokasi makam.

Makam Syekh Subakir
Makam Syaikh Subakir

Syaikh Subakir adalah tokoh dari generasi awal Walisongo yang menaklukan Gunung Tidar dengan mengalahkan para jin penunggu Gunung Tidar. Menurut legenda (hikayat) Gunung Tidar, Syaikh Subakir berasal dari negeri Turki (versi lain Iran dan Baghdad) yang datang ke Gunung Tidar bersama kawannya yang bernama Syaikh Jangkung untuk menyebarkan agama Islam. Banyak kalangan meyakini bahwa situs di gunung tidar ini sebetulnya bukanlah makam dari Syaikh Subakir, karena sebelum meninggal, Syaikh Subakir diyakini telah pulang ke negeri asalnya dan dimakamkan di tanah kelahirannya tersebut. Sedangkan yang berada di gunung tidar ini hanyalah tempat petilasan beliau.

Di makam/ petilasan Syaikh Subakir ini, kami berziarah tanpa Imam Kyai rombongan kami. Beliau tidak ikut berziarah karena suatu sebab dan menunggu di tempat parkir bus, sehingga Imam ziarah akhirnya dipimpin oleh Ustadz tangan kanan pak Kyai. Setelah selesai berziarah di makam Syaikh Subakir, rombongan kami langsung turun menuju tempat parkir bus. Namun ketika baru beberapa langkah menuruni tangga, kami bertemu dengan pak Kyai yang ternyata berubah pikiran dan akhirnya menyusul hendak berziarah. Rombongan akhirnya tetap turun, tetapi sebagian panitia ziarah ikut naik menemani pak Kyai berziarah.

Perlu diketahui bahwa selain terdapat makam Syaikh Subakir, di gunung tidar ini juga dapat kita jumpai situs-situs lain, di antaranya yaitu makam kyai Sepanjang yang panjangnya mencapai 7 meter. Kyai Sepanjang bukanlah nama manusia, tetapi nama sebuah tombak yang dibawa dan dipergunakan oleh Syaikh Subakir ketika mengalahkan jin penunggu Gunung Tidar kala itu. Selain itu, dapat kita jumpai pula makam Kyai Semar. Namun menurut beberapa versi, makam ini bukanlah makam kyai Semar yang ada dalam pewayangan. Tetapi Kyai Semar yang dimaksud adalah nama jin penunggu Gunung Tidar waktu itu. Meski demikian banyak yang percaya bahwa makam ini memang makam Kyai Semar yang ada dalam pewayangan itu. Jika sampai di puncak gunung tidar, kita juga bisa melihat tugu yang dipercaya sebagai Pakunya Tanah Jawa.

Sesampainya rombongan kami di tempat parkir bus, hari sudah gelap, sehingga diputuskan shalat maghrib nanti dijama' ta'khir dengan isya'. Sembari menunggu rombongan pak Kyai turun, sebagian rombongan menggunakan waktu untuk beristirahat dan makan malam. Hampir 2 jam kami menunggu rombongan pak Kyai yang tidak juga kunjung turun, padahal rencananya sehabis maghrib bus sudah berjalan menuju lokasi berikutnya. Belakangan diketahui bahwa selain berziarah di makam Syaikh Subakir, ternyata pak Kyai juga mengunjungi makam Kyai Sepanjang, Kyai Semar dan Tugu di puncak gunung. Hal inilah yang membuat kami menunggu sampai lama.

Masalah diperparah lagi ketika setelah pak Kyai turun. Diduga ngambek atau mungkin tertidur karena menunggu terlalu lama, sopir bus yang kami naiki menghilang entah kemana. Kernet dan panitia ziarah yang mencoba mencari berkeliling sekitar terminal juga tidak berhasil menemukannya. Bahkan ketika dihubungi, handphone tersambung tetapi tidak juga diangkat. Kami sempat bingung dengan keadaan saat itu, bahkan bus kami juga sempat dipindahkan oleh sopir bus lain karena busnya terhalang oleh bus kami ketika hendak berangkat lagi. 

Setelah lama mencari dan menunggu hingga hampir satu jam, akhirnya muncullah pak sopir dengan tenangnya. Rombongan pun maklum dan tidak mempermasalahkan kejadian ini. Jam 8 lebih seperempat akhirnya bus kembali berjalan menuju lokasi makam terakhir, yaitu makam Syaikh Imam Puro di Gunung Geger Menjangan, Purworejo. Perjalanan menuju Purworejo yang sebetulnya lumayan jauh terasa singkat karena bus melaju cukup kencang. Jam setengah 10 malam akhirnya sampailah kami di lokasi pemberhentian bus makam Imam Puro.

Makam Imam Puro
Makam Imam Puro

Imam Puro adalah seorang Ulama besar yang hidup pada masa Perang Diponegoro (1800-1900). Imam Puro yang bernama asli Mbah Kunawi adalah keturunan ke sembilan dari Sultan Agung, Raja Mataram terbesar. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Sidomulyo, Ngemplak, Purworejo yang sekarang bernama Al-Islah. Imam Puro juga dikenal sebagai pembawa pertama Thoriqoh Syattoriyah di Purworejo.

Selain sebagai tokoh Ulama, beliau juga dikenal sebagai salah satu pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di wilayah Purworejo. Bahkan santrinya yang mencapai ribuan banyak diperbantukan kepada Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda. Dalam sejarahnya, Syaikh Imam Puro juga pernah ditahan Belanda karena pondok pesantrennya dicurigai melakukan kegiatan keagamaan yang memusuhi Belanda. Tetapi entah bagaimana, Imam Puro lalu dibebaskan lagi dalam beberapa hari kemudian.

Makam Imam Puro yang berada di Gunung Geger Menjangan, Desa Candi, Kecamatan Balidono, Purworejo, Jawa Tengah ini hampir setiap hari ramai dikunjungi para peziarah. Untuk mencapai lokasi makam, kami mesti melewati tangga pendakian yang lumayan tinggi. Di atas dekat pemakaman Imam Puro, yakni di puncak Gunung Geger Menjangan, terdapat "Gardu Pandang", sebuah tempat paling lepas untuk melihat kota Purworejo dari ketinggian dengan pemandangan yang sangat indah.

Dikarenakan kami berziarah pada malam hari, jalan setapak menuju areal makam masih banyak yang gelap tanpa lampu penerangan, sehingga kami harus berjalan hati-hati agar tidak terjatuh atau tersandung batu. Sesampainya kami di areal lokasi makam, kita shalat isya' dan maghrib dengan jama' ta'khir terlebih dahulu di sebuah mushala dekat makam. Selesai shalat, kami langsung menuju makam untuk berziarah. Suasana makam yang saat itu kebetulan tidak begitu ramai membuat kami lebih leluasa mencari tempat strategis tepat di depan makam, untuk melakukan ibadah tahlil.

Makam Imam Puro ini merupakan tujuan terakhir kami dalam perjalanan kali ini, sehingga selesai berziarah di tempat ini, maka selesailah sudah perjalanan kami. Jam setengah 12 malam, kami menyudahi perjalanan ziarah kami dan bus kembali meluncur pulang menuju desa kami. Alhamdulillah, Ahad dini hari jam setengah 2 pagi akhirnya sampailah kami di desa tanah kelahiran kami.

Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kami ambil dari perjalanan ziarah ini, mulai dari pengalaman yang mengenakan dalam indahnya suasana kebersamaan dan kekeluargaan, sampai yang tidak mengenakan, seperti kejadian terpisahnya salah seorang anggota rombongan saat di Demak dan di Kudus, bus yang berulang kali mogok karena ada komponen mesin yang tersumbat kotoran, dan kejadian menghilangnya sopir saat di gunung Tidar. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah akhirnya semua masalah itu bisa teratasi dan kami semua dapat beribadah ziarah dengan lancar serta dapat kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
Wassalam.


Sumber Referensi : Wikipedia, dll.

Selengkapnya
Puasa dapat Turunkan Resiko Kerusakan Saraf

Puasa dapat Turunkan Resiko Kerusakan Saraf

Ilustrasi saraf

Banyak penelitian membuktikan bahwa selain merupakan ibadah wajib bagi umat Islam, puasa juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. Salah satu di antaranya adalah puasa dapat menurunkan resiko neuropati atau penyakit kerusakan saraf. Berikut keterangan dari Konsultan Neurologis Departemen Neurologi FKUI/RSCM dr Manfaluthy Hakim SpS (K).

Turunkan Resiko Kerusakan Saraf


Bagi penderita neuropati, puasa dapat mengurangi gejala nyeri baal atau kesemutan yang menyertai gangguan ini. Neuropati adalah kondisi gangguan dan kerusakan saraf yang dapat disebabkan oleh trauma pada saraf, efek samping dari suatu penyakit sistemik, atau karena kurangnya vitamin B1, B6 dan B12. Penyakit ini dapat menyerang sejumlah sistem pada jaringan saraf. Di antaranya, sistem motor (sistem yang menggerakkan otot-otot secara sadar), sistem sensorik (mengurus rasa-raba, rasa-nyeri, rasa-suhu) dan sistem otonom (mengatur sesuatu hal yang tidak bisa dikontrol) atau bahkan gabungan ketiganya. Jika rusak, sel saraf sulit atau bahkan tidak bisa tumbuh lagi, sehingga tidak punya gaya regenerasi. 

Sejumlah gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan saraf di antaranya yaitu rasa nyeri, mati rasa, kram, kaku, kesemutan, rasa terbakar, kulit hiper-sensitif, kulit mengkilap tidak wajar, rambut rontok pada area tertentu, lemahnya tubuh dan anggota gerak, serta terjadinya atrofi otot atau otot mengecil.

Rasa tidak nyaman tersebut biasanya terjadi pada bagian tangan atau kaki saat tubuh dalam posisi tertentu ketika beraktivitas, misalnya saat duduk sambil menyilangkan kaki atau bersila dan jongkok dalam waktu lama. Adapun yang membedakan kesemutan atau kram biasa adalah gejala neuropati berlangsung spontan, tanpa provokasi terlebih dahulu.

Kegiatan puasa yang dijalani umat muslim saat Ramadhan terbukti bermanfaat untuk kesehatan saraf. Ketika berpuasa, tubuh mendapat kesempatan untuk melakukan detoksifikasi atau pengurangan kadar racun dari dalam tubuh dari pola hidup sehari-hari yang mungkin tidak sehat. 

Ketika kita makan, pasti akan menghasilkan penumpukan zat buang yang berbahaya. Zat buangan yang berupa radikal bebas tersebut saat puasa akan berkurang jauh. Radikal bebas adalah molekul yang tidak memiliki pasangan, kemudian mengambil elektron dari sel sehat sehingga bersifat merusak.

Dengan menurunnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel tersebut, maka resiko kerusakan saraf dalam tubuh juga akan menurun. Puasa juga bermanfaat untuk mengalihkan penggunaan glukosa ke lemak sebagai sumber energi secara perlahan sehingga mencegah kerusakan saraf dan otot.

Selain itu, ibadah puasa dapat meningkatkan kondisi mental, kewaspadaan, dan fokus karena beberapa hormon tertentu seperti endorfin mengalami peningkatan dalam darah setelah beberapa hari berpuasa. Jadi jika kita sudah terkena neuropati, hormon ini mencegah terserangnya rasa nyeri baal atau kesemutan.

Pada umumnya, penderita neuropati akan menurunkan dosis atau bahkan tidak minum obat lagi saat berpuasa. Disarankan bagi penderita untuk mulai melakukan gaya hidup sehat dengan mengupayakan gizi seimbang, olahraga teratur, istirahat yang cukup, serta mengendalikan faktor resiko bagi penderita penyakit sistemik.

Saat berpuasa, asupan makanan sebaiknya yang bernutrisi tinggi, khususnya yang mengandung vitamin B yang baik untuk kesehatan saraf, seperti nasi, buah, sayur dan daging. Jika diperlukan, konsumsi vitamin neurotropik satu kali sehari secara rutin sejak dini. Bagi yang puasa, vitamin neurotropik sebaiknya dikonsumsi pada saat sahur untuk mencukupi kebutuhan vitamin yang dibutuhkan saraf saat menjalankan ibadah puasa. Vitamin neurotropik terdiri atas vitamin B1, B6 dan B12 yang berfungsi menjaga dan menormalkan fungsi saraf dengan memperbaiki gangguan metabolisme sel saraf. 

Selain itu, memberikan asupan yang dibutuhkan supaya saraf dapat bekerja dengan baik. Vitamin ini juga terlibat dalam metabolisme energi sel sehingga dapat dipakai untuk mengatasi kelelahan dan membantu dalam masa penyembuhan penyakit. Kesediaan vitamin B12 yang lebih banyak sangat dibutuhkan oleh tubuh karena vitamin B12 yang masuk ke dalam tubuh hanya diserap kurang dari 2%.

Pada kasus tertentu, penderita neuropati diabetes misalnya, saat puasa harus tetap mengonsumsi makanan yang rendah kadar gula agar dapat terkontrol dengan baik. Diusahakan untuk mencapai angka di bawah 130 mg/dL sesudah puasa delapan jam atau sesudah makan di bawah angka 180 mg/dL dan angka HbA1c di bawah angka 7%.

Agar Sistem Saraf Sehat


👉 Pilih makanan yang mampu melumpuhkan radikal bebas, sekaligus membersihkan dinding pembuluh darah sehingga aliran darah ke otak lancar. Makanan itu antara lain yang kaya antioksidan, seperti sayuran berdaun hijau (bayam, sawi hijau, daun singkong, daun pepaya, daun katuk dan lainnya), umbi atau buah berwarna oranye atau kuning (wortel, ubi jalar merah atau kuning, pepaya, jeruk, mangga dan lainnya), dan buah berwarna merah seperti semangka atau stroberi.

👉 Makan makanan kaya vitamin B kompleks, vitamin B kompleks, terutama B1, B6 dan B12 merupakan bahan baku untuk memproduksi asetilkolin, yaitu neurotransmitter yang berperan dalam fungsi mengingat. Vitamin B banyak terdapat dalam padi-padian (beras merah, gandum), sayur berdaun hijau, dan kacang-kacangan (kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai dan lainnya). Telur, ragi, kacang hijau, kacang kedelai, dan hasil olahannya (tempe, tahu, susu kedelai) juga kaya kanakotin.

👉 Konsumsi sumber protein yang tepat. Untuk mempertajam ingatan dan kesehatan saraf secara keseluruhan, pilih bahan makanan yang kaya protein dan rendah lemak. Contohnya kedelai dan hasil olahannya (tempe, tahu, susu kedelai), susu rendah lemak, dan kacang-kacangan, kecuali kacang tanah.

👉 Makan karbohidrat kompleks mengandung asam amino triptofan. Triptofan bekerja merangsang produksi serotonin sehingga pikiran dapat dikonsentrasikan, meski sedang banyak masalah. Jangan lupa asam lemak omega-3 dan omega-6. Asam lemak omega-3 dan omega-6 merupakan asam lemak tidak jenuh.



Dikutip dari Koran Sindo, edisi Senin, 22 juli 2013.

Selengkapnya
Kisah Seorang Majusi dan Kemuliaan Ramadhan

Kisah Seorang Majusi dan Kemuliaan Ramadhan

Ramadhan Kariim

Disebutkan dalam kitab Durratun Nashihiin karya Syaikh Utsman bin Hasan al Khaubawy, sebuah kisah berkenaan dengan kemuliaan bulan suci ramadhan. 

Suatu hari di bulan ramadhan, ketika umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa, seorang anak majusi dengan tanpa rasa bersalahnya kedapatan makan di tengah-tengah pasar. 

Ketika anak majusi itu sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba ayah dari anak itu datang, kemudian diseretlah dan dipukulinya anaknya itu sambil memarahinya dan berkata:

 “Bukankah kamu tahu kalau umat muslim sedang berpuasa, seharusnya kamu menghormati mereka yang sedang melaksanakan puasa ramadhan, mengapa kamu tidak tahu diri makan di tengah-tengah pasar?”

Perlu diketahui bahwa orang majusi adalah para pengikut ajaran Zoroaster yang menjadikan api sebagai sesembahannya. Mereka banyak ditemukan di wilayah sekitar Persia atau sekarang Iran.

Beberapa tahun kemudian, orang majusi yang memarahi anaknya itu meninggal dunia. Pada suatu malam, seorang 'alim bermimpi bertemu dengannya, dan dalam mimpinya dia melihat orang majusi itu sedang duduk di atas ranjang indah di surga.

Orang 'alim itupun kemudian bertanya kepada orang majusi tersebut:

"Bukankah anda seorang Majusi? Mengapa anda berada di tempat ini?"

Maka orang majusi itu pun menjawab:

 "Memang pada awalnya aku seorang majusi, tetapi ketika menjelang ajalku, aku mendengar sebuah seruan di atasku : 

"Hai para malaikat-Ku, jangan biarkan ia mati tersesat dengan agama majusinya, angkatlah dia menjadi seorang muslim terhormat, sebab ia telah menghormati bulan suci Ramadlan". 

Demikianlah kisah sang majusi, dikarenakan telah menghormati bulan suci ramadhan, Allah memberinya hidayah, sehingga sebelum ajal menjemputnya, dia telah menjadi muslim yang terhormat dan meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Ia pun akhirnya bisa berada di dalam surgaNya. 

Masyaa Allah, begitu mulianya bulan ramadhan, sampai-sampai orang majusi yang menyembah api pun akhirnya mendapat cahaya Islam karena telah menghormati akan kemuliaan bulan ramadhan. Marilah kita sebagai umat Islam muliakan ramadhan ini dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kita ramaikan bulan suci ramadhan dengan memperbanyak amalan ibadah, shalat tarawih, memperbanyak shadaqah, bertadarus dan amalan lainnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa berusaha menggapai ridhaNya.

Selengkapnya
Filosofi Jawa dari Pacul

Filosofi Jawa dari Pacul

Petani mencangkul

Mungkin ada yang belum mengetahui bahwa banyak istilah - istilah kata dalam bahasa jawa yang bisa jadi mempunyai makna ajaran luhur yang berisikan pedoman dan tuntunan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. "Pacul'' mungkin biasa dipahami hanya sebatas nama bagi sebuah alat pertanian tradisional yang digunakan para petani untuk menggarap sawah. 

Secara lahir, pacul atau dalam bahasa Indonesia disebut cangkul memang betul demikian adanya. Namun dari kata "pacul" ini, ternyata terkandung makna sejati yang tidak sembarangan. Orang - orang jawa pada masa lalu memang terkenal sebagai orang - orang yang memiliki filosofi tinggi, sehingga tidak jarang mereka menyelipkan makna luhur pada sebutan nama barang atau istilah dalam bahasa jawa, seperti halnya kata pacul ini. 

Dikisahkan bahwa Ki Ageng Selo pernah berguru kepada Sunan Kalijaga. Pada suatu waktu Sunan Kalijaga memberi wejangan kepada Ki Ageng Selo. Sang Sunan menyuruh Ki Ageng Selo untuk membaca dan memahami makna sejati dari kata "pacul". Sunan Kalijaga kemudian menjelaskan bahwa Pacul atau cangkul itu terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah Pacul (bagian yang tajam untuk mengolah lahan pertanian), Bawak (lingkaran tempat batang doran), dan Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul). Kanjeng Sunan Kalijaga menerangkan bahwa dari kata pacul, bawak dan doran ini terkandung makna sejati yang luhur.

Pacul. Kata ini memiliki arti "ngipatake barang kang muncul". Artinya menyingkirkan bagian yang mendugul atau bagian yang tidak rata. Maknanya adalah kita sebagai manusia harus selalu berbuat baik kepada orang lain dengan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak rata, seperti ego yang berlebih, cepat marah, mau menang sendiri dan sifat-sifat buruk lainnya.

Bawak. Kata ini memiliki arti "obahing awak ". Arti obahing awak adalah gerak tubuh. Maknanya adalah kita manusia wajib menggerakkan badan untuk berikhtiar mencari rezeki Allah guna memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, rezeki yang kita dapatkan juga kita gunakan untuk beribadah semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Doran. Kata ini memiliki arti "Donga marang Pengeran" atau ada juga yang mengartikan "Ojo Adoh Saking Pengeran". Makna "Donga Marang Pengeran" adalah bahwa sebagai makhluk yang lemah, kita harus senantiasa meminta dan memohon doa kepada Allah Sang Pengeran. Kata Pengeran berasal dari kata Allah kang dingengeri (Allah yang diikuti). Sedangkan "Ojo Adoh Saking Pengeran" memiliki arti janganlah kita jauh dari Allah. Kita harus selalu ingat dan berusaha mendekat beribadah kepada Allah.

Jika makna ketiganya digabung maka memiliki arti bahwa manusia hendaknya mampu menyingkirkan sifat-sifat buruknya, berikhtiar untuk mencari rezeki Allah dan tidak lupa untuk selalu berdoa dan menyembah Allah SWT.

Selain dari wejangan Sunan Kalijaga di atas, ada juga penafsiran lain dari istilah "pacul" ini. Penafsiran ini tentunya tidak jauh berbeda dari yang telah diuraikan di atas, hanya sedikit berbeda penjabarannya. "Pacul", dalam keratabasa Jawa, juga dapat dijabarkan sebagai "Sipat Papat Sing Ora Keno Ucul" (empat sifat yang tidak boleh lepas satu dengan lainnya). Keempat sifat ini kemudian dijabarkan dari empat bagian dari bentuk pacul yaitu: doran, tandhing, bawak dan landhep.

Doran. Yang merupakan gagang pacul ini memiliki arti "aja maido Pangeran". Maknanya adalah sebagai manusia jangan sampai kita membantah/ mendebat Pangeran (Allah). Kita hendaknya ridha terhadap ketentuan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT.

Tandhing. Tandhing ini adalah ganjal yang “mengikat” bagian tangkai dan mata pacul agar kuat dan tidak mudah lepas. Tandhing memiliki arti bahwa sejatinya hidup adalah bertanding setiap saat, tidak mudah menyerah dan siap berjuang menghadapi segala rintangan hidup.

Bawak. Artinya sebagaimana di atas yaitu "Obahing Awak" atau Tubuh yang bergerak. Maknanya adalah kita harus berikhtiar dengan bekerja mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup ini.

Landhep. Landhep adalah bagian mata pacul bagian depan yang sangat tajam, berfungsi untuk menggali tanah, membersihkan rumput, menggemburkan tanah dsb. Maknanya adalah pikiran harus selalu tajam dan terus diasah agar berdaya guna dan tetap cermat/ bijaksana dalam mengatasi segala sesuatu.

Itulah makna - makna luhur yang tergali dari kata "pacul", sebuah nama yang sepertinya remeh namun sarat makna. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari penjabaran di atas.


Diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Pendakian Gunung Merapi via New Selo, Boyolali

Pendakian Gunung Merapi via New Selo, Boyolali

Gunung Merapi

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia, hal ini karena Gunung Merapi terletak dalam daerah cincin api dunia. Tercatat beberapa kali letusan terjadi di gunung ini, termasuk di antaranya adalah yang terjadi pada tahun 2010 silam. Letusan Merapi menyapu sebuah desa dan menyebabkan jatuhnya banyak korban di lereng gunung merapi. Abu vulkanik juga menutupi semua daerah di Yogyakarta dan sekitarnya.

Menurut catatan, Gunung Merapi dengan ketinggiannya 2.930 mdpl mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali. Hal ini menjadikan gunung Merapi dianggap sebagai gunung yang sangat berpotensi menimbulkan bahaya. Meskipun begitu, gunung Merapi justru dikelilingi oleh permukiman yang padat. Kota Yogyakarta dan Magelang adalah kota besar terdekat dari Merapi, yakni berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Sementara kawasan hutan di sekitar Merapi menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.

Secara geografis, gunung Merapi terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang meliputi Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara.

Setelah beberapa waktu menunggu momen yang tepat, akhirnya pada sabtu-ahad (16-17) Januari 2016, saya dan beberapa teman saya yaitu Kang Mukhlis, Reza, Fakhri dan Deni berkesempatan untuk mengunjungi dan melakukan pendakian di gunung Merapi ini. Berangkat dari Semarang siang hari, kami sampai di basecamp pos pendakian di Selo, Boyolali pada sore hari.

Basecamp

Pos pendakian Selo atau New Selo di Boyolali ini merupakan jalur pendakian yang masih aktif digunakan hingga sekarang, padahal sebelum terjadinya erupsi pada tahun 2010 silam, untuk menuju puncak merapi ada dua jalur, pertama New Selo dan kedua jalur Kaliangkrik di Sleman Yogyakarta. Namun jalur Kaliangkrik sudah tidak aktif pasca erupsi 2010 yang menyebabkan jalur tersebut ditutup total.

NEW SELO

Setelah membayar registrasi dan retribusi parkir, kami lanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 15 menit menuju sebuah bangunan dengan tulisan besar ''NEW SELO'' yang terpampang di atas bangunan tersebut. Di sini kami sempatkan untuk shalat maghrib dan istirahat sejenak sembari mengecek perlengkapan yang hendak kami bawa. Tepat setelah maghrib akhirnya kami memulai pendakian. Pendakian menuju puncak Merapi diperkirakan memakan waktu sekitar 4 hingga 5 jam. Pada awal pendakian, kami melalui jalanan berupa semen padat yang kanan kirinya merupakan lahan perkebunan penduduk.

Setelahnya, perjalanan kemudian mulai didominasi trek tanah sedikit berbatu, sementara di kiri kanan jalan banyak dijumpai pohon-pohon seperti cemara dan pohon pinus. Sekitar 1 jam lebih kami berjalan, akhirnya kami sampai di pos 1. Dalam perjalanan menuju pos 1 ini, kami menjumpai 2 pos shelter bayangan yang biasa digunakan untuk beristirahat para pendaki. Di 2 pos bayangan ini kami juga sempatkan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga.

Selepas dari pos 1, perjalanan kami lanjutkan melewati jalanan yang banyak didominasi bebatuan. Jalanan yang lumayan menanjak dengan batuan terjal dan kerikil tajam mengharuskan kami lebih berhati-hati dalam mengambil langkah. Langkah kaki harus bertumpu pada batuan permanen, karena bebatuan rawan jatuh. Gelapnya malam juga sedikit mempengaruhi langkah kami. Beruntung pada saat itu langit lumayan cerah dengan bulan terlihat jelas meskipun bukan bulan purnama. Kami juga diuntungkan keadaan karena pada saat itu hujan tidak turun, padahal sebetulnya kami mendaki pada saat musim hujan, bahkan dalam perjalanan motor menuju Selo, kami juga sempat diguyur hujan. Setelah hampir 2 jam kami berjalan, akhirnya sampailah kami di pos 2.

Setelah beristirahat sejenak di pos 2, pendakian kami lanjutkan. Trek yang kami lalui selanjutnya adalah trek bebatuan dengan jalur yang semakin menanjak. Dalam perjalanan ini kami juga menjumpai batu-batuan besar, bahkan ada di antaranya yang berdiri menjulang di areal jalur pendakian. Sekitar 1 jam perjalanan, kami sampai di areal berupa trek kerikil dengan jalan yang tidak terlalu menanjak. Tidak begitu jauh dari sini akhirnya kami sampai di areal luas yang disebut Pasar Bubrah.

Pasar bubrah adalah suatu areal luas yang berada tepat di kaki puncak Gunung Merapi. Lokasinya berupa tanah berpasir dan tandus. Batuan agak besar dan kerikil juga ditemukan di areal ini. Pasir dan batuan ini merupakan hasil muntahan gunung merapi ketika terjadi erupsi beberapa waktu yang lalu. Kawasan pasar bubrah ini juga ditandai dengan monumen dan papan peringatan batas pendakian.

Kami sampai di pasar bubrah ini sekitar pukul 11 malam. Ketika kami sampai, di tempat ini sudah banyak pendaki-pendaki lain yang lebih dulu datang dan membuat tenda untuk beristirahat. Udara malam yang terasa sangat dingin di tempat ini, membuat kami lekas buru-buru memasang tenda untuk bermalam. Tanah yang datar kami jadikan tempat untuk mendirikan tenda. Setelah tenda terpasang, kami sempatkan memasak sarden untuk lauk nasi bekal kami yang kemudian kami makan bersama-sama. Selagi makan kami sempat berbincang dengan dua pendaki dari Rusia yang datang setelah kami. Setelah makan kami pun istirahat tidur malam.

Pagi hari sehabis shubuh, udara terasa sangat dingin, sehingga membuat beberapa pendaki masih betah berlama-lama di dalam tenda, termasuk beberapa teman saya. Saya dan teman saya Deni yang sudah bangun, memutuskan keluar tenda untuk melihat-lihat lokasi di sekitar pasar bubrah ini. Kami sempat menyaksikan indahnya sunrise matahari pagi yang terlihat muncul dari balik bukit yang ada di sebelah kanan puncak merapi. Dari kejauhan juga tampak gunung-gunung lain, termasuk Gunung Merbabu yang berdiri gagah bersebelahan dengan gunung merapi ini.

Sunrise

Menjelang pukul 6 pagi, kami segera membangunkan teman-teman kami yang masih tiđur. Pagi hari itu, suasana di pasar bubrah tampak sangat ramai. Saking ramainya, selain banyaknya pendaki lokal, kami juga sempat menjumpai beberapa pendaki asing seperti dari Eropa ataupun Asia seperti wajah orang Jepang di pasar bubrah ini. Sembari menunggu persiapan hendak naik ke puncak, kami sempat meminta bantuan seorang pendaki lain untuk mengambil gambar kami berlima. Kami juga sempat mengobrol agak lama dengan pendaki tersebut, yang belakangan diketahui dia adalah guide dari dua pendaki Rusia yang mengajak kami berbincang tadi malam.
Sekitar pukul setengah 7, kami bersiap untuk mendaki menuju puncak merapi. Sebetulnya mendaki ke puncak merapi tidak diperkenankan dengan alasan keamanan dan keselamatan, sehingga pasar bubrah merupakan batas akhir pendakian. Hal ini juga ditandai dengan adanya papan peringatan di bawah kaki puncak merapi. Akan tetapi banyaknya pendaki yang naik membuat kami terbujuk untuk ikut mendaki sampai puncak.

Meskipun puncak Merapi terlihat jelas dari pasar bubrah, pendakian ke puncak Merapi membutuhkan waktu sekitar 1 jam dengan trek berpasir dan dilanjutkan trek berbatu. Trek berupa pasir-pasir halus ini akan merosot jika kami injak, sehingga membuat langkah kaki menjadi semakin berat. Selain itu kami juga kadang harus berjalan bergantian dengan pendaki-pendaki lain, baik yang hendak turun atau yang sama-sama ingin naik.

Setelah jalanan berpasir, mendekati puncak, trek berubah dengan batuan-batuan terjal. Kami harus berhati-hati melewati trek ini, karena selain bisa terperosok, bebatuan juga rawan jatuh sehingga bisa membahayakan pendaki yang berada di bawahnya. Setelah berjuang keras akhirnya sampailah kami di puncak Merapi. Terlihat di samping kami bibir kawah berupa jurang yang menganga lebar menyambut kami begitu sampai di atas. Kawah Gunung Merapi yang masih aktif ini juga terlihat mengepulkan asap belerang pekat dibawah jurang sedalam ratusan meter. 

Setelah hilangnya puncak tertinggi di Merapi yang disebut puncak garuda karena letusan merapi beberapa tahun silam, masih ada titik tertinggi yang masih bisa dijangkau. Tetapi karena letaknya yang berada di bibir kawah dan berbahaya, dengan alasan keselamatan kami berlima memutuskan untuk tidak sampai kesana. Meskipun begitu, hal ini tidak mengurangi kepuasan kami yang telah berhasil sampai di atas. Inilah salah satu tanda kebesaran Tuhan yang mesti kita imani. Allaahu Akbar..

Personil

Di depan tenda

Menuju Puncak

Di puncak

Di pasar bubrah

Di perjalanan

Pos 2

Pos 1

Semua personil Di depan tenda


Selengkapnya