Kesabaran Luar Biasa Ummu Sulaim dan Keluarganya

Kesabaran Luar Biasa Ummu Sulaim dan Keluarganya

Sabar adalah suatu sikap yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dipraktekkan. Sabar berarti kemampuan mengendalikan diri dari segala keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit saat sedang diuji atau mendapatkan musibah. Begitu sulitnya sabar untuk dipraktekkan, maka tidak heran jika semakin tinggi kesabaran yang dimiliki seseorang, maka semakin kokoh juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan. 

Pada postingan kali ini, saya ingin menyajikan sebuah kisah dari salah seorang sahabat Nabi yang diuji oleh Allah dengan kematian seorang putranya yang dicintainya. Meski diuji dengan cobaan yang begitu berat, sebagai orang tua ia tetap bersabar untuk menerima jalan hidup yang sudah digariskan kepadanya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah berikut ini. 

ilustrasi muslimah
ilustrasi

Ummu Sulaim adalah salah seorang sahabat Nabi dari kalangan perempuan yang memiliki kontribusi besar dalam dakwah Islam. Beliau termasuk salah seorang wanita yang pertama memeluk Islam dari kalangan Anshar. Beliau juga merupakan ibunda dari sahabat Anas bin Malik RA, salah seorang sahabat Nabi yang dikenal banyak meriwayatkan hadits.

Menurut beberapa riwayat, nama asli beliau adalah Rumaisha’ binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Setelah suami pertama meninggal, beliau menikah untuk kedua kalinya dengan Abu Thalhah, dimana sejarah mencatat beliau sebagai wanita dengan mahar yang paling mulia karena mahar pernikahan beliau adalah dengan masuk Islamnya Abu Thalhah.

Suatu ketika, Ummu Sulaim bercerita bahwa ia ditinggal mati oleh seorang anaknya, sedangkan suaminya waktu itu sedang tidak ada di rumah. Sebelumnya, sang anak yang bernama Abu Umair terserang penyakit hingga akhirnya meninggal dunia. Ummu Sulaim mampu bersabar dalam menjalani musibah itu, dan ia berusaha agar suaminya pun bersabar. Apa usaha yang dilakukannya?. Ummu Sulaim meletakkan jenazah anaknya di sudut rumah agar ketika suaminya datang tidak melihat langsung bahwa anaknya sudah meninggal.

Baca juga: Kisah Zainab binti Jahsy, Istri Rasulullah yang 'Paling Panjang Tangannya'

Saat Abu Thalhah (sang suami) pulang ke rumah, Ummu Sulaim pun menyambut kedatangan suaminya itu seperti biasanya. Ketika makanan telah tersedia, Ummu Sulaim juga mengeluarkan makan malam untuk suaminya dan sang suami pun menyantapnya. Kemudian Abu Thalhah bertanya kepada Ummu Sulaim tentang anaknya yang sakit, "Bagaimana kondisi anak kita?". Ummu Sulaim lalu menjawab, "Alhamdulillah, sejak ia sakit, malam inilah ia paling tenang".

Ummu Sulaim kemudian berhias diri sehingga timbullah hasrat Abu Thalhah terhadap istrinya. Sebentar kemudian ia bermesraan dengan istrinya sampai ia puas. Setelah itu, Ummu Sulaim berkata, "Apakah Kakanda tidak heran terhadap tetangga kita?". Jawab Abu Thalhah, "Memangnya mengapa mereka?".

Jawab Ummu Sulaim, "Mereka diberi pinjaman, sewaktu pinjaman itu diminta kembali, tiba-tiba mereka merasa sangat sedih". Suaminya menjawab, "Buruk sekali kelakuan mereka itu". Pada ketika itu, Ummu Sulaim kemudian berkata, "Begini Kakanda, anak kita itu pinjaman dari Allah, dan sekarang telah diambil kembali oleh-Nya".

Mendengar perkataan istrinya, Abu Thalhah pun mengerti maksud dari perkataan Ummu Sulaim (istrinya), kemudian ia berucap, "Alhamdulillah, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali)".

Besok paginya, suami Ummu Sulaim pergi menjumpai Rasulullah SAW dan menceritakan perihal kematian anaknya. Mendengar penuturan suami Ummu Sulaim, Rasulullah SAW kemudian berdoa, "Ya Allah, berikanlah kebaikan untuk suami-istri itu dan keluarganya".

Demikianlah gambaran kesabaran luar biasa yang ditunjukkan Ummu Sulaim dan keluarganya. Dari kisah di atas, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari bagaimana kuatnya kesabaran Ummu Sulaim, sampai-sampai ketika puteranya meninggal dunia, ia dan sang suami pun begitu sabar merelakan kepergian sang putera kembali ke pangkuan Ilahi. Bahkan Ummu Sulaim tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri yang patuh dan setia kepada suaminya. Sungguh sikap yang luar biasa.

Selengkapnya
Pentingnya Usaha (Ikhtiar) dan Doa dalam Menjalani Hidup

Pentingnya Usaha (Ikhtiar) dan Doa dalam Menjalani Hidup

Tak ada yang jatuh dari langit 

dengan cuma-cuma 

Semua usaha dan doa... 

Jika anda seorang Baladewa sejati, pastinya anda tahu penggalan lirik dari lagu berjudul "Hidup adalah Perjuangan" di atas. Lagu milik band Dewa 19 ini berasal dari album Bintang Lima yang rilis pada tahun 2000 silam. Lirik di atas  kurang lebih menggambarkan bahwa Tuhan tidak akan memberikan sesuatu kepada seorang hamba yang tidak mau berusaha dan berdoa. 

Usaha dan doa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebuah kesuksesan akan didapat manakala dibarengi dengan usaha (ikhtiar) yang keras dan doa kepasrahan (tawakkal) kepada Yang Kuasa. Jika keduanya sudah dilakukan, biarlah Tuhan yang menentukan apa kiranya yang terbaik bagi hidup kita.

Islam melarang setiap pemeluknya untuk menganut fatalisme, yaitu paham atau ajaran yang mengharuskan berserah diri pada nasib dan tidak perlu berusaha (ikhtiar) untuk memenuhi segala kebutuhan atau pun keinginan dalam hidup. Dalam pandangan faham ini, hidup setiap manusia dikuasai dan sudah ditentukan oleh nasibnya. Fatalisme adalah paham yang keliru, menyimpang dari ajaran tentang iman pada takdir, penghambat kemajuan, dan penyebab kemunduran umat. 

Oleh karenanya, Islam menghendaki agar setiap Muslim mau berusaha sekuat tenaga dengan cara yang halal untuk mengubah nasibnya agar lebih baik. Setiap Muslim/Muslimah diwajibkan untuk berusaha sekuat tenaga agar dapat mewujudkan cita-citanya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, kita juga mesti berdoa dan tawakkal agar Allah senantiasa memberikan yang terbaik bagi kita. 

Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik pada zaman Rasulullah SAW yang kiranya bisa kita renungi dan jadikan sebagai pelajaran. 

Pada suatu hari, Rasulullah SAW melihat seorang pengemis yang sedang meminta-minta sedekah di pinggir jalan. Sebenarnya pengemis itu memang berhak mendapat sedekah, baik dari baitul maal atau pun dari para hartawan. Namun, Rasulullah SAW menginginkan agar pengemis itu mau berusaha mengubah nasibnya dan tidak terus menerus menjadi beban bagi orang lain. 

jangan mengemis
ilustrasi via pixabay

Nabi SAW pun memanggil pengemis tersebut dan lalu bertanya, "Apakah kamu mempunyai sesuatu harta benda di rumah?". Pengemis itu menjawab, "Ya, saya memiliki selembar permadani dan sebuah nampan". Rasulullah kemudian berkata kepada pengemis itu, "Coba kamu ambil dan bawa kesini kedua harta bendamu itu!". Pengemis itu pun pulang ke rumahnya untuk mengambil dua macam benda miliknya tersebut. 

Setelah kembali ke hadapan Rasulullah dan membawa dua benda tersebut, Rasulullah SAW kemudian menawarkan kedua barang tersebut kepada para sahabatnya seraya berkata, "Siapa di antara kalian semua yang berminat untuk membeli kedua barang ini?" 

"Saya wahai Rasulullah, saya bersedia membayarnya dengan harga lima dirham", jawab salah seorang sahabat. 

Rasulullah SAW kemudian menawarkan kembali kedua barang tersebut kepada para sahabatnya yang lain untuk mencari siapa di antara para sahabatnya itu yang berani membayar lebih mahal untuk membeli kedua barang tersebut. Akhirnya, ada seorang sahabat yang bersedia membayar kedua barang itu dengan harga lima belas dinar. 

Setelah jual beli berlangsung, uang hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan oleh Rasulullah SAW kepada pengemis tersebut. Rasulullah SAW menyuruh orang tersebut agar mempergunakan uang itu untuk modal usaha dengan mencari kayu bakar untuk dijual, yang hasil penjualannya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. 

Dalam kisah lain, suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh salah seorang sahabatnya yang mengendarai seekor unta. Nabi SAW kemudian bertanya kepadanya, "Apakah kamu datang ke sini dengan mengendarai unta?". "Betul wahai Rasulullah", jawabnya.

Rasulullah bertanya lagi, "Apakah untamu sudah kamu tambatkan?". Sahabat tersebut menjawab, "Belum wahai Rasulullah, karena aku bertawakkal (pasrah) kepada Allah SWT". Selanjutnya, Rasulullah berkata kembali kepada sahabatnya tersebut, "Seharusnya kamu tambatkan dulu untamu, barulah kemudian bertawakkallah kamu kepada Allah SWT".

Selengkapnya
Kisah Rasulullah SAW dan Anak Yatim Yang Beruntung

Kisah Rasulullah SAW dan Anak Yatim Yang Beruntung

Rasulullah SAW adalah teladan bagi umat manusia. Beliau selalu menekankan kepada umatnya untuk berperilaku baik, saling tolong menolong, dan saling menyebarkan rasa kasih sayang di antara sesama. Banyak kisah tentang akhlak Rasul yang sudah seharusnya kita contoh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya yaitu kisah berikut ini yang menceritakan tentang Rasulullah SAW dan seorang anak yatim yang beruntung. 

Pada salah satu hari raya, Rasululullah SAW pergi keluar dari rumahnya untuk menjalankan shalat. Di tengah perjalanan, beliau melihat sekelompok anak-anak yang sedang bermain dengan riangnya. Namun di antara anak-anak itu, ada seorang anak yang berpakaian compang-camping dan tampak sedih serta tidak ikut bermain dengan anak-anak yang lain. 

anak kecil sedih
sekedar ilustrasi via pixabay

Rasulullah SAW segera menghampiri anak tersebut dan bertanya, "Hai nak! Mengapa engkau bersedih hati, padahal hari ini hari raya?" 

Karena anak yang ditanya itu tidak mengetahui bahwa yang bertanya itu adalah Rasulullah SAW, maka ia pun menjawab, "Wahai paman, saya ini adalah anak yatim. Ayahku gugur dalam peperangan membela Rasulullah SAW. Sedangkan ibuku menikah lagi dengan seorang laki-laki yang jahat. Ia telah memakan harta peninggalan ayahku, dan juga telah mengusirku sehingga hidupku terlunta-lunta seperti ini". 

Mendengar penuturan anak tersebut, Rasulullah SAW menjadi iba hatinya. Beliau kemudian berkata, "Wahai nak! Apakah engkau rela jika aku ini menjadi bapakmu? Istriku, Aisyah menjadi ibumu? Ali dan Fatimah menjadi paman dan bibimu? Serta Hasan dan Husain, cucu-cucuku menjadi saudaramu?". 

Anak kecil itu tersentak kaget, setelah ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya dan bertutur kata dengannya adalah Rasulullah SAW. Dengan sangat gembira, selanjutnya anak itu berkata, "Tentu saja aku rela wahai Rasulullah, menjadikan tuan sebagai bapakku". 

Semenjak itu, anak yatim tersebut pun menjadi anak asuh Rasulullah SAW. Beliau memperlakukannya sebagaimana anak kandungnya sendiri. Diberinya makanan yang cukup, pakaian yang baik dan layak, diasuh, dirawat, dan dididik menjadi seorang Muslim yang saleh. 

Beberapa waktu kemudian, anak yatim tersebut kembali bertemu dengan teman-temannya. Tidak seperti sebelumnya, kali ini dia tampak sangat bahagia dengan mengenakan pakaian baru. Menyaksikan itu, teman-temannya menjadi heran dan bertanya-tanya. Si anak yatim kemudian berkata, "Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW telah menjadi ayahku, 'Aisyah ibuku, Ali pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tidak bahagia?". 

Mendengar penuturan anak yatim tersebut, giliran teman-temannya kini yang bersedih. Dalam hati mereka, sungguh beruntung anak tersebut. Mereka pun ingin seperti si anak yatim yang beruntung itu.

santunan anak yatim
ilustrasi via pixabay

Demikianlah, dari kisah di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa menyantuni, mengasuh dan memperhatikan kebutuhan anak yatim merupakan tanggung jawab kita bersama. Rasulullah dalam salah satu haditsnya juga pernah menyebutkan tentang besarnya keutamaan dan pahala bagi orang yang mengasihi dan menyantuni anak yatim. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً

Dari Sahl bin Sa'ad RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda : "Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau (Rasulullah SAW) mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari). 

Selengkapnya
Teladan Rasulullah Akan Pentingnya Bekerja dan Tolong Menolong Di Antara Sesama Muslim

Teladan Rasulullah Akan Pentingnya Bekerja dan Tolong Menolong Di Antara Sesama Muslim

Sedari masih berusia sangat muda, Nabi Muhammad SAW memang sudah terbiasa hidup mandiri karena beliau ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya semenjak beliau masih kecil. Meski berada dalam pengasuhan pamannya, Rasulullah tidak sungkan untuk bekerja menggembalakan kambing milik Bani Sa'ad, milik penduduk Mekkah, dan bahkan milik penduduk luar kota Mekkah. Dari hasil menggembalakan kambing-kambing tersebut, Nabi SAW kemudian memperoleh upah dari mereka.

Sebelum Nabi Muhammad SAW menikah dan diangkat menjadi Rasul, beliau juga terkenal di kalangan penduduk Mekkah sebagai orang yang berakhlak mulia, berperilaku benar dan jujur, serta dapat dipercaya. Maka tidak heran jika penduduk Mekkah kemudian menjuluki beliau dengan sebutan Al-Amin, artinya yaitu orang yang dapat dipercaya. 

Sehubungan dengan itu, seorang janda kaya penduduk Mekkah yang bernama Khadijah meminta kesediaan beliau untuk memperdagangkan harta perniagaannya ke negeri Syam dengan ditemani seorang pembantunya yang bernama Maesarah. Permintaan tersebut diterima dengan baik oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam usaha dagangnya beliau memperoleh keuntungan yang besar karena keramah-tamahannya dan kejujurannya dalam berdagang.

Setelah diangkat menjadi Rasul dan memiliki banyak pengikut yang selalu menyertainya, Rasulullah juga selalu menekankan kepada para sahabatnya akan pentingnya bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga-keluarganya. Sebagai contohnya, suatu ketika beliau dan para sahabatnya pernah bertemu dengan seorang tukang batu yang tangan dan kulitnya tampak kasar seperti melepuh akibat terbakar panasnya sinar matahari. 

Setelah mendekat, Rasulullah pun bertanya kepada orang tersebut, "Mengapa tanganmu kasar sekali?". Si Tukang batu pun menjawab, "Ya Rasulullah, beginilah pekerjaan saya setiap hari, membelah batu dan saya jual batu-batu itu ke pasar. Hasilnya kemudian saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya. Karena itulah tangan saya kasar"

Mendengar penuturan si tukang batu yang tangannya sampai kasar dan melepuh demi menafkahi keluarganya dengan cara halal, Rasulullah pun kemudian menggenggam tangan orang tersebut dan menciumnya seraya bersabda, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya"

ilustrasi tukang batu
ilustrasi via suara.com

Dalam kesempatan lain, Rasulullah dan para sahabatnya juga pernah bertemu dengan seseorang yang giat dan tangkas dalam bekerja. Para sahabat pun berkata kepada Nabi, "Wahai Rasulullah, andaisaja orang tersebut menggunakan tenaganya untuk ikut berjihad di jalan Allah (jihad fi sabiilillah), maka alangkah baiknya".

Mendengar perkataan para sahabatnya itu, Rasulullah kemudian bersabda, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu (jihad) fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu (jihad) fi sabilillah, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu juga (jihad) fi sabilillah. Namun jika ia bekerja untuk riya' atau bermewah-mewahan, maka ia (jihad) di jalan syaithan". (HR. Thabrani) 

Selain pentingnya bekerja untuk mencari nafkah yang halal, Rasulullah SAW juga selalu menekankan kepada para sahabatnya akan pentingnya saling tolong menolong di antara saudara sesama Muslim. 

Suatu ketika, seorang hamba sahaya yang telah masuk Islam bernama Salman Al-Farisi dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan asalkan ia mampu menyerahkan kepada tuannya uang emas sebanyak empat puluh ukiyah dan menanamkan untuk tuannya tersebut tiga ratus pohon kurma.

Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW pun meminta kepada para sahabatnya untuk membantu Salman Al-Farisi mencarikan bibit kurma. Para sahabat pun memenuhi permintaan Rasulullah SAW dan berhasil mendapatkan sebanyak 300 bibit kurma. Setelah semua terkumpul, mereka pun menyerahkan bibit-bibit itu kepada Salman Al-Farisi atas perintah Rasulullah SAW.

Salman Al-Farisi kemudian menggali sendiri lubang-lubang untuk menanam bibit kurma itu. Sedangkan Rasulullah SAW ikut membantu menanamnya. Mengenai uang emas sebanyak empat belas ukiyah, karena Rasulullah mengetahui bahwa Salman Al-Farisi tidak memiliki uang sebanyak itu, dan kebetulan Rasulullah SAW memilikinya, Rasulullah pun menyerahkan uang miliknya kepada Salman Al-Farisi untuk menebus dirinya. 

Setelah Salman Al-Farisi menjadi Muslim yang merdeka, dia senantiasa ikut berjuang bersama Rasulullah dalam menegakkan Islam dan mendakwahkannya. Karena kepandaian, kejujuran, dan kesederhanaannya, Khalifah Umar bin Khattab kemudian mengangkat Salman Al-Farisi menjadi gubernur di Madain. Salman Al-Farisi wafat pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. 

Selengkapnya
Kisah Gugurnya Sang Patriot, Kumbakarna

Kisah Gugurnya Sang Patriot, Kumbakarna

Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari setiap tokoh dalam lakon pewayangan. Jika pada artikel terdahulu pernah kami uraikan kisah heroik Sang Adipati Karna dari lakon wiracarita Mahabharata, pada postingan kali ini kami ingin menyuguhkan kepada anda sekalian kisah singkat dari salah satu tokoh dalam wiracarita Ramayana yang bernama Kumbakarna, Sang Patriot Kusuma Bangsa dari tanah Alengka yang gugur demi membela bangsa dan tanah airnya dari penjajahan yang diakibatkan oleh keangkaramurkaan saudaranya, Dasamuka (Rahwana). 

Kumbakarna digambarkan sebagai sosok berwujud raksasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan. Secara harafiah, Kumbakarna dalam bahasa Sansekerta berarti "bertelinga kendi". Meski buruk rupa, Kumbakarna memiliki sifat baik, berwatak kesatria, dan sering menyadarkan perbuatan salah kakaknya, Rahwana yang berwatak angkaramurka. Ayahnya adalah seorang resi bernama Wisrawa sedangkan ibunya bernama Sukesi, puteri Raja Detya, Sumali. Ia memiliki saudara kandung yakni Dasamuka (Rahwana), Wibisana dan Surpanaka. 

Kumbakarna
Kumbakarna dan Wibisana

Pada saat Alengka mendapat serangan dari pasukan Prabu Rama dan sekutunya, satu persatu jagoan negeri Alengka roboh berjatuhan. Pasukan raksasa bertumbangan di palagan pun sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Negeri Alengka bak banjir darah dari mayat-mayat yang jatuh berserakan. Prabu Dasamuka pun semakin risau. Lama baginya untuk memikirkan siapa lagi yang hendak disuruh untuk maju ke medan perang. Siapa yang punya kedigdayaan ngedab-edabi untuk menandingi kekuatan bala tentara Rama yang semakin beringas. Akhirnya, Dasamuka pun kemudian memerintahkan untuk memanggil Kumbakarna.

Singkat cerita, Raden Kumbakarna telah sampai di hadapan Prabu Dasamuka. Raden Kumbakarna bertanya, "Ada keperluan apa kakak Prabu memanggilku?"

"Negara Alengka telah dibanjiri jutaan bangkai dari Suwelagiri. Tolonglah aku dik!, jika tidak kau tolong, aku pasti gagal mempersunting Dewi Sinta", jawab Dasamuka.

"Apakah di Negara Alengka ini sudah tidak ada lagi manusia hingga aku dipanggil untuk maju perang?", Raden Kumbakarna kembali bertanya.

"Bala buta (raksasa) banyak yang sudah menjadi mayat. Para jagoan Alengka sudah tidak bisa lagi diandalkan, bahkan paman Prahastha juga sudah gugur"

"Paman Prahastha mati?", tanya Kumbakarna seraya kaget. Ia kemudian lanjut berkata:

"Itulah kakak Prabu, hasil dari apa yang sudah engkau tanam. Beribu-ribu prajurit telah menjadi korban. Harta dunia negara telah habis. Negara Alengka sudah tidak punya harapan lagi untuk hari esok. Kakak Prabu, itu semua akibat dari tingkah lakumu yang salah, menerjang hukum kebenaran. Perbuatanmu sungguh tercela dan nista. Sudah berapa kali kukatakan kalau aku sanggup berada di kayangan sekali, asalkan jangan merusak pager ayu (mengambil istri orang). Turutilah kata-kataku... "

Belum sampai selesai perkataan Raden Kumbakarna, Prabu Dasamuka sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya seraya berucap dengan nada tinggi, "Kumbakarna, memang aku raja yang nista. Kalau ingin melihat makhluk laknat ya seperti ini bentuknya. Tapi lebih laknat mana antara aku dan kamu?. Kamu itu manusia yang tidak tahu membalas budi (kebaikan) kepada saudara tua. Siapa yang sudah memberi kewibawaan padamu di Pangleburgangsa?"

"Kakak Prabu, menuduh aku tidak tahu membalas kebaikan apakah engkau merasa sudah menanam kebaikan?. Benar aku merasakan hidup enak. Tapi pangkat, kewibawaan, dan kemakmuran, semua itu bukan pemberianmu. Aku hanya pantas membalas kebaikan kepada para leluhur dengan cara memuji mereka yang sudah wafat di Alengka ini. Menjadi kewajibanku pula untuk menjaga berdiri tegaknya negara warisan leluhur ini. Siapa berani membuat huru-hara dan kerusakan di tanah Alengka ini, aku siap bertaruh nyawa. Lebih baik aku mati daripada membiarkan negara pemberian leluhur ini diinjak-injak munyuk-munyuk (kera-kera) dari Suwelagiri. Kakak, aku mohon pamit hendak membela negara. Ketahuilah, sampai mati aku tetap tidak setuju dengan tingkah lakumu".

Tanpa menghiraukan lagi perkataan Dasamuka, Raden Kumbakarna pun lekas pergi. Dengan berpakaian serba putih, badan bersih serta hati yang suci, Raden Kumbakarna pun berangkat ke medan laga. Tidak ada rasa permusuhan dalam dirinya. Ia maju perang hanya semata-mata menjalankan kewajiban demi membela tanah airnya. 

Melihat kedatangan Kumbakarna, pasukan kera langsung menyerbu, menunggangi, menggigit dan mencakar Kumbakarna. Tetapi Raden Kumbakarna tidak menghiraukannya. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri, ia hanya tetap berjalan menuju keberadaan Prabu Rama. 

Para senapati pasukan kera pun ikut menghadang Kumbakarna guna mencegahnya agar tidak mendekati Prabu Rama. Namun semua tidak berdaya untuk menahan tubuh besar Kumbakarna. Pada satu kesempatan, Raden Sugriwa tertangkap oleh Kumbakarna. Namun dengan berusaha sekuat tenaga, Sugriwa akhirnya dapat melepaskan diri seraya membetot hidung Kumbakarna. Kumbakarna yang tanggal hidungnya pun merasa kesakitan dan mengamuk hebat hingga membuat barisan pasukan kera hancur berantakan. 

Melihat pemandangan yang menyayat hati tersebut, Prabu Rama bermaksud untuk membebaskan rasa sakit dan penderitaan yang dialami Kumbakarna. Ia pun kemudian melepaskan panah Guwawijaya ke arah Kumbakarna. Setelah beberapa lesatan panah melukai tubuh Kumbakarna, pada akhirnya anak panah berhasil menembus dada Sang Kumbakarna hingga menemui ajalnya. Raden Kumbakarna pun gugur sebagai patriot dan kusuma bangsa demi membela tanah airnya. 

Selengkapnya
Kisah Tentang Kejujuran dan Iman Yang Menghujam dalam Dada

Kisah Tentang Kejujuran dan Iman Yang Menghujam dalam Dada

Iman memang mesti dirawat agar tidak mudah goyah dan tergoda oleh gemerlapnya kenikmatan duniawi. Dalam riwayat sejarah, ada banyak kisah teladan dari para pendahulu kita (salafuna shalih) yang dapat dijadikan kaca benggala dalam mengarungi hidup agar dapat memperteguh keimanan kita kepada Allah di tengah goncangan zaman yang semakin mengharu biru ini. Berikut ini kami sajikan dua kisah mengenai hal ini, semoga kita dapat mengambil hikmah dari dua kisah berikut ini. 

lampu di tengah malam
via pixabay

Keteguhan Iman Sang Penggembala

Abdullah bin Dinar, salah seorang sahabat Rasulullah SAW pernah bercerita bahwa pada suatu hari ia sedang bepergian dengan Abdullah bin Umar, sahabatnya yang saleh dan kaya, menuju kota Makkah.

Tatkala malam telah tiba, mereka berdua pun berhenti di sebuah tempat di luar kota Makkah untuk beristirahat melepas lelah. Tiba-tiba, seseorang yang tidak dikenal mendatangi mereka.

Abdullah bin Umar bertanya, "Wahai kawan, apakah anda seorang penggembala domba?". "Betul wahai tuan, saya adalah pengembala domba", jawab pengembala itu.

Abdullah bin Umar melanjutkan pembicaraannya, "Wahai penggembala, kebetulan aku ini sedang membutuhkan seekor domba, juallah seekor domba itu kepadaku sesuai harga yang engkau inginkan!"

Penggembala itu menjawab, "wahai tuan, domba-domba yang saya gembalakan itu bukan milik saya, saya hanya seorang hamba sahaya (budak)".

Abdullah bin Umar ingin menguji kejujuran penggembala itu, lalu berkata, "Wahai penggembala, nanti jika kamu bertemu tuanmu pemilik domba-domba itu, katakan kepadanya bahwa seekor domba yang sebenarnya kamu jual kepadaku itu dimakan serigala. Tentu tuanmu akan percaya kepadamu, dan engkau pun mempunyai uang cukup banyak".

Si Penggembala menjawab, "Wahai tuan, kalau begitu di mana Allah?, bukankah Allah selalu menyaksikan perbuatan-perbuatan hambaNya?. Demi Allah, wahai tuan, aku tidak akan menjual domba yang bukan milikku itu. Aku takut kepada Allah SWT".

Mendengar penuturan penggembala itu, Abdullah bin Umar pun berlinang air matanya karena bangga dan terharu atas kejujuran penggembala itu".

Abdullah bin Umar kemudian menebus budak penggembala itu dari tuannya dan memerdekakannya.

Kejujuran Gadis Penjual Susu 

Sudah menjadi kebiasaan bagi Khalifah Umar bin Khattab untuk melakukan ronda malam guna melihat langsung kondisi rakyatnya. Suatu ketika, kegiatan patroli Umar terhenti di sebuah rumah gubuk yang lampunya masih menyala. Khalifah Umar pun mencari tahu kiranya apa yang sedang dilakukan oleh pemilik rumah tengah malam begini. 

Saat mendekat, ia mendengar suara dua orang sedang bercakap-cakap di dalam rumah itu. Penasaran dengan percakapan kedua orang tersebut, Khalifah Umar pun mengintip dari bilik rumah tersebut. Tampak di dalamnya seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu untuk jualannya. 

"Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini. Mungkin karena musim kemarau sehingga air susu kambing kita menjadi sedikit", kata si anak perempuan. 

"Benar anakku", kata sang ibu menimpali. 

"Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita juga akan gemuk kembali, sehingga hasil perahan juga akan kembali banyak", harap anak perempuan tersebut. 

"Hmm, sejak ayahmu meninggal, penghasilan kita memang sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja hidup ini. Aku khawatir kita akan menjadi kelaparan", kata sang ibu. 

Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu. 

"Nak", bisik ibunya seraya mendekat. "Kita campur saja susu itu dengan air, supaya penghasilan kita cepat bertambah", bujuk si ibu kepada anaknya.

Mendengar penuturan ibunya, anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah keriput sang ibu, terlihat sang ibu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan yang amat berat dalam hidupnya. Ada rasa sayang begitu besar di hatinya, namun anak perempuan tersebut segera menolak keinginan sang ibu. 

"Tidak ibu, Khalifah telah melarang keras semua penjual susu untuk mencampur susunya dengan air", jawab sang anak sembari mengingatkan akan sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli.

"Ah!, Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu", gerutu sang ibu dengan kesal.

"Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?", sang anak balik bertanya kepada ibunya. 

"Tapi tidak akan ada yang tahu kalau kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tidak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita. Ayolah Nak, mumpung tengah malam, tidak ada yang melihat kita!", kata ibunya tetap memaksa. 

"Meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kalau kita telah mencampur susu dengan air, tetapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apapun kita menyembunyikannya. Aku tidak mau melakukan ketidakjujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin, Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat", lanjut anak itu. 

Mendengar penjelasan anaknya itu, sang Ibu hanya menarik nafas panjang, kecewa anaknya tidak mau menuruti suruhannya. Namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kagum akan kejujuran anaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, sang ibu pun pergi ke kamarnya, sedangkan si anak menyelesaikan pekerjaannya hingga beres. Sementara di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu.

"Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!", gumam Khalifah Umar. Sang Khalifah pun beranjak pergi meninggalkan gubuk itu untuk cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Keesokan paginya, Khalifah Umar memanggil putranya, Ashim, dan diceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu kepadanya. Khalifah Umar memerintahkan putranya itu untuk melamar gadis jujur penjual susu tersebut dan menikahinya. Singkat cerita, maka menikahlah Ashim bin Umar dengan gadis penjual susu tersebut dan dikarunia seorang anak perempuan. 

Di masa mendatang, anak perempuan ini kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir, dan dari keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Siapa dia?. Beliau adalah Pemimpin bangsa Arab, Khalifah kedelapan dari Dinasti Bani Umayah yang terkenal akan kezuhudan, keadilan dan ketekunannya dalam beribadah. Demikian. Wallahu A'lam. Baca juga: Mimpi Umar bin Khattab tentang Cicitnya, Umar bin Abdul Aziz

Selengkapnya
Kisah Abu Dujanah, Pohon Kurma dan Pria Munafik

Kisah Abu Dujanah, Pohon Kurma dan Pria Munafik


Godaan duniawi memang sering kali membuat sebagian orang gelap mata dalam mempertahankan kekayaan yang dimilikinya. Tidak jarang, antar tetangga saling bertikai karena memperebutkan sesuatu yang masing-masing merasa menjadi haknya. 

Sebagai seorang Muslim, penting bagi kita untuk senantiasa mematuhi akan perintah agama, salah satunya yaitu dengan tidak mengambil apa yang bukan menjadi milik kita, karena itu haram hukumnya. 

Pohon kurma

Beberapa waktu lalu, saya mendengarkan sebuah kisah menarik dari pengajian yang diputar di salah satu stasiun radio di kota saya. Kisah ini menceritakan tentang salah seorang sahabat Nabi yang selalu buru-buru pergi setiap usai menjalankan shalat shubuh berjamaah bersama Nabi. 

Setelah ditelusuri, ternyata ada alasan mengapa ia melakukan itu. Seperti apa kisahnya?. Berikut kami sajikan untuk anda. 

Di zaman Rasulullah SAW, tersebutlah salah seorang sahabat Nabi bernama Abu Dujanah. Dia adalah seorang Muslim yang taat kepada agamanya, serta selalu menyertai Nabi kala berjihad di jalan Allah. 

Suatu ketika, didapati bahwa setiap usai menjalankan shalat shubuh berjamaah bersama Nabi, Abu Dujanah selalu terburu-buru pulang ke rumahnya tanpa menunggu Rasulullah SAW selesai memanjatkan doanya. Hal ini terjadi beberapa kali hingga menimbulkan tanda tanya di kalangan para sahabat. 

Pada suatu waktu, Rasulullah SAW akhirnya berkesempatan untuk menanyakan langsung kepada Abu Dujanah perihal tindakannya tersebut:

"Apakah engkau tidak punya permintaan yang perlu engkau sampaikan kepada Allah sehingga engkau tidak pernah menungguku hingga selesai berdoa?. Kenapa engkau buru-buru pulang seperti itu? Ada apa gerangan?", tanya Rasulullah kepada Abu Dujanah. 

"Anu Rasulullah, saya punya satu alasan", jawab Abu Dujanah. 

"Apa alasanmu? Coba kau jelaskan!” pinta Rasulullah SAW. Abu Dujanah kemudian menjelaskan:

"Begini Ya Rasul, kebetulan rumah kami berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki tetangga kami. Nah, di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini berdiri menjulang sebuah pohon kurma yang dahannya menjuntai hingga ke rumah kami. Setiap kali angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut berjatuhan dan mendarat di rumah kami", 

"Ya Rasul, keluarga kami bukanlah orang berada. Anakku kurang makan bahkan sering kelaparan. Saat mereka bangun, apa pun yang mereka dapat itulah mereka makan. Oleh karenanya, saya bergegas langsung pulang setiap usai shalat sebelum anak-anak kami terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami yang berceceran di depan rumah kami dan kemudian kami serahkan kepada pemiliknya".

Buah kurma

"Suatu waktu, saya agak terlambat pulang sehingga salah seorang anakku sudah terlanjur makan kurma hasil temuannya. Saya bahkan menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri anakku sedang mengunyah kurma basah yang ia pungut dari kurma milik tetangga kami yang jatuh di depan rumah kami semalam". 

"Melihat hal itu, saya kemudian memasukkan jari-jari tanganku ke dalam mulut anakku untuk mengeluarkan kurma yang sudah ia makan. Saya katakan kepadanya, "Nak, janganlah engkau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak". 

Anakku pun menangis. Tampak air mengalir dari kedua pasang kelopak matanya sembari menahan rasa lapar yang kian sangat".

"Saya katakan juga kepada anakku itu, 'Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram di dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu akan kukeluarkan dan akan kukembalikan bersama kurma-kurma lainnya kepada pemiliknya". 

Mendengar cerita Abu Dujanah, pandangan mata Rasulullah SAW pun berkaca-kaca. Tampak butiran air mata mulianya berderai begitu derasnya.

Rasulullah SAW kemudian mencoba mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma sebagaimana diceritakan oleh Abu Dujanah. Ternyata diketahui bahwa pemilik pohon kurma tersebut adalah seorang laki-laki munafik tetangga Abu Dujanah. 

Baginda Rasul pun kemudian mengundang pemilik pohon kurma tersebut dan berkata kepadanya:

"Bisakah tidak jika aku meminta engkau untuk menjual pohon kurma yang kau miliki itu? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali lipat dari pohon kurma itu sendiri. Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru, disirami dengan emas merah, dan tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada", Demikian tawar Rasulullah, maksudnya adalah balasan di surga kelak. 

Lelaki yang dikenal sebagai orang munafik ini lantas menjawab dengan tegas, "Saya tidak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Saya juga tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji kapan-kapan". 

Di tengah usaha tawar-menawar ini, tiba-tiba datanglah Abu Bakar as-Shiddiq RA dan kemudian berkata kepada Sang pria munafik, "Baiklah kalau begitu, aku beli pohon kurmamu itu dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milik Fulan yang varietasnya tidak ada di kota ini (lebih bagus jenisnya)". 

"Oke, ya sudah, aku jual pohon kurma itu kepada anda", kata Sang pria munafik dengan girangnya. Abu Bakar pun menyahut, "Bagus, aku beli pohon kurma itu". 

Setelah sepakat, Abu Bakar pun menyerahkan pohon kurma yang baru dibelinya tersebut kepada Abu Dujanah seketika. Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Hai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu". Mendengar sabda Nabi ini, Abu Bakar gembira bukan main. Begitu pula dengan Abu Dujanah. 

Waktu pun berlalu, sang pria munafik pulang dan menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada istrinya. Dengan bangganya ia berkata, "Aku telah mendapat untung banyak hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dahulu dan buah-buahnya pun tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun". 

Malam harinya, saat si munafik tidur dan bangun di pagi harinya, atas kuasa Allah pohon kurma yang tadinya masih berada di pekarangan rumahnya tiba-tiba telah berpindah posisi menjadi berdiri di atas tanah milik Abu Dujanah. Bahkan seolah-olah tak sekalipun tampak kalau pohon tersebut pernah tumbuh di atas tanah si munafik. Tempat asal pohon itu pun tumbuh rata dengan tanah. Si pria munafik dibuat keheranan tiada tara. Apa boleh buat, itulah balasan bagi orang dzalim. 

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil banyak pelajaran akan pentingnya sebuah kehati-hatian dalam menjaga diri dan keluarga agar terhindar dari mengkonsumsi barang-barang haram yang bukan menjadi hak kita. Jika hal ini bisa kita lakukan, insya Allah akan ada balasan setimpal kita dapatkan, baik itu kita terima di dunia atau pun di akhirat kelak. 

Sekedar tambahan, Abu Dujanah atau bernama lengkap Simak bin (Aus bin) Kharasyah bin Laudzan adalah salah seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar dari kabilah Bani Sa'idah. Beliau pernah ikut serta dalam Perang Badar, Uhud dan perang-perang lainnya bersama Nabi SAW. 

Abu Dujanah tergolong seorang sahabat yang militan karena tidak pernah lepas dari Nabi SAW bahkan pada Perang Uhud sekalipun saat kaum Quraisy mendapatkan kemenangan. 

Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Dujanah gugur sebagai syahid dalam perang Yamamah saat melawan Musailamah al-Kadzdzab (Nabi palsu). Demikian. Wallahu A'lam. (Diolah dari berbagai sumber

Selengkapnya
Kisah Calon Penghuni Surga (Dibalik Sifat Qanaah dan Jujur)

Kisah Calon Penghuni Surga (Dibalik Sifat Qanaah dan Jujur)


Pepatah Jawa mengatakan, "Urip iku mung Sawang Sinawang", sebetulnya pepatah ini mengingatkan kita agar dalam hidup ini kita jangan terfokus untuk membanding-bandingkan keadaan yang kita alami dengan kehidupan yang dimiliki oleh orang lain. Pepatah ini juga mengajarkan kita untuk tidak iri dengan kesuksesan orang lain, serta selalu bersyukur dan menerima apa yang telah kita dapatkan. 

Namun dalam prakteknya, kerasnya hidup kadang kala membuat kita sulit untuk menerapkan perilaku ini, terutama bagi orang-orang awam seperti kita. 

Perilaku suka membanding-bandingkan memang cukup riskan karena bisa membuat kita hanya berkeluh kesah dan tidak mensyukuri akan arti hidup. Akibatnya, segala cara pun akan dilakukan agar keinginannya terpenuhi, termasuk dengan cara-cara salah sekalipun. Tetapi jika kita mampu menaklukannya, tentunya ada balasan besar yang akan kita terima kelak. 

Mengintip dari balik jendela
ilustrasi

Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang kami nukil dari buku Lentera Hati karya Ust. M. Quraisy Shihab. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah berikut ini. Berikut kisahnya:

Pada suatu hari tatkala Rasulullah SAW sedang duduk-duduk dan berbincang-bincang bersama para sahabatnya di masjid, tiba-tiba Nabi SAW bersabda, "Sebentar lagi seorang calon penghuni surga akan datang kemari".

Mendengar ucapan Rasulullah SAW tersebut, semua pandangan mata para sahabat pun tertuju ke pintu masjid untuk mengetahui siapa gerangan orang tersebut. Para sahabat menduga kalau orang yang disebut Nabi sebagai calon penghuni surga itu pastilah seseorang yang luar biasa.

Tidak lama kemudian masuklah ke dalam masjid seseorang yang wajahnya masih basah dengan air wudhu sembari menjinjing alas kakinya. Para sahabat pun penasaran untuk bertanya apa gerangan keistimewaan orang itu sehingga Rasulullah SAW menjamin masuk surga. Meski begitu, anehnya tidak seorang pun sahabat Nabi SAW yang mau bertanya, walaupun sebenarnya mereka ingin mengetahui jawabannya.

Keesokan harinya yaitu pada hari kedua dan ketiga, kejadian tersebut terulang kembali. Pada hari kedua dan ketiga ini Rasulullah pun juga tetap bersabda bahwa orang itu merupakan calon penghuni surga.

Salah seorang sahabat Nabi yakni Abdullah bin Umar semakin penasaran dibuatnya. Beliau pun bermaksud untuk melihat langsung apa yang dilakukan calon penghuni surga itu sehari-seharinya sehingga bisa dijamin masuk surga. 

Calon penghuni surga
ilustrasi

Suatu ketika, Abdullah bin Umar mendatangi rumah calon penghuni surga itu dan meminta izin untuk tinggal di rumah orang itu selama tiga hari tiga malam. Orang tersebut pun mempersilahkannya. 

Selama tiga hari tiga malam, Abdullah bin Umar senantiasa memperhatikan, mengamati, bahkan mengintip apa-apa saja yang diperbuat oleh calon penghuni surga itu. Memang ibadah wajib selalu dikerjakan oleh orang itu, tetapi ibadah khusus seperti shalat malam dan puasa sunnah tampaknya penghuni surga itu tidak melakukannya. Hanya saja kalau terbangun dari tidurnya di tengah malam terdengar ia menyebut nama Allah (dzikir) di tempat tidurnya. Tetapi itu pun hanya sejenak saja, dan tidurnya pun berlanjut. 

Sementara pada siang harinya, si calon penghuni surga itu bekerja dengan tekun. Ia juga pergi ke pasar sebagaimana halnya orang lain pergi ke pasar. Rasa penasaran Abdullah bin Umar pun semakin menggebu-gebu. "Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau aku tidak sempat melihatnya apa yang dilakukan oleh orang itu. Sudah waktunya bagiku untuk berterus terang kepadanya", demikian ucap Abdullah bin Umar dalam hatinya. 

"Apakah yang anda perbuat sehingga anda mendapat jaminan surga", tanya Abdullah bin Umar kepada orang tersebut. 

"Apa yang anda lihat itulah",  jawab calon penghuni surga.

Setelah mendapat jawaban dari orang itu, dengan rasa kecewa Abdullah bin Umar pun hendak pamit pulang untuk kembali saja ke rumahnya. Ketika hendak beranjak, tiba-tiba tangannya dipegang oleh si calon penghuni surga tersebut seraya berkata, "Apa yang anda lihat itulah yang saya lakukan, ditambah sedikit lagi yaitu saya tidak pernah merasa iri terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Tuhan. Tidak pernah pula saya melakukan penipuan dalam segala kegiatan saya".

Dengan menundukkan kepala, Abdullah bin Umar pun meninggalkan si calon penghuni surga itu sambil berkata, "Rupanya yang demikian itulah yang menjadikan anda mendapat jaminan surga".

Itulah kisah mengenai seseorang yang dijamin masuk surga karena sifat qanaahnya dan keteguhannya untuk selalu berbuat jujur dalam segala hal. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah di atas. Wallahu A'lam.

Selengkapnya
Kisah Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah

Kisah Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah


Saat kaum kafir Quraisy mengetahui bahwa Islam telah menyebar di kota Madinah, mereka pun semakin menjadi-jadi dalam menyakiti kaum Muslimin di Makkah. Atas hal itu, umat Islam kemudian diperintahkan untuk hijrah ke Madinah menemui saudara-saudara muslim mereka di sana (kaum Anshar).

Saat tiba waktunya, para sahabat (kaum Muslimin) pun keluar dari tanah Makkah secara sembunyi-sembunyi, karena khawatir langkah mereka akan dicegah oleh kaum kafir Quraisy. Sahabat Abu Bakar pada mulanya juga hendak ikut hijrah bersama rombongan ke Madinah, namun Rasulullah SAW mencegahnya dan memintanya untuk tetap di Makkah menemani Rasulullah SAW. 

Persekongkolan Jahat Kaum Kafir Quraisy Kepada Rasulullah SAW


Saat kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah telah mempunyai banyak pengikut termasuk dari kaum Anshar yang siap membela beliau dan menyebarkan dakwahnya, mereka pun akhirnya bersepakat untuk memb*n*h Nabi. Mereka (kaum kafir Quraisy) menerapkan strategi dengan memilih satu orang pemuda dari masing-masing kabilah untuk memb*n*h Nabi. Para pemuda itu nantinya akan berkumpul di depan rumah Nabi dan bersiap untuk memuk*l Nabi secara bersamaan saat beliau keluar dari rumahnya.

Hal ini dilakukan agar semua kabilah turut andil akan peristiwa ini, sehingga para kerabat Nabi tidak akan mampu jika harus memerangi seluruh kabilah arab. Akan tetapi, Allah SWT telah memberitahukan persekongkolan jahat kafir Quarisy ini beserta rencana keji mereka kepada Nabi SAW, sehingga akhirnya Rasulullah pun diperintahkan untuk hijrah ke Madinah. 

Hijrah ke Madinah
ilustrasi

Hijrahnya Al Mushthafa (Rasulullah) SAW


Sebelum berangkat hijrah, Rasulullah menemui Abu Bakar dan memberitahukan kepadanya akan perintah Allah untuk berhijrah ke Madinah. Rasulullah kemudian meminta Abu Bakar untuk menemani perjalanan beliau hijrah, maka Abu Bakar pun menjawab, "Ya (siap)".

Abu Bakar kemudian mempersiapkan dua kendaraan (onta) untuk perjalanan mereka berdua nantinya. Ia menitipkan dua tunggangan itu kepada seseorang yang ia tunjuk sebagai penunjuk jalan dan menyuruhnya agar nantinya datang membawa dua tunggangan tersebut untuk Nabi dan Abu Bakar saat mereka berdua telah berada di gua Tsur setelah lewat tiga malam. 

Tepat pada malam saat Rasulullah hendak keluar dari rumahnya untuk berhijrah, para pemuda Qurasy telah berkumpul di sekitar rumah Nabi untuk bersiap memb*n*h Nabi yang masih berada di dalam rumahnya. Saat telah tiba waktunya untuk keluar, Rasulullah kemudian meminta anak dari pamannya, Ali bin Abi Thalib untuk tidur di atas ranjang beliau, agar siapa pun mengira Nabi masih berada di dalam rumahnya.

Nabi juga meminta kepada Ali agar tetap menjaga amanah yang telah diberikan kepadanya. Rasulullah kemudian keluar dari rumahnya melewati musuh-musuhnya yang telah dibuat tertidur oleh Allah. Dalam salah satu riwayat, saat itu Rasulullah membaca ayat:

وَجَعَلْنَا مِنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

"Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (QS. Yaa Siin, 9). 

Rasulullah kemudian segera menemui Abu Bakar dan bersama-sama mereka berdua pun berangkat hijrah hingga sampai di gua Tsur. Mereka berdua akhirnya bersembunyi di goa tersebut. 

Kaum Kafir Quraiys Mencari Keberadaan Rasulullah


Setelah kaum Kafir Quraisy telah tersadar kembali dari tidur mereka di kala malam itu, mereka pun dibuat melongo saat tidak menemukan Nabi di dalam rumahnya. Hanya Ali bin Abi Thalib yang mereka temukan, maka semakin jengkellah mereka dibuatnya.

Mereka kemudian mengirimkan para pemuda pilihan mereka dengan masing-masing dibekali pedang dan tongkat untuk mencari keberadaan Nabi di setiap penjuru tempat. Mereka juga menjanjikan bagi siapa saja yang dapat mendatangkan atau memberitahu keberadaan Nabi kepada mereka dengan imbalan hadiah berupa 100 ekor onta. 

Goa Tsur
Goa Tsur via Al-iqab.blogspot.com

Suatu ketika, pencarian mereka telah sampai di dekat goa Tsur tempat dimana Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi. Salah seorang di antara mereka kemudian diminta untuk melihat isi dalam goa, barangkali Rasulullah ada di dalamnya. Abu Bakar yang melihat kedatangan mereka pun semakin khawatir sehingga ia pun menangis. Melihat hal itu, Rasulullah kemudian berkata kepadanya:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

"Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS. At-Taubah, 40). 

Allah SWT pun kemudian membutakan penglihatan kaum kafir Quraisy dari melihat keberadaan Nabi, sehingga mereka semua pun pulang dengan tangan hampa. 

Keluarnya Nabi dari dalam Goa


Setelah pencarian terhenti dan keadaan dirasa aman, Rasulullah bersama Abu Bakar kemudian keluar dari dalam goa yang telah mereka diami selama 3 malam. Selama bersembunyi di dalam goa, Abdullah, putra Abu Bakar selalu mendatangi mereka berdua di sore hari untuk memberitahukan kabar tentang pencarian kaum kafir Quraiys kepada mereka berdua.

Sementara saudari perempuannya, Asma (putri Abu Bakar), juga datang ke goa dengan membawakan makanan untuk Rasulullah dan ayahnya. Ia datang dengan sembunyi-sembunyi, khawatir diketahui oleh kaum kafir Quraisy. 

Saat seseorang yang ditunjuk sebagai penunjuk jalan dan dititipi dua tunggangan telah datang membawa dua kendaraan untuk Rasulullah dan Abu Bakar pada waktu pagi di hari ketiga, Rasulullah, Abu Bakar dan sang Penunjuk jalan pun melanjutkan perjalanan dengan naik kendaraan menuju kota Madinah.

Di tengah perjalanan, mereka bertiga bertemu dengan Suraqah yang hendak memb*nuh Nabi. Namun Allah menolong utusanNya dengan membuat Suraqah ambles. 

Dikisahkan, Suraqah mendengar akan besarnya hadiah bagi siapa saja yang dapat mendatangkan Nabi kepada kaum kafir Quraisy, sehingga ia pun bergegas mencari keberadaan Nabi dan berhasil menjumpainya. Saat mendekati rombongan Nabi, tiba-tiba saja kuda tunggangan Suraqah terjerembab hingga ia pun terlempar dari punggung kudanya.

Ia kemudian bangkit naik kudanya untuk kembali mengejar Nabi. Saat sudah dekat, ia mendengar Rasulullah berdoa dan seketika kedua kaki kudanya tertancap ke dalam tanah sampai sebatas lututnya. Dia pun turun dan menghardik kudanya, sehingga kuda itu bangkit kembali. Saat kudanya mencabut kakinya yang tertanam, memancarlah cahaya dari bekas kaki kuda itu.

Melihat kejadian seperti itu, tahulah Suraqah bahwa usahanya akan sia-sia. Ia takut akan keselamatan dirinya sehingga ia meminta keselamatan kepada Rasulullah. Ia pun diampuni dan akhirnya pulang dengan tangan hampa.

Sampai di tanah Quba', Masjid Pertama yang dibangun dalam Islam


Rasulullah sampai di tanah Quba' pada tanggal 2 Rabi'ul Awwal, atau bertepatan dengan tanggal 30 September 622 M. Terhitung telah 13 tahun Rasulullah tinggal di Makkah, dipersempit geraknya, dan dilarang berdakwah secara terang-terangan.

Di tanah Quba', Rasulullah tinggal selama 22 malam di antara para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar dengan aman dan tenang. Di tanah Quba', Rasulullah juga pada masa itu membangun sebuah masjid yakni masjid Quba', dimana Allah telah menyifati bahwa masjid tersebut adalah:

.. لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوٰى.. 

"...masjid yang didirikan atas dasar takwa.." (QS. At-Taubah, 108). 

Rasulullah Tiba di Madinah, Awal Mula Shalat Jum'at dan Khutbah Pertama dalam Islam


Ketika Rasulullah SAW keluar dari tanah Quba hendak menuju Madinah, para sahabat Anshar pun mengelilingi Nabi. Mereka semua mengalungkan pedangnya sembari bersuka cita atas kedatangan Nabi.

Saat dalam perjalanan, Nabi menjumpai hari jum'at dan kemudian menjalankan shalat jum'at bersama dengan para pengikutnya dari kaum Muslimin. Inilah awal mula Shalat Jum'at dalam Islam, begitu pula dengan khutbahnya.

Melihat kedatangan Nabi di Madinah, penduduk Madinah pun berhamburan keluar untuk menyambut datangnya Rasulullah SAW. Bersama-sama, termasuk para wanita dan anak-anak, mereka semua kompak bersenandung:

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا

"Telah datang bulan purnama yang sempurna kepada kita" 

مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ

"Dari lembah tsaniyatil Wada" 

وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا

"Wajiblah bagi kita mengucap syukur" 

مَا دَعَا لِلهِ دَاعِ 

"Di mana seruan adalah kepada Allah" 

أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا

"Wahai engkau yang diutus telah berada di tengah-tengah kami" 

جِئْتَ بِالْأَمْرِ الْمُطَاعِ

"Engkau datang dengan seruan untuk dipatuhi" 


Kisah di atas saya terjemahkan dari kitab "Khulashah Nur al Yaqiin Juz Pertama" hal 48 - 56, Umar Abdul Jabbar, Maktabah wa Mathba'ah Salim Nabhan, Surabaya.

Selengkapnya
Kisah Hassan bin Tsabit, Sang Penyair Pembela Rasulullah SAW

Kisah Hassan bin Tsabit, Sang Penyair Pembela Rasulullah SAW


Sejarah mencatat bahwa seni bersyair telah mendarah daging pada masyarakat Arab bahkan sebelum Islam tersebar di tanah Arab. Pada masa Nabi juga tercatat beberapa sastrawan atau pujangga Muslim yang berada di barisan para sahabat Nabi dan ikut berjuang bersama Nabi dalam memperjuangkan Islam. Salah satu di antara penyair tersebut adalah Hassan bin Tsabit RA. Sosok sahabat ini lahir di Yatsrib (Madinah) pada 563 M dan berasal dari suku Khazraj (Bani khazraj). Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Hassan bin Tsabit bin al-Mundzir al-Khazraji al-Anshari. 

Kisah Hassan bin Tsabit
ilustrasi

Hassan bin Tsabit merupakan salah seorang sahabat Rasul yang dikarunia umur panjang, yakni 120 tahun. Ia bahkan masuk Islam saat berusia lanjut (60 tahun). Artinya, setengah umurnya telah dia habiskan pada masa jahiliyah dan setengahnya lagi dia jalani bersama Islam.

Hassan bin Tsabit adalah seorang penyair Arab yang cukup dikenal pada masa itu. Setelah masuk Islam, ia juga menggunakan syairnya untuk kepentingan Islam dan membela Rasulullah saw dari celaan musuh-musuh beliau. Orang-orang pun kemudian menggelarinya dengan sebutan "Syair Rasulullah" (Penyairnya Rasulullah SAW).

Pada masa mudanya, Hassan bin Tsabit adalah orang yang suka berpetualang. Dia pernah mengembara hingga ke al-Hirah dan Damaskus. Namun pada akhirnya ia memutuskan untuk menetap di Yatsrib (Madinah).

Ketika Rasulullah SAW tiba di Yatsrib dalam rangka hijrah, Hassan bin Tsabit pun meninggalkan agamanya dan menyatakan diri masuk Islam. Setelah menjadi Muslim, ia aktif berperan dalam perjuangan Islam dengan mencipta dan membacakan syair-syair perjuangan.

Dikisahkan suatu ketika dia diminta datang ke Masjid Nabawi untuk menemui Nabi SAW. Hassan pun sangat gembira dan segera beranjak menuju masjid tempat Rasulullah berada.

Sesampainya di Masjid, Hassan kemudian mengucap salam kepada Rasulullah dan para sahabat yang ada di sana. Rasulullah SAW kemudian berkata kepadanya, "Wahai Hassan, engkau tentu mengetahui apa yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin di Makkah. Oleh karena itu, padamkanlah semangat mereka dengan sajak-sajakmu. Dan sebaliknya, bangkitkanlah semangat kaum Muslimin dengan sajak-sajakmu."

"Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan menyakiti orang-orang kafir Makkah dengan syair saya, bagaikan sayatan di kulit mereka", jawab Hassan bin Tsabit spontan.

"Hendaknya engkau tidak terburu-buru wahai Hassan," ujar Rasulullah SAW. "Abu Bakar lebih mengetahui tentang garis nasab orang-orang Quraisy. Sebaliknya, garis silsilahku juga mereka mengetahui. Maka sebaiknya engkau terlebih dahulu mengetahui garis keturunanku. Tanyakanlah hal itu kepada Abu Bakar". 

Hassan ibn Tsabit pun kemudian pergi menemui Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menanyakan tentang garis nasab Nabi SAW kepada Abu Bakar. Setelahnya, ia pun kembali lagi ke Masjid Nabawi untuk menemui Rasul. 

"Ya Rasulullah, aku kini telah mengetahui garis keturunan engkau. Maka demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan mencabut engkau dari kelompok mereka, bagaikan tercerabutnya gandum dari adonan", tutur Hassan.

“Wahai Hassan, sungguh Jibril akan senantiasa mendukung engkau selama engkau meruntuhkan semangat kaum musyrikin itu dengan puisi-puisimu dalam membela Allah dan Rasul-Nya," jelas Rasulullah SAW. 

Pada kesempatan lain, 'Aisyah RA juga pernah mengisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengumpulkan para sahabatnya untuk mendengarkan lantunan syair-syair sebagai pembakar semangat bagi kaum Muslimin. Nabi SAW bersabda, "Kritiklah orang-orang Quraisy (dengan syair) karena ia lebih berat bagi mereka daripada lemparan anak panah!".

Pada mulanya Rasulullah SAW mempersilahkan Abdullah bin Rawahah yang juga pandai bersyair dan bersabda, "Kritiklah mereka (kafir Quraisy)!" 

Ibnu Rawahah pun kemudian bersyair. Karena beliau merasa belum cukup puas, beliau pun kemudian mempersilahkan Ka’ab bin Malik RA (juga seorang penyair) untuk membawakan untaian syair miliknya.

Masih belum cukup puas, Rasulullah pun kemudian memanggil Hassan bin Tsabit yang baru datang untuk membawakan syairnya. Rasulullah pun bersabda, "Saatnya bagi kalian mengutus kepada singa yang memukul dengan ekornya ini!". Sanjungan dari Rasul ini juga menggambarkan betapa mengenanya syair-syair karya Hassan bin Tsabit RA. 

Salah satu di antara syair karya Hassan bin Tsabit yang cukup terkenal adalah syair berikut ini:

Kamu menghina Muhammad maka aku membelanya 
Dan di sisi Allah-lah balasan dari semua itu 

Kamu menghina Muhammad yang baik lagi bertakwa 
Seorang utusan Allah yang selalu menepati janji 

Sesungguhnya bapakku, ibuku dan kehormatanku 
Adalah pelindung bagi kehormatan Muhammad dari kalian 

Aku kehilangan anak perempuanku jika kalian tidak melihat 
Kuda-kuda kami mengepulkan debu di dataran Kada` 

Kuda-kuda itu terbang berlomba dengan tali kekangnya 
Dengan tombak haus darah yang terhunus di balik lehernya 

Kuda-kuda kami terus berpacu dengan kencang 
Membuat para wanita mengibaskan debu dari kerudung mereka 

Jika mereka membiarkan maka kami berumrah 
Dan itulah kemenangan serta tersingkapnya tabir 

Jika tidak maka hadapilah peperangan suatu hari 
Di mana Allah akan memuliakan siapa yang Dia kehendaki 

Allah berfirman, Aku telah mengutus seorang hamba 
Yang berkata benar tanpa ada kesamaran 

Allah berfirman, Aku telah mengirim pasukan 
Orang-orang Anshar yang terbiasa berperang 

Apakah orang yang menghina Rasulullah dari kalian 
Dengan orang yang memuji dan menolongnya adalah sama 

Jibril Utusan Allah ada di pihak kami 
Ruhul Qudus yang tidak memilki tandingan.

Rasulullah SAW seringkali memberi pujian kepada karya-karya Hassan bin Tsabit. Dengan syair-syairnya, Hassan membela Rasulullah SAW dan Islam, serta menangkis hinaan dan celaan dari orang-orang Quraisy. Bagi orang-orang Quraisy, syair-syair Hassan ibarat tombak yang merobek tabir aib dan cacat mereka sehingga mereka pun terdiam membisu tidak mampu menjawabnya. Syair-syairnya juga ibarat anak panah yang meluncur menikam dada para penista kebenaran penghina Sang Utusan. Nabi bahkan pernah bersabda bahwa Jibril AS pun turut memberi apresiasi atas syair-syair dari Hassan bin Tsabit, "Berikan pujian kepada mereka, kelak malaikat Jibril bersamamu (Hassan bin Tsabit)". (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah RA Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada Hassan bin Tsabit RA, "Ruhul Qudus (Jibril) akan tetap mendukung dan melindungimu selama engkau memuji Allah dan RasulNya". 

Selain berjuang lewat syair-syairnya, Hassan bin Tsabit juga hampir tidak pernah absen dalam ikut berjuang langsung di medan peperangan. Setiap terjun ke medan laga, dia selalu tampil gagah di hadapan pasukan kaum musyrikin sembari lantang mengumandangkan sajak-sajak syair yang menciutkan nyali musuh-musuh Islam. 

Dalam riwayat hidupnya, Hassan bin Tsabit diketahui memiliki seorang istri bernama Sirin yang merupakan saudara dari Maria al-Qibthiyyah, istri Rasulullah SAW yang keturunan Mesir.

Dikisahkan bahwa saat Raja Muqaukis menghadiahi Rasulullah SAW dua bersaudara Sirrin dan Mariyah al-Qibthiyyah, Rasulullah kemudian menikahi Mariyah dan menghadiahkan Sirrin kepada Hassan bin Tsabit. Setelah Hassan bin Tsabit menikahi Sirin, lahirlah anak lelaki yang kemudian diberi nama Abdurrahman.

Setelah menyumbang peran besar untuk Islam, Hassan bin Tsabit wafat pada 54 H (674 M) di Madinah. Sumber: Republika.co.id dan faktabanten.co.id

Selengkapnya
Kisah Tsumamah al Yamamah, Sang Pembenci Yang Menjadi Sang Pecinta

Kisah Tsumamah al Yamamah, Sang Pembenci Yang Menjadi Sang Pecinta


Ada banyak riwayat kisah yang menceritakan tentang akhlak paripurna Kanjeng Rasul Muhammad SAW dalam menuntun umat manusia menuju cahaya Islam. Hari ini saya mendapatkan sebuah kisah menarik berkaitan dengan akhlak Rasul yang saya dengar dari isi khutbah saat mengikuti shalat jum'at di masjid Az Zuhud Petanahan.

Kisah ini menceritakan tentang masuk islamnya seorang sahabat yang sebelumnya sangat membenci Nabi, bahkan pernah hendak membunuhnya. Namun karena akhlak luhur Nabi, akhirnya ia mendapat hidayah dari Allah dan menjadi orang yang berbalik menjadi cinta kepada Kanjeng Rasul Muhammad SAW. Seperti apa kisahnya?, simak kisah berikut ini.

Kisah Tsumamah masuk Islam
ilustrasi

Pada tahun keenam hijriyah, Rasulullah SAW berkehendak untuk memperluas dakwah Islam ke wilayah - wilayah di luar kota Madinah. Di antara salah satu usaha yang beliau lakukan adalah dengan mengirimi beberapa surat ajakan Islam kepada para penguasa yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah.

Tercatat ada delapan Raja atau penguasa di kawasan Arab dan Ajam yang beliau kirimi surat ajakan masuk Islam tersebut. Beberapa di antara para penguasa tersebut ada yang menerima dengan baik, dan ada pula yang menolaknya mentah-mentah seruan Nabi kepada mereka untuk masuk Islam. 

Di antara para penguasa yang mendapat surat ajakan dari Nabi tersebutlah Tsumamah Utsal al-Hanafi, salah seorang pemuka Bani Hanifah yang terpandang. Ia juga seorang raja tanah Yamamah yang perintahnya senantiasa ditaati oleh kaumnya. Pada masa Jahiliyah, Tsumamah sendiri merupakan salah seorang pembesar orang-orang Arab yang begitu disegani.

Tatkala surat ajakan dari Rasul telah sampai di hadapannya, ia menerimanya dengan sikap angkuh dan bernada melecehkan. Tak sudi bagi harga dirinya untuk tunduk kepada ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ia bahkan sampai menutup kedua telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar dakwah kepada kebaikan dan kebenaran dari ajakan Rasulullah tersebut. 

Begitu bencinya dia kepada Rasulullah sampai-sampai ia merencanakan untuk membunuh Rasulullah SAW. Berulang kali dia mencari peluang agar mendapatkan kesempatan untuk membunuh Rasulullah SAW. Selain sangat membenci Nabi, Tsumamah juga benci kepada para sahabat pengikut Rasulullah SAW. Ia bahkan pernah menangkap beberapa orang sahabat Nabi dan membunuhnya secara emosional, sehingga Rasulullah pun kemudian menghalalkan darahnya dan mengumumkan hal itu di hadapan para sahabatnya.

Suatu ketika, Tsumamah hendak melaksanakan umrah di Ka'bah. Dia pun berangkat meninggalkan Yamamah menuju Makkah menggunakan kendaraannya. Dalam perjalanan, ia sudah membayangkan akan melaksanakan thawaf dan menyembelih kurban untuk berhala-berhalanya. Namun malang baginya, tatkala ia sampai di dekat kota Madinah, ia dipergoki oleh pasukan kaum Muslimin yang sedang berpatroli di sekeliling Madinah.

Sedangkan riwayat lain menyebutkan bahwa Tsumamah memang sengaja datang ke Madinah dengan maksud mencari Rasulullah dan hendak membunuhnya, namun upayanya berhasil dicegah oleh Umar bin Khattab. Tsumamah kemudian ditangkap dan dibawa ke kota Madinah.

Saat itu para sahabat tidak tahu bahwa yang mereka tangkap adalah Tsumamah, sehingga akhirnya mereka mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid, sembari menunggu kedatangan Rasul untuk memberi keputusan atas diri orang yang mereka tawan itu. 

Ketika Rasulullah SAW telah tiba dan melihat Tsumamah terikat di salah satu tiang masjid, Rasulullah bertanya kepada para sahabat, "Apakah kalian tahu siapa dia?". Para sahabat menjawab, "Tidak, ya Rasulullah".

Beliau kemudian berkata, "Dia adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, tawanlah dia dengan baik".

Rasulullah kemudian berkata kepada Tsumamah, "Wahai Tsumamah, apakah engkau sudah minum? dan Apakah engkau sudah makan?". Tsumamah hanya terdiam.

Rasulullah SAW kemudian pulang dan berkata kepada keluarganya, "Kumpulkanlah makanan lezat yang kalian miliki dan hidangkanlah kepada Tsumamah bin Utsal". Tidak hanya itu saja, Rasulullah juga memerintahkan agar memerah susu onta dan kemudian menyuguhkannya kepada Tsumamah. 

Rasulullah pun kemudian menemui Tsumamah dan kemudian bertanya kepadanya, "Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?". 

Tsumamah menjawab, "Aku mempunyai kebaikan wahai Muhammad, jika engkau membunuh maka engkau membunuh pemilik darah, namun jika engkau memberi maaf maka engkau memberi maaf kepada orang yang berterima kasih. Jika engkau menginginkan harta, maka katakan saja niscaya kami akan berikan apa yang engkau inginkan". 

Rasulullah pun membiarkannya dalam keadaan demikian selama beberapa hari. Makanan serta minuman lezat selalu disuguhkan kepadanya, dan susu onta juga tetap diperah untuknya. 

Saat Rasulullah menemuinya kembali, beliau kembali bertanya, "Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?". 

Tsumamah menjawab, "Aku hanya mempunyai apa yang aku katakan sebelumnya. Jika engkau memberi maaf maka engkau memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika engkau membunuh maka engkau membunuh pemilik darah. Jika engkau menginginkan harta, maka mintalah niscaya akan kami beri seberapapun yang engkau mau". 

Rasulullah SAW pun kembali meninggalkannya. Pada hari berikutnya, Rasulullah SAW datang lagi kepadanya dan kembali bertanya kepada Tsumamah, "Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?". 

Tsumamah menjawab, "Aku mempunyai apa yang telah aku katakan kepadamu. Jika engkau memberi maaf maka engkau memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika engkau membunuh maka engkau membunuh pemilik darah. Jika engkau menginginkan harta, maka mintalah niscaya kami akan memberi seberapa saja yang engkau mau". 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah juga mengajak kepada seruan Islam dengan bertanya kepada Tsumamah, "Apakah engkau mau masuk Islam dan bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah?". Tsumamah pun menjawab dengan tegas, "Tidak". Tiga kali Rasulullah bertanya demikian kepada Tsumamah dan dijawab pula olehnya dengan jawaban "Tidak".

Selanjutnya Rasulullah kemudian berkata kepada para sahabat di sekelilingnya, "Lepaskan Tsumamah". Dengan berat hati, para sahabat pun membuka ikatan Tsumamah dan kemudian melepaskannya. 

Tsumamah pun kemudian pergi meninggalkan Rasulullah dan para sahabat. Tatkala ia sampai di sebuah kebun kurma di pinggir Madinah dekat al-Baqi’, di mana di sana ada mata airnya, Tsumamah menghentikan kendaraannya dan kemudian bersuci menggunakan air tersebut.

Selesai bersuci, ia kemudian berbalik melangkahkan kakinya untuk kembali menuju masjid tempat Rasulullah dan para sahabat berada.

Begitu tiba di masjid, Tsumamah berdiri di hadapan Rasulullah dan kaum muslimin sembari berkata dengan lantang, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah". 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah Tsumamah berikrar syahadat di hadapan Rasul dan para sahabat, Rasulullah bertanya kepada Tsumamah, "Mengapa engkau tidak mengatakan (ikrar syahadat) itu sewaktu engkau masih kami tawan sebelumnya?"

Tsumamah pun menjawab, "Aku tidak ingin masuk Islam karena dipaksa, sehingga aku tidak melakukannya saat itu. Aku ingin masuk Islam karena mengharap keridhaan Allah semata". Selanjutnya Tsumamah juga berkata:

"Wahai Muhammad, Demi Allah! di muka bumi ini sebelumnya tidak ada wajah yang paling aku benci melebihi wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai.

Demi Allah!, sebelumnya tidak ada agama yang paling aku benci melebihi agamamu, namun saat ini agamamu menjadi agama yang paling aku cintai. Dan Demi Allah!, sebelumnya tidak ada negeri yang paling aku benci melebihi negerimu, namun saat ini ia menjadi negeri yang paling aku cintai". 

Konon begitu ia masuk Islam, kaum kafir Quraisy pun begitu merasakan dampaknya, karena sebelumnya mereka mendapat kiriman gandum dari tanah Yamamah. Namun setelah Tsumamah masuk Islam, kiriman itu pun dihentikan. Kesulitan dan kelaparan pun mendera kaum kafir Quraisy penduduk Makkah. Hingga pada akhirnya Rasulullah kemudian menulis surat kepada Tsumamah agar mengirimkan kembali gandum kepada kaum Quraisy, maka dia pun melakukannya.

Demikianlah Kisah Tsumamah Al Yamamah, seorang pembenci Islam dan Rasulullah SAW yang pada akhirnya berbalik menjadi orang yang begitu mencintai agama Islam dan Rasulullah Muhammad SAW. Wallahu A'lam.

Sumber: khotbah jum'at dan pelengkap dari kisahmuslim.com

Selengkapnya